Pages

Sunday, May 24, 2015

Do I hate kids?

Salah satu pertanyaan yang dari dulu masih belum bisa saya jawab adalah, 

"Do I hate kids?

Mama saya bilang katanya kalau cinta itu nggak boleh terlalu cinta, dan kalau benci juga nggak boleh terlalu benci. Pada dasarnya, rasa cinta dan rasa benci itu kan bukan dikotomi, atau kiri kanan, atau utara selatan, dan pokoknya nggak strukturalis deh; rasa cinta dan benci itu lebih semacam ke arah degree, ke arah mana kita cenderungnya. Bingung ya? Gitu deh intinya. 

--------
1 Cinta
--------
2
3
4
--------
5 Netral
--------
6
7
8
--------
9 Benci
--------

Kalau dibikin diagram, mungkin cinta dan benci itu kayak di atas itu. Kita ada di titik mana, apakah titik yang lebih ke arah cinta atau ke arah benci. Intinya sih nggak bisa selalu totally cinta atau totally benci. Sampai sekarang saya masih belum bisa menentukkan ada di skala berapa saya, apakah saya cinta atau benci... sama anak-anak. 

Why kids?! 

Saya juga nggak tahu. Makhluk berusia masih dibawah 10 tahun itu kadang-kadang aneh. Saya juga bingung. Anak-anak itu kadang-kadang ada yang baik banget, dan ada yang nakal banget. Ya pusing sih intinya, dan itu yang bikin saya sulit menentukkan di skala berapa sikap saya terhadap anak-anak. 

Tinggal di kompleks yang banyak anak kecilnya bikin saya sering mesuh-mesuh karena mereka biasa menginvasi teras depan dan main-main di kolam ikan (dan mengotorinya, dan mencelupkan kaki-kaki kotor mereka ke kolam ikan, sampai akhirnya digigit ikan lele dan menangis dan saya tertawa puas). Kadang-kadang mereka juga bisa baik, hanya duduk di dekat kolam ikan lalu mengobrol biasa, dan tidak sampai mencelupkan kaki ke kolam. Beberapa anak-anak itu menggemaskan, dan sisanya lebih pengen dipukul pantatnya ala Misae dan Shinchan. Setiap saya lapor ke mama saya kalau saya kesal karena anak-anak kecil tetangga-tetangga saya pada berisik dan suka bikin kotor pekarangan rumah-rumah orang, mama cuman jawab bahwa dulu juga saya seperti mereka. But at least, I didn't throw mango fruits into someone's fish pond loh. Maksudnya, seinget saya dulu saya nggak sebandel itu--seperti anak-anak tetangga-tetangga saya sekarang. Bandelnya mereka ini sudah bikin beberapa tetangga saya juga jengah. Pernah suatu hari tetangga depan saya marah dan lapor ke babysitter yang anak asuhannya bandelnya minta ampun karena mangga-mangga di pohon tetangga saya, yang sudah berbuah tapi belum matang, sudah pada dipetik sama anak-anak kecil itu. Kan bete tuh, pasti tadinya niatnya mau bikin jus mangga. 

Saya dikenal sebagai 'koko galak' sama anak-anak kecil itu. Kalau lewat atau ketemu, saya jarang senyum dan biasanya melototin mereka (I do my best buat bisa melotot, dan jangan tanya alasannya kenapa ya). Saya juga sering menegur mereka kalau udah ngotorin kolam ikan atau memberantakin teras depan (I'm not sure whether the word 'memberantakin' does exist in KBBI or not). Pokoknya, saya dikenal sebagai koko galak yang suka marahin anak-anak kecil. I don't care. Punya image galak nggak lantas membuat saya jadi pusing kok. Ya, setidaknya saya galak juga karena ada alasan tertentu. Tapi di sisi lain, ada beberapa anak yang bilang kalau saya nggak galak. Anak-anak yang mana?


Foto itu jadi bukti kalau saya juga bisa get along sama anak-anak dan mereka juga menganggap kalau saya nggak galak. Bingung? Nggak yakin? Terserah.

Yang jelas saya nggak suka dengan haircut saya di foto itu.

Mungkin untuk bisa suka sama anak-anak, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sama anak-anak itu. At least kalau nggak terpenuhi semua, terpenuhi setengahnya deh. Kriterianya apa aja?

  1. Nggak terlalu berisik, nggak banyak teriak-teriak
  2. Nggak gampang nangis dan kalaupun nangis, nggak mewek manja atau nangis yang sampai tendang-tendang
  3. Nggak ngamukan kalau marah (kalau ngamuk, bisa saya sentil soalnya)
  4. Nggak kebanyakan nanya-nanya yang aneh-aneh, apalagi kalau sampai nanya yang niatnya buat cari perhatian (anak-anak jaman sekarang banyak yang punya motive loh bro!)
  5. Nggak kurang ajar dan kalau ngomong bahasanya baik (aduh, sekarang banyak anak-anak kecil yang masih SD tapi udah tau kata fuck atau asshole)
  6. Nggak kutuan (ini crucial banget karena kutuan itu nular!)
  7. Menjaga kebersihan
  8. Menunjukkan antusias, apalagi kalau konteksnya lagi belajar (semisal ngajarin bahasa Inggris ke anak-anak)
  9. Tau jokes yang lucu tapi nggak offensive (anak-anak jaman sekarang kan suka ada yang pinter nge-joke)
  10. Suka mau kalau disuruh nyanyi (yang gini nih yang namanya hiburan)
Kriterianya terlalu perfeksionis ya? Terserah dah. 

Jadi, intinya apa? Entahlah. Saya masih bingung menentukan apakah saya suka atau benci sama anak-anak kecil. Basically, gimana situasi dan kondisi sih. Ada orang yang nanya, apakah nanti kalau saya udah menikah dan punya anak, masih bakal tetap punya pandangan kayak gini. Saya sih bisa bilang pandangan saya bisa berubah. Ya maklum lah udah dewasa udah punya anak, mau sampai kapan sih benci sama anak kecil. Toh saya juga nggak mau jadi orang yang childless. Kan kata orang-orang tua juga anak itu berkah. Banyak anak banyak rejeki, eh tapi nggak selalu gitu juga sih, toh rejeki yang ngatur kan Tuhan, bukan anak. 

Jadi kesimpulannya? 

Nggak ada sih. Cuman curhat saja. 

Saturday, May 23, 2015

Ditilang dan Pragmatics

PS: Kalau ingin tahu sisi pragmatics-nya di sebelah mana, harus baca sampai akhir biar paham.


Di usia yang sudah memasuki kepala dua ini (tapi bukan ular berkepala dua ya), untuk pertama kalinya saya kena tilang. Do I sound happy and proud of it? Nope. Biasanya saat orang ditilang, responnya cenderung ke arah marah atau kesal. Tapi saat itu, dan sampai sekarang, pengalaman ditilang pertama itu justru jadi sesuatu yang menurut saya unik, walaupun tentu saja saya nggak mau kena tilang lagi (syukur-syukur nggak pernah ditilang lagi seumur hidup.)

Jadi saya ditilang pas hari Jumat kemarin ini (22/5), sekitar jam 5 sore di persimpangan Gegerkalong dan Setiabudhi. Tahu kan persimpangan itu? Itu loh yang kalau ke utara dikit ada kampus Enhaii, terus ke utara lagi ada UNPAS, dan ke utara lagi ada UPI kampus tercinta aku *apasih*. Kalau bicara tentang siapa yang salah, harus saya akui memang saya yang salah. Tapi ada alasan kok kenapa saya ngebut di persimpangan itu. Bener deh.

*defense mechanism pun muncul* 

Jadi saya ditilang karena mengebut pas traffic light udah berubah ke merah. Sebetulnya pas saya sampai traffic light, semua lampu mati (dan timer-nya juga mati). Saya kira memang traffic light saat itu sedang tidak berfungsi. Eh, pas sampai di tengah-tengah persimpangan, tiba-tiba lampu berubah merah. Ani dan Muthia, yang saat itu ikut sama saya, langsung kaget, terutama pas ada seorang polisi yang udah dari jauh melambaikan tangannya (mungkin kangen?) dan nyuruh saya minggir. Mengaku salah (karena memang ngebut juga sih), akhirnya saya diminta turun. Awalnya si polisi yang nyuruh saya minggir itu bicara ke saya dengan nada tegas dan galak. Gak ada ramah-ramahnya sama sekali (awas dia kalau ketemu lagi, saya jutekin)

*Nggak ngaruh juga sih dan pasti dia nggak bakalan inget muka saya* 

Saya disuruh datang ke pos polisi yang letaknya nggak jauh dari tempat saya diberhentikan. Saya minta Ani buat nemenin saya ke pos polisi (dan Ani mau!). Saat itu, pikiran saya lagi agak aneh karena.. ya, bisa dibilang blank sih. Perasaan saya waktu itu percampuran antara waswas dan bingung. Saya pun turun dan ke pos polisi dengan Ani. Saat itu, polisi yang menangani saya bukan polisi yang memberhentikan saya. Ada petugas polisi lain yang, saat saya dan Ani masuk, langsung nyengir dan nyuruh saya duduk. Saya mulai ngerasa gugup, walaupun ekspresi muka saya sih masih menunjukkan kalau saya lagi bingung. Did I look fershimmeled? Only God knows deh. 

Saya diminta buat menunjukkan surat-surat dan SIM saya. Saya pun mengeluarkan semua kartu-kartu yang ada, kecuali kartu Game Master dan Chatime karena dua kartu itu mah nggak ditanyain (nggak usah disebut juga sih). Si bapak melafalkan nama saya, mengernyitkan dahinya, dan mengklarifikasi nama saya. Saya tentu saja mengkonfirmasi bahwa "Yes, that's my name!" soalnya kalau si bapak tanya "Nama kamu Joe Taslim?" pasti si Ani udah ngakak sampai ngompol. Saya pun ditanya alasannya kenapa saya ngebut, dan saya jelaskan alasannya. Ditambah lagi, saya emang pengen buang air (alasan klasik, which to some extent works sih). Saya dan Ani kaget karena respon pak polisi itu justru diluar dugaan. Saat saya bilang saya mau buang air, pak polisi itu nyengir dan menjawab, 

"Wah, saya juga nggak punya" 

Der fick?! 

Saya sama Ani pun lantas ketawa. Pak polisi itu terus menjelaskan lagi tentang peraturan dan denda yang harus dibayar. Awalnya saya kaget karena si pak polisi itu sempat nyuruh saya untuk ke persidangan di tanggal 6 Juni. Disitu saya gugup, bukan karena nggak mau disidang, tapi karena saya nggak yakin tanggal segitu kosong apa nggak (sok sibuk sih memang). Ditambah lagi, ya malas juga sih. Saya pun dikasih pilihan untuk bayar denda di tempat atau melalui ATM. Saya dan Ani kaget saat ditunjukkan bahwa denda pelanggaran itu besarnya 500 ribu rupiah. Ya, 500 ribu rupiah dan duit saya sudah mengalir ke rekening tabungan koh Hendi karena saya beli sepatu ke dia. Ani pun tiba-tiba bermetamorfosis menjadi advokat saya, melobi pak polisi supaya biaya dendanya dikurangi. Singkat cerita sih, pokoknya pak polisi itu baik sama saya dan Ani karena si bapak akhirnya bilang bahwa kita bisa bayar denda yang paling minimal (apalagi ini kali pertama saya ditilang dan alasan buang air itu memang.. ya.. daripada ngompol di pos kan?). Yang saya lihat waktu itu nominal paling kecil itu ya seratus ribu. Untunglah uang selalu siap sedia, dan saya pun bisa bayar denda di tempat. 

Sudah bereskah? Belum! 

Si bapak malah ngajak ngobrol lagi. Si bapak tiba-tiba menanyakan sesuatu yang bikin saya ketawa on the spot. Mungkin karena Ani banyak menjelaskan daripada saya, si bapak pun nanya ke Ani. 

"Kamu ibunya?" 

Saya pun ketawa on the spot dan Ani nampak shock. Saya langsung mengklarifikasi bahwa Ani itu sahabat saya, dan di-iya-kan juga oleh Ani. Si bapak malah gantian meng-ciye-ciye-kan saya dan Ani. Disitu pun saya dan Ani jadi kaget. 

Ditanya juga saya dan Ani habis dari mana. Ani, yang saat itu masih jadi advokat, langsung bercerita panjang lebar, bilang kalau kami habis makan siang. Lengkap dengan keterangan tempat bahwa saya, Ani, dan Muthia habis makan sore di McDonald's. Pak polisi itu lagi-lagi menanyakan sesuatu yang mengejutkan, yang bikin jaw dropping

"Ih, kok makan disana nggak ajak-ajak saya?" 

Der fick?! (2)

Singkat cerita deh ya. Urusan ditilang beres. Saya bisa mengantar Ani dan Muthia kembali ke apartemen mereka yang nyaman dan aman. Saya pun bisa pulang ke rumah. Ada dua pelajar yang saya ambil dari kejadian ditilang itu, yang akan dijabarkan dalam bullet di bawah ini: 

  • Kalau memang dengan sengaja melanggar lalu lintas dan ketahuan salah, mengaku saja salah dan jangan banyak alasan. Wajar juga sih kita beralasan, ya selama alasannya memang masuk akal dan nggak aneh-aneh (semisal, nggak lihat lampunya merah atau apa lah). Dalam kasus saya, si lampu kuning dan timer saat itu memang nggak nyala, jadi saya kira memang traffic light sedang mati. Ditambah lagi, urgensi untuk buang air kan sesuatu yang inevitable. Selain itu, kalau memang harus bayar denda, ya bayarlah. Intinya sih, harus lebih disiplin dengan aturan lalu lintas. Jangan nerobos lampu merah, muter balik di tempat yang nggak seharusnya, berhenti di tempat yang dilarang, atau semacamnya. Aturan lalu lintas kan dibuat untuk keselamatan semua pengguna jalan. Saya bayar bukannya biar nggak usah dibawa ke pengadilan atau biar cepat, tapi karena memang saya mengaku salah dan kalau di aturannya harus didenda, ya saya harus bayar denda. Tapi polisi kan memberi pilihan, mau bayar di pengadilan, di tempat, atau lewat ATM. Saat itu memang saya bisa bayar di tempat, jadi ya sudah bayar di tempat. Lagipula selama ini saya jalan kaki ke Gerlong dan lewat pos polisi itu, para polisinya nampak baik kok (you know what I mean kan, bukan polisi palsu yang 'malak' duit)
  • Polisi ramah, sahabat rakyat. Polisi pertama yang memberhentikan saya itu orangnya galak. Tegas sih, tapi nggak bersahabat dan banyak membentak. Ani sama Muthia sudah wanti-wanti saya supaya nggak kebawa emosi. Dan disitu, pilihan saya untuk nggak banyak ngomong dan langsung ke pos merupakan pilihan yang tepat. Lebih males lagi kan kalau harus berurusan dengan polisi yang nggak ramah. Polisi yang satu laginya, yang jaga di pos, menunjukkan keramahannya. Bahkan di momen-momen menegangkan seperti itu, pak polisi itu masih sempat bikin suasana lebih adem dengan guyonan-guyonannya. Lagi ditilang aja saya sempet ketawa. Bukannya menganggap remeh hukum, tapi kan kalau begitu juga saya yang ditilang nggak merasa benar-benar tersudutkan. Intinya sih, polisi yang ramah pasti lebih disukai masyarakat. Apalagi kalau polisinya ternyata sama-sama suka makan burger di McDonald's. Mungkin pak polisi itu juga sering beli Rice Box rasa teriyaki di KFC.

    Kalau dilihat dari sudut pandang pragmatics, apa yang dilakukan polisi itu (semua guyonan dan pertanyaan konyolnya) merupakan tindakan FSA atau face-saving act (tindakan menyelamatkan wajah). FSA ini merupakan konsep yang ada dalam bahasan politeness (kesopanan) di lingkup pragmatics. Wajah disini maksudnya apa ya, kayak perasaan kita terkait rasa malu. Ditilang itu kan kejadian yang memalukan buat kebanyakan orang. Saat saya ditilang, ya saya juga malu lah pasti karena ada beberapa orang lihat. Tapi rasa malu itu nggak bikin saya merasa totally uneasy karena keramahan dan guyonan dari pak polisi yang bikin saya dan Ani merasa bahwa, meskipun kita ditilang dan bersalah pak polisi ini nggak lantas menjatuhkan harga diri kita. Dan karena itu pula, win-win solution bisa didapatkan. Saya bisa membayar denda dan menjalani proses tilang dengan baik tanpa merasa benar-benar dipermalukan, dan polisi itu juga menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapat kesan baik dari masyarakat--saya dan Ani. 
Udah sih sebetulnya gitu ceritanya. Ambil hikmahnya, dan lebih banyak senyum dan ramah sama orang lain. Saya juga lagi belajar supaya lebih ramah sama orang lain hehehe

Tuesday, May 19, 2015

Pria Kopi dan Gadis Kopi

Jalanan masih belum begitu dipadati kendaraan bermotor. Mobil kami dapat melaju dengan cukup leluasa, tanpa perlu terjebak kemacetan yang biasa terjadi. Sebetulnya ini sudah memasuki jam makan siang, namun jalan Setiabudhi tidak seramai biasanya. Apa mungkin orang-orang masih sibuk di kantornya? Atau mungkin mereka makan siang di kantornya? Ah, aku tak peduli! Yang penting jalanan hari ini tidak padat. Mbak Tara memindahkan lagu yang sedang dimainkan. Alunan tangganada pentatonik pada piano pun terdengar dari pengeras suara mobil. Kurasa ia sudah mulai tercekoki oleh lagu-lagu jazz yang akhir-akhir ini sering kuputar di komputerku.

“Lapar nih. Mau makan siang dimana jadinya?” tanya mbak Tara.

“Terserah,” jawabku.

Kok terserah? Tadi mbak ajak makan di kantin fakultas malah nggak mau,” ujar mbak Tara sedikit kesal.

Setelah tadi mengajakku berkeliling gedung fakultas tempatnya belajar dan mengunjungi beberapa departemen bahasa, termasuk departemen bahasa Inggris yang sudah kuimpi-impikan sejak lama, mbak Tara mengajakku untuk makan siang di kantin fakultasnya. Namun aku mendapatkan kesan pertama yang tidak berkesan saat mengunjungi kantin itu. Entahlah, seperti ada sebuah suara yang berkata bahwa lebih baik aku makan siang di tempat lain. Bukan karena tempatnya yang kotor. Tempatnya cukup bersih, dengan banyak kursi dan meja yang tersedia. Mungkin aku memang sedang tidak ingin makan disana.

“Oh ya, kenapa sih kamu nggak mau masuk bahasa Perancis aja?” tanya mbak Tara.

Nggak aja. Dari awal aku udah incar bahasa Inggris,” jawabku.

“Bukan gara-gara nggak mau satu jurusan sama mbak, ‘kan?” tanya mbak Tara lagi.

“Bukan. Di bahasa Perancis ‘kan ada grammaire,” jawabku seraya meniru aksen Perancis mbak Tara.

“Terus kamu pikir di bahasa Inggris nggak ada grammar?!” balas mbak Tara kesal.

Aku tertawa kecil. Ah, benar juga ya. Toh pada ujungnya departemen bahasa apapun yang kupillih, aku tetap harus mempelajari tata bahasanya. Kami berbelok memasuki jalan Sukajadi. Aku mengernyitkan dahiku. Sekarang aku tak tahu kemana kami akan pergi. Tujuan kami sekarang bergantung pada mbak Tara.

“Ke Doppio aja ya. Mbak lagi pengen lasagna,” ujar mbak Tara.

Lasagna?”

“Ya”

Jawaban kakakku membuatku terdiam sejenak. Kakakku bukan sekedar ingin menikmati satu porsi lasagna. Ia ingin bertemu dengan seseorang. Saat aku menyadari bahwa kakakku mulai akrab dengan barista itu, jujur saja ada perasaan was-was yang membuatku tak nyaman setiap kali kakakku berbicara tentang kopi, atau Doppio, atau bahkan barista itu. Aku mulai curiga apakah kakakku mulai menyukai barista itu. Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Bagaimana bisa seseorang bisa tiba-tiba suka pada orang lain tanpa mengenalnya dengan baik terlebih dahulu? Bagaimana jika kakakku disakiti lagi, seperti yang dulu pernah terjadi? Bagaimana jika pria itu bukan orang yang baik? Ingin sekali rasanya aku bilang pada kakakku untuk memilih tempat lain, tapi entah kenapa rasanya sulit untuk mengatakannya. Saat itu, mbak Tara mengajak barista itu datang ke meja kami dan mengenalkannya padaku, Reyhan, dan Ezra. Jujur saja, ia menunjukkan kesan yang baik. Ia bersikap baik dan ramah, dan bahkan ikut mengobrol bersama kami tentang apa yang sedang kami pelajari—materi biologi tentang virus. Tapi kesan pertama yang baik tidak berarti bahwa seseorang memang secara keseluruhan baik. Jangan menilai buku dari sampulnya, begitupula manusia. Setelah aku tahu seperti apa Ferry sebenarnya, aku benar-benar sadar bahwa apa yang nampak darinya selama ini sekedar topeng belaka. Aku terlanjur terpikat dengan sampul buku yang nampak menarik, dan tak sadar bahwa isinya hanyalah cerita-cerita sampah yang sama sekali tak punya nilai seni.

“Kenapa diem aja? Sebentar lagi kita mau sampai,” tegur mbak Tara.

Aku segera mengenakan blazer coklat tuaku dan merapikan rambutku. Kami pun akhirnya tiba di Doppio setelah berkendara selama sekitar 20 menit. Terima kasih Tuhan. Semoga besok dan seterusnya tidak ada lagi lalu lintas yang padat di kota ini. Saat mengucap syukur dan doa itu, aku tahu lalu lintas di kota ini tidak akan lantas berubah. Tapi tak ada yang salah dengan berdoa. Ya. Setidaknya aku percaya pada kekuatan mujizat.

Aku dan kakakku memasuki Doppio. Sebuah bel kecil berdenting saat kami membuka pintunya. Pandangan mataku segera kulemparkan ke arah bar yang terletak di sisi timur ruangan. Pria itu tak ada disana. Apakah ia tak masuk kerja hari ini? Atau apakah ia sudah berhenti bekerja di tempat ini? Aku tak tahu apakah aku harus bahagia atau harus sedih karena, jujur saja, kopi buatannya memang sangat enak. Aku bahagia, karena kakakku tak perlu bertemu dengannya. Tapi kurasa aku tak bisa berbahagia begitu saja karena sekitar satu menit setelah aku duduk, mbak Tara melihat ke arah bar dan memanggil nama barista itu.

“Aldi!”

Ah! Kenapa pria itu harus muncul? Kukira pria itu sudah tak bekerja lagi disini. Barista itu kemudian datang ke meja kami dan menyapa kami dengan ramah. Aku tertegun saat ia menyapa kami. Aku juga tertegun karena ia masih mengingat namaku. Dan saat namaku terucap dari mulutnya, jujur saja aku merasa gugup. Tidak! Ini bukan apa-apa. Ia hanya menyapaku dan mencoba bersikap ramah padaku. Sekali lagi, ini bukan apa-apa! Aku hanya membalas sapaan pria itu dengan senyuman kecut.

“Mau coba kopi baru, nggak? Kemarin kita dapat stok kopi baru,” tanya barista tersebut.

“Wah? Kopi apa nih? Ngomong-ngomong, kopi Flores yang waktu itu kamu kasih enak banget,” jawab kakakku.

“Mau kopi Flores lagi? Atau mau coba yang lain? Sekarang ada banyak jenis baru. Kita bisa coba di bar,” jawab barista tersebut.

Aku tak dapat berbuat apa-apa saat kakakku menarik tanganku dan membawaku ke bar untuk mencicipi pilihan kopi baru. Enggan sekali rasanya untuk beranjak dari tempat dudukku. Lagipula, duduk dekat jendela rasanya lebih menyenangkan. Aku bisa sambil melihat suasana di luar kedai. Ditambah lagi, dengan duduk di dekat jendela kakakku tidak akan banyak berinteraksi dengan barista itu. Itu jauh lebih baik. Ya, lebih baik. Bagaimana jika barista itu melakukan pendekatan pada kakakku dan kakakku meresponnya? Mereka belum lama kenal. Lagipula kakakku baru saja mengalami luka yang cukup dalam karena seorang laki-laki. Bagaimana jika ia disakiti lagi? Aku tahu betul seperti apa rasanya disakiti, terutama saat tahu bahwa seseorang yang kita bangga-banggakan dan kita cintai ternyata tak lebih dari sekedar bajingan. Aku harus bersyukur karena aku akhirnya mengetahui siapa sebenarnya Ferry.

“Ini coba aja satu-satu. Yang ini kopi Flores, yang kamu minum waktu itu,” ujar barista tersebut seraya menunjuk ke arah cangkir yang berada paling kiri.

“Mau coba gak, Tan?” tanya mbak Tara.

Mbak Tara aja dulu,” jawabku tak bersemangat.

“Eh, ini coba deh,” mbak Tara  bersikeras memintaku mencoba kopi yang ia coba.

Kuterima cangkir kopi dari kakakku dan kuteguk minuman berwarna hitam pekat itu. Aku tak dapat merasakan apa-apa selain rasa kopi. Kopi. Hanya kopi. Barista itu kemudian meminta kami mencoba kopi Toraja. Aku dapat melihat ekspresi senang dan takjub mbak Tara saat menyeruput kopi panas itu, seolah-olah ia baru saja meminum minuman paling lezat yang ada di dunia. Aku tak dapat merasakan apa-apa lagi selain kopi. Rasa kopi yang pekat, aroma kopi yang kuat, lalu.. apa lagi? Semuanya hanyalah kopi!

Nggak ada bedanya,” jawabku.

“Eh, coba cari tahu deh. Ada aroma apa?” tanya barista itu.

“Kopi. Sama aja kayak yang sebelumnya,” jawabku dingin.

“Ada aroma citrus loh. Masa kamu nggak bisa cium itu?” tanya mbak Tara kaget.

Nggak. Aku nggak cium aroma citrus,” tegasku.

Barista itu lalu meminta kami untuk mencicipi kopi berikutnya, kopi Kintamani. Lagi-lagi kakakku menunjukkan ekspresi itu. Apa sebetulnya yang ia rasakan? Bagiku semua kopi ini terasa sama saja di lidahku. Kecuali jika kopi dipadukan dengan bahan-bahan lain seperti susu, coklat, dan dibuat menjadi frappe, aku baru dapat merasakan perbedaannya. Tapi semua ini sama. Sama aja. Semua cangkir berwarna krem ini memiliki minuman yang sama, dengan warna yang sama gelapnya. Apanya yang menarik? Bisa-bisa perutku kembung karena terlalu banyak mencicipi kopi!

Gimana?” tanya barista itu.

“Biasa aja. Nggak kerasa apa-apa,” jawabku.

“Masa? Ada aroma apa gitu yang bisa kamu tebak?” tanya barista itu lagi.

Nggak ada. Sama aja,” jawabku dingin.

“Atau mungkin cara kamu minum salah. Jangan langsung ditelan,” tukas mbak Tara.

“Minum yang lain aja lah,” balasku kesal.

“Coba dicicipi lagi aja ya. Aku buat lagi kopinya. Siapa tahu kalau udah cium aromanya, kamu bakalan 
suka,” ujar barista tersebut seraya mengangkat tiga cangkir kosong yang ada di atas bar.

Pria itu lantas meninggalkan bar dan berjalan menuju dapur. Aku meringis pelan. Mbak Tara kemudian menepuk bahuku. Ia nampak bingung, terlihat dari kerutan yang ada di dahinya.

“Kamu kenapa, Tan?” tanya mbak Tara.

Nggak apa-apa,” jawabku, “Kita duduk di dekat jendela lagi aja deh, ya?”

“Memangnya kenapa?”

Nggak apa-apa. Ayo ah pindah”

“Kamu nggak suka mbak ngobrol sama Aldi?”

Mbak nggak bisa begitu aja langsung dekat sama orang yang baru mbak kenal. Kalau misalnya kejadian yang sama keulang lagi gimana? Memangnya mbak mau jatuh ke lubang yang sama?”

Kakakku meringis pelan.

“Tania, mbak nggak akan begitu aja langsung suka sama orang. Mbak juga tahu mbak baru sebentar kenal sama Aldi. Tapi mbak tahu kalau ada Aldi punya sesuatu yang menarik. Dia juga punya bakat yang nggak semua orang punya. Memangnya salah kalau mbak tertarik sama seseorang?” tegas kakakku.

“Kalau misalnya dia sama aja kayak mas—“

Mbak yakin Aldi nggak akan seperti dia,” potong kakakku sebelum aku menyebut nama pria yang sebelumnya pernah dekat, namun akhirnya melukai kakakku.

Barista itu pun kembali, kali ini membawa empat cangkir kopi untuk kami. Ia menaruhnya di atas bar dan meminta kami mencicipinya kembali. Ia bahkan menyiapkan satu cawan berisi biskuit jahe.

“Jadi biskuitnya bisa dicelup ke kopi, terus dimakan,” ujarnya.

“Wah, biskuit jahe! Biasanya kita punya satu toples buat natal,” jawab kakakku.

“Kapan-kapan boleh dong bawa kesini biskuitnya,” balas barista itu, “Oh ya, cara minumnya jangan langsung diteguk. Biarin dulu kopinya ada di dalam mulut, terus coba dirasakan sama lidah kamu, rasa kopinya seperti apa. Cari tahu juga ada aroma apa aja.”

Aku pun sekali lagi mencoba mencicipi kopi Kintamani. Kali ini kubiarkan kopi itu berada di dalam mulutku, agar lidahku bisa merasakan seperti apa tepatnya rasa kopi itu. Kopi ini memang pahit dan cenderung asam, namun lama-lama aku dapat merasakan ada rasa manis. Memang tidak terlalu intens, tapi aku merasakannya. Rasa manis itu bisa kuibaratkan seperti saat aku berpapasan dengan seseorang yang memakai parfum. Aroma parfum itu tercium, namun hanya sekelebat, dan setelah itu aku tak dapat menciumnya lagi. Indera pengecapku juga merasakan ada aroma jeruk, dan aroma seperti kacang. Aku mulai takjub. Kopi macam apa ini? Mengapa kopi ini bisa memiliki rasa dan aroma yang kaya?

“Ada aroma kacang. Awalnya memang pahit dan asam, tapi lama-lama ada rasa manis,” ujarku.

“Unik, ‘kan?” tanya barista tersebut seraya tersenyum ramah.

Ia memintaku untuk mencicipi kopi yang lain. Ia tidak menyebutkan jenis kopinya dan, jujur saja, itu membuatku sedikit curiga. Semoga saja rasanya tidak aneh dan membuatku trauma untuk mencicipi kopi lagi. Kopi itu pun kucicipi dan kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Lidahku merasakan aroma karamel, dan kemudian aroma itu hilang, digantikan oleh aroma rempah-rempah yang hanya terasa samar, sekelebat. Sangat unik! Kopi ini sangat unik! Apa ia memasukkan rempah-rempah ke dalam kopi ini?

“Memang kopinya dimasukkan rempah-rempah ya?” tanyaku.

Nggak. Itu murni hasil dari biji kopi. Itu kopi Wamena,” jawab barista tersebut.

“Unik, ya. Bisa beda-beda aroma dan rasanya,” ujarku pelan.

“Kopi itu kalau sepintas dilihat kayak yang sama aja, nggak ada bedanya dengan kopi lain. Tapi buat tahu rasa kopi, kita nggak bisa sekedar menilai dari warna sama kepekatannya. Kalau sekedar lihat warna sih bakalan susah buat membedakannya. Mencicipi kopi itu nggak bisa buru-buru dan perlu ketelitian. Kita juga dilatih kepekaan lidahnya buat bisa nebak rasa dan aroma apa yang ada di kopi itu. Rasa dan aroma kopi ‘kan kuat, jadi buat cari rasa lain yang ada itu seolah-olah kayak cari rasa stroberi di saus sambal. Susah, ‘kan? Pasti, karena rasa pedas dan aroma cabainya sangat kuat, jadi kita harus jeli buat cari rasa stroberi itu,” jelas barista itu.

“Ditambah lagi, pengetahuan kita tentang rasa-rasa juga berpengaruh loh, Tan. Kalau kamu sangat sering makan jeruk dan tahu aroma jeruk yang beda-beda, kamu kemungkinan bisa tahu kalau ada aroma jeruk di kopi. Kalau kamu biasa coba rempah-rempah, kamu bisa tahu kalau ada aroma rempah-rempah di kopi. Intinya sih, kopi itu nggak semuanya sama. Kopi itu beda-beda, dan buat tahu perbedaannya kamu harus tahu cara yang tepat buat minum kopi. Minum kopi itu ‘kan nggak kayak minum air mineral botolan yang bisa langsung kamu teguk,” sambung kakakku.

Aku tertegun. Aku takjub dengan pengalaman minum kopi ini. Pada awalnya, aku selalu menganggap bahwa semua kopi hitam itu sama saja. Mereka memiliki warna yang sama dan memiliki rasa yang sama. Aku tak mengerti mengapa para ahli kopi mampu membedakan rasa-rasa kopi, yang menurutku semuanya sama saja terasa pahit dan pekat. Tapi saat aku mencoba, meneliti rasa dan aromanya dengan lidahku, aku sadar bahwa memang rasa kopi tidak selalu sama. Ada aroma dan sentuhan rasa yang berbeda saat dicoba dengan cara yang tepat.

Dan kurasa aku pun selama ini menilai barista ini dengan cara yang salah. Aku juga terlalu terburu-buru memberinya penilaian. Aku menilainya dengan menggunakan pandangan umumku yang ternyata salah. Aku pernah disakiti seorang pria. Kakakku juga disakiti oleh seorang pria dan aku tahu apa yang harus ia hadapi. Rasa sakit itu membuatnya sangat tersiksa. Aku menilai barista ini seperti aku menilai Ferry. Pada kenyataannya, jika aku menilainya dengan cara yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda, aku dapat melihat perbedaan pada pria ini. Barista ini. Barista ini berbeda. Ia bukanlah sosok pria seperti Ferry. Ia juga bukanlah pria yang dulu sempat menyakiti kakakku. Ia berbeda. Ada sesuatu yang membuatku merasa bahwa sebetulnya aku bisa merasa nyaman saat berada di dekatnya. Dan perasaan itulah yang kemudian membuatku sadar bahwa aku seharusnya sejak awal tidak salah menilainya dan berbahagia karena kakakku bisa dekat dengannya.

Setelah beres mencicipi kopi, kami memesan makan siang kami. Barista itu menemani kami sambil mengobrol kecil tentang berbagai hal—meskipun kami lebih banyak mengobrol tentang kopi dan jenis minuman lainnya, seperti coklat dan teh. Dengan cara penilaian yang berbeda dan sudut pandang yang baru, aku merasa sangat nyaman bisa mengobrol dengan barista ini dan kakakku. Aku merasa bahwa barista ini—pria ini—dapat menjadi teman yang baik. Dan akhirnya, aku pun merasa bahwa pria ini dapat menyembuhkan luka kakakku dan mungkin, menjadi bagian dari episode baru dalam kehidupan kakakku. Cuaca yang mulai gelap membuat kami tak bisa berlama-lama setelah menghabiskan makan siang kami. Setelah membayar, aku dan kakakku pamit pada barista tersebut. Sekali lagi ia menyebut namaku dan tersenyum dengan ramah. Kali ini aku membalas senyumannya, dengan senyuman yang ramah. Kakakku membuka kunci pintu mobil melalui remote control. Aku segera masuk ke dalam mobil dan bersandar pada kursi. Kakakku pun akhirnya masuk. Kami pun meninggalkan pelataran Doppio dan bergabung dengan para pengguna jalan raya yang lainnya.

“Tadi gimana kesan-kesannya? Asyik, ‘kan?” tanya kakakku.

“Ya. Aku suka kok,” jawabku.

“Kapan-kapan kita coba jenis kopi yang lain, ya,” ujar kakakku.

Aku mengangguk.

“Dia baik juga,” ujarku pelan.

“Siapa?” tanya kakakku.

Mas Aldi,” jawabku.

Kakakku tertawa kecil.

“Dia nggak seperti yang kamu kira, ‘kan?”

“Mungkin kapan-kapan mungkin kita bisa ajak mas Aldi ke rumah, buat bikin kopi.”

“Menurut kamu itu ide yang bagus?”

“Kenapa nggak? Papa sama mama juga suka kopi, ‘kan? Sekalian dikenalin juga sama papa dan mama.”


Aku dan kakakku tertawa kecil. Dan kami pun terus melaju ke arah barat.