Pages

Sunday, April 17, 2016

Making Up

Dengan terburu-buru Alia mengambil kunci mobil dari atas meja kerjaku. Ia kemudian memanggil namaku dengan tegas dan pergi. Aku meringis kesal. Kumatikan komputerku dan aku pergi mengejar Alia. Ia baru saja masuk ke mobil dan menutup pintu dengan kasar. Aku menyusulnya, masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya. Ia tampak sangat kesal. Ia tak pernah merengut seperti ini. Tapi asal ia tahu saja, aku pun sudah cukup kesal dengan semua keluhannya.

“Dira nggak boleh dengar kita berantem,” ujar Alia.

“Apa lagi sih yang mau kamu keluhkan?” tanyaku kesal.

Alia tak menjawab. Ia hanya duduk kaku, melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Sekarang kamu nggak jawab apa-apa. Gimana aku tahu apa yang kamu permasalahkan?” tanyaku.

“Dari satu minggu, berapa banyak waktu yang kamu punya yang bisa kamu luangkan buat aku dan Dira?” tanya Alia sinis.

“Kerjaanku sekarang-sekarang ini memang lagi padat. Aku minta kamu paham,” tegasku.

“Kamu minta aku paham? Udah tiga minggu kamu pulang larut malam, bahkan di akhir pekan. Waktu aku minta tolong kamu antar aku belanja kebutuhan bulanan, kamu bilang nggak bisa. Waktu aku bilang Dira ingin main, kamu bilang kamu nggak bisa nemenin karena kamu sibuk. Aku capek sama kamu dan kesibukan kamu!” jawab Alia.

“Aku ‘kan udah bilang, aku nggak bisa antar kamu karena aku ada rapat. Soal Dira yang ingin jalan-jalan, minggu kemarin ‘kan aku udah ajak kalian main,” jelasku.

Quality time bersama keluarga cuman satu jam. Setelah itu kamu balik lagi ke kantor dan aku terpaksa pulang sendiri sama Dira. Itu maksud kamu?” balasnya ketus.

Seenggaknya aku berusaha buat ada untuk kalian. Aku minta kamu hargai usaha aku. Kenapa susah banget sih hargai usaha aku? Kamu sendiri banyak ngeluh. Arisan kompleks lah, tagihan ini itu lah, sampai urusan sofa kamu keluhkan juga,” jawabku.

“Kamu sadar nggak sih satu minggu kemarin jaringan internet di rumah bermasalah? Kamu juga sadar nggak sih kalau selama ini bak cuci dapur bocor? Apa kamu yang telepon pihak provider buat betulkan jaringan internet kita?” balas Alia.

“Aku udah betulkan bak cuci, Alia!” tegasku.

“Kamu baru betulkan pas selang bak cuci lepas dan dapur kita kebanjiran!” balas Alia.

“Aku juga ‘kan sudah minta upgrade layanan internet, Alia. Kamu mau minta apa lagi? Akhir-akhir ini kamu banyak permintaan. Ingin televisi untuk di kamar lah, AC untuk di kamar Dira lah, uang belanja bulanan dinaikkan lah. Kamu pakai apa sih uang belanja kita?” jawabku.

“Kamu kira kebutuhan kita itu sedikit? Kamu kira harga barang-barang pada murah? Aku nombok pakai uangku sendiri, Za!” balas Alia.

“Terus apa maksudnya kamu buat status di Facebook tentang ingin liburan, tapi suami terlalu sibuk? Kamu bilang kamu mau coba ngerti, tapi kamu malah nyindir suami sendiri di Facebook!” tantangku kesal.

Emang aku nggak boleh punya keinginan buat liburan? Apa aku nggak boleh buat istirahat sejenak? Selama ini aku yang urus rumah! Aku yang urus Dira! Apa kamu ngerasa udah jadi ayah yang baik buat Dira?” balas Alia.

“Kalau nggak ada aku, kalian nggak akan bisa hidup seperti sekarang! Aku yang cari kerja! Aku yang cari uang buat nafkahin kalian!” balasku.

“Terus apa itu artinya kamu bisa sombong dan merasa lebih baik daripada aku? Apa kamu tahu kebiasaan-kebiasaan Dira? Apa kamu yang ajari Dira baca? Apa kamu mau ngasuh Dira, ladenin nangis dan marahnya dia?” tanya Alia.

“Kalau nggak ada aku, kalian mau gimana? Aku seperti ini karena aku lagi berusaha supaya kalian bisa tetap hidup enak!” tegasku.

“Kamu pikir aku nggak bisa apa-apa? Kamu anggap aku lemah sampai kamu pikir aku nggak bisa cari nafkah buat aku dan Dira? Jangan bodoh ya, Za! Pas kita masih kuliah pun aku udah kerja. Inget! Aku yang ajarin Reyhan bahasa Inggris di tempat lesnya! Kamu sendiri apa? Apa kamu udah kerja waktu itu? Kerja kamu ‘kan cuman jalan-jalan!” balas Alia.

“Jangan sok tau kamu! Tau apa kamu tentang kerjaanku?” bantahku.

“Memang gitu kenyataannya!” jawab Alia.

“Kalau gitu tunjukkin kalau kamu juga bisa bantu aku buat cari nafkah! Kamu udah nggak ngajar lagi bahasa Inggris atau jadi guru les. Dari mana kamu mau dapat uang kalau bukan dari aku? Apa kamu sama Dira bisa hidup tanpa aku? Aku yang banting tulang! Aku yang begadang sampai sakit! Aku yang kerja keras buat hidupin kalian!” tantangku.

Alia menatapku tak percaya.

“Aku nggak nyangka kamu bakalan searogan ini,” ujarnya.

“Apa susahnya sih hargai usaha aku?!” tanyaku ketus.

“Kamu pikir aku nggak capek ngurus rumah sendiri?! Aku perlu dukungan kamu, Za! Aku perlu kamu! Ke mana kamu selama ini? Dua minggu yang lalu pun kamu sama sekali nggak pulang!” balasnya.

“Aku udah bilang aku kerja lembur! Aku lembur sampai aku sakit, Alia! Kamu nggak ingat Adit bilang apa ke kamu? Aku pingsan di kantor!” tegasku.

“Kamu pingsan di kantor. Gimana dengan aku? Aku capek, Za! Aku capek urus rumah sendiri!” balas Alia, “Waktu kamu pulang, kamu langsung gitu aja peluk-peluk dan cium leher. Bukan itu yang aku butuhin, Za! Kamu egois! Kamu mentingin diri sendiri! Aku butuh bantuan kamu buat ngurus rumah juga! Yang kamu pikirin pas sampai rumah adalah kesenangan kamu sendiri!” balas Alia.

Kukepalkan kedua tanganku. Aku tak bisa seperti ini terus. Aku lelah jika Alia terus menuntut banyak hal. Aku berharap ia mau memahami posisiku, tapi ia tak mau. Aku tahu ia lelah dan aku tahu seperti apa sulitnya mengurus rumah, tetapi aku pun sedang menghadapi kesulitan yang kurasa lebih berat dari apa yang Alia hadapi. Toh aku melakukan ini semua deminya dan Dira. Alia mulai menangis. Ia terisak pelan. Jujur saja aku tak suka jika ia mulai menangis. Aku ingin sekali membuatnya merasa lebih tenang dan berhenti menangis, namun ia akan kembali mengeluh dan menyalahkan semuanya padaku. Aku tak bisa begini terus. Aku tak bisa selalu egois pada diriku sendiri.

“Aku muak sama kamu, Za. Aku muak,” ujarnya pelan.

Terlanjur kesal, aku menaruh kunci mobil di atas dasbor dan keluar dari mobil. Setengah berlari aku kembali ke rumah dan masuk ke kamarku, meninggalkan Alia yang masih menangis di dalam mobil. Kuganti pakaianku, kukenakan jaketku dan kuambil dompet, ponsel, serta kunci motorku. Aku pun segera keluar dari rumah. Dari kaca depan mobil, kulihat Alia melihatku. Ia menatapku tak percaya. Aku mengacuhkannya, mengeluarkan motorku dari garasi dan membawanya keluar pagar. Sekali lagi kulihat ke arah mobil. Alia masih di dalam, tak kunjung keluar dari mobil. Ia tak mau melihatku.

Ia sudah terlanjur muak padaku.

Kupacu motorku dalam kecepatan tinggi, melewati jalan Pasteur yang sudah lengang di tengah malam seperti ini. Kubawa motorku ke arah flyover Pasupati. Tak sadar aku sudah berteriak keras, mengeluarkan kemarahanku. Tak akan ada yang mendengar suaraku karena deru mesin motorku lebih keras daripada suaraku.

“Anjing!” umpatku.

Aku mencapai ujung flyover, kini memasuki jalan Surapati. Kubelokkan kemudi ke kanan saat lampu hijau menyala di persimpangan. Di saat-saat seperti ini, rasanya aku ingin mabuk saja. Di benakku terbayang tiga botol bir dingin di atas meja yang siap kutenggak. Meskipun terdengar dangkal, namun itulah yang kuinginkan saat ini. Sebetulnya bisa saja aku menghubungi adikku dan mengobrol dengannya, atau datang langsung ke rumah orang tuaku dan menemui adikku, mungkin menginap semalam di sana. Akan tetapi, menyadari bahwa malam semakin larut, sepertinya kedatanganku hanya akan mengganggu waktu istirahatnya saja. Reyhan bilang saat dua hari yang lalu ia datang ke rumahku bahwa ia merasa sangat lelah karena minggu lalu ia baru saja menyelesaikan ujian praktek tengah semester yang menguras tenaganya. Ayah sendiri bilang bahwa adikku, selama beberapa hari ia berlibur di sini, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan beristirahat. Niatku mencari bar untuk menghabiskan tiga botol bir hilang begitu saja saat kulihat seseorang, sambil berjalan tertatih, sedang menuntun motornya. Cahaya lampu depan motorku menyorot plat nomor yang terpasang di bagian belakang motor. Mengenali dengan pasti plat nomor tersebut, aku segera mengejar orang tersebut dan memanggil namanya. Aku menepi dan ia menghentikan langkahnya. Untuk sejenak kemarahan dan kekecewaanku pada Alia mereda, berubah menjadi perasaan kaget dan bingung dengan adanya sosok yang menuntun motor tersebut.

“Kamu kenapa di sini? Mas kira kamu di rumah. Ada apa?” tanyaku khawatir.

“Rey habis ketemu temen-temen. Waktu pulang, ada anak kecil nyebrang jalan tiba-tiba. Rey kaget. Daripada nabrak anak kecil, Rey banting setir. Akhirnya jatuh,” jawab adikku.

“Anak kecil? Siapa?” tanyaku.

Kayaknya anak pengamen. Bajunya lusuh. Dia juga bawa gelas plastik bekas air mineral,” jelas adikku.

“Lalu ini motornya kenapa?” tanyaku. Tampak bagian samping motor matik tersebut sedikit lecet.

“Rantainya putus. Pasti karena jatuh,” jawab adikku.

Aku meringis pelan.

Mas kira kamu nggak pergi ke mana-mana malam ini. Kenapa nggak bilang kalau kamu jatuh dari motor?” tanyaku khawatir.

Nggak apa-apa, mas. Lagian dari sini ke rumah ‘kan nggak jauh,” jawab adikku.

Nggak jauh? Reyhan, coba kamu pikir! Ini sudah malam! Rantai motormu putus, lalu kamu tuntun motor dari Diponegoro sampai Tamansari. Mau sampai rumah jam berapa? Belum lagi ini udah larut malam. Kalau ada orang yang ngincar kamu, gimana? Kamu mau dicelakai orang lain? Masih mending kalau orang yang menghadang kamu cuman ambil uang atau motor. Kalau kamu dilukai? Ditikam? Kamu mau gimana? Mau minta tolong sama siapa? Rey, ayah sama mas udah nggak mau lagi kehilangan siapa pun! Udah cukup kita kehilangan ibu! Kita nggak perlu kehilangan siapa pun lagi! Kamu adik mas satu-satunya! Tindakan nekat kamu ini bodoh!”

Adikku terkejut. Air mataku pun tiba-tiba menetes dan aku sendiri terkejut. Aku segera menyeka air mataku, meskipun pada akhirnya aku terisak pelan.

Mas Eza nggak apa-apa? Ada sesuatu kah?” tanya adikku.

Mas cuman khawatir, Rey,” jawabku.

“Bukan,” sanggah adikku, “Pasti ada sesuatu yang lain.”

Aku mengangguk pelan. Akhirnya kami meminggirkan motor kami dan duduk di pinggir trotoar, tak jauh dari kompleks Gedung Sate. Aku hendak memulai ceritaku saat adikku tiba-tiba pergi dan setengah berlari—dengan sedikit terpincang-pincang—meninggalkanku. Kupanggil namanya namun ia tak membalas atau mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua botol air mineral. Salah satunya ia berikan padaku. Setelah merasa lebih tenang, kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Reyhan mengernyitkan dahinya saat kukatakan bahwa Alia sudah muak padaku.

Mas memang pernah berbuat atau bersikap kayak gimana sampai mbak Alia muak sama mas?” tanya Reyhan.

“Pada dasarnya dia nggak mau mas kerja. Dia ngerasa kalau mas kerja, mas nggak punya waktu buat dia dan Dira. Mas juga dianggap nggak peduli dengan apa yang kemarin-kemarin ini terjadi. Masalah elektronik rusak lah, atau dapur, atau semacamnya, dia ngerasa mas nggak peduli dengan masalah-masalah itu. Mas peduli, hanya saja mas nggak mau banyak nunjukkin reaksi. Kalau mas nggak peduli, mas nggak akan berusaha cari uang untuk bayar biaya perbaikan ini itu,” jelasku.

Mbak Alia pasti selama ini capek karena sering ngurus rumah sendiri. Rey rasa itu yang bikin dia kesal,” ujar adikku.

“Memang. Mas paham dia capek dan kesal. Mas cuman ingin dia juga ngerti keadaan mas seperti apa. Kamu tahu ‘kan pekerjaan mas kayak gimana? Capek, Rey! Capek banget! Apalagi kalau mas harus lembur. Mas nggak pulang ke rumah itu karena kerja, bukan karena cari hiburan atau semacamnya. Sekarang, kalau misalnya mas pulang kerja lalu pergi sama teman-teman kerja buat sekadar ngopi, apa mas salah? Mas jengah sama pekerjaan. Mas juga perlu istirahat. Kadang-kadang saat mas mau istirahat atau sekadar senang-senang sebentar, mas malah ditelepon dan disuruh ke kantor atau ketemu klien,” ujarku.

Kuteguk air mineral yang adikku berikan, kemudian kuletakkan botolnya di sampingku. Mataku mulai berkaca-kaca lagi. Sekarang aku benar-benar tahu seperti apa rasanya menjadi seorang ayah. Ayah juga dulu pasti pernah berada di posisiku saat ini. Hidup tak semudah yang kubayangkan, dan aku tahu itu sejak aku sadar bahwa Alia mengandung anak pertama kami, Dira. Saat Alia berkata bahwa ia muak denganku, semuanya terasa lebih sulit bagiku. Entahlah. Ia pasti tak ingin bertemu denganku, entah sampai kapan. Aku tak pernah melihat ia semarah ini sebelumnya. Kurasa baru kali ini aku pun semarah dan sekesal ini padanya, sampai aku nekat meninggalkannya di rumah bersama Dira. Aku belum siap untuk kembali ke rumah. Aku tak akan pulang malam ini, tapi aku pun tak enak jika harus menginap di rumah ayah. Apa yang akan ia katakan padaku saat besok ia melihatku? Aku tak suka jika harus jujur padanya bahwa aku dan Alia bertengkar hebat. Itu pasti akan membuatnya tertekan. Adikku tengah mengangkat ujung celananya. Tampak luka memar dan lecet di kaki kanannya. Ia meringis saat ia tak sengaja menyentuh luka tersebut.

“Lukanya parah tidak? Kaki kirimu gimana?” tanyaku sembari mencondongkan tubuhku untuk melihat luka tersebut lebih dekat.

“Memar sama lecet aja,” jawab adikku.

“Lenganmu? Atau kepalamu?” tanyaku lagi.

“Jaketnya lumayan tebal, jadi lengan Rey nggak apa-apa. Kepala Rey juga nggak apa-apa karena Rey pakai helm,” jawabnya.

“Ayah telepon nggak?” tanyaku lagi.

“Itu yang Rey takutkan. Rey takut ayah telepon dan tanya Rey di mana. Rey nggak mau buat ayah khawatir. Kalau Rey bilang Rey jatuh dan rantai motor putus, ayah pasti khawatir. Rencananya Rey memang mau secepatnya pulang dan dorong motor sampai rumah. Pokoknya, ayah nggak boleh sampai tahu kalau Rey jatuh,” jawabnya.

Aku meringis pelan.

“Kamu pulang pakai motor mas aja. Biar motormu mas yang urus,” ujarku.

“Loh, mas sendiri gimana?” Reyhan terkejut.

Mas bisa telepon teman mas. Ada beberapa teman mas yang tinggal di dekat sini. Atau, mas bawa motormu ke kantor dan dititipkan semalam di sana,” jawabku.

“Lantas mas mau pulang pakai apa?” tanya Reyhan lagi.

“Mas nggak akan pulang dulu untuk malam ini. Entah untuk berapa hari. Mas juga malas pikirkan kerjaan. Mungkin mas nanti izin nggak kerja selama satu atau dua hari. Mas kayaknya perlu istirahat juga,” jawabku.

Mas mau ke mana? Kalau mas sampai nggak pulang, mbak Alia sama Dira pasti khawatir. Mbak Alia juga kemungkinan telepon ayah. Nanti ayah jadi tahu kalau mas ngilang,” Reyhan semakin terkejut.

“Kamu pura-pura nggak tahu apa-apa aja. Kamu pura-pura panik aja. Pokoknya cuman kamu yang tahu mas di mana dan mas nggak mau kamu kasih tahu ke siapa pun,” ujarku.

“Pura-pura nggak tahu? Rey nggak bisa. Mas suruh Rey pulang pakai motor mas. Ayah pasti tahu kalau Rey ketemu mas,” sanggah adikku.

“Pokoknya mas nggak akan pulang malam ini,” tegasku.

“Kalau gitu, Rey juga nggak akan pulang,” ujar adikku tegas.

Aku mengernyitkan dahiku.

“Kalau Rey pulang, Rey bikin ayah panik karena Rey jatuh. Mas nggak pulang dan mas bikin mbak Alia, Dira, dan ayah panik. Apa pun yang kita lakukan, kita tetap bikin semua orang panik. Kayaknya semuanya serba salah. Tapi setidaknya, kalau Rey nggak pulang, Rey ‘kan sama mas. Seenggaknya Rey nggak bikin mas khawatir. Mas juga nggak bikin Rey khawatir,” jelas adikku.

Aku menghela nafas panjang. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Adikku harus pulang. Ia sengaja berkata seperti itu. Ini semacam psikologi terbalik. Ia ingin bergabung denganku ‘kabur’ dari rumah, namun pada kenyataannya ia menyuruhku pulang. Arlojiku menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh empat menit. Kurasa belum terlalu larut untuk mengantar adikku pulang. Tentangku sendiri, aku dapat tinggal atau pergi ke mana pun aku ingin. Aku memang tak akan pulang ke rumah malam ini dan keputusanku sudah bulat. Biarlah Alia menenangkan dirinya sejenak. Aku pun perlu menenangkan diri.

Mas antar kamu pulang,” ujarku.

“Motornya gimana?” tanya adikku.

Aku meringis pelan, kemudian bangkit dan berjalan menuju motorku. Kubuka bagasi motorku dan kucari tali tambang yang pernah kumasukkan dulu ke bagasi saat menarik motor Adit yang mogok.

“Rantai motormu lepaskan aja semua,” ujarku.

“Rantainya udah dimasukkan ke bagasi motor, kok,” jawab adikku.

Kusiapkan tali tambang dan kuikatkan salah satu ujungnya ke motor adikku. Sementara ujung yang satu laginya kuikatkan pada motorku. Aku jujur saja tak tahu seperti apa kecelakaan yang dialami adikku sampai rantai motornya bisa putus seperti itu. Mungkin saja motor itu sudah lama tidak dibawa ke pusat servis atau diperbaiki. Kunyalakan mesin motorku dan kurasa aku sudah siap mengantar adikku pulang.

“Siap, Rey?” tanyaku.

Adikku mengangguk. Ia sudah menaiki motornya. Aku pun mulai melaju dengan kecepatan sedang, takut jika dibawa terlalu cepat ikatan tali tambang akan renggang atau bahkan putus. Sesekali kulihat adikku di belakang melalui spion motorku dan tampaknya ia baik-baik saja. Terkadang aku harus melambatkan laju motor karena adikku terpaksa harus mendorong laju motornya dengan kakinya. Saat mencapai Dago, kuminta adikku mengendarai motorku dan aku yang menaiki motornya. Kami bergantian. Arlojiku menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh sembilan menit saat kami akhirnya tiba di rumah. Kami memasukkan motor-motor ke dalam garasi, kemudian melepas lelah sejenak duduk di teras depan. Kulepaskan jaketku dan, di saat yang sama, adikku melepaskan helmnya. Di bawah cahaya lampu teras, dapat kulihat memar di pelipis kiri adikku. Memar tersebut tampak sangat jelas, sepertinya disebabkan oleh benturan yang sangat keras.

“Rey, kepalamu kok memar gitu?” aku terkejut.

Adikku menoleh ke arahku dan mengernyitkan dahinya.

“Masa?” tanyanya.

“Kamu nggak ngerasa sakit kepala atau gimana?” tanyaku.

Belum adikku menjawab pertanyaanku, suara klakson mobil mengejutkan kami. Di depan pagar, sebuah mobil yang tak asing bagiku berhenti. Lampunya menyala, menyoroti kami yang duduk di teras. Kemudian si pengemudi mematikan lampu dan mesin, keluar dari mobil dan menatap kami. Reyhan setengah berlari ke arah pagar dan membukanya. Ia dan si pengemudi mobil kemudian kembali ke teras. Kini aku berhadapan langsung dengan pengemudi tersebut. Bekas air mata tampak menjejak di pipinya. Matanya pun masih berkaca-kaca.

Gimana kalau Rey tinggalin mas sama mbak berdua? Kalau ngobrol di dalam, takutnya ayah terbangun. Rey mau ganti baju dan siap-siap istirahat,” ujar adikku.

Aku mengangguk pelan. Pamit, adikku pun masuk ke rumah. Kini hanya ada aku dan Alia di teras. Alia duduk di tembokan, sementara aku berdiri membelakanginya, melihat ke arah jalan.

“Kalau muak, kenapa nyari aku?” tanyaku.

“Za, ini bukan tentang—“

“Semua ini salah aku, ‘kan? Itu ‘kan yang mau kamu bilang?” ujarku.

Aku terkejut saat Alia tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya memelukku erat.

“Kamu tetap orang yang aku sayang, Za,” ujarnya pelan.

Aku meringis pelan, kemudian berbalik dan mendekapnya.

“Aku minta maaf,” ujarku.

Alia terisak pelan di dalam dekapanku. Kubelai lembut rambutnya dan kuusap bahunya. Kudengar Alia pun mengatakan hal yang sama. Ia meminta maaf padaku, meskipun sedikit terbata-bata dan tak begitu jelas karena isakannya. Sebetulnya ini semua dapat diselesaikan dengan satu hal, pengertian. Kami harus lebih memahami satu sama lain, mencoba merasakan seperti apa rasanya berada di posisi masing-masing. Alia harus bisa memahamiku dan pekerjaanku, dan aku harus berusaha lebih keras untuk mengurangi beban yang ia rasakan saat ini.

“Dira di mana?” tanyaku.

“Aku mendadak minta tolong Eva buat datang ke rumah. Aku nggak bisa bawa Dira karena aku nggak mau dia lihat kita bertengkar,” jawab Alia.

“Sekali lagi aku minta maaf,” ujarku.

“Aku juga, Za. Aku minta maaf,” ujar Alia.

Pertengkaran kami berakhir dengan ciuman kecil. Alia kemudian tersenyum. Kuusap lembut pipinya. Kuputuskan untuk pulang bersama Alia. Aku akan mengendarai motorku dan ia mengemudikan mobil. Sebelum pergi, kuajak Alia masuk untuk berpamitan dengan Reyhan. Pintu kamarnya tertutup. Kupanggil namanya dan kuketuk pintu kamarnya. Alia melirikku dan mengernyitkan dahinya. Ia pasti bingung karena adikku tak menjawab sama sekali. Saat kubuka knop pintu, aku terkejut karena pintu kamarnya tak terkunci.

Pintu kamar adikku kubuka. Aku dan Alia disuguhi oleh hal yang membuat mata kami terbuka lebar. Aku tercengang, begitu pun Alia. Adikku terkapar di lantai kamarnya. Darah mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. Bibirnya tampak pucat. Alia menutup mulutnya dengan tangannya. Ia hampir berteriak histeris, meskipun akhirnya aku yang berteriak memanggil nama adikku.

“Reyhan!”


Ini semua pasti karena memar di pelipis kirinya.