Pages

Wednesday, June 29, 2016

Chapel

Cuaca hari ini cukup cerah. Berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Akhir-akhir ini cuaca memang tak menentu. Aku tak pernah berharap banyak pada langit. Ia bisa berubah-ubah begitu saja. Seperti suasana hati, atau perasaan, bisa berubah begitu saja. Tak ada yang benar-benar pasti dalam hidup. Bahkan untuk sesuatu yang sebelumnya kuyakin akan terjadi pun, kenyataannya tak pernah terjadi.

“Gea?”

Aku menoleh ke samping kiriku. Seorang perempuan seusiaku tersenyum padaku. Ia didampingi oleh laki-laki, kurasa sekitar setahun lebih tua darinya, berperawakan tinggi besar. Aku mengernyitkan dahiku. Ia adalah salah satu teman Reyhan yang ia kenal di SMA. Aku pun mengenalnya, namun tak begitu akrab dengannya.

“Eh, Tania,” jawabku seraya tersenyum.

“Mau ke Reyhan juga?” tanyanya.

“Ya. Kamu juga?” tanyaku.

“Ya. Hari ini ulang tahun ‘kan dia,” jawabnya.

Aku mengangguk pelan. Pria yang bersamanya—kurasa kekasihnya—membawa semacam parsel berisi buah-buahan dan biskuit. Jika benar ia adalah kekasihnya, ini adalah pertama kalinya aku melihat Tania dan kekasihnya yang pernah Reyhan ceritakan padaku beberapa bulan yang lalu. Ia sempat menyukai Tania, namun semuanya tak berjalan seperti yang ia harapkan. Aku bahkan merasa bahwa Reyhan sekarang justru membencinya. Bukan karena ia cemburu, tetapi karena hal lain yang aku sendiri belum tahu pasti. Pintu lift terbuka dan kami pun segera masuk. Di dalam lift hanya ada kami bertiga. Tak ada obrolan di antara kami, kecuali pria itu yang bertanya pada Tania mengenai lokasi kecelakaan yang menimpa sahabatku. Sejujurnya, pertanyaan itu membuatku kesal. Aku curiga ia tak benar-benar bertanya; ia hanya mencoba pura-pura peduli.

Pintu lift terbuka dan seseorang berdiri di depan pintu. Ia menundukkan kepalanya, menatap layar ponsel yang ia pegang. Aku meringis dan segera keluar dari lift, namun sialnya orang itu menyadari keberadaanku dan memanggil namaku.

“Gea!”

Aku berbalik. Ia kini telah berada di dalam kapsul lift. Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam lift, sehingga aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Ia memintaku menunggunya, namun aku tak akan menunggunya di depan lift. Aku akan masuk menemui Reyhan terlebih dahulu. Untuk apa aku menunggunya? Untuk apa aku harus mengulang kejadian yang sama, yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu? Menunggu di depan pintu besar itu selama sekitar satu jam, berada di tengah ketidakpastian, dan pada akhirnya menghadapi kenyataan pahit yang membuat langitku semakin mendung. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyebutkan kalimat itu yang sampai sekarang masih kuingat jelas. Kalimat itu bergema di benakku selama berminggu-minggu, membuatku harus mengunjungi Dilla untuk menangis. Tania dan kekasihnya terlebih dahulu masuk ke ruangan. Aku menunggu selama sekitar satu menit sebelum akhirnya masuk ke ruangan. Di dalam ruangan telah ada banyak orang, termasuk Dilla dan beberapa orang teman Reyhan yang lain. Dira, keponakan Reyhan, kini telah tumbuh besar. Terakhir kali aku melihatnya, gadis itu masih didudukkan di kereta bayi.

“Hai, Gea,” ujar Reyhan. Suaranya terdengar aneh karena terhalang masker oksigen.

“Reyhan. Apa kabar?” tanyaku.

Sorry. Aku keliatan lemes banget pasti,” ujarnya.

Nggak apa-apa, Rey. Namanya juga lagi sakit,” jawabku.

“Aku kangen kamu. Kita baru ketemu lagi sekarang. Sekalinya ketemu, aku malah kayak gini,” ujarnya.

“Yang penting bisa ketemu, Rey. Nanti kalau kamu udah sembuh, kita bisa ngopi bareng lagi,” ujarku.

“Oh, ya. Andra juga udah datang. Kamu udah ketemu dia? Tadi dia bilang mau beli sesuatu dulu,” ujar Reyhan.

“Ya, tadi aku ketemu dia di lift,” jawabku.

Dilla mengobrol denganku ketika teman-teman Reyhan yang lain mengobrol dengannya. Kesibukkan kami membuat kami tak bisa bertemu sesering dulu. Dilla juga saat ini sedang menjalankan bisnis kecil di bidang pakaian. Ia pasti sangat sibuk.

“Main lah sesekali ke rumah,” ujar Dilla.

“Ya. Aku nanti main lagi deh ke rumah. Udah lama nggak ke sana,” jawabku.

“Aku jadi inget loh kita dulu maraton film seharian. Itu waktu kamu nginep di rumahku,” kenang Dilla.

“Maratonnya kepotong curhat. Filmnya cuman satu jam, tapi selesainya jadi tiga jam gara-gara kita curhat dua jam,” sambungku.

Pake acara nangis dulu satu jam lagi,” tambah Dilla.

“Oh ya, kamu masih sama dia?” tanyaku.

Udah nggak. Sekarang kebongkar semua tentang dia. Selama ini ternyata dia udah punya pacar, dan nggak hanya satu,” jawab Dilla.

“Wah? Kenapa nggak cerita ih!” aku terkejut.

“Ceritanya panjang deh! Kayaknya kamu emang harus nginep lagi di rumah deh,” jawabnya.

Pintu kamar terbuka dan kulihat sosok Andra memasuki ruangan. Aku meringis pelan. Dilla yang tahu apa yang terjadi padaku segera mengusap bahuku.

“Masih kesel ya, Ge?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

Nggak tahu, Dil. Aku bingung sama perasaanku sendiri,” jawabku.

Udah sekitar 3 tahun sejak kejadian itu. Hubungan kalian bahkan lebih lama dari itu,” ujar Dilla.

“Rasanya baru kemarin,” ujarku.

Perayaan ulang tahun untuk Reyhan pun dimulai. Semua orang tampak gembira, kecuali Reyhan yang tampak tak ceria seperti biasanya. Bukan, bukan karena ia sedang sakit. Aku mengenalnya dengan baik. Pasti ada sesuatu yang membuatnya murung. Ia melepaskan masker oksigennya sesaat untuk meniup lilin ulang tahunnya. Ia kemudian mengenakannya lagi. Tempat tidurnya dinaikkan agar ia tetap dapat bersandar sambil duduk. Ia tak mau memakan kue ulang tahunnya sehingga potongan pertama kue itu ia berikan untuk ayahnya. Potongan kedua ia berikan untuk kakaknya dan potongan ketiga untuk kakak iparnya. Ia mendapatkan beberapa hadiah ulang tahun, tertumpuk rapi di atas meja, di dekat televisi. Ketika orang-orang sedang asyik menikmati kue, aku menangkap tatapan Reyhan yang seolah-olah memberi tahuku sesuatu. Lebih tepatnya, mungkin ia meminta tolong. Meminta tolong untuk dibawa pergi dari ruangan ini. Meminta kebebasan. Reyhan terkekang.

Satu per satu, teman-teman Reyhan mulai berpamitan. Aku dapat melihat ekspresi lega di wajah Reyhan ketika Tania pamit bersama pria itu. Aku tahu Reyhan pasti merasa sangat lega. Ia pasti jengah melihat Tania bersama pria itu. Ia pasti tak menyukai mereka. Andra pamit sekitar 10 menit setelah Tania pulang, disusul dengan Dilla yang sudah dijemput oleh temannya, 5 menit setelah Andra pulang.

“Gea, mau makanan?” tanya Reyhan pelan.

Udah makan tadi. Kamu nggak mau makanan apa gitu?” tanyaku.

Reyhan menggeleng pelan.

“Semuanya udah diatur. Aku gak bisa makan apa yang aku pengen,” ujarnya.

“Biskuit?” tanyaku.

Nggak. Waktu itu aku mau makan biskuit, tapi dimarahin mas Eza,” jawabnya.

Aku yakin mas Eza mendengarnya, namun ia berpura-pura tak mendengarnya dan justru sibuk mengobrol dengan istrinya. Arlojiku menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh enam menit. Aku pun pamit pada Reyhan dan keluarganya, serta dua orang temannya yang masih berkunjung. Reyhan kembali menatapku dengan tatapan itu, dan aku berjanji pada diriku sendiri malam ini aku harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku turun ke lantai dasar menggunakan lift. Setelah itu, aku berniat untuk keluar dari rumah sakit melalui pintu yang lain, namun justru tersasar ke koridor yang menghubungkan rumah sakit dengan kapel yang berada di belakangnya. Koridor ini sangat sepi. Ada sebuah pintu menuju ruangan remang dengan tangga antik, dan aku agak merinding melihatnya. Tiba di ujung koridor, aku melihat ke arah kanan, ke arah pintu kapel yang terbuka. Di antara barisan bangku-bangku gereja, aku melihat seseorang yang kukenal, sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Aku segera berbalik sebelum ia melihatku, namun lagi-lagi ia melihatku dan memanggil namaku. Aku terpaksa berbalik. Kulihat ia bangkit dari bangku dan berjalan menuju ambang pintu. Ia terhenti di sana dan menatapku.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya.

“Aku kesasar. Mau keluar lewat pintu samping,” jawabku.

“Kalau lewat sini nggak bisa. Ini daerah kapel. Kamu harus masuk lagi dan agak mutar,” ujarnya.

“Ah, ya. Aku masuk lagi kalau gitu,” ujarku.

“Gea, tunggu!”

Aku tertahan, sama seperti ketika ia menahanku. Ia menahanku dengan kata-kata, bukan dengan sentuhan atau genggaman tangan. Ia menahanku dengan cara yang sama yang ia lakukan tiga tahun yang lalu, di depan katedral. Kami terpisah sekitar beberapa meter. Tubuhnya bahkan tak melewati ambang pintu kapel.

“Ada apa? Aku buru-buru,” ujarku.

“Aku minta maaf,” ujarnya.

Andra kemudian menghampiriku. Aku baru menyadari bahwa matanya berkaca-kaca. Kini kami berdiri saling berhadapan, hanya terpisah jarak sekitar dua meter.

“Minta maaf? Untuk?” tanyaku.

“Aku minta maaf karena bikin kamu sakit hati dan kecewa,” jawabnya.

“Untuk apa? Andra, tiga tahun. Udah tiga tahun dan semuanya udah terjadi,” ujarku.

“Aku masih nggak bisa lupain kejadian itu, Ge. Aku minta maaf. Aku ngerasa... Aku ngerasa bodoh. Seharusnya aku nggak—“

Nggak apa? Nggak mutusin aku? Nggak menyudahi hubungan kita? Nggak pacaran sama aku sama sekali? Kamu sendiri ‘kan yang bilang waktu itu kalau kamu percaya bahwa apa yang pastor dan teman-teman kamu bilang itu benar?” potongku.

“Aku minta maaf, Gea! Waktu itu keadaannya serba salah. Teman-temanku bilang kalau aku seharusnya cari pacar yang seiman. Pastorku juga dulu menyarankan untuk cari pacar yang seiman. Keadaannya sulit. Banyak orang yang nyudutin posisiku. Aku juga dapat banyak tekanan,” jelas Andra.

“Aku juga harus menghadapi situasi yang sulit, Dra! Kamu pikir aku nggak dengar omongan orang-orang tentang kita? Kamu pikir aku nggak tahu bahwa ada pihak-pihak yang nggak setuju dengan hubungan kita? Kamu pikir aku nggak ngerasa sakit setiap kali aku dengar orang-orang bicara tentang hubungan beda agama?” balasku.

“Kamu jadi sakit hati gara-gara aku, Ge. Kamu tahu, setiap kali aku ingat tentang kamu, aku ngerasa berdosa. Aku ngerasa sedih. Aku marah sama diriku sendiri,” ujar Andra.

“Buat apa marah sama diri sendiri? Andra, semuanya udah terjadi. Udah lewat. Nggak ada gunanya kamu marah. Nggak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita. Andra, kita cuman temenan sekarang. Kita cuman sahabatan. Masa-masa pacaran yang dulu kita lalui bareng, itu cuman fase aja. Itu cuman bagian dari kenangan masa SMP dan SMA,” tegasku.

“Dan kamu dengan mudahnya melupakan itu semua? Ge, lima tahun kita pacaran, dari SMP sampai semester awal kuliah. Kamu lupain itu semua, seolah-olah semua itu nggak berharga?” tanya Andra kecewa.

“Andra, kamu tahu, ada beberapa hal yang lebih pantas dilupakan atau nggak diingat sama sekali. Kenapa? Karena setiap kali aku ingat lima tahun kebersamaan kita, aku ngerasa sakit. Sakit hati. Aku udah muak dengan rasa sakit kayak gitu. Aku capek nangis berhari-hari. Aku nggak mau lagi ingat kenangan itu,” ujarku geram.

“Gea! Kamu nggak—“

“Aku muak sama kamu, Andra!” bentakku.

Andra terkejut. Ia menatapku tak percaya. Aku tak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Setelah putus, kami tak pernah berbicara lagi. Kami baru mulai berbicara kembali beberapa bulan yang lalu. Itu pun Andra yang menghubungiku, menanyakan kabarku dan kabar keluargaku. Aku tak banyak membalas pertanyaannya. Aku sudah jengah.

“Pastor dan teman-teman kamu benar. Kamu harus dengerin mereka! Aku ini bukan buat kamu! Kamu harus cari orang lain! Aku bukan orang yang tepat buat kamu! Jangan coba kontak aku lagi, dan kamu harusnya menyesal karena pernah jatuh cinta sama orang yang salah!” bentakku.

Bibir Andra bergetar. Wajahnya memerah. Matanya menyipit. Aku tahu seperti apa Andra ketika ia mulai marah. Tangannya bahkan sudah terkepal, dan ia menahannya sekuat mungkin. Aku terkejut karena ia tiba-tiba mencengkram tanganku dan menariknya. Ia menarikku masuk ke dalam kapel, tanpa mengatakan apa pun. Aku kini berada di ruangan utama kapel. Langit-langitnya begitu tinggi. Ada beberapa buah lampu hias berayun pelan. Di ujung ruangan, sebuah salib besar tergantung di dinding. Andra menarikku dengan paksa dan tak memedulikanku. Tak peduli sekuat apa pun aku meronta, cengkraman tangan Andra terlalu kuat. Aku sadar bahwa ini pertama kalinya ia mencengkram tanganku sekuat ini. Ia menarikku, membawaku ke depan altar. Di sana ia melepaskan cengkraman tangannya. Aku tercengang. Aku melihat ke arah salib besar, Yesus yang terpaku di salib itu, altar, dan kemudian Andra. Ia menatapku geram. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya.

“Kamu tahu, di depan pastorku, di depan teman-temanku, aku bisa bilang bahwa aku akan cari orang lain. Aku akan cari perempuan yang lain. Aku bisa bilang bahwa mereka benar, dan aku harus mengakhiri hubungan kita. Aku bisa tertunduk patuh dan mendengarkan kata-kata mereka!” ujar Andra tegas.

Andra tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir begitu saja.

“Tapi di depan Tuhanku, aku nggak bisa bohong kalau aku sayang sama kamu!” ujarnya.

Aku semakin tercengang. Kini air mataku ikut mengalir, dan aku tak dapat menahannya. Aku bisa merasakan tubuhku gemetaran. Aku melangkah mundur satu langkah dan punggungku menyentuh salah satu sisi bangku. Aku memegang erat sandaran bangku tersebut dengan tanganku yang gemetaran. Ucapan Andra seperti petir yang menyambarku secara tiba-tiba.

“Sekarang, di depan Tuhanku, aku akan bilang jujur. Aku sayang kamu,” ujarnya.

“Andra—“

“Kita nggak bisa berbohong di depan Tuhan. Kita nggak boleh membohongi Tuhan,” potongnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku juga tak bisa melakukan apa-apa selain menatapnya. Aku hanya diam saja ketika Andra mendekatiku dan akhirnya memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis di dalam pelukannya yang sudah cukup lama tak kudapatkan. Kehangatan ruang kecil yang ia buat dengan pelukannya itu kembali menyelimutiku, setelah cukup lama aku tak merasakannya. Pelukan itu membuatku merasa aman. Aku merindukan perasaan seperti ini. Begitu lama aku merindukannya.

Andra mengantarku sampai ambang pintu. Ia tersenyum padaku. Aku mengangguk dan membalas senyumannya, kemudian setengah berlari meninggalkan kapel, kembali masuk ke rumah sakit dan mencari jalan menuju pintu samping rumah sakit. Ponselku bergetar di dalam tasku. Ia pasti sudah cukup lama menungguku. Aku akhirnya menemukan pintu itu dan kulihat Kris ternyata telah menunggu di sana, berdiri di depan pintu. Sosok berjaket hitam itu tersenyum padaku, namun senyuman itu kemudian menghilang.

“Kamu habis nangis?” tanya Kris.

Aku mengangguk pelan.

“Ada apa?” tanyanya.

Nggak ada apa-apa,” jawabku.

“Hei, ada apa?” tanyanya.

Kris mengusap pipiku dengan jemarinya.

“Kamu nggak akan nangis kayak gini kalau nggak ada apa-apa. Perlu cerita sesuatu?” tanyanya.

Aku tersenyum kecil.

Cuman sedih aja. Kangen dengan sahabat-sahabatu. Udah lama nggak ketemu mereka. Sekalinya ketemu, kondisinya lagi sakit gini,” ujarku.

“Reyhan? Gimana kondisinya sekarang? Udah membaik?” tanya Kris.

“Jauh lebih baik, cuman dia masih harus pakai masker oksigen. Aku nggak tahu kenapa, padahal kelihatannya dia lebih nyaman kalau nggak pakai,” jawabku.

Kris meringis pelan.

“Biadab memang kelakuan oknum geng motor itu. Aku ikut geram loh waktu kamu ceritakan kejadiannya. Semoga pelakunya cepat tertangkap. Katanya sih polisi dapat lebih banyak ciri-ciri tentang pelakunya,” ujar Kris.

“Semoga cepat ditangkap pelakunya,” ujarku.


Kris kemudian memelukku dan menenangkanku. Sayangnya pelukan itu terasa berbeda. 

Tuesday, June 21, 2016

Happy Birthday

Hari terpanjang dan terpanas di bulan Mei. Cahaya matahari mencoba menelusup melalui celah kerai, lalu jatuh tepat di atas selimut putih yang menutupi setengah bagian tubuhku. Langit hari ini begitu cerah, begitu biru, terbiru yang pernah kulihat. Harusnya hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untukku, namun aku belajar untuk tidak terlalu banyak berharap. Ah, harapan. Siapa yang mau menaruh harapan para orang-orang yang pada akhirnya—dan selalu—tidak dapat diharapkan? Harapan besar, harapan kecil, tidak ada yang terpenuhi. Rasanya seperti duduk di pesawat dan berpikir bahwa satu jam telah berlalu, dan lalu kau sadar kau baru duduk selama 10 menit di dalam kabin pesawat dan masih ada sekitar satu jam dua puluh menit sebelum pesawat tiba di Singapura dan kau harus mengikuti prosedur imigrasi yang membosankan. Masker oksigen yang mereka pakaikan padaku tak ada gunanya sama sekali. Alih-alih membuatku merasa lebih baik, aku justru merasa sesak. Tercekik. Aku diberangus. Aku tak dapat bicara. Sebetulnya bisa saja aku bicara, namun rasanya malas untuk melepaskan masker tersebut dan memakainya kembali, hanya karena aku ingin suster membawakanku air minum atau meminta tolong kakakku mengganti saluran televisi. Aku hanya dapat melihat dan mendengar. Ya, mendengar tekanan orang-orang yang memaksaku untuk kembali pulih, tanpa memikirkan perjuanganku melawan apa yang menyerang tubuhku. Aku dengar mereka bercerita betapa bingungnya mereka ketika tidak tahu harus menceritakan keluh kesahnya pada siapa, tanpa mereka tahu apa yang kualami malam itu. Oh ya, mereka tak tahu bahwa aku diserang oleh dua orang oknum geng motor sepulang bertemu dengan teman-teman. Mereka hanya tahu aku ‘terjatuh’ dari motor. Toh kalau kuberitahu mereka kebenarannya, mereka akan menyalahkanku.

“Kenapa harus pulang lewat jalan itu?”

“Kenapa pulang terlalu larut?”

Bukan aku yang menentukan takdir. Mana kutahu jadinya akan begitu.

Sudah sekitar empat hari aku berada di ruangan putih ini, dan empat hari pula aku mendengar tekanan-tekanan tersebut. Tentang kuliah, tenang ayah yang merasa kesepian di rumah, tentang kakakku yang harus bolak-balik dari tempat kerjanya ke rumah sakit untuk menjagaku, tentang kakak iparku yang jadi kewalahan karena harus bergantian menjagaku dengan kakakku, sementara anaknya dititipkan pada orang tuanya. Tania tiba-tiba datang bersama kekasihnya kemarin. Ia bilang bahwa aku membuatnya khawatir.

“Kamu jangan buat aku khawatir!” ujarnya.

Aku tak memintanya untuk mengkhawatirkanku. Aku tak peduli apakah ia khawatir atau tidak padaku. Terkadang ucapan-ucapan seperti itu hanyalah selingan semata, diutarakan demi alasan kesopanan. Persetan dengan kesopanan! Dua hari yang lalu seorang suster begitu saja melepas jarum infus dari tanganku tanpa berkata apa pun dan itu membuatku terkejut sekaligus kesakitan. Malam harinya, mereka memasangkan masker oksigen padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Siapa bilang aku merasa sesak? Ya, aku tahu selama ini aku merasa sesak, aku muak, tapi jangan memberangusku dengan embel-embel bahwa berangus tersebut akan membuatku merasa lebih baik. Berangus tetaplah berangus. Anjing yang diberangus tidak dapat menggonggong bebas. Mereka pikir aku ini apa? Anjing? Atau, selama ini memang mereka menganggapku begitu, mendikteku untuk lebih banyak mendengarkan berbagai ocehan dan keluhan, tanpa berpikir bahwa aku memendam lebih banyak hal yang semakin hari semakin bertambah?

Jika ditiup terus menerus, balon akan meledak.

Mungkin aku akan berakhir seperti itu. Entahlah. Meledak. BUM!

Pagi ini, mas Eza dan mbak Alia datang menjengukku. Mereka membawa juga si kecil Dira. Ia mengenakan terusan berwarna biru, serupa dengan biru langit hari ini. Ia menyentuh jemariku dan mengusapnya pelan sambil memanggil namaku. Kali ini ia dapat mengucapkannya dengan lebih baik. Aku ingin sekali memanggil namanya, namun berangus ini menghalangiku. Mas Eza merapikan botol-botol air mineral yang ada di atas meja. Ayah masih sarapan di kantin rumah sakit dan belum sempat merapikan ruangan. Kakakku, istrinya, dan anaknya mengenakan baju yang tampak rapi. Oh, begitu menyebalkan! Di hari seperti ini, hanya mereka yang mengenakan baju yang bagus. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang katun yang disediakan pihak rumah sakit. Orang sakit tidak usah mengenakan pakaian yang bagus. Kau tahu, tidak ada salahnya jika pasien rumah sakit mengenakan pakaian ala rockabilly selama pakaian itu tetap membuatnya nyaman dan tidak mengganggu peralatan rumah sakit lainnya. Ah, aku jadi ingat kemarin malam Andra, Gea, dan Dilla mengunjungiku. Andra dan Dilla mengenakan jaket alumni yang kusukai. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos yang sama dan celana panjang katun yang sama, berbalut selimut. Mereka mengenakan pakaian yang bagus! Itu menyebalkan. Ketika aku ingin mengenakan sweter kesayanganku, mereka menyuruhku mengenakan saja apa yang ada. Bangsat!

Matahari semakin naik dan hari terasa semakin panas. Pengatur suhu ruangan? Tidak, aku tahu sepanas apa di luar sana. Panasnya seperti ketika kau berjalan kaki tanpa sepatu, menapaki trotoar panas di sepanjang Esplanade Bridge di Minggu siang yang cerah. Ayah sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang bagus pula. Semua orang mengenakan pakaian yang bagus. Ponselku kembali bergetar di atas meja. Sengaja tak kuperiksa karena aku jengah membaca pesan-pesan yang masuk. Di antara pesan-pesan “Selamat ulang tahun, Reyhan!”, ada beberapa pesan yang berisi keluhan tentang orang tua yang menyebalkan, tentang kekasih yang membosankan, tentang perkuliahan yang menyedihkan. Semua orang menceritakan keluh kesahnya padaku. Apa aku menceritakan keluh kesahku pada mereka? Tidak! Bagaimana bisa? Semuanya terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, tanpa menyisakan sedikit kapasitas di benaknya untuk mendengarkan keluh kesahku. Dan aku sendiri? Oh, aku bahkan tidak tahu harus mengeluh lagi atau tidak. Kapasitas benakku terisi penuh oleh keluhan-keluhan dan cerita orang lain. Aku bahkan tak punya ruang untuk diriku sendiri. Mau kutaruh di mana semua keluh kesahku? Di dalam tas? Di blog? Di dalam kantung cairan infus? Di balik rok suster?

Aku tak pernah berharap bahwa musibah itu akan terjadi padaku. Seandainya aku masih sehat, kurasa saat ini aku berada di Singapura, menghabiskan hari ulang tahunku dengan tidur siang di flat-ku dan menikmati dua porsi ramen bersama Rendra dan Du Fei di Trengganu Street. Ulang tahunku mungkin dirayakan dengan lebih mewah, tapi apa gunanya jika pada akhirnya setelah ucapan “Selamat ulang tahun, Reyhan!” itu hilang dari layar, tertutup barisan-barisan obrolan baru, muncul keluhan-keluhan lain dari orang-orang yang berbeda, tentang hal-hal yang berbeda. Orang tua yang menyebalkan. Pacar yang membosankan. Dunia perkuliahan yang menyedihkan. Mereka tak pernah menjadi diriku, Reyhan, yang selama ini mendapatkan tekanan yang—jika mereka jadi aku—mungkin mereka sudah memutuskan untuk bunuh diri. Oh, syukurlah aku hanya pernah ketahuan sedang melukai diri sendiri oleh Rendra dan Du Fei yang segera membawaku ke rumah sakit, dan beberapa minggu kemudian ayah datang dan menjengukku setelah Tania memberitahu ayah tentang hal tersebut. Lihat! Rahasiaku bahkan dibongkar!

Hidupku akan seperti apa, sepertinya aku tahu. Sampai kapan pun, kurasa aku memang tak akan pernah memiliki ruang untuk mengeluarkan keluh kesahku. Aku akan memendamnya terus, atau menyimpannya entah di suatu tempat yang kuanggap ada—meskipun tidak ada. Aku akan terus berpura-pura baik-baik saja dan hanya akan mengeluhkan hal-hal kecil, membuat orang lain berpikir bahwa hidupku jauh lebih baik daripada hidupnya, meskipun sebenarnya aku sudah terlalu bungkuk karena beban di pundakku begitu berat. Pukul satu lebih tiga puluh menit tepat. Semua orang berkumpul di ruangan putih ini. Ayah, mas Eza, mbak Alia, si kecil Dira, dan teman-temanku, Andra, Gea, Dilla, Evan, Ezra, Riani, bahkan Tania dengan kekasihnya. Ruangan ini jadi terasa sesak. Volume oksigennya berkurang dengan cepat. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah muak. Aku ingin bebas, ingin melepaskan semua bebanku. Mas Eza mendorong meja ke depanku dan meletakkan sebuah kue ulang tahun di atasnya. Ada beberapa buah lilin yang belum menyala, di letakkan di antara tulisan “Happy birthday, Reyhan” yang ditulis dengan krim cokelat. Mas Eza lalu menyalakan lilin-lilin tersebut dan kemudian, semua orang mulai menyanyikan lagu untukku sambil bertepuk tangan. Setelah lagu berakhir, mbak Alia memintaku untuk meniup lilin-lilin tersebut. 

Kulepas masker oksigen yang menutupi wajahku. Kutatap semua orang yang ada di ruangan, tepat di mata mereka. Aku tersenyum kecil.

“Terima kasih banyak, semuanya,” ujarku pelan.

Kucondongkan tubuhku ke arah kue ulang tahunku. Dengan cepat, kudekatkan masker oksigenku ke arah mulutku dan kucabut dua buah lilin dari kue. Aku melihat tajam ke arah dua lilin tersebut dan aku tahu semua orang melihatku dengan tatapan terkejut. Sebelum siapa pun dapat menghentikanku, kuarahkan kedua lilin yang masih menyala tersebut ke dekat mulutku. Kututup mataku dan kudengar suara berdesis. Kudengar mereka semua berteriak panik dan setelah itu, sesuatu meledak hebat dari samping kiriku. Ada panas yang mengenai kepala dan tubuhku, dan di antara sisa teriakan dan suara ledakan tersebut, aku dapat mendengar tawaku dengan jelas. Ada benda panas yang menancap di leherku dan aku tak lagi mendengar suara tawaku.

Panas yang tadinya menyiksa kulitku kemudian berubah menjadi rasa sejuk. Seseorang mengguncang-guncangkan tanganku. Kubuka mataku dan kusadari aku masih berada di ruangan putih yang sama.

“Reyhan! Bangun!”

Mas Eza dan mbak Alia berdiri di samping kananku, Mereka tampak cemas. Aku bermandikan peluh. Di tangan kiriku, selang infus masih tertancap. Kakakku melepaskan masker oksigenku. Aku dapat bernapas lebih lega, jauh lebih lega setelah masker itu ia lepaskan.

“Kamu mimpi buruk, ya?” tanyanya.

Mbak Alia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang membasahi wajahku. Ia menyentuh dahiku dan mengernyitkan dahinya.

“Demamnya naik lagi,” ujarnya.

Aku menatap kosong kakakku dan istrinya. Ponselku tiba-tiba berdering. Ada pemberitahuan mengenai ulang tahunku. Ponsel kakakku pun berdering. Ia kemudian melihatku dan tersenyum.

“Selamat ulang tahun, Reyhan. Cepat sembuh,” ujarnya seraya mengusap rambutku.

“Selamat ya, Reyhan,” sambung kakak iparku.


Aku tersenyum kaku. Kupalingkan tatapanku ke arah kiri. Tabung oksigen itu berada disana.