Pages

Wednesday, June 29, 2016

Chapel

Cuaca hari ini cukup cerah. Berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Akhir-akhir ini cuaca memang tak menentu. Aku tak pernah berharap banyak pada langit. Ia bisa berubah-ubah begitu saja. Seperti suasana hati, atau perasaan, bisa berubah begitu saja. Tak ada yang benar-benar pasti dalam hidup. Bahkan untuk sesuatu yang sebelumnya kuyakin akan terjadi pun, kenyataannya tak pernah terjadi.

“Gea?”

Aku menoleh ke samping kiriku. Seorang perempuan seusiaku tersenyum padaku. Ia didampingi oleh laki-laki, kurasa sekitar setahun lebih tua darinya, berperawakan tinggi besar. Aku mengernyitkan dahiku. Ia adalah salah satu teman Reyhan yang ia kenal di SMA. Aku pun mengenalnya, namun tak begitu akrab dengannya.

“Eh, Tania,” jawabku seraya tersenyum.

“Mau ke Reyhan juga?” tanyanya.

“Ya. Kamu juga?” tanyaku.

“Ya. Hari ini ulang tahun ‘kan dia,” jawabnya.

Aku mengangguk pelan. Pria yang bersamanya—kurasa kekasihnya—membawa semacam parsel berisi buah-buahan dan biskuit. Jika benar ia adalah kekasihnya, ini adalah pertama kalinya aku melihat Tania dan kekasihnya yang pernah Reyhan ceritakan padaku beberapa bulan yang lalu. Ia sempat menyukai Tania, namun semuanya tak berjalan seperti yang ia harapkan. Aku bahkan merasa bahwa Reyhan sekarang justru membencinya. Bukan karena ia cemburu, tetapi karena hal lain yang aku sendiri belum tahu pasti. Pintu lift terbuka dan kami pun segera masuk. Di dalam lift hanya ada kami bertiga. Tak ada obrolan di antara kami, kecuali pria itu yang bertanya pada Tania mengenai lokasi kecelakaan yang menimpa sahabatku. Sejujurnya, pertanyaan itu membuatku kesal. Aku curiga ia tak benar-benar bertanya; ia hanya mencoba pura-pura peduli.

Pintu lift terbuka dan seseorang berdiri di depan pintu. Ia menundukkan kepalanya, menatap layar ponsel yang ia pegang. Aku meringis dan segera keluar dari lift, namun sialnya orang itu menyadari keberadaanku dan memanggil namaku.

“Gea!”

Aku berbalik. Ia kini telah berada di dalam kapsul lift. Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam lift, sehingga aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Ia memintaku menunggunya, namun aku tak akan menunggunya di depan lift. Aku akan masuk menemui Reyhan terlebih dahulu. Untuk apa aku menunggunya? Untuk apa aku harus mengulang kejadian yang sama, yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu? Menunggu di depan pintu besar itu selama sekitar satu jam, berada di tengah ketidakpastian, dan pada akhirnya menghadapi kenyataan pahit yang membuat langitku semakin mendung. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyebutkan kalimat itu yang sampai sekarang masih kuingat jelas. Kalimat itu bergema di benakku selama berminggu-minggu, membuatku harus mengunjungi Dilla untuk menangis. Tania dan kekasihnya terlebih dahulu masuk ke ruangan. Aku menunggu selama sekitar satu menit sebelum akhirnya masuk ke ruangan. Di dalam ruangan telah ada banyak orang, termasuk Dilla dan beberapa orang teman Reyhan yang lain. Dira, keponakan Reyhan, kini telah tumbuh besar. Terakhir kali aku melihatnya, gadis itu masih didudukkan di kereta bayi.

“Hai, Gea,” ujar Reyhan. Suaranya terdengar aneh karena terhalang masker oksigen.

“Reyhan. Apa kabar?” tanyaku.

Sorry. Aku keliatan lemes banget pasti,” ujarnya.

Nggak apa-apa, Rey. Namanya juga lagi sakit,” jawabku.

“Aku kangen kamu. Kita baru ketemu lagi sekarang. Sekalinya ketemu, aku malah kayak gini,” ujarnya.

“Yang penting bisa ketemu, Rey. Nanti kalau kamu udah sembuh, kita bisa ngopi bareng lagi,” ujarku.

“Oh, ya. Andra juga udah datang. Kamu udah ketemu dia? Tadi dia bilang mau beli sesuatu dulu,” ujar Reyhan.

“Ya, tadi aku ketemu dia di lift,” jawabku.

Dilla mengobrol denganku ketika teman-teman Reyhan yang lain mengobrol dengannya. Kesibukkan kami membuat kami tak bisa bertemu sesering dulu. Dilla juga saat ini sedang menjalankan bisnis kecil di bidang pakaian. Ia pasti sangat sibuk.

“Main lah sesekali ke rumah,” ujar Dilla.

“Ya. Aku nanti main lagi deh ke rumah. Udah lama nggak ke sana,” jawabku.

“Aku jadi inget loh kita dulu maraton film seharian. Itu waktu kamu nginep di rumahku,” kenang Dilla.

“Maratonnya kepotong curhat. Filmnya cuman satu jam, tapi selesainya jadi tiga jam gara-gara kita curhat dua jam,” sambungku.

Pake acara nangis dulu satu jam lagi,” tambah Dilla.

“Oh ya, kamu masih sama dia?” tanyaku.

Udah nggak. Sekarang kebongkar semua tentang dia. Selama ini ternyata dia udah punya pacar, dan nggak hanya satu,” jawab Dilla.

“Wah? Kenapa nggak cerita ih!” aku terkejut.

“Ceritanya panjang deh! Kayaknya kamu emang harus nginep lagi di rumah deh,” jawabnya.

Pintu kamar terbuka dan kulihat sosok Andra memasuki ruangan. Aku meringis pelan. Dilla yang tahu apa yang terjadi padaku segera mengusap bahuku.

“Masih kesel ya, Ge?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

Nggak tahu, Dil. Aku bingung sama perasaanku sendiri,” jawabku.

Udah sekitar 3 tahun sejak kejadian itu. Hubungan kalian bahkan lebih lama dari itu,” ujar Dilla.

“Rasanya baru kemarin,” ujarku.

Perayaan ulang tahun untuk Reyhan pun dimulai. Semua orang tampak gembira, kecuali Reyhan yang tampak tak ceria seperti biasanya. Bukan, bukan karena ia sedang sakit. Aku mengenalnya dengan baik. Pasti ada sesuatu yang membuatnya murung. Ia melepaskan masker oksigennya sesaat untuk meniup lilin ulang tahunnya. Ia kemudian mengenakannya lagi. Tempat tidurnya dinaikkan agar ia tetap dapat bersandar sambil duduk. Ia tak mau memakan kue ulang tahunnya sehingga potongan pertama kue itu ia berikan untuk ayahnya. Potongan kedua ia berikan untuk kakaknya dan potongan ketiga untuk kakak iparnya. Ia mendapatkan beberapa hadiah ulang tahun, tertumpuk rapi di atas meja, di dekat televisi. Ketika orang-orang sedang asyik menikmati kue, aku menangkap tatapan Reyhan yang seolah-olah memberi tahuku sesuatu. Lebih tepatnya, mungkin ia meminta tolong. Meminta tolong untuk dibawa pergi dari ruangan ini. Meminta kebebasan. Reyhan terkekang.

Satu per satu, teman-teman Reyhan mulai berpamitan. Aku dapat melihat ekspresi lega di wajah Reyhan ketika Tania pamit bersama pria itu. Aku tahu Reyhan pasti merasa sangat lega. Ia pasti jengah melihat Tania bersama pria itu. Ia pasti tak menyukai mereka. Andra pamit sekitar 10 menit setelah Tania pulang, disusul dengan Dilla yang sudah dijemput oleh temannya, 5 menit setelah Andra pulang.

“Gea, mau makanan?” tanya Reyhan pelan.

Udah makan tadi. Kamu nggak mau makanan apa gitu?” tanyaku.

Reyhan menggeleng pelan.

“Semuanya udah diatur. Aku gak bisa makan apa yang aku pengen,” ujarnya.

“Biskuit?” tanyaku.

Nggak. Waktu itu aku mau makan biskuit, tapi dimarahin mas Eza,” jawabnya.

Aku yakin mas Eza mendengarnya, namun ia berpura-pura tak mendengarnya dan justru sibuk mengobrol dengan istrinya. Arlojiku menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh enam menit. Aku pun pamit pada Reyhan dan keluarganya, serta dua orang temannya yang masih berkunjung. Reyhan kembali menatapku dengan tatapan itu, dan aku berjanji pada diriku sendiri malam ini aku harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku turun ke lantai dasar menggunakan lift. Setelah itu, aku berniat untuk keluar dari rumah sakit melalui pintu yang lain, namun justru tersasar ke koridor yang menghubungkan rumah sakit dengan kapel yang berada di belakangnya. Koridor ini sangat sepi. Ada sebuah pintu menuju ruangan remang dengan tangga antik, dan aku agak merinding melihatnya. Tiba di ujung koridor, aku melihat ke arah kanan, ke arah pintu kapel yang terbuka. Di antara barisan bangku-bangku gereja, aku melihat seseorang yang kukenal, sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Aku segera berbalik sebelum ia melihatku, namun lagi-lagi ia melihatku dan memanggil namaku. Aku terpaksa berbalik. Kulihat ia bangkit dari bangku dan berjalan menuju ambang pintu. Ia terhenti di sana dan menatapku.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya.

“Aku kesasar. Mau keluar lewat pintu samping,” jawabku.

“Kalau lewat sini nggak bisa. Ini daerah kapel. Kamu harus masuk lagi dan agak mutar,” ujarnya.

“Ah, ya. Aku masuk lagi kalau gitu,” ujarku.

“Gea, tunggu!”

Aku tertahan, sama seperti ketika ia menahanku. Ia menahanku dengan kata-kata, bukan dengan sentuhan atau genggaman tangan. Ia menahanku dengan cara yang sama yang ia lakukan tiga tahun yang lalu, di depan katedral. Kami terpisah sekitar beberapa meter. Tubuhnya bahkan tak melewati ambang pintu kapel.

“Ada apa? Aku buru-buru,” ujarku.

“Aku minta maaf,” ujarnya.

Andra kemudian menghampiriku. Aku baru menyadari bahwa matanya berkaca-kaca. Kini kami berdiri saling berhadapan, hanya terpisah jarak sekitar dua meter.

“Minta maaf? Untuk?” tanyaku.

“Aku minta maaf karena bikin kamu sakit hati dan kecewa,” jawabnya.

“Untuk apa? Andra, tiga tahun. Udah tiga tahun dan semuanya udah terjadi,” ujarku.

“Aku masih nggak bisa lupain kejadian itu, Ge. Aku minta maaf. Aku ngerasa... Aku ngerasa bodoh. Seharusnya aku nggak—“

Nggak apa? Nggak mutusin aku? Nggak menyudahi hubungan kita? Nggak pacaran sama aku sama sekali? Kamu sendiri ‘kan yang bilang waktu itu kalau kamu percaya bahwa apa yang pastor dan teman-teman kamu bilang itu benar?” potongku.

“Aku minta maaf, Gea! Waktu itu keadaannya serba salah. Teman-temanku bilang kalau aku seharusnya cari pacar yang seiman. Pastorku juga dulu menyarankan untuk cari pacar yang seiman. Keadaannya sulit. Banyak orang yang nyudutin posisiku. Aku juga dapat banyak tekanan,” jelas Andra.

“Aku juga harus menghadapi situasi yang sulit, Dra! Kamu pikir aku nggak dengar omongan orang-orang tentang kita? Kamu pikir aku nggak tahu bahwa ada pihak-pihak yang nggak setuju dengan hubungan kita? Kamu pikir aku nggak ngerasa sakit setiap kali aku dengar orang-orang bicara tentang hubungan beda agama?” balasku.

“Kamu jadi sakit hati gara-gara aku, Ge. Kamu tahu, setiap kali aku ingat tentang kamu, aku ngerasa berdosa. Aku ngerasa sedih. Aku marah sama diriku sendiri,” ujar Andra.

“Buat apa marah sama diri sendiri? Andra, semuanya udah terjadi. Udah lewat. Nggak ada gunanya kamu marah. Nggak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita. Andra, kita cuman temenan sekarang. Kita cuman sahabatan. Masa-masa pacaran yang dulu kita lalui bareng, itu cuman fase aja. Itu cuman bagian dari kenangan masa SMP dan SMA,” tegasku.

“Dan kamu dengan mudahnya melupakan itu semua? Ge, lima tahun kita pacaran, dari SMP sampai semester awal kuliah. Kamu lupain itu semua, seolah-olah semua itu nggak berharga?” tanya Andra kecewa.

“Andra, kamu tahu, ada beberapa hal yang lebih pantas dilupakan atau nggak diingat sama sekali. Kenapa? Karena setiap kali aku ingat lima tahun kebersamaan kita, aku ngerasa sakit. Sakit hati. Aku udah muak dengan rasa sakit kayak gitu. Aku capek nangis berhari-hari. Aku nggak mau lagi ingat kenangan itu,” ujarku geram.

“Gea! Kamu nggak—“

“Aku muak sama kamu, Andra!” bentakku.

Andra terkejut. Ia menatapku tak percaya. Aku tak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Setelah putus, kami tak pernah berbicara lagi. Kami baru mulai berbicara kembali beberapa bulan yang lalu. Itu pun Andra yang menghubungiku, menanyakan kabarku dan kabar keluargaku. Aku tak banyak membalas pertanyaannya. Aku sudah jengah.

“Pastor dan teman-teman kamu benar. Kamu harus dengerin mereka! Aku ini bukan buat kamu! Kamu harus cari orang lain! Aku bukan orang yang tepat buat kamu! Jangan coba kontak aku lagi, dan kamu harusnya menyesal karena pernah jatuh cinta sama orang yang salah!” bentakku.

Bibir Andra bergetar. Wajahnya memerah. Matanya menyipit. Aku tahu seperti apa Andra ketika ia mulai marah. Tangannya bahkan sudah terkepal, dan ia menahannya sekuat mungkin. Aku terkejut karena ia tiba-tiba mencengkram tanganku dan menariknya. Ia menarikku masuk ke dalam kapel, tanpa mengatakan apa pun. Aku kini berada di ruangan utama kapel. Langit-langitnya begitu tinggi. Ada beberapa buah lampu hias berayun pelan. Di ujung ruangan, sebuah salib besar tergantung di dinding. Andra menarikku dengan paksa dan tak memedulikanku. Tak peduli sekuat apa pun aku meronta, cengkraman tangan Andra terlalu kuat. Aku sadar bahwa ini pertama kalinya ia mencengkram tanganku sekuat ini. Ia menarikku, membawaku ke depan altar. Di sana ia melepaskan cengkraman tangannya. Aku tercengang. Aku melihat ke arah salib besar, Yesus yang terpaku di salib itu, altar, dan kemudian Andra. Ia menatapku geram. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya.

“Kamu tahu, di depan pastorku, di depan teman-temanku, aku bisa bilang bahwa aku akan cari orang lain. Aku akan cari perempuan yang lain. Aku bisa bilang bahwa mereka benar, dan aku harus mengakhiri hubungan kita. Aku bisa tertunduk patuh dan mendengarkan kata-kata mereka!” ujar Andra tegas.

Andra tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir begitu saja.

“Tapi di depan Tuhanku, aku nggak bisa bohong kalau aku sayang sama kamu!” ujarnya.

Aku semakin tercengang. Kini air mataku ikut mengalir, dan aku tak dapat menahannya. Aku bisa merasakan tubuhku gemetaran. Aku melangkah mundur satu langkah dan punggungku menyentuh salah satu sisi bangku. Aku memegang erat sandaran bangku tersebut dengan tanganku yang gemetaran. Ucapan Andra seperti petir yang menyambarku secara tiba-tiba.

“Sekarang, di depan Tuhanku, aku akan bilang jujur. Aku sayang kamu,” ujarnya.

“Andra—“

“Kita nggak bisa berbohong di depan Tuhan. Kita nggak boleh membohongi Tuhan,” potongnya.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku juga tak bisa melakukan apa-apa selain menatapnya. Aku hanya diam saja ketika Andra mendekatiku dan akhirnya memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis di dalam pelukannya yang sudah cukup lama tak kudapatkan. Kehangatan ruang kecil yang ia buat dengan pelukannya itu kembali menyelimutiku, setelah cukup lama aku tak merasakannya. Pelukan itu membuatku merasa aman. Aku merindukan perasaan seperti ini. Begitu lama aku merindukannya.

Andra mengantarku sampai ambang pintu. Ia tersenyum padaku. Aku mengangguk dan membalas senyumannya, kemudian setengah berlari meninggalkan kapel, kembali masuk ke rumah sakit dan mencari jalan menuju pintu samping rumah sakit. Ponselku bergetar di dalam tasku. Ia pasti sudah cukup lama menungguku. Aku akhirnya menemukan pintu itu dan kulihat Kris ternyata telah menunggu di sana, berdiri di depan pintu. Sosok berjaket hitam itu tersenyum padaku, namun senyuman itu kemudian menghilang.

“Kamu habis nangis?” tanya Kris.

Aku mengangguk pelan.

“Ada apa?” tanyanya.

Nggak ada apa-apa,” jawabku.

“Hei, ada apa?” tanyanya.

Kris mengusap pipiku dengan jemarinya.

“Kamu nggak akan nangis kayak gini kalau nggak ada apa-apa. Perlu cerita sesuatu?” tanyanya.

Aku tersenyum kecil.

Cuman sedih aja. Kangen dengan sahabat-sahabatu. Udah lama nggak ketemu mereka. Sekalinya ketemu, kondisinya lagi sakit gini,” ujarku.

“Reyhan? Gimana kondisinya sekarang? Udah membaik?” tanya Kris.

“Jauh lebih baik, cuman dia masih harus pakai masker oksigen. Aku nggak tahu kenapa, padahal kelihatannya dia lebih nyaman kalau nggak pakai,” jawabku.

Kris meringis pelan.

“Biadab memang kelakuan oknum geng motor itu. Aku ikut geram loh waktu kamu ceritakan kejadiannya. Semoga pelakunya cepat tertangkap. Katanya sih polisi dapat lebih banyak ciri-ciri tentang pelakunya,” ujar Kris.

“Semoga cepat ditangkap pelakunya,” ujarku.


Kris kemudian memelukku dan menenangkanku. Sayangnya pelukan itu terasa berbeda. 

Tuesday, June 21, 2016

Happy Birthday

Hari terpanjang dan terpanas di bulan Mei. Cahaya matahari mencoba menelusup melalui celah kerai, lalu jatuh tepat di atas selimut putih yang menutupi setengah bagian tubuhku. Langit hari ini begitu cerah, begitu biru, terbiru yang pernah kulihat. Harusnya hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untukku, namun aku belajar untuk tidak terlalu banyak berharap. Ah, harapan. Siapa yang mau menaruh harapan para orang-orang yang pada akhirnya—dan selalu—tidak dapat diharapkan? Harapan besar, harapan kecil, tidak ada yang terpenuhi. Rasanya seperti duduk di pesawat dan berpikir bahwa satu jam telah berlalu, dan lalu kau sadar kau baru duduk selama 10 menit di dalam kabin pesawat dan masih ada sekitar satu jam dua puluh menit sebelum pesawat tiba di Singapura dan kau harus mengikuti prosedur imigrasi yang membosankan. Masker oksigen yang mereka pakaikan padaku tak ada gunanya sama sekali. Alih-alih membuatku merasa lebih baik, aku justru merasa sesak. Tercekik. Aku diberangus. Aku tak dapat bicara. Sebetulnya bisa saja aku bicara, namun rasanya malas untuk melepaskan masker tersebut dan memakainya kembali, hanya karena aku ingin suster membawakanku air minum atau meminta tolong kakakku mengganti saluran televisi. Aku hanya dapat melihat dan mendengar. Ya, mendengar tekanan orang-orang yang memaksaku untuk kembali pulih, tanpa memikirkan perjuanganku melawan apa yang menyerang tubuhku. Aku dengar mereka bercerita betapa bingungnya mereka ketika tidak tahu harus menceritakan keluh kesahnya pada siapa, tanpa mereka tahu apa yang kualami malam itu. Oh ya, mereka tak tahu bahwa aku diserang oleh dua orang oknum geng motor sepulang bertemu dengan teman-teman. Mereka hanya tahu aku ‘terjatuh’ dari motor. Toh kalau kuberitahu mereka kebenarannya, mereka akan menyalahkanku.

“Kenapa harus pulang lewat jalan itu?”

“Kenapa pulang terlalu larut?”

Bukan aku yang menentukan takdir. Mana kutahu jadinya akan begitu.

Sudah sekitar empat hari aku berada di ruangan putih ini, dan empat hari pula aku mendengar tekanan-tekanan tersebut. Tentang kuliah, tenang ayah yang merasa kesepian di rumah, tentang kakakku yang harus bolak-balik dari tempat kerjanya ke rumah sakit untuk menjagaku, tentang kakak iparku yang jadi kewalahan karena harus bergantian menjagaku dengan kakakku, sementara anaknya dititipkan pada orang tuanya. Tania tiba-tiba datang bersama kekasihnya kemarin. Ia bilang bahwa aku membuatnya khawatir.

“Kamu jangan buat aku khawatir!” ujarnya.

Aku tak memintanya untuk mengkhawatirkanku. Aku tak peduli apakah ia khawatir atau tidak padaku. Terkadang ucapan-ucapan seperti itu hanyalah selingan semata, diutarakan demi alasan kesopanan. Persetan dengan kesopanan! Dua hari yang lalu seorang suster begitu saja melepas jarum infus dari tanganku tanpa berkata apa pun dan itu membuatku terkejut sekaligus kesakitan. Malam harinya, mereka memasangkan masker oksigen padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Siapa bilang aku merasa sesak? Ya, aku tahu selama ini aku merasa sesak, aku muak, tapi jangan memberangusku dengan embel-embel bahwa berangus tersebut akan membuatku merasa lebih baik. Berangus tetaplah berangus. Anjing yang diberangus tidak dapat menggonggong bebas. Mereka pikir aku ini apa? Anjing? Atau, selama ini memang mereka menganggapku begitu, mendikteku untuk lebih banyak mendengarkan berbagai ocehan dan keluhan, tanpa berpikir bahwa aku memendam lebih banyak hal yang semakin hari semakin bertambah?

Jika ditiup terus menerus, balon akan meledak.

Mungkin aku akan berakhir seperti itu. Entahlah. Meledak. BUM!

Pagi ini, mas Eza dan mbak Alia datang menjengukku. Mereka membawa juga si kecil Dira. Ia mengenakan terusan berwarna biru, serupa dengan biru langit hari ini. Ia menyentuh jemariku dan mengusapnya pelan sambil memanggil namaku. Kali ini ia dapat mengucapkannya dengan lebih baik. Aku ingin sekali memanggil namanya, namun berangus ini menghalangiku. Mas Eza merapikan botol-botol air mineral yang ada di atas meja. Ayah masih sarapan di kantin rumah sakit dan belum sempat merapikan ruangan. Kakakku, istrinya, dan anaknya mengenakan baju yang tampak rapi. Oh, begitu menyebalkan! Di hari seperti ini, hanya mereka yang mengenakan baju yang bagus. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang katun yang disediakan pihak rumah sakit. Orang sakit tidak usah mengenakan pakaian yang bagus. Kau tahu, tidak ada salahnya jika pasien rumah sakit mengenakan pakaian ala rockabilly selama pakaian itu tetap membuatnya nyaman dan tidak mengganggu peralatan rumah sakit lainnya. Ah, aku jadi ingat kemarin malam Andra, Gea, dan Dilla mengunjungiku. Andra dan Dilla mengenakan jaket alumni yang kusukai. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos yang sama dan celana panjang katun yang sama, berbalut selimut. Mereka mengenakan pakaian yang bagus! Itu menyebalkan. Ketika aku ingin mengenakan sweter kesayanganku, mereka menyuruhku mengenakan saja apa yang ada. Bangsat!

Matahari semakin naik dan hari terasa semakin panas. Pengatur suhu ruangan? Tidak, aku tahu sepanas apa di luar sana. Panasnya seperti ketika kau berjalan kaki tanpa sepatu, menapaki trotoar panas di sepanjang Esplanade Bridge di Minggu siang yang cerah. Ayah sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang bagus pula. Semua orang mengenakan pakaian yang bagus. Ponselku kembali bergetar di atas meja. Sengaja tak kuperiksa karena aku jengah membaca pesan-pesan yang masuk. Di antara pesan-pesan “Selamat ulang tahun, Reyhan!”, ada beberapa pesan yang berisi keluhan tentang orang tua yang menyebalkan, tentang kekasih yang membosankan, tentang perkuliahan yang menyedihkan. Semua orang menceritakan keluh kesahnya padaku. Apa aku menceritakan keluh kesahku pada mereka? Tidak! Bagaimana bisa? Semuanya terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, tanpa menyisakan sedikit kapasitas di benaknya untuk mendengarkan keluh kesahku. Dan aku sendiri? Oh, aku bahkan tidak tahu harus mengeluh lagi atau tidak. Kapasitas benakku terisi penuh oleh keluhan-keluhan dan cerita orang lain. Aku bahkan tak punya ruang untuk diriku sendiri. Mau kutaruh di mana semua keluh kesahku? Di dalam tas? Di blog? Di dalam kantung cairan infus? Di balik rok suster?

Aku tak pernah berharap bahwa musibah itu akan terjadi padaku. Seandainya aku masih sehat, kurasa saat ini aku berada di Singapura, menghabiskan hari ulang tahunku dengan tidur siang di flat-ku dan menikmati dua porsi ramen bersama Rendra dan Du Fei di Trengganu Street. Ulang tahunku mungkin dirayakan dengan lebih mewah, tapi apa gunanya jika pada akhirnya setelah ucapan “Selamat ulang tahun, Reyhan!” itu hilang dari layar, tertutup barisan-barisan obrolan baru, muncul keluhan-keluhan lain dari orang-orang yang berbeda, tentang hal-hal yang berbeda. Orang tua yang menyebalkan. Pacar yang membosankan. Dunia perkuliahan yang menyedihkan. Mereka tak pernah menjadi diriku, Reyhan, yang selama ini mendapatkan tekanan yang—jika mereka jadi aku—mungkin mereka sudah memutuskan untuk bunuh diri. Oh, syukurlah aku hanya pernah ketahuan sedang melukai diri sendiri oleh Rendra dan Du Fei yang segera membawaku ke rumah sakit, dan beberapa minggu kemudian ayah datang dan menjengukku setelah Tania memberitahu ayah tentang hal tersebut. Lihat! Rahasiaku bahkan dibongkar!

Hidupku akan seperti apa, sepertinya aku tahu. Sampai kapan pun, kurasa aku memang tak akan pernah memiliki ruang untuk mengeluarkan keluh kesahku. Aku akan memendamnya terus, atau menyimpannya entah di suatu tempat yang kuanggap ada—meskipun tidak ada. Aku akan terus berpura-pura baik-baik saja dan hanya akan mengeluhkan hal-hal kecil, membuat orang lain berpikir bahwa hidupku jauh lebih baik daripada hidupnya, meskipun sebenarnya aku sudah terlalu bungkuk karena beban di pundakku begitu berat. Pukul satu lebih tiga puluh menit tepat. Semua orang berkumpul di ruangan putih ini. Ayah, mas Eza, mbak Alia, si kecil Dira, dan teman-temanku, Andra, Gea, Dilla, Evan, Ezra, Riani, bahkan Tania dengan kekasihnya. Ruangan ini jadi terasa sesak. Volume oksigennya berkurang dengan cepat. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah muak. Aku ingin bebas, ingin melepaskan semua bebanku. Mas Eza mendorong meja ke depanku dan meletakkan sebuah kue ulang tahun di atasnya. Ada beberapa buah lilin yang belum menyala, di letakkan di antara tulisan “Happy birthday, Reyhan” yang ditulis dengan krim cokelat. Mas Eza lalu menyalakan lilin-lilin tersebut dan kemudian, semua orang mulai menyanyikan lagu untukku sambil bertepuk tangan. Setelah lagu berakhir, mbak Alia memintaku untuk meniup lilin-lilin tersebut. 

Kulepas masker oksigen yang menutupi wajahku. Kutatap semua orang yang ada di ruangan, tepat di mata mereka. Aku tersenyum kecil.

“Terima kasih banyak, semuanya,” ujarku pelan.

Kucondongkan tubuhku ke arah kue ulang tahunku. Dengan cepat, kudekatkan masker oksigenku ke arah mulutku dan kucabut dua buah lilin dari kue. Aku melihat tajam ke arah dua lilin tersebut dan aku tahu semua orang melihatku dengan tatapan terkejut. Sebelum siapa pun dapat menghentikanku, kuarahkan kedua lilin yang masih menyala tersebut ke dekat mulutku. Kututup mataku dan kudengar suara berdesis. Kudengar mereka semua berteriak panik dan setelah itu, sesuatu meledak hebat dari samping kiriku. Ada panas yang mengenai kepala dan tubuhku, dan di antara sisa teriakan dan suara ledakan tersebut, aku dapat mendengar tawaku dengan jelas. Ada benda panas yang menancap di leherku dan aku tak lagi mendengar suara tawaku.

Panas yang tadinya menyiksa kulitku kemudian berubah menjadi rasa sejuk. Seseorang mengguncang-guncangkan tanganku. Kubuka mataku dan kusadari aku masih berada di ruangan putih yang sama.

“Reyhan! Bangun!”

Mas Eza dan mbak Alia berdiri di samping kananku, Mereka tampak cemas. Aku bermandikan peluh. Di tangan kiriku, selang infus masih tertancap. Kakakku melepaskan masker oksigenku. Aku dapat bernapas lebih lega, jauh lebih lega setelah masker itu ia lepaskan.

“Kamu mimpi buruk, ya?” tanyanya.

Mbak Alia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang membasahi wajahku. Ia menyentuh dahiku dan mengernyitkan dahinya.

“Demamnya naik lagi,” ujarnya.

Aku menatap kosong kakakku dan istrinya. Ponselku tiba-tiba berdering. Ada pemberitahuan mengenai ulang tahunku. Ponsel kakakku pun berdering. Ia kemudian melihatku dan tersenyum.

“Selamat ulang tahun, Reyhan. Cepat sembuh,” ujarnya seraya mengusap rambutku.

“Selamat ya, Reyhan,” sambung kakak iparku.


Aku tersenyum kaku. Kupalingkan tatapanku ke arah kiri. Tabung oksigen itu berada disana. 

Sunday, April 17, 2016

Making Up

Dengan terburu-buru Alia mengambil kunci mobil dari atas meja kerjaku. Ia kemudian memanggil namaku dengan tegas dan pergi. Aku meringis kesal. Kumatikan komputerku dan aku pergi mengejar Alia. Ia baru saja masuk ke mobil dan menutup pintu dengan kasar. Aku menyusulnya, masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya. Ia tampak sangat kesal. Ia tak pernah merengut seperti ini. Tapi asal ia tahu saja, aku pun sudah cukup kesal dengan semua keluhannya.

“Dira nggak boleh dengar kita berantem,” ujar Alia.

“Apa lagi sih yang mau kamu keluhkan?” tanyaku kesal.

Alia tak menjawab. Ia hanya duduk kaku, melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Sekarang kamu nggak jawab apa-apa. Gimana aku tahu apa yang kamu permasalahkan?” tanyaku.

“Dari satu minggu, berapa banyak waktu yang kamu punya yang bisa kamu luangkan buat aku dan Dira?” tanya Alia sinis.

“Kerjaanku sekarang-sekarang ini memang lagi padat. Aku minta kamu paham,” tegasku.

“Kamu minta aku paham? Udah tiga minggu kamu pulang larut malam, bahkan di akhir pekan. Waktu aku minta tolong kamu antar aku belanja kebutuhan bulanan, kamu bilang nggak bisa. Waktu aku bilang Dira ingin main, kamu bilang kamu nggak bisa nemenin karena kamu sibuk. Aku capek sama kamu dan kesibukan kamu!” jawab Alia.

“Aku ‘kan udah bilang, aku nggak bisa antar kamu karena aku ada rapat. Soal Dira yang ingin jalan-jalan, minggu kemarin ‘kan aku udah ajak kalian main,” jelasku.

Quality time bersama keluarga cuman satu jam. Setelah itu kamu balik lagi ke kantor dan aku terpaksa pulang sendiri sama Dira. Itu maksud kamu?” balasnya ketus.

Seenggaknya aku berusaha buat ada untuk kalian. Aku minta kamu hargai usaha aku. Kenapa susah banget sih hargai usaha aku? Kamu sendiri banyak ngeluh. Arisan kompleks lah, tagihan ini itu lah, sampai urusan sofa kamu keluhkan juga,” jawabku.

“Kamu sadar nggak sih satu minggu kemarin jaringan internet di rumah bermasalah? Kamu juga sadar nggak sih kalau selama ini bak cuci dapur bocor? Apa kamu yang telepon pihak provider buat betulkan jaringan internet kita?” balas Alia.

“Aku udah betulkan bak cuci, Alia!” tegasku.

“Kamu baru betulkan pas selang bak cuci lepas dan dapur kita kebanjiran!” balas Alia.

“Aku juga ‘kan sudah minta upgrade layanan internet, Alia. Kamu mau minta apa lagi? Akhir-akhir ini kamu banyak permintaan. Ingin televisi untuk di kamar lah, AC untuk di kamar Dira lah, uang belanja bulanan dinaikkan lah. Kamu pakai apa sih uang belanja kita?” jawabku.

“Kamu kira kebutuhan kita itu sedikit? Kamu kira harga barang-barang pada murah? Aku nombok pakai uangku sendiri, Za!” balas Alia.

“Terus apa maksudnya kamu buat status di Facebook tentang ingin liburan, tapi suami terlalu sibuk? Kamu bilang kamu mau coba ngerti, tapi kamu malah nyindir suami sendiri di Facebook!” tantangku kesal.

Emang aku nggak boleh punya keinginan buat liburan? Apa aku nggak boleh buat istirahat sejenak? Selama ini aku yang urus rumah! Aku yang urus Dira! Apa kamu ngerasa udah jadi ayah yang baik buat Dira?” balas Alia.

“Kalau nggak ada aku, kalian nggak akan bisa hidup seperti sekarang! Aku yang cari kerja! Aku yang cari uang buat nafkahin kalian!” balasku.

“Terus apa itu artinya kamu bisa sombong dan merasa lebih baik daripada aku? Apa kamu tahu kebiasaan-kebiasaan Dira? Apa kamu yang ajari Dira baca? Apa kamu mau ngasuh Dira, ladenin nangis dan marahnya dia?” tanya Alia.

“Kalau nggak ada aku, kalian mau gimana? Aku seperti ini karena aku lagi berusaha supaya kalian bisa tetap hidup enak!” tegasku.

“Kamu pikir aku nggak bisa apa-apa? Kamu anggap aku lemah sampai kamu pikir aku nggak bisa cari nafkah buat aku dan Dira? Jangan bodoh ya, Za! Pas kita masih kuliah pun aku udah kerja. Inget! Aku yang ajarin Reyhan bahasa Inggris di tempat lesnya! Kamu sendiri apa? Apa kamu udah kerja waktu itu? Kerja kamu ‘kan cuman jalan-jalan!” balas Alia.

“Jangan sok tau kamu! Tau apa kamu tentang kerjaanku?” bantahku.

“Memang gitu kenyataannya!” jawab Alia.

“Kalau gitu tunjukkin kalau kamu juga bisa bantu aku buat cari nafkah! Kamu udah nggak ngajar lagi bahasa Inggris atau jadi guru les. Dari mana kamu mau dapat uang kalau bukan dari aku? Apa kamu sama Dira bisa hidup tanpa aku? Aku yang banting tulang! Aku yang begadang sampai sakit! Aku yang kerja keras buat hidupin kalian!” tantangku.

Alia menatapku tak percaya.

“Aku nggak nyangka kamu bakalan searogan ini,” ujarnya.

“Apa susahnya sih hargai usaha aku?!” tanyaku ketus.

“Kamu pikir aku nggak capek ngurus rumah sendiri?! Aku perlu dukungan kamu, Za! Aku perlu kamu! Ke mana kamu selama ini? Dua minggu yang lalu pun kamu sama sekali nggak pulang!” balasnya.

“Aku udah bilang aku kerja lembur! Aku lembur sampai aku sakit, Alia! Kamu nggak ingat Adit bilang apa ke kamu? Aku pingsan di kantor!” tegasku.

“Kamu pingsan di kantor. Gimana dengan aku? Aku capek, Za! Aku capek urus rumah sendiri!” balas Alia, “Waktu kamu pulang, kamu langsung gitu aja peluk-peluk dan cium leher. Bukan itu yang aku butuhin, Za! Kamu egois! Kamu mentingin diri sendiri! Aku butuh bantuan kamu buat ngurus rumah juga! Yang kamu pikirin pas sampai rumah adalah kesenangan kamu sendiri!” balas Alia.

Kukepalkan kedua tanganku. Aku tak bisa seperti ini terus. Aku lelah jika Alia terus menuntut banyak hal. Aku berharap ia mau memahami posisiku, tapi ia tak mau. Aku tahu ia lelah dan aku tahu seperti apa sulitnya mengurus rumah, tetapi aku pun sedang menghadapi kesulitan yang kurasa lebih berat dari apa yang Alia hadapi. Toh aku melakukan ini semua deminya dan Dira. Alia mulai menangis. Ia terisak pelan. Jujur saja aku tak suka jika ia mulai menangis. Aku ingin sekali membuatnya merasa lebih tenang dan berhenti menangis, namun ia akan kembali mengeluh dan menyalahkan semuanya padaku. Aku tak bisa begini terus. Aku tak bisa selalu egois pada diriku sendiri.

“Aku muak sama kamu, Za. Aku muak,” ujarnya pelan.

Terlanjur kesal, aku menaruh kunci mobil di atas dasbor dan keluar dari mobil. Setengah berlari aku kembali ke rumah dan masuk ke kamarku, meninggalkan Alia yang masih menangis di dalam mobil. Kuganti pakaianku, kukenakan jaketku dan kuambil dompet, ponsel, serta kunci motorku. Aku pun segera keluar dari rumah. Dari kaca depan mobil, kulihat Alia melihatku. Ia menatapku tak percaya. Aku mengacuhkannya, mengeluarkan motorku dari garasi dan membawanya keluar pagar. Sekali lagi kulihat ke arah mobil. Alia masih di dalam, tak kunjung keluar dari mobil. Ia tak mau melihatku.

Ia sudah terlanjur muak padaku.

Kupacu motorku dalam kecepatan tinggi, melewati jalan Pasteur yang sudah lengang di tengah malam seperti ini. Kubawa motorku ke arah flyover Pasupati. Tak sadar aku sudah berteriak keras, mengeluarkan kemarahanku. Tak akan ada yang mendengar suaraku karena deru mesin motorku lebih keras daripada suaraku.

“Anjing!” umpatku.

Aku mencapai ujung flyover, kini memasuki jalan Surapati. Kubelokkan kemudi ke kanan saat lampu hijau menyala di persimpangan. Di saat-saat seperti ini, rasanya aku ingin mabuk saja. Di benakku terbayang tiga botol bir dingin di atas meja yang siap kutenggak. Meskipun terdengar dangkal, namun itulah yang kuinginkan saat ini. Sebetulnya bisa saja aku menghubungi adikku dan mengobrol dengannya, atau datang langsung ke rumah orang tuaku dan menemui adikku, mungkin menginap semalam di sana. Akan tetapi, menyadari bahwa malam semakin larut, sepertinya kedatanganku hanya akan mengganggu waktu istirahatnya saja. Reyhan bilang saat dua hari yang lalu ia datang ke rumahku bahwa ia merasa sangat lelah karena minggu lalu ia baru saja menyelesaikan ujian praktek tengah semester yang menguras tenaganya. Ayah sendiri bilang bahwa adikku, selama beberapa hari ia berlibur di sini, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan beristirahat. Niatku mencari bar untuk menghabiskan tiga botol bir hilang begitu saja saat kulihat seseorang, sambil berjalan tertatih, sedang menuntun motornya. Cahaya lampu depan motorku menyorot plat nomor yang terpasang di bagian belakang motor. Mengenali dengan pasti plat nomor tersebut, aku segera mengejar orang tersebut dan memanggil namanya. Aku menepi dan ia menghentikan langkahnya. Untuk sejenak kemarahan dan kekecewaanku pada Alia mereda, berubah menjadi perasaan kaget dan bingung dengan adanya sosok yang menuntun motor tersebut.

“Kamu kenapa di sini? Mas kira kamu di rumah. Ada apa?” tanyaku khawatir.

“Rey habis ketemu temen-temen. Waktu pulang, ada anak kecil nyebrang jalan tiba-tiba. Rey kaget. Daripada nabrak anak kecil, Rey banting setir. Akhirnya jatuh,” jawab adikku.

“Anak kecil? Siapa?” tanyaku.

Kayaknya anak pengamen. Bajunya lusuh. Dia juga bawa gelas plastik bekas air mineral,” jelas adikku.

“Lalu ini motornya kenapa?” tanyaku. Tampak bagian samping motor matik tersebut sedikit lecet.

“Rantainya putus. Pasti karena jatuh,” jawab adikku.

Aku meringis pelan.

Mas kira kamu nggak pergi ke mana-mana malam ini. Kenapa nggak bilang kalau kamu jatuh dari motor?” tanyaku khawatir.

Nggak apa-apa, mas. Lagian dari sini ke rumah ‘kan nggak jauh,” jawab adikku.

Nggak jauh? Reyhan, coba kamu pikir! Ini sudah malam! Rantai motormu putus, lalu kamu tuntun motor dari Diponegoro sampai Tamansari. Mau sampai rumah jam berapa? Belum lagi ini udah larut malam. Kalau ada orang yang ngincar kamu, gimana? Kamu mau dicelakai orang lain? Masih mending kalau orang yang menghadang kamu cuman ambil uang atau motor. Kalau kamu dilukai? Ditikam? Kamu mau gimana? Mau minta tolong sama siapa? Rey, ayah sama mas udah nggak mau lagi kehilangan siapa pun! Udah cukup kita kehilangan ibu! Kita nggak perlu kehilangan siapa pun lagi! Kamu adik mas satu-satunya! Tindakan nekat kamu ini bodoh!”

Adikku terkejut. Air mataku pun tiba-tiba menetes dan aku sendiri terkejut. Aku segera menyeka air mataku, meskipun pada akhirnya aku terisak pelan.

Mas Eza nggak apa-apa? Ada sesuatu kah?” tanya adikku.

Mas cuman khawatir, Rey,” jawabku.

“Bukan,” sanggah adikku, “Pasti ada sesuatu yang lain.”

Aku mengangguk pelan. Akhirnya kami meminggirkan motor kami dan duduk di pinggir trotoar, tak jauh dari kompleks Gedung Sate. Aku hendak memulai ceritaku saat adikku tiba-tiba pergi dan setengah berlari—dengan sedikit terpincang-pincang—meninggalkanku. Kupanggil namanya namun ia tak membalas atau mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua botol air mineral. Salah satunya ia berikan padaku. Setelah merasa lebih tenang, kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Reyhan mengernyitkan dahinya saat kukatakan bahwa Alia sudah muak padaku.

Mas memang pernah berbuat atau bersikap kayak gimana sampai mbak Alia muak sama mas?” tanya Reyhan.

“Pada dasarnya dia nggak mau mas kerja. Dia ngerasa kalau mas kerja, mas nggak punya waktu buat dia dan Dira. Mas juga dianggap nggak peduli dengan apa yang kemarin-kemarin ini terjadi. Masalah elektronik rusak lah, atau dapur, atau semacamnya, dia ngerasa mas nggak peduli dengan masalah-masalah itu. Mas peduli, hanya saja mas nggak mau banyak nunjukkin reaksi. Kalau mas nggak peduli, mas nggak akan berusaha cari uang untuk bayar biaya perbaikan ini itu,” jelasku.

Mbak Alia pasti selama ini capek karena sering ngurus rumah sendiri. Rey rasa itu yang bikin dia kesal,” ujar adikku.

“Memang. Mas paham dia capek dan kesal. Mas cuman ingin dia juga ngerti keadaan mas seperti apa. Kamu tahu ‘kan pekerjaan mas kayak gimana? Capek, Rey! Capek banget! Apalagi kalau mas harus lembur. Mas nggak pulang ke rumah itu karena kerja, bukan karena cari hiburan atau semacamnya. Sekarang, kalau misalnya mas pulang kerja lalu pergi sama teman-teman kerja buat sekadar ngopi, apa mas salah? Mas jengah sama pekerjaan. Mas juga perlu istirahat. Kadang-kadang saat mas mau istirahat atau sekadar senang-senang sebentar, mas malah ditelepon dan disuruh ke kantor atau ketemu klien,” ujarku.

Kuteguk air mineral yang adikku berikan, kemudian kuletakkan botolnya di sampingku. Mataku mulai berkaca-kaca lagi. Sekarang aku benar-benar tahu seperti apa rasanya menjadi seorang ayah. Ayah juga dulu pasti pernah berada di posisiku saat ini. Hidup tak semudah yang kubayangkan, dan aku tahu itu sejak aku sadar bahwa Alia mengandung anak pertama kami, Dira. Saat Alia berkata bahwa ia muak denganku, semuanya terasa lebih sulit bagiku. Entahlah. Ia pasti tak ingin bertemu denganku, entah sampai kapan. Aku tak pernah melihat ia semarah ini sebelumnya. Kurasa baru kali ini aku pun semarah dan sekesal ini padanya, sampai aku nekat meninggalkannya di rumah bersama Dira. Aku belum siap untuk kembali ke rumah. Aku tak akan pulang malam ini, tapi aku pun tak enak jika harus menginap di rumah ayah. Apa yang akan ia katakan padaku saat besok ia melihatku? Aku tak suka jika harus jujur padanya bahwa aku dan Alia bertengkar hebat. Itu pasti akan membuatnya tertekan. Adikku tengah mengangkat ujung celananya. Tampak luka memar dan lecet di kaki kanannya. Ia meringis saat ia tak sengaja menyentuh luka tersebut.

“Lukanya parah tidak? Kaki kirimu gimana?” tanyaku sembari mencondongkan tubuhku untuk melihat luka tersebut lebih dekat.

“Memar sama lecet aja,” jawab adikku.

“Lenganmu? Atau kepalamu?” tanyaku lagi.

“Jaketnya lumayan tebal, jadi lengan Rey nggak apa-apa. Kepala Rey juga nggak apa-apa karena Rey pakai helm,” jawabnya.

“Ayah telepon nggak?” tanyaku lagi.

“Itu yang Rey takutkan. Rey takut ayah telepon dan tanya Rey di mana. Rey nggak mau buat ayah khawatir. Kalau Rey bilang Rey jatuh dan rantai motor putus, ayah pasti khawatir. Rencananya Rey memang mau secepatnya pulang dan dorong motor sampai rumah. Pokoknya, ayah nggak boleh sampai tahu kalau Rey jatuh,” jawabnya.

Aku meringis pelan.

“Kamu pulang pakai motor mas aja. Biar motormu mas yang urus,” ujarku.

“Loh, mas sendiri gimana?” Reyhan terkejut.

Mas bisa telepon teman mas. Ada beberapa teman mas yang tinggal di dekat sini. Atau, mas bawa motormu ke kantor dan dititipkan semalam di sana,” jawabku.

“Lantas mas mau pulang pakai apa?” tanya Reyhan lagi.

“Mas nggak akan pulang dulu untuk malam ini. Entah untuk berapa hari. Mas juga malas pikirkan kerjaan. Mungkin mas nanti izin nggak kerja selama satu atau dua hari. Mas kayaknya perlu istirahat juga,” jawabku.

Mas mau ke mana? Kalau mas sampai nggak pulang, mbak Alia sama Dira pasti khawatir. Mbak Alia juga kemungkinan telepon ayah. Nanti ayah jadi tahu kalau mas ngilang,” Reyhan semakin terkejut.

“Kamu pura-pura nggak tahu apa-apa aja. Kamu pura-pura panik aja. Pokoknya cuman kamu yang tahu mas di mana dan mas nggak mau kamu kasih tahu ke siapa pun,” ujarku.

“Pura-pura nggak tahu? Rey nggak bisa. Mas suruh Rey pulang pakai motor mas. Ayah pasti tahu kalau Rey ketemu mas,” sanggah adikku.

“Pokoknya mas nggak akan pulang malam ini,” tegasku.

“Kalau gitu, Rey juga nggak akan pulang,” ujar adikku tegas.

Aku mengernyitkan dahiku.

“Kalau Rey pulang, Rey bikin ayah panik karena Rey jatuh. Mas nggak pulang dan mas bikin mbak Alia, Dira, dan ayah panik. Apa pun yang kita lakukan, kita tetap bikin semua orang panik. Kayaknya semuanya serba salah. Tapi setidaknya, kalau Rey nggak pulang, Rey ‘kan sama mas. Seenggaknya Rey nggak bikin mas khawatir. Mas juga nggak bikin Rey khawatir,” jelas adikku.

Aku menghela nafas panjang. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Adikku harus pulang. Ia sengaja berkata seperti itu. Ini semacam psikologi terbalik. Ia ingin bergabung denganku ‘kabur’ dari rumah, namun pada kenyataannya ia menyuruhku pulang. Arlojiku menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh empat menit. Kurasa belum terlalu larut untuk mengantar adikku pulang. Tentangku sendiri, aku dapat tinggal atau pergi ke mana pun aku ingin. Aku memang tak akan pulang ke rumah malam ini dan keputusanku sudah bulat. Biarlah Alia menenangkan dirinya sejenak. Aku pun perlu menenangkan diri.

Mas antar kamu pulang,” ujarku.

“Motornya gimana?” tanya adikku.

Aku meringis pelan, kemudian bangkit dan berjalan menuju motorku. Kubuka bagasi motorku dan kucari tali tambang yang pernah kumasukkan dulu ke bagasi saat menarik motor Adit yang mogok.

“Rantai motormu lepaskan aja semua,” ujarku.

“Rantainya udah dimasukkan ke bagasi motor, kok,” jawab adikku.

Kusiapkan tali tambang dan kuikatkan salah satu ujungnya ke motor adikku. Sementara ujung yang satu laginya kuikatkan pada motorku. Aku jujur saja tak tahu seperti apa kecelakaan yang dialami adikku sampai rantai motornya bisa putus seperti itu. Mungkin saja motor itu sudah lama tidak dibawa ke pusat servis atau diperbaiki. Kunyalakan mesin motorku dan kurasa aku sudah siap mengantar adikku pulang.

“Siap, Rey?” tanyaku.

Adikku mengangguk. Ia sudah menaiki motornya. Aku pun mulai melaju dengan kecepatan sedang, takut jika dibawa terlalu cepat ikatan tali tambang akan renggang atau bahkan putus. Sesekali kulihat adikku di belakang melalui spion motorku dan tampaknya ia baik-baik saja. Terkadang aku harus melambatkan laju motor karena adikku terpaksa harus mendorong laju motornya dengan kakinya. Saat mencapai Dago, kuminta adikku mengendarai motorku dan aku yang menaiki motornya. Kami bergantian. Arlojiku menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh sembilan menit saat kami akhirnya tiba di rumah. Kami memasukkan motor-motor ke dalam garasi, kemudian melepas lelah sejenak duduk di teras depan. Kulepaskan jaketku dan, di saat yang sama, adikku melepaskan helmnya. Di bawah cahaya lampu teras, dapat kulihat memar di pelipis kiri adikku. Memar tersebut tampak sangat jelas, sepertinya disebabkan oleh benturan yang sangat keras.

“Rey, kepalamu kok memar gitu?” aku terkejut.

Adikku menoleh ke arahku dan mengernyitkan dahinya.

“Masa?” tanyanya.

“Kamu nggak ngerasa sakit kepala atau gimana?” tanyaku.

Belum adikku menjawab pertanyaanku, suara klakson mobil mengejutkan kami. Di depan pagar, sebuah mobil yang tak asing bagiku berhenti. Lampunya menyala, menyoroti kami yang duduk di teras. Kemudian si pengemudi mematikan lampu dan mesin, keluar dari mobil dan menatap kami. Reyhan setengah berlari ke arah pagar dan membukanya. Ia dan si pengemudi mobil kemudian kembali ke teras. Kini aku berhadapan langsung dengan pengemudi tersebut. Bekas air mata tampak menjejak di pipinya. Matanya pun masih berkaca-kaca.

Gimana kalau Rey tinggalin mas sama mbak berdua? Kalau ngobrol di dalam, takutnya ayah terbangun. Rey mau ganti baju dan siap-siap istirahat,” ujar adikku.

Aku mengangguk pelan. Pamit, adikku pun masuk ke rumah. Kini hanya ada aku dan Alia di teras. Alia duduk di tembokan, sementara aku berdiri membelakanginya, melihat ke arah jalan.

“Kalau muak, kenapa nyari aku?” tanyaku.

“Za, ini bukan tentang—“

“Semua ini salah aku, ‘kan? Itu ‘kan yang mau kamu bilang?” ujarku.

Aku terkejut saat Alia tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya memelukku erat.

“Kamu tetap orang yang aku sayang, Za,” ujarnya pelan.

Aku meringis pelan, kemudian berbalik dan mendekapnya.

“Aku minta maaf,” ujarku.

Alia terisak pelan di dalam dekapanku. Kubelai lembut rambutnya dan kuusap bahunya. Kudengar Alia pun mengatakan hal yang sama. Ia meminta maaf padaku, meskipun sedikit terbata-bata dan tak begitu jelas karena isakannya. Sebetulnya ini semua dapat diselesaikan dengan satu hal, pengertian. Kami harus lebih memahami satu sama lain, mencoba merasakan seperti apa rasanya berada di posisi masing-masing. Alia harus bisa memahamiku dan pekerjaanku, dan aku harus berusaha lebih keras untuk mengurangi beban yang ia rasakan saat ini.

“Dira di mana?” tanyaku.

“Aku mendadak minta tolong Eva buat datang ke rumah. Aku nggak bisa bawa Dira karena aku nggak mau dia lihat kita bertengkar,” jawab Alia.

“Sekali lagi aku minta maaf,” ujarku.

“Aku juga, Za. Aku minta maaf,” ujar Alia.

Pertengkaran kami berakhir dengan ciuman kecil. Alia kemudian tersenyum. Kuusap lembut pipinya. Kuputuskan untuk pulang bersama Alia. Aku akan mengendarai motorku dan ia mengemudikan mobil. Sebelum pergi, kuajak Alia masuk untuk berpamitan dengan Reyhan. Pintu kamarnya tertutup. Kupanggil namanya dan kuketuk pintu kamarnya. Alia melirikku dan mengernyitkan dahinya. Ia pasti bingung karena adikku tak menjawab sama sekali. Saat kubuka knop pintu, aku terkejut karena pintu kamarnya tak terkunci.

Pintu kamar adikku kubuka. Aku dan Alia disuguhi oleh hal yang membuat mata kami terbuka lebar. Aku tercengang, begitu pun Alia. Adikku terkapar di lantai kamarnya. Darah mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. Bibirnya tampak pucat. Alia menutup mulutnya dengan tangannya. Ia hampir berteriak histeris, meskipun akhirnya aku yang berteriak memanggil nama adikku.

“Reyhan!”


Ini semua pasti karena memar di pelipis kirinya.