Pages

Thursday, May 22, 2014

Es teh manis = Rp 10.000,-

Kalau bicara tentang makan di restoran, saya termasuk orang yang kritis dalam menilai restoran. Saya memang nggak hobi makan (terutama makanan berat), karena kalau pergi jalan-jalan saya lebih fokus ke tempat nongkrong yang menyediakan kudapan kecil dan minuman (kalaupun makan yang agak berat biasanya side dish semacam kentang goreng dan onion ring). Di akun Foursquare saya ada daftar restoran dan kafe yang pernah saya kunjungi lengkap dengan review singkat yang saya tulis dan di akun Facebook saya ada beberapa note yang saya buat khusus tentang review tempat-tempat makan di kota Bandung yang menurut saya recommended

Interior of "Makan Makan". Photo credit: self collection
Nah, dalam pembuatan review saya fokus pada tiga aspek dari tempat makan yang saya nilai: 1) food (rasa masakan, keunikan menu); 2) place (desain interior dan eksterior tempat, kebersihan tempat, termasuk pelayanan juga yang harusnya dipisah dalam faktor service), dan; 3) price (harga menu). 

Biasanya sih faktor yang agak sensitif untuk dibicarakan tentang tempat makan itu faktor ketiga, harga menu yang ditawarkan. Basically, kita memang seringkali sensitif kalau udah ngomongin tentang duit. Saya rasa kita udah kenal dengan istilah tempat makan "mahasiswa-friendly" dan tempat makan borjuis. Kalau di tempat makan yang mahasiswa-friendly, biasanya menu-menu yang ditawarkan nggak jauh dari menu masakan rumahan, meskipun ada juga menu-menu internasional semacam steik atau pasta. Tempat makan yang mahasiswa banget itu biasanya lokasinya nggak jauh dari kampus-kampus karena memang target pembeli utamanya yaitu mahasiswa yang kuliah atau kos di daerah situ. Sebetulnya sih kalau saya punya istilah khusus untuk tempat makan yang mahasiswa-friendly, yaitu budget-restaurant. Harga yang ditawarkan tempat-tempat makan seperti itu biasanya nggak mahal karena memang menyesuaikan keuangan mahasiswa (apalagi yang nge-kos). Dengan harga yang affordable, tempat-tempat makan semacam itu menyediakan masakan-masakan yang setidaknya memenuhi kriteria masakan edible dan enak. Kalau urusan tempat sendiri bervariasi; ada tempat yang memang nyaman, ada pula yang terlalu berisik. 

Kalau saya sendiri secara pribadi sih makan di budget-restaurant maupun restoran-restoran yang bikin saya harus ngerogoh isi kocek lebih dalam nggak begitu masalah (ya selama ada duit sih, kalau nggak ada duit kepaksa puasa dulu). Yang jadi masalah itu adalah pada saat rasa makanan nggak sesuai sama harganya (dalam konteks negatif). Apalagi kalau tempatnya juga nggak nyaman. Can we just leave now and eat at somewhere else?

Berhadapan dengan harga-harga menu yang nggak masuk akal adalah hal yang nggak saya sukai. Siapa sih yang suka beli menu nasi goreng standar seharga satu kopi di Starbucks? Hanya karena restorannya mewah, interiornya bergaya klasik modern, jendelanya dihias gorden bahan velvet, penerangannya pakai chandelier kristal, ada grand piano, dan pengunjung dilayani oleh seorang maĆ®tre, lantas harga makanan yang sebetulnya rasanya kadang nggak bisa dimengerti dan bisa dibikin sendiri di dapur kosan tiba-tiba melambung naik kayak harga minyak goreng yang lagi mahal-mahalnya sekarang ini. Bahkan beberapa menu ala fastfood dan restoran mewah sekarang diduplikasi di beberapa food court kelas menengah dengan harga yang dibanderol bisa setengah dari harga menu yang sama yang dijual di restoran mewah. Saya suka nggak habis pikir kalau berkunjung ke satu restoran mewah atau makan di restoran hotel dimana sistemnya a la carte dan begitu buka kartu atau buku menu.. Duaarrr!! Rasa-rasanya saya harus puasa satu bulan gara-gara menu lotek (kalau orang Jakarta sih bilangnya gado-gado) dibanderol dengan harga dua puluh lima ribu per porsi. Mau beli minuman, paling murah adanya es teh manis, dan itu bukan es teh manis tapi sweet iced tea dan harganya lima belas ribu segelas. Beberapa nama makanan bahkan sengaja diubah ke dalam bahasa lain biar kelihatannya seolah makanan mewah dikirim langsung resepnya dari Eropa. Padahal mah.. can we just call peanut salad lotek? 

Suatu hari mama saya pergi ke suatu hotel sama ayah saya karena ada pertemuan keluarga (semacam kumpul keluarga, tapi khusus para orang tua aja). Hotel itu lokasinya tepat di jantung kota Bandung dan bangunannya dianggap bersejarah. Kumpul di kafe hotel, mama saya pesan menu teh manis hangat dan mama saya kaget karena satu cangkirnya dibanderol dengan harga dua puluh lima ribu rupiah. Kalau teh dengan infusi, semacam earl grey atau English breakfast, harganya lebih mahal lagi. Mama cerita tentang harga yang kurang ajar itu ke saya dan saya ketawa puas, bilang sama mama saya bahwa dengan duit dua puluh lima ribu, mama saya bisa beli beberapa kotak teh Sariwangi dan minum teh sampe kembung. 

Saya sempat berfikir apa mungkin harga-harga makanan jadi mahal karena nama-nama menunya diubah ke bahasa Inggris ya? 

Oke, mungkin menunya pakai bumbu-bumbu atau rempah-rempah yang harus diimpor karena nggak ada di Indonesia (semisal wasabi untuk menu sushi). Oke, mungkin dagingnya daging impor, makanya harganya mahal. Tapi percayalah bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dimana banyak banget bahan-bahan makanan yang diperoleh dari dalam negeri, tanpa harus impor dari luar. Kalau beli produk domestik, harganya kemungkinan lebih murah. Dengan kata lain, bahan baku produk lokal yang kita beli harganya lebih murah dibandingkan bahan baku produk impor. Lha sekarang kenapa harganya bisa melonjak begitu? Saya pikir-pikir lagi, menu escargot kok mirip-mirip aja ya sama masakan tutut, atau scallops yang kalau buat saya sih, masih lebih enak kerang ijo. Chicken cordon bleu yang sekarang ini bisa kita santap dirumah dengan instan karena udah dijual di bawah merk Fiesta. 

Dan ngomong-ngomong tentang makanan yang mahal, saya jadi inget cuplikan dari video dibawah ini, dimana es kampul dibanderol dengan harga tinggi karena namanya diubah jadi "lemon tea"


By the way, itu cuplikan dari film Superman dengan subtitel Boso Jowo yang dijamin bakalan bikin ngakak..

No comments:

Post a Comment