Kalau melihat kehidupan yang sekarang, mungkin banyak orang yang nggak menyangka kalau saya adalah seorang mantan masokis. Teman-teman terdekat saya yang sudah tahu kegilaan saya mungkin akan kaget saat saya akhirnya mengungkapkan kepada dunia kalau saya dulu senang melukai diri sendiri (secara fisik ya, bukan batin).
Masochist by gothic-ruin666 |
Oh ya, sebelumnya jangan sampai mikir ambigu ya. Yang saya maksud masokis ini yang ini, bukan masokis yang berkaitan sama S&M dalam konteks seksualitas. Masokis yang saya maksud kaitannya dengan kecenderungan melukai diri sendiri, terutama pada saat-saat dimana saya, sebagai seorang masokis, lagi merasa sedih atau marah. Maaf aja, saya nggak suka menyakiti pasangan dan diri sendiri kalau urusan gelora asmara di atas ranjang..
*silence*
Kalau ditanya sejarahnya gimana saya bisa jadi seorang masokis, saya juga bingung darimana harus memulai tapi yang jelas ke-masokis-an saya muncul jaman saya masih SMA, terutama puncak-puncaknya jaman SMA kelas 3. Saya orang yang perasa, dan dibandingkan dengan teman-teman laki-laki yang lain, saya termasuk yang paling mudah kecewa, marah, sedih, dan nangis (mungkin yang paling mudah nangis jaman SMA dulu itu Agus, soalnya dia jauh lebih gampang tersentuh). Saya orang yang sebetulnya ekspresif, dimana saat bahagia saya tunjukkan ekspresi itu apa adanya, begitu pula saat saya marah atau sedih. Tapi entahlah, pada waktu itu nampaknya saya lebih suka main dengan cutter saat saya sedih. Kebetulan saya punya cutter yang saya taruh di tempat pensil saya, dan saat saya ngerasa down atau kecewa, biasanya cutter itu jadi teman main saya. Awalnya sih hanya bikin goresan-goresan tipis, lama-lama semakin dalam dan banyak, menjalar sampai ke lengan atas. Walhasil, banyak scars yang harus disembunyikan. Pilihan saya adalah pakai kaus lengan panjang atau jaket supaya luka-luka yang ada di lengan saya nggak kelihatan.
Masa Transisi
Bicara tentang kondisi psikis saya saat itu, bisa dibilang kelas 3 adalah momen transisi dari seorang Klaus yang bandel, apatis, dan agak emo menuju Klaus yang lebih bersahabat, lebih terbuka dalam sosialisasi, lebih ceria, dan lebih jahil sama orang. Tapi yang namanya transisi, belum bisa dikatakan berubah sepenuhnya. Ada sisa-sisa jaman emo ga jelas yang terbawa di momen transisi itu. Masokisme, kalau boleh saya sebut, adalah salah satu artefak jaman emo labil yang tidak sengaja terbawa. Saat itu, terutama kalau saya sedang merasa marah, kecewa, atau sedih, saya cenderung diam, nggak cerita sama siapapun, dan memendam sendiri masalah yang saya punya. Orang-orang mungkin bisa lihat kalau saya sedang sedih, tapi saya nggak akan pernah bisa cerita. Saat saya marah, saya nggak mau terlalu menunjukkan kemarahan saya karena saya nggak mau ada korban yang tak berdosa yang kena semprot atau kena bacok. Saya bingung harus kemana cari pelampiasan untuk kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan saya. Dan saat saya lihat cutter, dan di saat yang sama tahu bahwa ada beberapa teman saya yang hobinya 'main cutter', saya mulai coba. Awalnya sih sakit, tapi lama-lama rasa sakit itu jadi pleasure yang bikin saya percaya bahwa "lebih baik kayak gini nih daripada marah-marah ke orang lain nggak jelas atau lempar ponsel".
Makcik saya yang tinggal di Kuala Lumpur sempat lihat lengan saya. Dia kaget dan tanya darimana saya bisa dapet luka-luka sebanyak itu. Kebetulan saya waktu itu cukup sering bepergian pakai sepeda motor, maka jatoh dari motor adalah alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan itu. Dan untungnya, makcik nggak banyak tanya lagi dan hanya minta saya untuk lebih hati-hati saat bawa motor. Saat itu saya bisa dibilang hobi pacu CS1 merah saya di jalanan distrik pemerintahan kota sampai speedometer menunjukkan angka 90. 90 kilometer per jam. Coba lihat dengan Klaus saat ini. Dengan postur mirip anak SMA kelas 2 kayak begini, nampaknya agak kurang bisa dipercaya kalau saya adalah mantan anak bandel. Tapi percayalah. It happened. It did happen. I was a rascal. Kalau nggak percaya, silahkan tanya Derrick. Dan puji Tuhan, saat itu selama saya berkendara, belum pernah saya mengalami kecelakaan dan jangan sampai deh mengalami kecelakaan lagi (sebelumnya pernah jatuh dan itu memalukan sekali, karena jatuhnya pagi-pagi dan saya adalah korban kedua setelah beberapa menit sebelumnya, seorang pengendara motor jatuh di tempat yang sama).
Ketahuan
Kesukaan saya terhadap "main cutter" akhirnya jadi kebablasan. Saking sukanya, saya bisa lakukan itu dimana aja. Ya, dimana aja, termasuk di depan teman-teman saya. Udah berapa kali saya ditegur sama teman-teman saya karena hobi saya itu. Jiejie saya yang pada saat itu ternyata seorang masokis juga sampai marahin saya karena saya suka keasyikan "silet lengan" waktu jam istirahat (masokis teriak masokis wooo!!). Saya sadar bahwa saya saat itu 'abnormal', dengan hobi saya yang violent itu. Hanif, teman saya yang sebetulnya nggak begitu dekat, sampai tegur saya dan rebut cutter saya waktu saya main cutter sambil tunggu jam ujian beres. Hanif sampai nanya ngapain saya melakukan hal semacam itu, dan jawaban saya cuman satu: it's a pleasure.
Koko saya saat itu nggak tahu bahwa saya hobi main cutter. Eh, tapi mungkin saja sih dia tahu karena kadang-kadang dia suka negur saya kalau saya udah keluarkan cutter. Om saya pernah mergokin saya dan langsung rebut cutter saya, bahkan dilempar jauh-jauh. Saya sampai dimarahin didepan jiejie dan si tante, padahal saya juga pengen banget bilang bahwa jiejie saya juga hobi main cutter (biar dimarahinnya nggak sendirian, 'kan seperti lagunya Taylor Swift: "two is better than one"). Koko saya termasuk orang terdekat saya, tapi dia nggak sampai marahin saya. Kenapa ya? Saya sampai sekarang pun kadang bingung kenapa dia nggak seheboh orang lain saat tau kalau saya seorang masokis. Mungkin karena kepribadiannya yang plegmatis? Mungkin..
Ketahuan yang paling mengerikan dan mengharukan adalah saya ketahuan oleh saudara saya, koh Chist (C-h-i-s-t, nggak pakai R setelah huruf C, dan biasa dipanggil Ucis untuk alasan yang tidak diketahui). Saat itu koh Ucis datang ke sekolah untuk nengok keadaan. Saya ketemu dengan dia dan kita ngobrol panjang lebar, sampai akhirnya dia tahu kalau saya seorang masokis. Koh Ucis marah, sampai suruh saya kenapa nggak sekalian saya robek lengan saya dari ujung jari sampai bahu. Yang bikin saya takut adalah koh Ucis nangis. Bahaya kalau sampai dia cerita dan mama dan ayah tahu. Bisa-bisa perang dunia ketiga. Lebih ngeri lagi kalau dipecat dari posisi anak. Saya diceramahi koh Ucis lumayan lama, dan akhirnya saya bisa cerita apa yang sebenarnya terjadi (dengan susah payah karena sambil nangis). Pada intinya saya bingung harus melampiaskan ke siapa, harus cerita ke siapa, dan harus berbuat apa karena saya nggak mau menyakiti orang lain atau merusak barang-barang yang ada, nggak mau membebani orang lain, dan nggak mau salah ambil langkah. Koh Ucis lantas nyuruh saya untuk cerita sama Tuhan dan bertobat (soal pertobatan itu kedengarannya seolah saya ini blangsak). Ya, pada intinya sih.. pengakuan dosa, cerita sama Tuhan, dan semacamnya. "Dengan mendekatkan diri sama Tuhan, kita nggak akan merasa sendiri dan bisa lebih menghargai hidup", kata koh Ucis yang rupanya setelah masuk SMA bergabung dengan ekstrakurikuler rohis (pantesan).
Meskipun saya nggak sereligius koh Ucis, saya sadar bahwa saya harus lebih dekat dengan Tuhan. Intinya, saya sadar bahwa saya harus punya sosok dimana saya bisa cerita dan berbagi beban. Setelah melewati momen-momen dimarahi beberapa orang, cutter dirampas dan disembunyikan, dan lengan penuh dengan bekas luka dan plester gambar hewan, akhirnya saya melewati momen-momen sebagai seorang masokis, dan berubah menjadi orang yang menyembuhkan mereka-mereka yang terjebak dalam keadaan sebagai seorang masokis.
*cheers*
Menghargai diri sendiri
(Pernah) menjadi seorang masokis membuat saya sadar bahwa sangat sulit ketika kita memiliki masalah dan kita nggak tahu kepada siapa kita harus berbagi cerita atau kepada apa kita bisa melampiaskan kekecewaan atau kemarahan kita. Saat ini, saya biasanya lari ke blog atau piano saat saya kesal atau marah. Kalau lagi ada duit, saya lari ke tempat makan, kafe, arkade, atau tempat-tempat dimana saya bisa have fun. Kalau kamu suka pergi ke arkade semacam Timezone atau Game Master, disana ada game semacam sandsack (kalau orang Sunda nyebutnya "samsak") dimana kita harus tinju sekeras-kerasnya sandsack itu dan kekuatan tinju kita dinilai oleh angka yang muncul di layar. Game itu cocok untuk yang mau nonjok orang tapi terlalu kasihan untuk melukai orang lain (saya rekomendasikan game itu.. aslinya da). Saya mulai punya teman-teman dekat dimana saya bisa berbagi keluhan atau masalah, dan untuk saya sih, mereka mau mendengarkan saya pun itu sudah cukup karena kadang kita nggak selalu membutuhkan jawaban. Didengarkan dan dianggap ada, terkadang itu hal yang menenangkan.
Terakhir kali saya terperangkap dalam jiwa masokis adalah waktu saya masih semester 1 di kuliahan. Kebetulan ada jendela kaca yang pecah dan saat itu saya lagi ngerasa down. Pecahan kaca yang ada saya jadikan cutter cadangan. Momen sayat diri yang saya lakukan dilihat beberapa teman saya yang langsung ambil tindakan verbal: negur dan marahin saya. Bayangkan, dimarahin sama teman baru di kampus yang kita belum kenal. Bikin kesal nggak sih? Ditambah lagi karena masih mahasiswa baru, image saya pun jadi ternoda karena "Klaus pernah main pecahan kaca". Saya rasa sekarang teman-teman saya sudah lupa dengan kejadian itu. Mereka bagusnya sih sudah lupa. Mereka harus lupa. Harus!
Melukai diri sendiri berarti tidak menghargai diri sendiri. Itu yang saya pelajari. Kita ini 'kan sama Tuhan sudah dititipkan badan ini. Saat Tuhan menitipkan sesuatu, Tuhan percaya bahwa kita bisa menjaga titipan itu dengan baik. Saat kita justru merusak titipan dari Tuhan, maka Tuhan akan marah dan mengurangi kepercayaannya terhadap kita. Kasusnya sama sih seperti dititipkan ponsel sama teman dan saat dikembalikan, baterai ponselnya udah habis karena kita keasyikan main CoC atau Candy Crush di ponsel temen kita. Sekarang saya sudah bebas dari scars di lengan saya. Luka-lukanya sudah kering dan saya tidak mau menambah lagi luka di lengan saya. Sakit loh. Aslinya. Buat kamu yang berfikir untuk menjadi seorang masokis, percayalah masbro mbakbra, perih loh waktu kalian silet-silet lengan atau leher kalian. Hati-hati juga loh. Niatnya hanya mau melukai diri bisa jadi bunuh diri. Kalau nadi ikut kepotong, gimana? Kadang melukai diri itu niatnya hanya untuk melampiaskan kemarahan, bukan untuk mengakhiri hidup. Tapi kalau hasil akhirnya adalah nadi putus, mau gimana? Kemarahan terlampiaskan, nafas terakhir terhembuskan. Miris, 'kan?
I've stopped being a masochist. Sometimes I feel hurt. Sometimes I'm disappointed.
But I'm fine. Really, I'm fine.
No comments:
Post a Comment