Kalau bicara tentang kebahagiaan, satu hal yang saya percaya adalah setiap manusia punya hak untuk merasa bahagia, seperti halnya hak manusia untuk menangis, marah, dan mengekspresikan jenis perasaan lainnya. Saya tipe orang yang kalau sedang bahagia biasanya jadi bubbly, meskipun pada dasarnya saya seorang introver. Perlu diingat bahwa introver itu nggak selalu identik dengan sosok yang pendiam, yang selalu duduk di pojok kafe atau perpustakaan, minum kopi sambil baca buku di hari hujan. Begitupun kebalikannya, seorang ekstrover nggak selalu identik dengan sosok yang periang dan banyak bicara.
Seseorang bisa bahagia dengan caranya sendiri, dan tiap orang punya cara yang berbeda-beda untuk merasa bahagia. Ada yang harus lewat proses yang sangat rumit, tapi ada juga yang bisa merasa bahagia dengan cara yang simpel. Standar kebahagiaan orang juga beda-beda. Mengutip kata Shim Ha Na (Kim Hyang-gi) di drama The Queen's Classroom tentang kebahagiaan, "Happiness is not something which is set in stone". Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan hal yang gambarannya sudah mutlak ditentukan karena yang namanya kebahagiaan pasti sifatnya subjektif. Apa yang menurut anda membahagiakan belum tentu buat saya membahagiakan, dan juga sebaliknya. Ada hal-hal yang menurut anda biasa-biasa saja, tapi buat saya itu sangat membahagiakan.
Uniknya, beberapa orang seringkali memaksakan pandangannya tentang kebahagiaan kepada orang lain untuk percaya atas apa yang dianggapnya sebagai kebahagiaan. Saya kadang nggak ngerti kenapa saya 'diharuskan' ikut berbahagia saat saya berada di sebuah kumpulan yang besar, dimana ada banyak orang-orang dan mereka ngobrol sambil ketawa-ketawa. Saat orang lain ketawa bahagia, saya cuma bisa ketawa terpaksa karena.. that's not what makes me happy. Bukan karena obrolannya nggak rame atau saya memang nggak suka dengan orangnya. I just don't think it's happiness. Sebaliknya, saat saya melakukan sesuatu yang menurut saya adalah sebuah kebahagiaan, orang lain kadang mencibir, bahkan bilang kalau yang saya lakukan itu konyol. That I go to coffee shop, spending some money on coffee and a slice of cake, sitting comfortably and listening to jazzy music, itu dianggapnya sebagai hal yang terlalu aneh untuk dibilang sebagai sebuah kebahagiaan. Alasannya karena mahal lah atau buang-buang uang lah.
'Kan standar kebahagiaan setiap orang beda-beda.
Dan saya disini nggak berbicara tentang berapa uang yang harus dikeluarkan untuk kita bisa merasa bahagia. Saya bisa merasa bahagia dan saya bisa mendapatkan kebahagiaan tanpa melihat sisi finansial (ini bukan tentang saya nggak peduli dengan berapa dalam saya harus rogoh kocek). Gini loh, 'kan saya kutip di atas bahwa kebahagiaan itu bukan sesuatu yang set in the stone, dan juga kebahagiaan itu nggak cuman tentang satu hal, tapi banyak hal dan kita bisa menemukan kebahagiaan dimana saja, kapan saja, dan dalam bentuk apa saja. Mungkin orang yang bersangkutan menganggap bahwa saya merasa bahagia saat saya ke kafe, beli kopi, duduk dan dengarkan lagu sambil baca majalah merupakan kebahagiaan yang konyol dan terlalu berlebihan. But what does he really know about me? Apakah dia tahu bahwa sebetulnya pergi ke kebun teh dan bisa menikmati jagung bakar sambil melihat pemandangan kaki gunung merupakan sebuah kebahagiaan juga buat saya? Apakah dia tahu bahwa menonton anak-anak kucing main dan kejar-kejaran merupakan kebahagiaan buat saya?
Pernah nggak kita menemukan seseorang yang kita rasa sangat butuh bantuan secara finansial, lalu kita bantu dan orang itu menolak dengan alasan bahwa "Segini pun kita sudah hidup bahagia". Kemungkinan besar kita akan merasa bingung karena bantuan kita ditolak dan kita akan tetap meyakinkan yang bersangkutan bahwa "Ini loh, kamu harus terima uangnya karena dengan hidup kayak gini kamu akan merasa sangat sulit". Kita nggak pernah tahu bahwa mungkin saja meskipun keadaannya sulit ternyata mereka adalah orang paling bahagia di muka bumi ini. Dan orang-orang dengan kekayaan melimpah, ternyata adalah orang-orang yang paling kesepian di muka bumi ini. Twist semacam itu akan kita temukan saat kita terlalu fokus pada standar kebahagiaan kita sendiri dan kita paksa aplikasikan ke orang lain yang ternyata punya standar yang berbeda. Money can't buy us happiness, sebetulnya itu depends sih. Ada orang yang menganggap kebahagiaan berasal dari uang, dan ada juga yang nggak. Ada orang yang bahagia tinggal di rumah sangat sederhana, dan ada juga yang tidak.
Mungkin dari satu paragraf ke paragraf lainnya agak lompat-lompat, tapi intinya itu yang ingin saya sampaikan. Kebahagiaan untuk setiap orang beda-beda, jadi jangan paksakan apa yang kamu anggap sebagai kebahagiaan kepada orang lain supaya dia percaya bahwa kebahagiaan itu adalah apa yang menurut kamu kebahagiaan. Biarkan setiap orang punya kebahagiaannya masing-masing, selama kebahagiaannya tidak mengganggu kebahagiaan orang lain. Kenapa harus sibuk mengatur gimana orang lain harus merasa bahagia kalau mereka bisa merasa bahagia dengan caranya sendiri?
Waktu saya liburan ke Ciwidey, saya diajak petik stroberi bersama keluarga. Dan karena hari sudah cukup siang, itu artinya buah-buah yang sudah matang kemungkinan besar sudah dipetik oleh pengunjung yang datang sebelumnya. Walhasil saya dan keluarga hanya bisa memetik yang tersisa. Saya dapat satu buah stroberi yang menurut saya ukurannya nggak begitu besar. Tapi karena saya petik sendiri dan saya manjat sendiri ke galur stroberi itu, saya merasa bahagia. Memang sih nggak besar buahnya dan waktu di rumah saya coba, rasanya nggak begitu manis, tapi saya bahagia. Meskipun nggak sempurna, tapi saya bahagia bisa dapat stroberi itu.
Masing-masing anggota keluarga saya punya caranya sendiri untuk dapat stroberi. Ada yang satu-satu setiap polybag diperiksa, ada yang hoki karena nemu yang jatuh begitu saja di tanah dan dalam keadaan sangat bagus, ada yang hanya lihat galur sekilas lalu nemu, dan ada yang harus manjat-manjat dulu kayak saya. Tiap orang punya caranya masing-masing untuk bahagia. Selama cara orang untuk bahagia itu nggak membahayakan orang lain, kenapa harus mencibir? Toh sama-sama berbahagia. Dan kenapa harus mencibir apa yang dianggap sebagai kebahagiaan buat orang lain? Standar bahagia orang kan beda-beda. Kehabagiaan itu 'kan satu variabel yang subjektif.
"Happiness is not something which is set in stone"- Shim Ha Na (The Queen's Classroom, 2013)
No comments:
Post a Comment