Pages

Wednesday, July 9, 2014

"... offline"

Jemariku menari dengan lincah di atas papan tik. Mataku dengan jeli menatap monitor dihadapanku, membaca pesan-pesan balasan yang muncul untukku. Aku tersenyum, terkikik pelan, dan terkadang tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. Bukan sekali dua kali pintu kamarku diketuk oleh ayah yang memperingatkanku untuk tak asyik sendiri dengan duniaku. Sebetulnya aku tak merasa asyik sendiri dengan duniaku. Aku hanya sedang mengobrol dengan teman-temanku. Hanya saja terkadang ada beberapa pesan balasan yang sangat lucu dan aku tak bisa menahan tawaku. 

Kurasa semua orang yang gemar melakukan chatting pernah tertawa di depan monitor

Tiba-tiba saja masuk pemberitahuan bahwa seseorang menambahkanku sebagai temannya. Kulihat siapa yang menambahkanku. Oh, seseorang dengan nama Fayza--seorang anak perempuan yang nampaknya seusiaku. Di foto profilnya ia nampak anggun, dengan overall berwarna biru muda dan kerudung berwarna nila yang nampak cocok dengan overall yang dikenakannya. Aku tertegun sejenak. Kuputuskan untuk menerimanya sebagai temanku dan tak lama kemudian ia mengirimiku pesan pertama. 

"Hai! Terima kasih sudah menerimaku sebagai temanmu!" 

Aku meringis pelan. Sebelum kubalas pesannya, sengaja aku mencari tahu lebih banyak tentangnya. Saat aku melihat kota asalnya, aku berfikir sejenak. Ada keraguan yang tiba-tiba muncul, yang membuatku rasanya ingin membatalkan pertemananku dengannya. Namun saat aku melihat fotonya dan menatap sosoknya tepat di matanya, aku merasakan sesuatu yang membuatku justru ingin mengenalnya lebih baik. 

"Sama-sama. Jadi, kau tinggal di Gaza?" 

Gadis itu tak membalasku untuk waktu yang cukup lama. Ia masih belum membalasku saat aku sedang tertawa terbahak-bahak mengobrol dengan teman-temanku dan sudah ketiga kalinya ayahku mengetuk pintu kamarku dan mengetukku untuk tak tertawa sendiri seperti orang gila. Ia masih belum juga membalasku saat aku kembali ke kamarku dengan segelas susu coklat hangat. Aku mulai merasa jenuh dengannya. Namun sesaat sebelum aku menutup chat tab, ia membalasku. 

"Kau tak akan benci padaku hanya karena aku tinggal di Gaza, bukan?" 

Aku tertegun. 

"Tidak. Aku tak akan membencimu hanya karena kau tinggal di Gaza" 

"Kau juga tak akan membenciku hanya karena aku mengenakan hijab, bukan?" 

Aku mengernyitkan dahiku. 

"Mengapa kau bertanya seperti itu?"

"Tidak. Aku hanya ingin tahu saja"

"Tentu aku tak akan membencimu hanya karena hijabmu. Kau tahu, ini terasa aneh. Kau menanyakan sesuatu yang sejujurnya terdengar aneh untuk kita yang baru saja berteman" 

Fayza mengetikkan pesannya. 

"Syukurlah jika kau tak akan membenciku hanya karena hijabku"

"Tentu saja tidak. Bukan ras atau agama yang seharusnya membuat seseorang menaruh benci kepada orang lain. Perbuatan atau sikapnya lah yang seharusnya menjadi alasan bagi seseorang untuk membenci orang lain" 

Aku meneguk susu coklat hangatku. Obrolan kami terus berlanjut dan semakin lama obrolan kami semakin menyenangkan. Ia mulai menceritakan kegiatannya sehari-hari di kampusnya, begitupula aku yang menceritakan kegiatanku sehari-hari sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kami rupanya menyukai hal yang sama; kami sama-sama senang melukis dan memotret. Fayza mengirimkanku beberapa hasil tangkapan kameranya dan aku berhasil dibuatnya kagum dengan foto-fotonya. Aku balas mengirimkannya foto-foto yang kutangkap dengan kameraku. 

"Aaron! Kau fotografer yang handal!" 

Aku tersenyum kecil. 

"Kau juga fotografer yang handal, Fayza" 

Keesokan harinya sepulang kuliah aku segera menyalakan komputerku dan masuk ke dalam aku messenger-ku. Fayza sudah online dan aku segera menyapanya. Kami kembali mengobrol tentang bermacam-macam hal, dari mulai musik sampai film. Kami pun berbagi akun Instagram dan saling mengikuti akun satu sama lain. Aku lagi-lagi dibuatnya kagum dengan hasil tangkapan kameranya yang ia unggah ke akun Instagramnya. Kuberikan ia hadiah berupa serangan likes yang ia balas beberapa jam kemudian. 

Semakin hari aku dan Fayza semakin akrab. Aku pun sudah tak canggung lagi untuk bercanda dengannya. Terkadang kami menghabiskan waktu semalaman mengobrol dan suatu malam pernah aku tertidur di depan komputerku saat mengobrol dengannya. Fayza tak pernah sekalipun offline. Ia sengaja membiarkan messengernya terus terhubung. 

"Jika aku tak sedang menggunakan komputerku, aku bisa menggunakan ponselku" 

Aku akhirnya mengaktifkan messenger di ponselku sehingga aku dapat menghubungi Fayza dimanapun dan kapanpun dengan ponselku, saat aku tak bisa menggunakan komputerku. Frekuensiku mengobrol dengan teman-temanku berkurang dan aku mulai jarang tertawa terbahak-bahak di kamarku sendirian, membuat ayahku heran denganku dan memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh saat makan malam. 

"Aaron, aneh sekali kau tak lagi tertawa terbahak-bahak di kamarmu. Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau sakit?" tanya ayah. 
"Aku baik-baik saja, yah," jawabku. 

Malam itu aku berjanji untuk menghubungi Fayza melalui Skype. Ini akan jadi kali pertama kami melakukan video call. Tiba-tiba aku merasa gugup. Bagaimana jika Fayza tak menyukaiku? Bagaimana jika aku tak bisa memulai percakapan langsung dengannya? Kukumpulkan keberanianku sebelum menekan tombol video call. Telunjukku menekan tombol kiri tetikusku dan video call pun berlangsung. 

"Aaron?" 

Sebuah sapaan lembut membuatku terkejut. Wajah Fayza kini nampak di layar, tersenyum padaku. Aku tersenyum balik padanya. Bisa kurasakan keringat dingin mengucur deras, membasahi punggungku. 

"Ada apa? Mengapa kau tertunduk seperti itu?" tanya Fayza.
"Aku.. Ah, tidak ada apa-apa," jawabku seraya tersenyum malu. 
"Kau tak perlu malu-malu seperti itu. Tak apa-apa," jawabnya. 

Aku menatap layar dan Fayza sedang menatapku. Aku menatapnya tepat di matanya. Perasaan itu muncul lagi--perasaan yang dulu membuatku ingin mengenalnya lebih dekat. Kali ini, perasaan yang muncul berbeda. Aku tak hanya ingin mengenalnya lebih dekat, namun aku ingin bisa berada di dekatnya. Aku ingin bisa melihatnya setiap hari, menatap matanya dalam setiap hari. Aku ingin bisa menggenggam tangannya, membawanya berjalan menyusuri jalan setapak di taman Yarkon. Aku ingin bisa mengunjungi banyak tempat bersamanya, bersaing untuk mendapatkan foto-foto yang mengagumkan. Aku ingin bisa mencetak foto-foto yang kami tangkap bersama, menggantungnya di dinding kamar, dan mengagumi foto-foto tersebut, dengan ia yang ada dalam rangkulanku. 

Tapi akan sulit bagiku untuk bisa melakukan itu semua. Aku harus menghadapi resiko yang tinggi jika aku ingin bisa bersamanya. Aku harus siap meninggalkan rumah ini, bahkan meninggalkan Tel Aviv, kota yang telah kutempati selama dua puluh tahun terakhir. 

"Aaron? Kau baik-baik saja?" 

Aku terkejut. 

"Ya, Fayza. Aku baik-baik saja," jawabku.
"Ada apa? Kau nampak lesu," tanya Fayza.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Maksudku, ini sudah malam dan aku agak mengantuk," jawabku. 
"Jika kau mengantuk, kita bisa mengobrol besok malam," ujar Fayza.
"Tidak. Aku masih belum benar-benar mengantuk," tolakku. 

Kami pun kembali mengobrol. Suaranya yang lembut membuatku merasa nyaman. Kurasa Fayza adalah wanita pertama yang membuatku merasa nyaman seperti ini. Kami tak pernah bertemu sebelumnya, tapi Fayza bisa membuatku merasa nyaman. Sihir apa yang Fayza lakukan padaku sampai aku bisa merasa seperti ini? Aku tak bisa jika satu hari saja tak menghubunginya. Aku selalu menghubunginya dan menanyakan kabarnya. Aku selalu menunggu pesan darinya. Aku menunggunya sampai tengah malam. 

Aku tergila-gila padanya. 

Malam itu aku sudah berniat untuk mengatakan sesuatu padanya. Aku tahu mungkin Fayza akan menganggapku gila, dan aku sudah siap jika ia akan mengatakan sesuatu yang akan membuatku kecewa. Tombol video call kutekan dan tak lama kemudian Tel Aviv telah terhubung dengan Gaza. Sosok Fayza tampil dengan hijab berwarna nila dan overall berwarna biru muda--pakaian yang ia kenakan di foto profilnya. Aku tertegun, takjub melihatnya. 

Aku ingin menatap matanya setiap hari. 

"Fayza, aku ingin mengatakan sesuatu padamu--kau tahu, sesuatu yang mungkin akan kau benci," ujarku.
"Katakan saja," jawab Fayza seraya tersenyum hangat padaku. 

Aku meringis pelan. 

"Aku.." 

Aku mengerem kata-kataku. Aku harus menggunakan bahasa Arab untuk mengungkapkan hal itu. 

"Uhibbuki katsiiron"

Fayza terkejut. Ia menutup mulutnya dengan tangannya. Dari mata indahnya mengalir air mata yang meluncur dan menjejak di pipinya. Aku mengulangi kalimatku dan air mata Fayza semakin deras mengalir. Aku terus mengulangi kalimatku sampai air mataku pun ikut mengalir keluar. Fayza akhirnya menjawabku dengan terbata-bata. 

"Kau tak seharusnya mencintaiku, Aaron," ujarnya.
"Aku mencintaimu, Fayza. Mengapa aku tak boleh mencintaimu?" tanyaku. 
"Kau akan menyesal jika mencintaiku," jawabnya.
"Tapi kau pun mencintaiku, dan aku tahu itu!" tegasku. 

Aku menyeka air mataku. 

"Aku sudah siap dengan semuanya. Fayza, kumohon izinkan aku untuk mencintaimu. Aku tahu resiko yang akan kuhadapi, tapi aku tak peduli. Harus selalu ada pengorbanan untuk cinta, dan kau tahu, aku mau berkorban untuk itu" 

Fayza menggeleng pelan. 

"Kau tak bisa meninggalkan Tel Aviv dan--"
"Uhibbuki fillah!

Fayza tercengang. 

"Uhibbuki fillah. Uhibbuki fillah

Untuk sejenak tak ada yang berbicara. Kami sama-sama menangis. Setelah air mataku mereda, aku mulai berbicara kembali. 

"Aku ingin bertemu denganmu," ujarku.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Kumohon. Aku ingin mengucapkannya langsung," jawabku. 

Fayza menghela nafas. 

"Bagaimana caranya?" 
"Aku akan pergi ke Gaza"
"Aaron, kau gila! Bagaimana dengan orangtuamu jika mereka tahu?"
"Sudah kubilang aku sudah siap dengan apapun resiko yang akan kuhadapi" 
"Tapi--" 
"Esok pagi aku akan berangkat menuju Gaza" 

Fayza benar-benar terkejut dengan ucapanku. Aku tahu mungkin saja ia tak mempercayaiku, tapi aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku sudah siap dengan semuanya. Aku akan menghadapi apapun resikonya. Aku siap jika aku harus meninggalkan rumah ini, meninggalkan Tel Aviv, dan tinggal di tempat yang baru. Aku bahkan siap untuk melepas apa yang kupercaya selama bertahun-tahun karena aku ingin menjadi imam bagi gadis yang kucintai. Aku tahu keluargaku akan membenciku, tapi aku tak peduli. 

"Aaron, aku ingin kau tahu bahwa aku pun mencintaimu. Uhibbuka fillah

Aku tersenyum bahagia mendengar Fayza mengatakan hal itu padaku. 

"Aku akan datang, Fayza. Tunggu aku" 

Malam itu aku hampir tak bisa tidur karena merasa sangat bahagia. Fayza memberitahuku untuk menemuinya besok di Gaza Park. Pagi-pagi sekali aku menyiapkan ranselku dan kubawa beberapa pasang pakaian serta perlengkapan lainnya. Aku tak sempat bilang pada ayah dan ibu bahwa aku akan terbang ke Gaza. Aku terlalu bersemangat dan terburu-buru pergi menuju terminal bis. Tak ada bis yang langsung menuju Gaza sehingga terpaksa nanti aku harus turun di kota terdekat dengan perbatasan dan berjalan kaki menuju Gaza. Sambil menunggu bis, aku membeli sepotong sandwich seharga tiga sheqel. Kurogoh ponselku untuk menghubungi Fayza.

"Aku sudah tiba di terminal bis dan sekarang aku sedang menikmati sepotong sandwich sambil menunggu bis"

Tak lama kemudian Fayza menjawab.

"Aku baru saja selesai menyetrika pakaianku. Kau sarapan dengan sandwich?" 

Jemariku mengetikkan pesan untuk Fayza dengna cepat.

"Ya. Aku tak sempat sarapan di rumahku" 

Ada jeda selama beberapa menit sebelum Fayza membalas pesanku.

"Sejak tadi subuh aku mendengar banyak suara bising dari luar. Kau harus berhati-hati, Aaron" 

"Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu" 

"Aku baik-baik saja, Aaron. Jadi, kapan bismu akan berangkat?" 

"Sekitar lima belas menit lagi. Aku akan menghubungimu setibanya aku di perbatasan" 

Bisku akhirnya tiba dan aku segera naik. Sengaja kupilih tempat duduk yang berada dekat di jendela agar aku bisa melihat pemandangan di luar dan memotret pemandangan dengan leluasa. Aku ingin memperlihatkan hasil tangkapan kameraku pada Fayza setibanya aku di Gaza. Sempat aku tertidur selama beberapa saat dan saat kuterbangun, aku disuguhi pemandangan kemacetan yang nampaknya telah terjadi cukup lama. Banyak penumpang bis yang akhirnya turun dan berjalan kaki menuju terminal yang jaraknya tak begitu jauh. Aku termasuk penumpang yang akhirnya turun dan berjalan menuju bis. Setibanya disana, ada sekumpulan orang yang serius menonton televisi yang ada di atrium terminal. Aku penasaran dengan apa yang mereka tonton. Rupanya mereka menonton berita yang menayangkan penyerangan ke Gaza pagi tadi. Dari layar televisi, kulihat ledakan-ledakan besar dan gedung-gedung yang dalam hitungan detik hancur.

Jantungku berdegup cepat. Keringat dingin mulai mengucur. Mataku terasa panas. Gemetaran tanganku merogoh ponsel di saku jaket jeansku. Aku membuka messengerku untuk menanyakan kabar Fayza.

"Bagaimana keadaanmu? Aku melihatnya di televisi. Apa kau baik-baik saja?" 

Fayza tak menjawab.

"Fayza, kumohon jawab aku. Dimana kau sekarang? Apa kau baik-baik saja?" 

Menetes air mataku begitu saja. Aku mulai terisak, di tengah hingar bingar orang-orang yang berada di terminal ini. Fayza selalu terhubung denganku. Ia selalu membalas pesan-pesanku dengan segera. Tapi tidak untuk kali ini. Fayza tak menjawabku. Lima belas menit aku terus mencoba menghubunginya dengan berbagai cara, namun tetap tak ada pesan balasan untukku, kecuali sebuah tulisan yang muncul di layar ponselku, di bawah nama gadis yang kucintai.

-- Fayza is offline --

No comments:

Post a Comment