Beberapa hari yang lalu, sepupu saya berulang tahun. Beberapa hari yang lalu. Ya, karena saya lupa tanggal berapa tapi yang jelas di bulan Oktober (dan saya malas buat buka Facebook, just to find out his birthday). Sebetulnya ada beberapa orang spesial yang berulangtahun di bulan Oktober dan salah satunya adalah ayah saya yang kemarin sempat merayakan pesta ulangtahun kecil di rumah. Ada nasi kuning tumpeng, ayam goreng, sambal, salad..
Sebetulnya post ini akan menceritakan tentang sepupu saya, Nesa.
Umur si Nesa itu sebetulnya lebih muda dari saya, tapi berhubung orangtuanya adalah kakaknya ayah saya mau nggak mau harus nyebut kakak atau mas ke dia, meskipun pada kenyataannya saya manggil dia dengan nama dia, Nesa, atau Agnesa. Katanya sih beberapa hari yang lalu dia ulangtahun. Katanya. Loh, kok? Kalau anda salah satu pengikut atau penggemarnya Nietzsche mungkin akan setuju dengan ucapannya yang bilang bahwa tidak ada fakta, yang ada hanya interpretasi. Maksudnya, semisal si Nesa dikatakan di akte ulang tahunnya tanggal 17 Oktober, itu 'kan realita menurut yang nulis akte atau realita menurut orang yang percaya bahwa dia ulang tahun tanggal 17 Oktober. Kalau ternyata dia sebetulnya bukan lahir tanggal segitu, bagaimana?
Bingung ya? Emang out of topic sih..
Baiklah. Jadi Nesa itu seperti apa orangnya? Yang jelas sih kata teman-teman saya dia seksi, baik, langsing, tinggi, putih, pokoknya lumayan lah kalau buat ikutan girlband. Pada kenyataannya, Nesa adalah sepupu saya dan dia laki-laki (kalau nggak percaya bisa langsung sentil aja apa yang ada di antara selangkangannya) [R-18 ALERT!]. Urusan langsing, putih, dan cantik, ya itu sih gimana pendapat yang melihat mukanya saja. Tapi sejauh ini buat saya kondisi fisik dia bukan jadi masalah; yang bermasalah itu tingkat kesintingannya. Bahkan setelah dia berulangtahun pun dia masih belum menunjukan adanya indikasi perbaikan dari segi psikis.
Agnesa. Tampak depan |
Sebetulnya kalau bicara tentang hubungan darah saya dan Nesa, saya bisa jadiin itu sebagai skripsi saking panjangnya. Kalaupun ada yang melihat saya dan Nesa sedang gila-gilaan di mal atau restoran, yakinlah sumpah inyong mereka tidak akan menyangka bahwa semasa kecil dulu, saya dan Nesa hobinya bertengkar, dari mulai masalah remote TV sampai asal-usul petir yang kata Nesa waktu itu, munculnya karena dewa sedang marah.
Mungkin dia sejak dulu sudah dicekoki Mahabarata.
Hobi: Bertengkar
Saya sendiri nggak ngerti kenapa waktu dulu sering sekali bertengkar sama Nesa. Kami berdua memang dulu kalau marah dan saling hina, wih kata-katanya cukup pedas. Apalagi Nesa sih, yang lama tinggal di Kalimantan dan terbiasa keluar masuk hutan untuk berburu. Kebayang dong teriakannya seperti apa, secara jarak dari satu hutan ke hutan sebrangnya yang terpisah satu sungai itu lumayan jauh. Hawa-hawanya, kalau ketemu Nesa itu ingin berantem, ingin gampar dan ingin mukul. Mungkin karena aura dari wajahnya kah? Entahlah, yang jelas aura wajahnya sekarang berubah. Buktinya dia bisa nge-fans sama JKT48 dan AKB48.
[out of topic]
Jaman dulu yang saya lihat (berarti ini sudut pandangnya saya), saya ini sangat sensitif dan gampang kesal, sementara Nesa ini tempramennya jelek. Setali tiga uang sih sebetulnya. Kami sering bertengkar dan semenjak Nesa masuk SD, tempramennya mulai membaik meskipun kadang masih pundung (apalagi waktu dia nggak saya kasih lihat mainan Tazos hadiah dari makanan ringan, wuih pundungnya..). Tapi sekalinya kami akur, entahlah kami bisa akur banget. Obrolan jadi nyambung dan di beberapa momen, kami bisa ngobrol tentang topik-topik yang serius... semacam politik atau pembagian harta gono-gini (apa sih). Tapi memang betul demikian. Asalkan mood sedang bagus dan ada topik yang cocok, kami bisa akur dan satu pikiran. Sama rasa istilahnya. Kalau Nesa sedang bahagia, saya juga bahagia. Kalau Nesa sedang jomblo, ya itu sih lebokin aja.
Sejarah pertengkaran masa kecil saya dan Nesa ini sudah melekat dalam pikiran para orangtua. Karena saya lebih dewasa pada saat itu dan nature saya yang menghindari konflik, sebisa mungkin saya sering menghindari pertemuan dengan Nesa saat itu. Setiap ketemu pasti bertengkar. Setiap ketemu pasti bertengkar. Oleh karenanya saat Nesa pindah (lagi) ke Kalimantan, saya sempat merasa tenang karena nggak perlu bertengkar, meskipun dalam hati jujur saja ada yang hilang..
*muntah air raksa*
Si Bolang
Jaman SD, Nesa ini bisa dibilang si bolang--bocah petualang. Nesa lebih banyak terekspos dengan dunia luar dan hidup di alam ketimbang saya yang semasa SD menghabiskan 80% kesehariannya di lingkungan perkotaan. Selama beberapa tahun sempat Nesa dan keluarganya tinggal di rumah nenek (dari garis ayah) saya. Rumah nenek berada di satu desa yang, menurut saya sih, nanggung untuk dibilang desa. Dibilang desa tapi jalan raya beraspal sudah banyak dimana-mana, tapi dibilang kota juga (saat itu) belum banyak public spots dan tempat nongkrong (walhasil anak-anak gawl jaman dulu banyak nongkrong di pinggir jalan, atau di pinggir jembatan dengan sungai super lebar di bawahnya, atau di pinggir jalan di samping areal persawahan). Kebetulan sekali di bagian belakang rumah nenek itu ada kebun yang cukup luas dan nyambung dengan hutan bambu. Setiap saya datang, seringkali saya lihat Nesa baru pulang dari kebun-kebun itu, atau sedang melakukan apapun di kebun di rumah nenek. Oh ya, rumah nenek bisa dibilang besar dan rumahnya berbentuk bungalow, dengan tanah yang besar digunakan untuk taman dan kebun. Kalau saya datang, biasanya muncullah dari balik semak-semak daun cincau si Nesa, dengan telanjang kaki atau pakai sendal jepit dan kulit yang terbakar cahaya sang mentari.
Meskipun jarang terekspos dengan alam, saya pernah nge-bolang dengan Nesa. Mungkin lebih tepatnya saya dan Nesa ikut ayah saya memancing di kolam-kolam pemancingan di tengah hutan. Keluarga kakek saya bisa dibilang berkecukupan (puji Tuhan) sehingga punya cukup banyak kolam-kolam ikan yang ada di tengah hutan. Salah satu kolam yang paling dekat dari rumah jaraknya cuma beberapa ratus meter dan tepat di samping kolam itu, ada sebuah kolam kecil dengan air bersih (entah sumbernya dari mata air pegunungan atau apalah, tapi yang jelas airnya bersih). Di area kolam kecil itu (nggak bisa dibilang kecil juga sih sebetulnya karena bisa dipakai berenang bolak-balik) ada pula bak-bak air untuk mandi atau mencuci pakaian yang biasa digunakan oleh anggota keluarga atau warga sekitar. Biasanya saat ayah saya mancing, saya sama Nesa berenang di kolam kecil itu. Sebetulnya kolamnya nggak begitu dalam tapi ayah saya selalu mewanti-wanti supaya saya berenang di pinggirannya saja. Air kolam yang jernih dan segar (karena cuaca di desa tempat tinggal nenek itu panas) pastinya mengundang anak-anak untuk bermain air dan berenang. Tenggelamlah saya dan Nesa di euforia kolam kecil.
Sekarang kalau saya ingat-ingat lagi, kolam kecil itu jadi mengerikan di benak saya. Dengan kedalaman yang saat itu sekitar satu jengkal lebih tinggi dari tinggi saya, dibatasi oleh sebuah tebing berlumut di satu sisinya dan dengan alas bebatuan hijau, kalau ingat dulu pernah menyelam disana saya jadi ngeri sendiri. Saya jadi terbayang salah satu episode Supernatural di season pertama dimana ada satu arwah yang membalas dendam dengan menenggelamkan orang-orang di sebuah danau.
Saya aja mungkin ya yang terlalu paranoid.
Kuliah
Sebelum Nesa kuliah, saya hanya bisa ketemu saat libur lebaran atau liburan apapun dimana Nesa main untuk berkunjung. Tapi sekarang setelah Nesa kuliah, kami bisa ketemu kapanpun asalkan janjian, atau saat si Nesa disuruh ayah saya untuk datang ke rumah (biasanya karena ada beberapa hal semacam kasus penculikan atau pemerkosaan yang memposisikan Nesa sebagai pelakunya).
Sekarang si Nesa kuliah di Telkom dan ambil jurusan desain.. Desain apa ya? Yang jelas sih memang jurusan yang dia pilih sesuai dengan passion dan bakatnya. I might be careless to say this but, tadinya saya nggak nyangka ternyata dia hobinya ngegambar. Lha wong dulu dia hobinya main ke kebun, dan sekarang dia mainannya sudah drawing pen, aplikasi visual editing, dan semacamnya.. Keren kalau menurut saya yang memang nggak jago menggambar, dan saya senang aja lihat dia bisa ambil jurusan yang memang sesuai dengan passion dia sejak awal.
Seharusnya post ini jadi semacam tulisan selamat ulang tahun buat Nesa, tapi saya jatohnya malah bikin mini-biografi tentang si Nesa. Mungkin judulnya "si anak kebon", karena gelar "si anak singkong" sudah diambil dan "si anak betawi" sudah terlalu melekat pada sosok si Doel. Jadi, at last, selamat ulang tahun yang ke dua puluh berapa entahlah, Agnesa Aji Wijaya. Semoga ekspektasimu tercapai di tahun ini dan segera mendapatkan zodoh sesuai dengan kriteria yang dicanangkan oleh Veno (atau semoga langgeng dengan Veno? atau.. ya baiklan terserah). Cepat lulus dan selalu sukses. IP lo naikin, Nes!
Kebacanya malah birthday happy. Gak ngerti ah ini susunannya gimana sih |
Nih, gue kasih kue virtual buat lo, Nes. Cara makannya sih diulik-ulik sendiri aja, yang jelas dihabisin ya. Habisin sama lilin-lilinnya juga! Mubazir loh kalau nggak habis. Nanti dimarahin Allah loh kalau buang-buang makanan.
No comments:
Post a Comment