Pagar besi hitam itu rupanya telah terbuka. Segera saja aku masuk dan kuparkirkan mobilku tepat di belakang sedan berwarna hitam yang nampak tak asing bagiku. Hujan baru saja reda, menyisakan kesejukan di udara dan aroma yang khas yang kucium saat aku keluar dari mobilku. Kelabunya langit siang ini membuatku merasa nyaman, meskipun kebanyakan rekan-rekan kerjaku tak menyukai cuaca berawan. Sol sepatuku menginjak rumput teki yang hijaunya begitu memanjakan mata. Aku pun melangkah menuju teras rumah itu dan berdiri di depan pintu kayu berwarna putih itu, aku menghela nafas sejenak. Kutekan tombol bel dan samar-samar aku dapat mendengar bunyi bel dari dalam rumah, yang disusul oleh seruan yang memintaku untuk menunggu. Tak berapa lama kemudian, sepasang mata mengintip dari kaca jendela di pintu dan berkedip jenaka padaku. Pintu itu lalu terbuka dan sesosok anak laki-laki yang masih mengenakan celana seragam sekolahnya berdiri di hadapanku, tersenyum ramah padaku.
"Mas Ezar."
Reyhan menyambutku dengan hangat. Aku memeluknya sejenak lalu mengacak-acak rambutnya. Adikku tak banyak berubah, kecuali rambutnya yang sepertinya baru dipotong. Ia kembali merapikan rambutnya dengan jemarinya.
"Ayah mana?" tanyaku.
"Lagi pergi," jawab Reyhan.
"Pergi kemana? Itu mobilnya ada," tanyaku bingung karena jelas-jelas aku memarkir mobilku di belakang mobil ayahku.
"Minimarket. Jalan kaki," jelas Reyhan.
Aku melepas sepatuku lalu menaruhnya di rak sepatu, kemudian mengikuti adikku masuk ke ruang keluarga. Reyhan melempar tubuhnya ke atas sofa lalu meraih remote control televisi yang ada di atas meja kopi. Aku duduk di kursi lengan antik, bersandar malas dengan kaki yang kutopangkan di atas meja; hal yang biasa kulakukan saat ayah tak ada di rumah.
"Kamu sudah makan?" tanyaku pada Reyhan yang kini memindahkan channel televisi.
"Di sekolah tadi beli mi goreng," jawabnya.
"Mana kenyang," tukasku.
"Porsinya dobel," jelasnya.
Kini tatapan adikku tertuju padaku.
"Mas Ezar jadi 'kan menginap disini?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
"Alia 'kan sedang ikut seminar sastra di Kuala Lumpur. Dia disana selama sekitar seminggu," jelasku.
"Kalau gitu, mas menginap aja disini untuk seminggu," usul Reyhan.
"Kenapa nggak kamu yang menginap di rumah mas Ezar?" tanyaku.
"Kasihan ayah. Sendirian," jawab Reyhan.
Aku dan adikku kemudian menonton acara kartun yang ditayangkan oleh stasiun televisi nasional. Aku sudah bukan lagi anak kecil, sudah menikah dan bekerja dan adikku kini duduk di bangku sekolah menengah atas, kelas dua, namun kami masih sama-sama suka menonton kartun. Sesekali kami tertawa saat menemukan adegan yang lucu dan menarik. Aku hampir saja menendang cangkir kopi milik ayah karena tawaku yang meledak. Setelah remote control televisi jatuh tertendang olehku untuk yang kelima kalinya, baru kuturunkan kakiku dari atas meja. Reyhan mengambil remote control dari lantai dan menaruhnya di dekatnya.
"Mas Ezar ingat dulu kita sering sekali beli remote televisi cadangan karena rusak kena tendang mas Ezar?" tanya Reyhan.
"Kalau remote televisi di rumah mas sih aman-aman saja, nggak sampai rusak," tukasku.
"Licik. Bisanya hanya ngerusak remote televisi di rumah orang lain," jawab Reyhan.
"Tapi 'kan nggak sampai rusak seperti dulu," aku membela diri.
"Ya. Dulu. Sampai casing retak dan lepas," sambung adikku.
Kartun yang ditayangkan telah selesai, dan kemudian terdengar suara bel yang disusul dengan tiga ketukan tegas di pintu depan. Adikku meletakkan remote control televisi di atas meja lalu bangun dari tempat duduknya.
"Rey aja yang bukakan pintu," ujar adikku seraya beranjak menuju ruang tamu.
Terdengar obrolan dari arah ruang tamu; obrolan dari dua suara yang kukenal baik. Suara bariton itu masih terdengar tegas seperti dulu, namun tetap ada keramahan yang masih bisa kurasakan dari suara itu. Suara obrolan itu terdengar mendekat dan pada akhirnya sumber suara itu berada di ruangan yang sama denganku. Kulihat sosok ayahku, menenteng kantung plastik berisi barang belanjaan. Aku beranjak dan menghampirinya, mencium tangannya lalu membantunya membawa barang belanjaan ke dapur. Ayah memasukkan buah-buahan ke dalam kulkas, sementara aku memasukkan stok mi instan dan cemilan-cemilan ke dalam laci makanan.
"Datang jam berapa?" tanya ayah.
"Belum lama. Mungkin sekitar setengah jam yang lalu," jawabku.
"Kamu nggak bertengkar dengan adikmu, 'kan?" tanya ayah.
"Seperti yang ayah lihat, nggak ada barang yang rusak atau muka yang memar," jawabku.
Ayah melepas running jacket yang ia kenakan lalu kemudian berjalan menuju laci persediaan kopi. Ia mengambil dua sachet kopi instan dan membuat kopi. Aku mengernyitkan dahiku. Apa ia akan meminum dua cangkir kopi sekaligus?
"Ayah minum dua-duanya?" tanyaku.
"Ayah buatkan satu untuk kamu," jawabku.
"Wah. Terima kasih," jawabku takjub.
"Kenapa? Seperti yang kaget begitu," ayah balik bertanya.
"Takjub aja. Ayah buatkan kopi buat aku," jawabku.
Kami pun kemudian berbincang-bincang sembari menikmati kopi panas. Gerimis nampaknya mulai turun lagi dan puji Tuhan ayah sudah berada di rumah sebelum gerimis turun. Ayah menanyakan soal pekerjaanku dan aku bercerita pada ayah tentang suasana di tempat kerjaku yang nyaman dan bersahabat. Aku pun menceritakan tentang Alia yang sedang merencanakan bisnis online dan ide itu didukung oleh ayah yang menjanjikanku untuk menawarkan bantuan dalam bentuk apapun. Reyhan nampaknya tak begitu tertarik dengan obrolan kami, tetap berfokus pada layar televisi yang sekarang menampilkan acara musik. Aku memperhatikan adikku. Ia terus menerus memindahkan channel televisi dan tak pernah bertahan pada satu channel televisi lebih dari satu menit. Ayah masih tetap mengajakku berbincang-bincang. Reyhan akhirnya menaruh remote control televisi lalu berjalan menghampiriku dan ayah. Ia berdiri di dekatku, memperhatikan obrolan kami, lalu berjalan ke arah dapur, mengambil sekaleng kripik kentang yang dibeli ayah, kembali memperhatikan obrolan kami, lalu akhirnya kembali menonton acara televisi. Sambil mengobrol aku tetap memperhatikan adikku yang ternyata kembali memindahkan channel televisi berkali-kali. Ayah akhirnya ikut melihat ke arah adikku, lalu tatapannya tertuju padaku. Tangan kanannya menutup sisi kanan wajahnya dan ia berbisik padaku.
"Sejak kamu pindah, Reyhan jadi sering begitu," bisik ayah.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kesepian," jawab ayah.
Aku mengernyitkan dahiku. Selama ini Reyhan tak pernah menunjukkan padaku bahwa ia merasa kesepian. Saat kami saling berkirim pesan, atau saat kami bertemu, ia tak pernah memberitahuku bahwa ia merasa kesepian. Ia bahkan tak pernah memberitahuku bahwa ia merindukanku. Reyhan nampak baik-baik saja. Ia tak terlihat seperti apa yang ayah katakan.
"Tapi dia nggak pernah bilang kalau--"
"Kamu tahu adikmu seperti apa, 'kan?" potong ayah.
Aku menghela nafas pelan. Bertahun-tahun aku tinggal bersama adikku dan menghabiskan lebih dari setengah masa hidupku dengannya dan rupanya aku masih tak dapat memahaminya dengan baik. Reyhan benar-benar tak dapat kuduga. Ia bisa tertawa, lalu tiba-tiba menangis, dan tiba-tiba kembali tertawa setelahnya, seolah-olah ia tak menangis sebelumnya. Ia seringkali diam, lalu tiba-tiba mengatakan satu hal yang tak terpikirkan oleh siapapun. Seringkali ia bicara tentang sesuatu yang tak masuk akal, namun saat aku dalam perjalanan pulang aku tersadar bahwa ucapannya benar dan berkaitan dengan masalah yang kuhadapi. Adikku adalah sosok yang seringkali menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya dibalik topeng-topeng yang mengecoh. Di balik ekspresi datarnya, ia menyimpan banyak hal yang tak pernah kuduga sebelumnya dan aku selalu gagal untuk menggali hal-hal yang ia simpan. Reyhan akhirnya berhenti memindahkan channel televisi dan menaruh kaleng kripik kentangnya di atas meja. Ia membetulkan posisi duduknya lalu bersandar dengan nyaman di tempat duduknya. Tiba-tiba ia menengok ke belakang lalu melirik ke arahku dan ayah, tersenyum kecil dan kembali berbalik untuk menonton televisi.
"Dia itu seperti kucing," ujar ayah.
"Kucing?" tanyaku bingung.
"Untuk bisa menyentuh dan bermain dengan kucing, terkadang kamu tidak bisa begitu saja mendekat. Kucing malah bisa takut dan kabur kalau kamu main mendekat begitu saja," jelas ayah.
"So?"
"Kadang kamu hanya perlu diam, jongkok, lalu memancing supaya kucingnya mendekat. Kamu harus buat kucing itu percaya bahwa kamu tidak akan melukai dia."
"Memangnya aku mau melukai atau ajak Rey bertengkar?"
"Untuk sebagian orang, pertanyaan bisa berarti ancaman."
Adikku menaruh remote control televisi di atas meja lalu beranjak menuju kamar tidurnya. Aku meneguk kopiku lalu bangun dari tempat dudukku dan menyusul adikku ke kamarnya. Disana ia menyalakan komputernya lalu duduk di depan komputer. Ia menyadari kehadiranku, melirik ke arahku dan tersenyum kecil, lalu kembali menatap layar komputer. Aku masuk dan memperhatikan suasana kamarnya. Tak banyak perubahan pada kamarnya. Cat temboknya masih tetap sama dan posisi barang-barang pun tak berubah, kecuali kini ada sebuah keranjang untuk pakaian kotor di samping lemari pakaiannya. Gitar adikku tetap disandarkan pada tembok sisi utara kamarnya. Action figure dari karakter-karakter animasi kesukaannya terpajang rapi di sebuah rak di atas meja kerjanya. Aku duduk di tempat tidur adikku lalu menatap lemari pakaian adikku. Kenangan beberapa tahun yang lalu seketika muncul, membuat bulu kudukku berdiri. Di tempat yang sama, beberapa tahun yang lalu, aku menghadapi sebuah ketakutan hebat. Aku tak melihat Reyhan di kamarnya saat aku masuk ke kamarnya Kamis pagi itu. Kukira ia kabur dari rumah, namun cairan merah pekat yang menetes dari sela-sela pintu lemari pakaiannya membuatku penasaran untuk membukanya. Adikku ada disana, di dalam lemari, dan kami tak sedang bermain petak umpet. Ia memeluk kedua lututnya dan kepalanya tenggelam di balik kedua lututnya. Cairan merah pekat itu masih mengalir dari ujung lengan kirinya, mengotori pakaian-pakaiannya. Dengan panik aku mengeluarkan Reyhan dari dalam lemari dan sebuah cutter terjatuh ke lantai, dengan mata pisau yang tajam memantulkan cahaya lampu yang mulai redup. Tubuh adikku terasa dingin dan wajahnya begitu pucat. Sambil menangis aku menggendong adikku lalu membawanya keluar kamar. Ayah telah pergi ke kantor dan hanya ada aku di rumah. Aku tak bisa menunggu bantuan jadi kuputuskan untuk membawa sendiri adikku ke rumah sakit. Aku tak sempat mengganti pakaianku dan angin pagi terasa dingin menusuk tubuhku, tapi aku tak peduli. Satu tanganku memegang kemudi motorku, dan tangan kiriku terus memegang dan menahan tubuh adikku yang kusandarkan pada punggungku. Aku tak peduli dengan kepalaku yang tak terlindung oleh helm. Begitupun dengan tatapan orang-orang yang menganggapku aneh, berkendara di pagi hari dengan pakaian kusut, air mata yang menganak sungai, dan tanpa helm.
"Mas nggak akan pernah lupa kejadian itu," ujarku.
"Aku nggak ingat saat itu seperti apa," balas Reyhan.
"Kamu 'kan nggak sadarkan diri saat itu," jawabku.
"Memangnya betul aku koma selama satu minggu?" tanya Reyhan tak percaya.
Aku meringis pelan.
"Jangan pernah bertindak bodoh seperti itu lagi," tegasku.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur adikku. Kasur ini masih terasa sama. Dulu aku biasa mengerjakan tugasku di kamar adikku. Sementara adikku mengerjakan tugas rumahnya, aku akan mengerjakan tugasku di atas tempat tidurnya. Terkadang aku tertidur karena kelelahan dan saat aku terbangun keesokan harinya, hal yang pertama kulihat adalah telapak kaki adikku, menutupi hampir seluruh wajahku. Kepalanya berada di sudut tempat tidur, sementara kakiku berada di atas perutnya. Laptopku ada di atas meja kerjanya dan aku yakin pasti adikku yang memindahkannya kesana. Selama tidur di kamarku sendiri, aku tak pernah banyak bergerak dalam tidurku. Begitupun adikku yang, saat tidur sendiri, akan terbangun dalam keadaan yang rapi. Namun saat aku tidur bersama adikku, kami berdua seperti kincir angin, berputar dalam tidur kami dan bangun dengan posisi yang saling tumpang tindih.
Reyhan tiba-tiba ikut berbaring di sampingku, dengan kaki berada di sisi yang berlawanan. Ia mengangkat tangannya dan dengan cepat ia mengambil foto dari ponselnya.
"Selfie!"
Aku bahkan belum siap untuk berpose namun tombol shutter telah ditekan. Kulihat ekspresi wajahku nampak bodoh, kecuali Reyhan yang sudah siap dengan posenya. Ia kemudian mengotak-atik foto tersebut dan mengunggahnya ke akun jejaring sosialnya.
"Mukaku jelek, Rey. Kenapa kamu upload fotonya?" tanyaku.
"Aku tag ya ke mbak Alia," ujarnya.
"Jangan! Muka mas lagi nggak bagus!" tahanku.
"Ah, keburu aku klik upload," jawab Reyhan.
Aku menghela nafas sejenak. Ah, toh aku bisa menghapus tag di fotoku nanti. Reyhan memainkan ponselnya, sekedar melihat-lihat foto atau memeriksa akun-akun jejaring sosialnya. Ia tak bicara sama sekali, seolah sibuk dengan kegiatannya. Aku merebut ponselnya dari tangannya dan kutaruh ponselnya di saku celanaku.
Dan ia tak bereaksi sama sekali.
"Gimana keadaan rumah selama ini?" tanyaku.
"Rapi. Bersih," jawab Reyhan.
"Maksud mas, kamu selama di rumah bagaimana keadaannya?" jelasku.
"Baik," jawab Reyhan singkat.
"Kalau ayah belum pulang, kamu ngapain saja di rumah?"
"Nonton televisi, main komputer, kerjakan tugas, atau main gitar."
"Nggak ada temanmu berkunjung?"
"Andra jarang main. Lebih sering aku yang pergi untuk ketemu teman-teman."
"Berarti kamu sendiri di rumah?"
"Ya. Sendiri."
Aku masih harus memancingnya. Ia sudah mulai membuka diri.
"Memangnya nggak apa-apa sendiri?" tanyaku.
"Ya. Nggak apa-apa," jawabnya.
"Lalu penampakan itu? Kamu pernah cerita tentang penampakan di rumah."
"Nggak ada lagi. Aku sudah biasa kok sendiri sebelum ayah pulang dari kantor."
"Kenapa kamu nggak pergi ke rumah mas saja? 'Kan ada Alia."
"Nggak apa-apa. Lagipula aku 'kan harus kerjakan tugas juga."
"Tapi kalau sendiri 'kan nggak enak. Apalagi kalau ada apa-apa, nanti kamu repot sendiri."
"Rey sudah besar, mas. Jangan khawatir."
Sedikit lagi.
"Memangnya kamu nggak kesepian?" tanyaku.
"Ya.. Nggak begitu sih," jawabnya.
"Nggak begitu? Berarti kamu merasa kesepian?" tanyaku lagi.
"Kadang-kadang begitu," jawabnya, "Tapi 'kan bisa main gitar atau nonton televisi."
"Kalau merasa kesepian, kamu bilang sama mas. Jangan diam saja."
"Rey nggak apa-apa kok. Mas jangan panik begitu."
"Ya pokoknya kalau kamu ada apa-apa, mas nggak mau kamu diam saja."
Aku tersenyum kecil. Aku membalikkan tubuhku, tengkurap di atas tempat tidur adikku.
"Kamu nggak rindu sama mas Ezar?" tanyaku.
"Biasa saja," jawab Reyhan.
"Benar nih?"
Reyhan terdiam. Seketika setetes air mata mengalir dari matanya. Ia terisak pelan, lalu menyeka air mata di wajahnya. Aku tersenyum kecil. Kuusap rambutnya pelan. Reyhan pun duduk, mengambil bantalnya dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal tersebut.
"Mas nggak yakin kamu nggak rindu sama mas," ujarku.
"Rey belum terbiasa dengan keadaan yang baru," ujarnya pelan.
"Mas sudah duga, kok," jawabku.
"Rey HANYA belum terbiasa dengan keadaan yang baru," tegasnya.
Aku bangun dan mendekati adikku yang duduk membelakangiku. Ia masih menutupi wajahnya dengan bantalnya. Aku meringis pelan. Kutarik bantal yang adikku pakai untuk menutupi wajahnya. Reyhan terkejut. Ia menatapku dengan mata sembabnya lalu tertunduk malu. Aku melempar bantal itu ke kepala adikku lalu kudengar ia mengerang pelan. Sambil tertawa kecil, aku pun duduk di samping adikku.
"Kenapa kamu nggak bilang saja? Toh mas bisa mampir ke rumah 'kan kalau memang kamu rindu," tanyaku.
"Rey nggak bisa bilang kalau Rey rindu. Rey nggak berani," jawab adikku pelan.
"Kalau kamu pendam begini 'kan malah jadi menyusahkan buat kamu. Mas dari dulu 'kan bilang, kalau kamu ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita," balasku.
Reyhan menghela nafas sejenak.
"Rey nggak terbiasa dengan suasana baru. Biasanya kalau subuh, Rey lihat mas lagi sholat di kamar. Biasanya kita sarapan bareng, lalu mas antar Rey ke sekolah. Mas mulai sibuk setelah lulus kuliah dan kerja, jadi Rey akhirnya belajar untuk bawa motor sendiri. Biasanya di rumah ada tiga orang, sekarang tinggal Rey dan ayah. Rey terbiasa dengan kehadiran mas Ezar di rumah. Sekarang setelah mas Ezar menikah dan nggak tinggal lagi bersama ayah dan Rey, suasana di rumah jadi beda. Rey rindu suasana rumah yang dulu. Rey.. Rey rindu mas Ezar."
Kurangkul adikku dengan erat. Reyhan berusaha keras untuk tak menangis dan menyeka air matanya. Aku mengusap kepala adikku. Bukan hanya Reyhan dan ayahku yang merasakan suasana yang baru. Aku pun merasakan suasana baru di rumahku. Meskipun aku bahagia karena aku dapat hidup bersama Alia, menjadi sosok yang ia lihat saat pertama kali ia membuka matanya di pagi hari, tetap saja aku tak dapat menghindar dari perasaan itu--perasaan sepi dan rindu pada adik dan ayahku. Dulu, aku biasa membangunkan adikku saat subuh, menikmati sarapan bersamanya dan ayah, mengantarnya pergi ke sekolah dan menjemputnya seusai sekolah, makan siang bersamanya, mengobrol bersamanya dan ayah sembari menonton televisi, atau menikmati secangkir kopi sementara aku mengerjakan tugasku dan ayah mengerjakan pekerjaannya. Kini aku tak dapat membangunkan adikku lagi, mengantarnya ke sekolah dan menjemputnya, atau makan siang bersama. Pekerjaan dan pernikahanku mengubah hidupku dan aku tahu adikku masih belum benar-benar dapat menerima perubahan ini.
"Seminggu," ujarku.
"Apa?" tanya adikku, hampir terbata-bata.
"Mas mau menginap disini seminggu," jelasku.
"Benarkah?" adikku seolah tak percaya.
"Ya. Mas Ezar serius. Memang kamu pikir cuma kamu yang rindu dengan suasana dulu? Mas juga rindu suasana yang dulu," jawabku.
Reyhan kembali menyeka air matanya, lalu menatapku tak percaya.
"Memangnya nggak apa-apa?" tanya Reyhan ragu.
"Toh di rumah pun nggak ada siapa-siapa," jawabku.
"Kerjaan mas bagaimana? Baju?" tanyanya lagi.
"Ah, tinggal ke rumah untuk ambil baju. Toh kalau sebatas baju santai 'kan disini pun ada. Kerjaan 'kan ada di laptop," jawabku.
Reyhan nampak senang. Ia tersenyum kecil. Aku mengacak-acak rambutnya dan ia, seperti biasanya, segera merapikan kembali rambutnya. Melihatnya senang seperti ini membuatku ikut senang dan lega. Sejak kepergian ibu, aku selalu mengkhawatirkan adikku.
"Rey ingin makan bakso," ujar Reyhan.
"Karapitan?" tanyaku.
"Boleh. Dimana pun," jawabnya.
Aku dan adikku bangun. Reyhan nampak antusias. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil sebuah jaket lalu segera mengenakannya. Ia pun berjalan ke depan cermin dan merapikan rambutnya, lalu kemudian menatapku dengan tatapan bingung.
"Mas Ezar kok masih diam saja?" tanyanya.
"Loh, mau pergi sekarang?" tanyaku kaget.
"Rey lapar lagi," jawabnya.
Aku tersenyum kecil. Kudekati adikku lalu kuacak-acak kembali rambutnya. Reyhan kali ini tak merapikan kembali rambutnya. Kurangkul adikku dan kubawa ia keluar kamar, menuju ruang keluarga dimana ayah sedang menonton televisi setelah menikmati kopinya. Setelah meminta izin, aku dan adikku pun segera berangkat menuju kedai bakso yang telah disepakati untuk dikunjungi. Reyhan memutar sebuah CD berisi kumpulan lagu-lagu akustik lalu mulai bernyanyi. Aku hanya tersenyum melihat tingkah adikku. Tak berapa lama kemudian Reyhan tiba-tiba menjeda pemutar musik lalu melirikku.
"Rey senang mas Ezar mau tinggal lagi sama Rey dan ayah," ujarnya.
Aku menatapnya dan tersenyum. Aku yakin seminggu ini akan sangat menyenangkan.
Kartun yang ditayangkan telah selesai, dan kemudian terdengar suara bel yang disusul dengan tiga ketukan tegas di pintu depan. Adikku meletakkan remote control televisi di atas meja lalu bangun dari tempat duduknya.
"Rey aja yang bukakan pintu," ujar adikku seraya beranjak menuju ruang tamu.
Terdengar obrolan dari arah ruang tamu; obrolan dari dua suara yang kukenal baik. Suara bariton itu masih terdengar tegas seperti dulu, namun tetap ada keramahan yang masih bisa kurasakan dari suara itu. Suara obrolan itu terdengar mendekat dan pada akhirnya sumber suara itu berada di ruangan yang sama denganku. Kulihat sosok ayahku, menenteng kantung plastik berisi barang belanjaan. Aku beranjak dan menghampirinya, mencium tangannya lalu membantunya membawa barang belanjaan ke dapur. Ayah memasukkan buah-buahan ke dalam kulkas, sementara aku memasukkan stok mi instan dan cemilan-cemilan ke dalam laci makanan.
"Datang jam berapa?" tanya ayah.
"Belum lama. Mungkin sekitar setengah jam yang lalu," jawabku.
"Kamu nggak bertengkar dengan adikmu, 'kan?" tanya ayah.
"Seperti yang ayah lihat, nggak ada barang yang rusak atau muka yang memar," jawabku.
Ayah melepas running jacket yang ia kenakan lalu kemudian berjalan menuju laci persediaan kopi. Ia mengambil dua sachet kopi instan dan membuat kopi. Aku mengernyitkan dahiku. Apa ia akan meminum dua cangkir kopi sekaligus?
"Ayah minum dua-duanya?" tanyaku.
"Ayah buatkan satu untuk kamu," jawabku.
"Wah. Terima kasih," jawabku takjub.
"Kenapa? Seperti yang kaget begitu," ayah balik bertanya.
"Takjub aja. Ayah buatkan kopi buat aku," jawabku.
Kami pun kemudian berbincang-bincang sembari menikmati kopi panas. Gerimis nampaknya mulai turun lagi dan puji Tuhan ayah sudah berada di rumah sebelum gerimis turun. Ayah menanyakan soal pekerjaanku dan aku bercerita pada ayah tentang suasana di tempat kerjaku yang nyaman dan bersahabat. Aku pun menceritakan tentang Alia yang sedang merencanakan bisnis online dan ide itu didukung oleh ayah yang menjanjikanku untuk menawarkan bantuan dalam bentuk apapun. Reyhan nampaknya tak begitu tertarik dengan obrolan kami, tetap berfokus pada layar televisi yang sekarang menampilkan acara musik. Aku memperhatikan adikku. Ia terus menerus memindahkan channel televisi dan tak pernah bertahan pada satu channel televisi lebih dari satu menit. Ayah masih tetap mengajakku berbincang-bincang. Reyhan akhirnya menaruh remote control televisi lalu berjalan menghampiriku dan ayah. Ia berdiri di dekatku, memperhatikan obrolan kami, lalu berjalan ke arah dapur, mengambil sekaleng kripik kentang yang dibeli ayah, kembali memperhatikan obrolan kami, lalu akhirnya kembali menonton acara televisi. Sambil mengobrol aku tetap memperhatikan adikku yang ternyata kembali memindahkan channel televisi berkali-kali. Ayah akhirnya ikut melihat ke arah adikku, lalu tatapannya tertuju padaku. Tangan kanannya menutup sisi kanan wajahnya dan ia berbisik padaku.
"Sejak kamu pindah, Reyhan jadi sering begitu," bisik ayah.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kesepian," jawab ayah.
Aku mengernyitkan dahiku. Selama ini Reyhan tak pernah menunjukkan padaku bahwa ia merasa kesepian. Saat kami saling berkirim pesan, atau saat kami bertemu, ia tak pernah memberitahuku bahwa ia merasa kesepian. Ia bahkan tak pernah memberitahuku bahwa ia merindukanku. Reyhan nampak baik-baik saja. Ia tak terlihat seperti apa yang ayah katakan.
"Tapi dia nggak pernah bilang kalau--"
"Kamu tahu adikmu seperti apa, 'kan?" potong ayah.
Aku menghela nafas pelan. Bertahun-tahun aku tinggal bersama adikku dan menghabiskan lebih dari setengah masa hidupku dengannya dan rupanya aku masih tak dapat memahaminya dengan baik. Reyhan benar-benar tak dapat kuduga. Ia bisa tertawa, lalu tiba-tiba menangis, dan tiba-tiba kembali tertawa setelahnya, seolah-olah ia tak menangis sebelumnya. Ia seringkali diam, lalu tiba-tiba mengatakan satu hal yang tak terpikirkan oleh siapapun. Seringkali ia bicara tentang sesuatu yang tak masuk akal, namun saat aku dalam perjalanan pulang aku tersadar bahwa ucapannya benar dan berkaitan dengan masalah yang kuhadapi. Adikku adalah sosok yang seringkali menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya dibalik topeng-topeng yang mengecoh. Di balik ekspresi datarnya, ia menyimpan banyak hal yang tak pernah kuduga sebelumnya dan aku selalu gagal untuk menggali hal-hal yang ia simpan. Reyhan akhirnya berhenti memindahkan channel televisi dan menaruh kaleng kripik kentangnya di atas meja. Ia membetulkan posisi duduknya lalu bersandar dengan nyaman di tempat duduknya. Tiba-tiba ia menengok ke belakang lalu melirik ke arahku dan ayah, tersenyum kecil dan kembali berbalik untuk menonton televisi.
"Dia itu seperti kucing," ujar ayah.
"Kucing?" tanyaku bingung.
"Untuk bisa menyentuh dan bermain dengan kucing, terkadang kamu tidak bisa begitu saja mendekat. Kucing malah bisa takut dan kabur kalau kamu main mendekat begitu saja," jelas ayah.
"So?"
"Kadang kamu hanya perlu diam, jongkok, lalu memancing supaya kucingnya mendekat. Kamu harus buat kucing itu percaya bahwa kamu tidak akan melukai dia."
"Memangnya aku mau melukai atau ajak Rey bertengkar?"
"Untuk sebagian orang, pertanyaan bisa berarti ancaman."
Adikku menaruh remote control televisi di atas meja lalu beranjak menuju kamar tidurnya. Aku meneguk kopiku lalu bangun dari tempat dudukku dan menyusul adikku ke kamarnya. Disana ia menyalakan komputernya lalu duduk di depan komputer. Ia menyadari kehadiranku, melirik ke arahku dan tersenyum kecil, lalu kembali menatap layar komputer. Aku masuk dan memperhatikan suasana kamarnya. Tak banyak perubahan pada kamarnya. Cat temboknya masih tetap sama dan posisi barang-barang pun tak berubah, kecuali kini ada sebuah keranjang untuk pakaian kotor di samping lemari pakaiannya. Gitar adikku tetap disandarkan pada tembok sisi utara kamarnya. Action figure dari karakter-karakter animasi kesukaannya terpajang rapi di sebuah rak di atas meja kerjanya. Aku duduk di tempat tidur adikku lalu menatap lemari pakaian adikku. Kenangan beberapa tahun yang lalu seketika muncul, membuat bulu kudukku berdiri. Di tempat yang sama, beberapa tahun yang lalu, aku menghadapi sebuah ketakutan hebat. Aku tak melihat Reyhan di kamarnya saat aku masuk ke kamarnya Kamis pagi itu. Kukira ia kabur dari rumah, namun cairan merah pekat yang menetes dari sela-sela pintu lemari pakaiannya membuatku penasaran untuk membukanya. Adikku ada disana, di dalam lemari, dan kami tak sedang bermain petak umpet. Ia memeluk kedua lututnya dan kepalanya tenggelam di balik kedua lututnya. Cairan merah pekat itu masih mengalir dari ujung lengan kirinya, mengotori pakaian-pakaiannya. Dengan panik aku mengeluarkan Reyhan dari dalam lemari dan sebuah cutter terjatuh ke lantai, dengan mata pisau yang tajam memantulkan cahaya lampu yang mulai redup. Tubuh adikku terasa dingin dan wajahnya begitu pucat. Sambil menangis aku menggendong adikku lalu membawanya keluar kamar. Ayah telah pergi ke kantor dan hanya ada aku di rumah. Aku tak bisa menunggu bantuan jadi kuputuskan untuk membawa sendiri adikku ke rumah sakit. Aku tak sempat mengganti pakaianku dan angin pagi terasa dingin menusuk tubuhku, tapi aku tak peduli. Satu tanganku memegang kemudi motorku, dan tangan kiriku terus memegang dan menahan tubuh adikku yang kusandarkan pada punggungku. Aku tak peduli dengan kepalaku yang tak terlindung oleh helm. Begitupun dengan tatapan orang-orang yang menganggapku aneh, berkendara di pagi hari dengan pakaian kusut, air mata yang menganak sungai, dan tanpa helm.
"Mas nggak akan pernah lupa kejadian itu," ujarku.
"Aku nggak ingat saat itu seperti apa," balas Reyhan.
"Kamu 'kan nggak sadarkan diri saat itu," jawabku.
"Memangnya betul aku koma selama satu minggu?" tanya Reyhan tak percaya.
Aku meringis pelan.
"Jangan pernah bertindak bodoh seperti itu lagi," tegasku.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur adikku. Kasur ini masih terasa sama. Dulu aku biasa mengerjakan tugasku di kamar adikku. Sementara adikku mengerjakan tugas rumahnya, aku akan mengerjakan tugasku di atas tempat tidurnya. Terkadang aku tertidur karena kelelahan dan saat aku terbangun keesokan harinya, hal yang pertama kulihat adalah telapak kaki adikku, menutupi hampir seluruh wajahku. Kepalanya berada di sudut tempat tidur, sementara kakiku berada di atas perutnya. Laptopku ada di atas meja kerjanya dan aku yakin pasti adikku yang memindahkannya kesana. Selama tidur di kamarku sendiri, aku tak pernah banyak bergerak dalam tidurku. Begitupun adikku yang, saat tidur sendiri, akan terbangun dalam keadaan yang rapi. Namun saat aku tidur bersama adikku, kami berdua seperti kincir angin, berputar dalam tidur kami dan bangun dengan posisi yang saling tumpang tindih.
Reyhan tiba-tiba ikut berbaring di sampingku, dengan kaki berada di sisi yang berlawanan. Ia mengangkat tangannya dan dengan cepat ia mengambil foto dari ponselnya.
"Selfie!"
Aku bahkan belum siap untuk berpose namun tombol shutter telah ditekan. Kulihat ekspresi wajahku nampak bodoh, kecuali Reyhan yang sudah siap dengan posenya. Ia kemudian mengotak-atik foto tersebut dan mengunggahnya ke akun jejaring sosialnya.
"Mukaku jelek, Rey. Kenapa kamu upload fotonya?" tanyaku.
"Aku tag ya ke mbak Alia," ujarnya.
"Jangan! Muka mas lagi nggak bagus!" tahanku.
"Ah, keburu aku klik upload," jawab Reyhan.
Aku menghela nafas sejenak. Ah, toh aku bisa menghapus tag di fotoku nanti. Reyhan memainkan ponselnya, sekedar melihat-lihat foto atau memeriksa akun-akun jejaring sosialnya. Ia tak bicara sama sekali, seolah sibuk dengan kegiatannya. Aku merebut ponselnya dari tangannya dan kutaruh ponselnya di saku celanaku.
Dan ia tak bereaksi sama sekali.
"Gimana keadaan rumah selama ini?" tanyaku.
"Rapi. Bersih," jawab Reyhan.
"Maksud mas, kamu selama di rumah bagaimana keadaannya?" jelasku.
"Baik," jawab Reyhan singkat.
"Kalau ayah belum pulang, kamu ngapain saja di rumah?"
"Nonton televisi, main komputer, kerjakan tugas, atau main gitar."
"Nggak ada temanmu berkunjung?"
"Andra jarang main. Lebih sering aku yang pergi untuk ketemu teman-teman."
"Berarti kamu sendiri di rumah?"
"Ya. Sendiri."
Aku masih harus memancingnya. Ia sudah mulai membuka diri.
"Memangnya nggak apa-apa sendiri?" tanyaku.
"Ya. Nggak apa-apa," jawabnya.
"Lalu penampakan itu? Kamu pernah cerita tentang penampakan di rumah."
"Nggak ada lagi. Aku sudah biasa kok sendiri sebelum ayah pulang dari kantor."
"Kenapa kamu nggak pergi ke rumah mas saja? 'Kan ada Alia."
"Nggak apa-apa. Lagipula aku 'kan harus kerjakan tugas juga."
"Tapi kalau sendiri 'kan nggak enak. Apalagi kalau ada apa-apa, nanti kamu repot sendiri."
"Rey sudah besar, mas. Jangan khawatir."
Sedikit lagi.
"Memangnya kamu nggak kesepian?" tanyaku.
"Ya.. Nggak begitu sih," jawabnya.
"Nggak begitu? Berarti kamu merasa kesepian?" tanyaku lagi.
"Kadang-kadang begitu," jawabnya, "Tapi 'kan bisa main gitar atau nonton televisi."
"Kalau merasa kesepian, kamu bilang sama mas. Jangan diam saja."
"Rey nggak apa-apa kok. Mas jangan panik begitu."
"Ya pokoknya kalau kamu ada apa-apa, mas nggak mau kamu diam saja."
Aku tersenyum kecil. Aku membalikkan tubuhku, tengkurap di atas tempat tidur adikku.
"Kamu nggak rindu sama mas Ezar?" tanyaku.
"Biasa saja," jawab Reyhan.
"Benar nih?"
Reyhan terdiam. Seketika setetes air mata mengalir dari matanya. Ia terisak pelan, lalu menyeka air mata di wajahnya. Aku tersenyum kecil. Kuusap rambutnya pelan. Reyhan pun duduk, mengambil bantalnya dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal tersebut.
"Mas nggak yakin kamu nggak rindu sama mas," ujarku.
"Rey belum terbiasa dengan keadaan yang baru," ujarnya pelan.
"Mas sudah duga, kok," jawabku.
"Rey HANYA belum terbiasa dengan keadaan yang baru," tegasnya.
Aku bangun dan mendekati adikku yang duduk membelakangiku. Ia masih menutupi wajahnya dengan bantalnya. Aku meringis pelan. Kutarik bantal yang adikku pakai untuk menutupi wajahnya. Reyhan terkejut. Ia menatapku dengan mata sembabnya lalu tertunduk malu. Aku melempar bantal itu ke kepala adikku lalu kudengar ia mengerang pelan. Sambil tertawa kecil, aku pun duduk di samping adikku.
"Kenapa kamu nggak bilang saja? Toh mas bisa mampir ke rumah 'kan kalau memang kamu rindu," tanyaku.
"Rey nggak bisa bilang kalau Rey rindu. Rey nggak berani," jawab adikku pelan.
"Kalau kamu pendam begini 'kan malah jadi menyusahkan buat kamu. Mas dari dulu 'kan bilang, kalau kamu ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita," balasku.
Reyhan menghela nafas sejenak.
"Rey nggak terbiasa dengan suasana baru. Biasanya kalau subuh, Rey lihat mas lagi sholat di kamar. Biasanya kita sarapan bareng, lalu mas antar Rey ke sekolah. Mas mulai sibuk setelah lulus kuliah dan kerja, jadi Rey akhirnya belajar untuk bawa motor sendiri. Biasanya di rumah ada tiga orang, sekarang tinggal Rey dan ayah. Rey terbiasa dengan kehadiran mas Ezar di rumah. Sekarang setelah mas Ezar menikah dan nggak tinggal lagi bersama ayah dan Rey, suasana di rumah jadi beda. Rey rindu suasana rumah yang dulu. Rey.. Rey rindu mas Ezar."
Kurangkul adikku dengan erat. Reyhan berusaha keras untuk tak menangis dan menyeka air matanya. Aku mengusap kepala adikku. Bukan hanya Reyhan dan ayahku yang merasakan suasana yang baru. Aku pun merasakan suasana baru di rumahku. Meskipun aku bahagia karena aku dapat hidup bersama Alia, menjadi sosok yang ia lihat saat pertama kali ia membuka matanya di pagi hari, tetap saja aku tak dapat menghindar dari perasaan itu--perasaan sepi dan rindu pada adik dan ayahku. Dulu, aku biasa membangunkan adikku saat subuh, menikmati sarapan bersamanya dan ayah, mengantarnya pergi ke sekolah dan menjemputnya seusai sekolah, makan siang bersamanya, mengobrol bersamanya dan ayah sembari menonton televisi, atau menikmati secangkir kopi sementara aku mengerjakan tugasku dan ayah mengerjakan pekerjaannya. Kini aku tak dapat membangunkan adikku lagi, mengantarnya ke sekolah dan menjemputnya, atau makan siang bersama. Pekerjaan dan pernikahanku mengubah hidupku dan aku tahu adikku masih belum benar-benar dapat menerima perubahan ini.
"Seminggu," ujarku.
"Apa?" tanya adikku, hampir terbata-bata.
"Mas mau menginap disini seminggu," jelasku.
"Benarkah?" adikku seolah tak percaya.
"Ya. Mas Ezar serius. Memang kamu pikir cuma kamu yang rindu dengan suasana dulu? Mas juga rindu suasana yang dulu," jawabku.
Reyhan kembali menyeka air matanya, lalu menatapku tak percaya.
"Memangnya nggak apa-apa?" tanya Reyhan ragu.
"Toh di rumah pun nggak ada siapa-siapa," jawabku.
"Kerjaan mas bagaimana? Baju?" tanyanya lagi.
"Ah, tinggal ke rumah untuk ambil baju. Toh kalau sebatas baju santai 'kan disini pun ada. Kerjaan 'kan ada di laptop," jawabku.
Reyhan nampak senang. Ia tersenyum kecil. Aku mengacak-acak rambutnya dan ia, seperti biasanya, segera merapikan kembali rambutnya. Melihatnya senang seperti ini membuatku ikut senang dan lega. Sejak kepergian ibu, aku selalu mengkhawatirkan adikku.
"Rey ingin makan bakso," ujar Reyhan.
"Karapitan?" tanyaku.
"Boleh. Dimana pun," jawabnya.
Aku dan adikku bangun. Reyhan nampak antusias. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil sebuah jaket lalu segera mengenakannya. Ia pun berjalan ke depan cermin dan merapikan rambutnya, lalu kemudian menatapku dengan tatapan bingung.
"Mas Ezar kok masih diam saja?" tanyanya.
"Loh, mau pergi sekarang?" tanyaku kaget.
"Rey lapar lagi," jawabnya.
Aku tersenyum kecil. Kudekati adikku lalu kuacak-acak kembali rambutnya. Reyhan kali ini tak merapikan kembali rambutnya. Kurangkul adikku dan kubawa ia keluar kamar, menuju ruang keluarga dimana ayah sedang menonton televisi setelah menikmati kopinya. Setelah meminta izin, aku dan adikku pun segera berangkat menuju kedai bakso yang telah disepakati untuk dikunjungi. Reyhan memutar sebuah CD berisi kumpulan lagu-lagu akustik lalu mulai bernyanyi. Aku hanya tersenyum melihat tingkah adikku. Tak berapa lama kemudian Reyhan tiba-tiba menjeda pemutar musik lalu melirikku.
"Rey senang mas Ezar mau tinggal lagi sama Rey dan ayah," ujarnya.
Aku menatapnya dan tersenyum. Aku yakin seminggu ini akan sangat menyenangkan.
No comments:
Post a Comment