Pages

Thursday, February 19, 2015

Melewati Pandu

Pertengkaran yang terjadi antara aku dan kakakku sore ini berakhir dengan pelukan maaf. Mbak Tara berjanji untuk tetap menjagaku dan mencoba mengubah penyampaian pesannya agar tak menyinggung perasaanku dan aku berjanji untuk dapat lebih menerima apa yang kakakku pesankan demi kebaikanku sendiri. Tapi pertengkaran itu tak hanya membuat aku dan kakakku lebih memahami satu sama lain. Apa yang terjadi sore ini sedikitnya membuatku takut pada kakakku. Tidak, ia tak sampai melakukan kekerasan fisik padaku. Hanya saja saat kakakku tiba-tiba diam dan nampak begitu serius, dengan mata yang hampir tak berkedip dan menatap kaku apa yang ada di depannya, aku harus memahami bahwa ia mengetahui sesuatu; sesuatu yang mungkin bagusnya tak kuketahui.

Dan mbak Tara pun mengancam Ferry untuk tak mendekatiku lagi. Ia melakukan itu di hadapan banyak orang, teman-temanku dan juga aku sendiri. Mbak Tara bahkan hampir menampar Ferry, jika saja Ezra tak segera bertindak untuk menahan kakakku. Mbak Tara begitu saja membawaku keluar dari restoran itu dan menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Karena kejadian itu, aku terpaksa membatalkan rencanaku untuk pergi bersama kakakku dan Ezra ke sebuah tempat karaoke dan bertemu dengan Reyhan, Evan dan Riani disana. Rencanaku sore ini adalah mengobrol dengan teman-temanku lalu bersama-sama bersenang-senang bernyanyi dan menikmati lagu-lagu. Namun rencana itu tak terrealisasi dan semua itu karena kakakku.

“Kamu nggak lihat dia mau apa tadi?!” tegas mbak Tara.

“Emang dia mau apa? Apa yang mbak lihat dari dia?” tanyaku ketus.

“Tania! Dia itu udah rangkul-rangkul kamu! Kamu malah diem aja dan malah asyik ngobrol!” jawab mbak Tara.

“Ya udah sih, mbak! Cuma dirangkul ini!” balasku kesal.

“Cuma dirangkul kata kamu? Kamu nggak lihat tatapan dia kayak gimana?!”

Aku meringis pelan. Kulirik kakakku yang sedang mengemudi dan menatap lurus jalanan yang ada di depannya.

Emang dia natap aku kayak gimana? Emang mbak tahu Ferry orangnya kayak gimana? Mbak nggak kenal dia, ‘kan? Mbak baru kenal hari ini, ‘kan? Jadi mbak jangan pernah ikut campur lagi urusan persahabatan aku!” tegasku.

Kami mulai memasuki jembatan flyover dan kakakku menancap gas lebih dalam, mempercepat laju mobil ini untuk bersaing dengan kendaraan lain. Hujan deras menerpa kaca depan mobil dan menciptakan bunyi ribut bersahutan seperti serangkaian bunyi tembakan senjata. Wiper bergerak cepat, mengenyahkan titik-titik air yang mencoba menembus tebalnya tempered glass yang melindungi kami dari serangan tersebut.

“Kamu duduk di sebelah dia dan kamu fokus ngobrol sama Ezra yang ada di depan kamu! Mana bisa kamu lihat mata dia!” jawab mbak Tara.

“Aku sempat lihat dia tapi dia biasa aja!” tukasku, “Mbak Tara berlebihan tau nggak?!”

Mbak bukannya berlebihan! Kamu mau dia seenaknya rangkul kamu terus lama-lama bisa bertingkah lebih daripada itu?!” sanggah mbak Tara.

Kami melewati tiang pancang jembatan flyover dan kakakku semakin mempercepat laju mobil. Hujan nampak semakin deras dan sejujurnya aku mulai merasa takut. Jarak pandang perlahan berkurang dan pecahnya titik-titik air di permukaan kaca depan tentu saja menghambat pandangan kakakku yang sedang mengemudi. Belum lagi jalanan yang licin dapat membahayakan kami. Aku takut jika kakakku melakukan sebuah kesalahan—bahkan kesalahan kecil sekalipun—yang dapat membunuh kami berdua. Mbak Tara menekan klakson beberapa kali, mengusir kendaraan-kendaraan yang ada di depannya agar mau ingkah dari jalannya. Ia menyalakan lampu kabut dan meskipun demikian, tetap saja jarak pandang dari tempat dudukku tak bertambah.

“Memang Ferry mau ngapain? Itu tempat umum, mbak! Ferry nggak akan mungkin lakukan hal-hal aneh di tempat umum!” bantahku.

“Oh, jadi kalau bukan di tempat umum kamu bisa ngebiarin Ferry ngerangkul kamu, bahkan melakukan hal yang lebih daripada itu?!” tanya kakakku sinis.

Mbak Tara coba bilang kalau aku gampangan?!” aku semakin geram.

“Terus mbak harus bilang apa lagi?” jawab kakakku dingin.

“Tania udah bilang kalau mbak nggak tahu apa-apa tentang Ferry, mbak jangan sembarangan nilai dia! Dan juga, jangan pernah mbak anggap aku gampangan karena aku nggak kayak gitu!” bentakku.

“Kalau memang kamu nggak gampangan, jangan mau lagi dideketin sama cowok kayak Ferry!” mbak Tara balas membentakku.

Aku terpukul. Tangisku meledak saat mobil mulai mendekati akhir jembatan. Aku tak ingin melihat kakakku. Kupalingkan pandanganku ke luar jendela dan dengan mata yang berkaca-kaca, dapat kulihat langit hitam menyelimuti areal pemakaman yang seolah menyambut kami saat kami turun dari jembatan flyover tersebut. Kakakku menaikkan volume suara radio dan suara bas yang keluar semakin berdebum. Kukecilkan volume suara radio dan kakakku kembali menaikkannya. Kesal, kumatikan radio mobil dan akhirnya tak ada suara apapun yang terdengar kecuali isak tangisku.

“Kenapa mbak Tara nggak bisa paham perasaan orang lain? Kenapa mbak Tara selalu blak-blakan kalau bicara dan nggak mikirin apakah orang lain sakit hati atau nggak? Kenapa mbak Tara berani perlakukan Ferry di depan umum kayak gitu dan bikin aku malu di depan teman-teman aku? Apa salah aku, mbak? Coba jawab!”

Dan kakakku tak bergeming.

Tuh lihat sekarang! Mbak Tara malah diam aja! Kenapa sih kalau mbak salah, mbak nggak mau mengaku kalau memang mbak salah? Mbak ini pengecut atau bukan!”

Kakakku masih tetap tak bergeming. Ia tetap berfokus pada kemudi yang dipegangnya. Jalanan mulai padat dan laju kendaraan kami pun tersendat karena kemacetan yang ada di hadapan kami. Aku mulai kewalahan dengan tangisku sendiri. Beberapa lembar tisu kuambil untuk menyeka air mataku.

“Selama ini aku nggak pernah ikut campur dalam urusan mbak Tara. Aku nggak larang waktu mbak Tara bilang mbak mulai dekat sama mas Dika, ‘kan? Aku juga nggak pernah larang mas Dika buat datang ke rumah”

Mobil terus melaju perlahan dan aku masih tetap menangis. Aku ingin cepat-cepat turun dari mobilku lalu mengunci diri di kamarku. Aku tak ingin diganggu oleh siapapun, terutama oleh kakakku. Bahkan jika saat ini sedang tak hujan, aku bisa saja nekat membuka pintu mobil dan berlari pulang karena kompleks perumahan tempat kami tinggal berada tak jauh dari tempat kami terjebak saat ini. Lampu sein kiri menyala dan kami berbelok, akhirnya memasuki jalanan dengan lalu lintas yang tak padat. Di samping kanan berdiri sebuah pusat perbelanjaan yang menyatu dengan sebuah hotel yang baru berdiri. Kami pun kembali berbelok ke kiri, melewati gerbang kompleks perumahan, lurus melaju sejauh beberapa meter lalu kembali berbelok ke kanan dan pada akhirnya tiba di depan rumah. Tanpa pikir panjang aku membuka kunci pintuku dan keluar dari mobil. Kubuka pintu pagar dan, tidak menghiraukan kakakku yang memanggilku, mengetuk pintu rumah dengan tergesa-gesa. Pintu rumah terbuka dan aku segera masuk, tak peduli dengan ayah yang bertanya apa yang terjadi. Kukunci diriku di dalam kamar dan kembali aku menangis. Mengapa mbak Tara begitu jahat padaku?

Dan saat mataku terbuka kusadari hujan telah berhenti. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku pasti tertidur saat menangis tadi. Kuperiksa ponselku dan kulihat beberapa panggilan tak terjawab yang masuk, salah satunya adalah Ezra. Aku segera menghubunginya kembali dan tak berapa lama suara Ezra pun terdengar.

“Kamu udah sampai rumah?” tanya Ezra.

Udah. Aku minta maaf ya karena hari ini nggak bisa ikut karaoke,” jawabku.

Nggak apa-apa. Sekarang aku lagi sama Evan dan Reyhan di CiWalk. Biasa nih, ngasuh si Reyhan main di Game Master sambil nunggu dia dijemput abangnya,” ujar Ezra.

Terdengar samar-samar musik yang biasa kudengar saat Reyhan bermain permainan musik dan tari dengan panel lima arah. Anak itu pasti sedang bersenang-senang saat ini.

“Biasanya Reyhan main sama Andra dan Gea. Kemana memang mereka?” tanyaku.

“Andra sama Gea nggak bisa ikut. Dilla lagi di toko buku. Riani sendiri akhirnya nggak bisa ikut karena mendadak harus ngasih les tari ke anak-anak di komplek rumahnya,” jawab Ezra.

“Jadi akhirnya hanya kalian cowok bertiga yang pergi?” tanyaku.

“Ya. Habis ini kayaknya mau langsung makan,” jawab Ezra, “Oh ya, kita juga ketemu Ferry kok tadi di tempat parkir”

Aku terkejut.

“Ferry?”

“Ya. Ferry. Dia sama Asha tadi aku lihat. Mesra banget mereka sambil rangkul-rangkulan”

Rangkulan?”

“Ya. Tapi nggak tau kenapa tadi pas kita papasan sama mereka, Reyhan dan Evan bilang kalau mereka nggak suka lihat Ferry. Kata Evan sih cara Ferry ngeliat Asha itu beda. Kalau Reyhan sendiri bilang tatapan Ferry itu mesum”

Aku menelan ludahku. Apa mungkin yang kakakku katakan tentang Ferry itu benar?

“Mesum?”

“Kata Reyhan sih gituEvan juga bilang gitu sih akhirnya. Tan, saran aku sih kamu jangan terlalu dekat sama Ferry. Takutnya dia ada niat buruk”

Ucapan Ezra terngiang-ngiang di benakku dan samar-samar aku masih dapat mendengar apa yang kakakku katakan tentang Ferry. Saat aku mengingat kembali apa yang Ferry lakukan saat kami berada di restoran sore ini, aku merasa menyesal. Mengapa aku membiarkannya merangkulku? Mengapa aku tak memperhatikan caranya menatapku? Mengapa aku begitu ceroboh? Seandainya mbak Tara tak membentak Ferry dan menyuruhnya untuk tak merangkulku, mungkin Ferry bisa saja melakukan hal yang lebih jauh. Seandainya mbak Tara tak duduk berhadapan denganku, pasti tak akan ada yang menyadari tatapan Ferry padaku. Dan seandainya aku tak mengajak mbak Tara untuk pergi denganku, tak akan ada yang menyelamatkanku saat Ferry mulai bertingkah terlalu jauh. Kurasa ini semua mulai masuk akal. Pantas saja Ferry sempat bertanya padaku apakah aku suka minum cocktail dan ia sempat menawariku bir yang ia minum.

Kutaruh ponselku di atas mejaku lalu perlahan berjalan keluar kamar. Tepat di depan pintu kamar kakakku aku terdiam sejenak. Aku menyesal telah membentaknya, memarahinya dan menyalahkannya. Seharusnya aku sadar bahwa kakakku mencoba untuk menyelematkanku dan ia sedang melindungiku. Kuketuk pelan pintu kamar kakakku dan akhirnya pintu itu terbuka. Mbak Tara melepas headset yang ia kenakan.

“Ada apa?” tanyanya.

“Aku minta maaf. Yang mbak bilang tentang Ferry itu bener,” ujarku pelan.

Mbak juga minta maaf, Tan. Harusnya cara mbak kasih tahu kamu nggak seperti itu. Mbak harus ubah cara penyampaian mbak,” jawabnya.

Mbak Tara lalu memelukku dan mengusap pelan rambutku.

“Ezra bilang tadi dia lihat Ferry sama Asha. Kata Ezra, Evan sama Reyhan nggak suka dengan Ferry karena cara Ferry natap Asha itu beda,” jelasku.

“Dari awal mbak perhatiin Ferry, mbak langsung mikir ada yang nggak beres sama orang itu. Taunya betul, ‘kan?” balas kakakku.

“Ya. Aku minta maaf. Harusnya aku mau dengar apa kata mbak

Mbak Tara melepaskan pelukannya.

“Ya sudah. Sekarang mbak mau lanjut revisi lagi. Kamu makan dulu,” ujarnya.

Aku mengangguk pelan dan kembali ke kamarku. Tiba-tiba aku teringat bahwa ada sesuatu yang belum kuberitahu pada kakakku. Kuputuskan untuk kembali menemui kakakku namun langkahku terhenti saat kulihat pintu kamar kakakku terbuka sedikit. Lewat celah kecil itu aku dapat melihat kakakku sedang duduk membelakangi pintu, berbicara dengan seseorang di telpon. Saat namaku ia sebut, aku tertarik untuk menguping pembicaraan mereka.


Udah. Aku udah sampai rumah kok. Tania juga kayaknya baru bangun barusan. Nggak, Dik. Dia nggak tahu. Yang tahu cuman aku dan aku sengaja nggak kasih tau dia. Tania marah-marah sepanjang jalan dan akhirnya nangis. Pas kita turun jembatan flyover, jalanan mulai macet. Ya, macet depan kompleks pemakaman Pandu. Dari belakang ada yang kasih klakson beberapa kali. Penasaran, aku lihat spion belakang. Taunya aku lihat ada orang di seat belakang. Apa? Astaga Tuhan, aku nggak bohong, Dika! Aku lihat ada perempuan duduk di seat belakang dan itu bukan pertama kali aku mengalami hal semacam itu! Tania masih nangis dan marah-marah. Kalau aku ngomong sama dia, pasti dia bakalan lihat ke aku dan dia bisa lihat seat belakang. Kamu ‘kan tahu sendiri Tania takut banget sama hal kayak gitu. Akhirnya aku diam aja sepanjang jalan sampai sosok perempuan itu hilang pas kita lewat depan Shell. Dika, aku sendiri takut! Perempuan itu sekitar umur tiga puluh tahunan, pakai gaun warna putih. Bukan itu yang aku takutin! Masalahnya, mulut sama dua mata perempuan itu dijahit benang hitam!” 

No comments:

Post a Comment