Pages

Saturday, February 28, 2015

Tamansari

"Disini aja ya, dek. Udah malam soalnya. Mau pulang ini juga" 

Ucapan itu menjadi semacam peluru yang dengan cepat ditembakkan ke arahku yang sama sekali tak punya persiapan untuk menghadapi serangan semacam itu. Aku yang masih tak percaya dengan apa yang supir itu ucapkan hanya bisa tercengang. Supir itu sekali lagi memintaku untuk turun dan saat itu aku sadar bahwa supir ini akan membuat malam ini menjadi malam yang buruk bagiku. Dengan kesal aku keluar dari mobil tersebut, merogoh saku celana seragam abu-abuku dan dengan kasar menaruh selembar uang sebesar dua ribu rupiah di atas dasbor kendaraan umum tersebut. Dalam keremangan cahaya lampu di dalam kendaraan, kulihat supir itu mengernyitkan dahinya, membuatnya nampak seperti leprechaun yang kebingungan. 

"Masa dua ribu, dek?" 

Aku mendengus kesal. 

"Bapak aja nurunin saya seenaknya. Saya juga bisa dong bayar seenaknya. Ini udah malam, pak. Emang bapak pikir saya naik angkot bapak buat diturunin seenaknya?" 

Menyadari bahwa aku baru saja membalas dendam, supir itu menggerutu lalu dengan cepat membawa pergi mobilnya, meninggalkanku di persimpangan Gelap Nyawang. Kutendang kerikil yang ada didekatku dan kerikil itu terlempar beberapa meter ke arah utara. Pandanganku beralih dari kerikil yang kutendang menuju trotoar dan jalan Tamansari yang terbentang lurus di hadapanku dan kusadari bahwa malam ini memang akan menjadi malam yang buruk bagiku. Tak ada kendaraan umum lain yang biasanya berhenti untuk menunggu penumpang. Mungkin masih ada beberapa yang menunggu di persimpangan jalan Ganeca, pikirku. Dan kulangkahkan kakiku menuju persimpangan tersebut. Zipper jaketku kunaikkan sampai leher dan kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaketku. Sebetulnya cuaca malam ini tak begitu dingin. Hanya saja bayangan-bayangan buruk itu membuatku merasa tak nyaman. 

Tak ada satupun kendaraan yang berhenti di persimpangan itu. Kini di depanku hanyalah jalan Tamansari yang kosong dan remang, dengan barisan pepohonan yang rimbun di sisi kiri dan kanan jalan. Aku meringis pelan. Kurogoh saku celanaku dan kuperiksa ponselku. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Aku tak pernah pulang selarut ini sebelumnya. Ya, setidaknya jika pulang larut aku selalu pulang bersama kakakku. Aku berbalik ke belakang untuk memeriksa jika ada kendaraan umum yang lewat namun dari sepinya jalan di belakangku, aku yakin memang tak akan ada lagi kendaraan umum yang melintas di jalan ini. Kalaupun ada, aku harus menunggu cukup lama. 

Langkahku pun mulai mengisi kekosongan jalan Tamansari. Kudengar suara-suara seperti jangkrik dan desir angin yang membuat dedaunan saling bergesek, seperti suara sebuah kantung plastik yang diremas. Kini udara terasa dingin dan aku pun menutup kepalaku dengan hood jaketku. Samar-samar dapat kudengar suara-suara hewan yang berasa dari kebun binatang yang letaknya berada tepat di sisi barat jalan Tamansari. Untunglah tak ada koleksi serigala di kebun binatang Bandung, meskipun samar-samar dapat kudengar suara auman harimau yang membuat bulu kudukku merinding. Lampu-lampu jalan berwarna oranye menyala, namun tak begitu cerah. Suasana remang membuatku tak nyaman, meskipun jujur saja terkadang aku menyukai cahaya lampu jalan berwarna oranye ini. Aku terus berjalan dan berjalan, sampai kulewati area parkir kebun binatang dan pertokoan yang menjual berbagai souvenir kebun binatang. Area parkir itu nampak sepi. Hanya ada beberapa motor yang terparkir disana. Dua buah toko nampak masih buka dan kedua toko itu nampak seperti oase di tengah padang pasir yang tandus, atau restoran dan motel untuk beristirahat setelah lelah memacu kendaraan di Route 66. Namun aku tak bisa singgah di toko itu, meskipun jujur saja cahaya yang terang dan musik cadas tahun 70an yang mengalun dari salah satu toko menarik perhatianku. 

Aku haus dan mungkin aku bisa mendapatkan minuman di salah satu toko tersebut. 

Namun kakiku nampaknya menuruti superegoku, memaksaku untuk terus berjalan, melawan egoku yang mencoba bernegosiasi agar aku dapat singgah sejenak di salah satu toko tersebut dan membeli minuman dingin sembari meluruskan kedua kakiku yang pegal. Toko-toko itu kulewati begitu saja dan musik yang kudengar menghilang secara perlahan, sampai akhirnya aku kembali mendengar suara jangkrik dan langkah kakiku. Tanganku sudah gatal ingin merogoh ponselku lalu memasukkan nomor telpon untuk kuhubungi, namun aku bersikeras agar aku tak menghubungi siapapun. Salah sendiri aku pulang terlalu larut setelah mengunjungi temanku yang rumahnya berada cukup jauh dari rumahku. Saat aku berada di kendaraan umum sebelumnya ayah sudah menghubungiku dan mas Ezar mengirim pesan untukku, menanyakan keberadaanku. Aku hanya menjawab bahwa aku masih dalam perjalanan pulang bersama temanku. Mungkin itu sebuah kebohongan, mungkin juga tidak, karena memang aku sempat bertemu dengan temanku Adicita di mobil itu meskipun kami turun di tempat yang berbeda dan aku bernasib buruk karena terpaksa turun sebelum mencapai rumahku.

Dan kudengar suara langkah kaki yang lain di belakangku. Mungkin jaraknya sekitar beberapa meter dariku. Aku memberanikan diri untuk melirik ke belakang dan benar saja dugaanku. Ada seseorang yang berjalan sekitar sepuluh meter di belakangku, mengenakan trackjacket hitam, jeans biru tua ketat dan topi. Langkahnya tak cepat namun lebar sehingga jika aku terus berjalan dalam langkah tetap, ia bisa mengejarku. Kuputuskan untuk mempercepat langkahku dan langkah di belakangku pun terdengar mengikuti kecepatanku. Kuperlambat laju langkahku dan kuputuskan untuk berhenti mendadak.

Pria itu pun menghentikan langkahnya.

Aku tak pernah merasa takut seperti ini. Rasanya jantungku seperti akan meledak karena detak jantungku yang cepat. Aku terengah-engah namun sebisa mungkin aku tak bersuara. Kemudian kembali aku berjalan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, dan pria itu kembali berjalan namun lebih cepat kali ini. Aku kembali menoleh ke belakang dan kali ini aku dapat melihat wajahnya. Usianya sekitar dua puluh tahunan dan sorot matanya tajam, seolah-olah baru saja mengunci bidikan pada mangsanya dan siap untuk menyerang kapanpun. Gemetaran tanganku berada di dalam saku jaketku. Ingin rasanya aku merogoh saku celanaku dan mengambil ponselku untuk menghubungi seseorang namun jika aku melakukannya, pria itu bisa saja menyerangku. Isu-isu bahwa sekelompok perampok yang memangsa kendaraan bermotor marak beredar dan ini membuatku semakin takut. Memang hanya satu orang pria yang mengikutiku, tapi tetap saja ada kemungkinan ia bisa merampokku dan mengambil barang-barangku. Sebetulnya aku tak membawa barang-barang berharga di dalam tasku jadi kalaupun memang tasku diambilnya, itu tak jadi masalah besar. Tapi bagaimana dengan tugas rumahku? Dan bagaimana jika ia melukaiku dengan benda tajam, misalnya? Atau bisa jadi ia membawa senjata api? Bukankah orang-orang seperti itu selalu nekat untuk, bahkan melukai korbannya? Benar-benar tak ada orang di jalan ini dan kalaupun ada kendaraan yang melintas, semuanya melaju dalam kecepatan tinggi yang pastinya akan sulit bagiku untuk menghentikan kendaraan-kendaraan itu jika terjadi sesuatu padaku.

Pria itu kini berada dalam jarak yang lebih dekat. Mungkin sekitar lima meter dariku. Kupercepat langkahku dan ia pun ikut mempercepat langkahnya. Akhirnya kuputuskan untuk berlari secepat mungkin. Kukeluarkan kedua tanganku dari dalam saku jaketku. Aku yakin pasti bahwa malam ini memang malam yang buruk bagiku dan apa yang kualami hari ini menjadikan hari ini adalah hari sialku.

Dan pria itu pun mengejarku.

Aku terus berlari secepat mungkin dan menjaga jarak sejauh mungkin dari pria itu. Kurasa pria itu terbiasa berlari sehingga jarak antara aku dan pria itu sama sekali tak bertambah, justru semakin kecil. Jalan Tamansari menikung dan aku hampir saja terjatuh karena cukup keras terantuk bongkahan paving block trotoar yang sudah rusak. Ada goresan abu-abu di ujung sepatuku dan jempol kakiku terasa sakit. Mungkinkah sampai berdarah? Atau mungkin sekedar memar? Aku tak peduli. Aku harus tiba di rumah secepatnya karena saat ini aku sedang dikejar-kejar oleh orang asing yang nampaknya akan melakukan hal jahat padaku. Nafasku semakin kacau dan energiku semakin terkuras. Lariku melambat dan ini bisa menjadi kesempatan bagi pria itu untuk menangkapku dan mengambil barang-barangku, dan mungkin membunuhku. Namun kulihat seseorang di halte kendaraan umum. Ia berdiri disana lalu melihat ke arahku. Dan saat aku melihat wajahnya, refleks aku mempercepat lariku dan berseru ke arahnya.

"Alan!"

Aku hampir terjatuh di depan Alan. Ia segera menahan tubuhku. Dahinya berkerut.

"Reyhan, ada apa? Kenapa pulang malam hari?" tanyanya.

"Alan, kita harus pergi dari sini. Orang itu dari tadi ikutin terus," jawabku sembari terengah-engah.

"Orang itu? Orang yang berdiri disana?"

Aku dan Alan pun melihat ke jalan kosong di belakang kami. Pria yang tadi mengejarku kini berdiri menatap kaku kami. Ia melangkah maju ragu, namun tiba-tiba melangkah mundur dan pada akhirnya berbalik lalu pergi begitu saja. Kini aku dan Alan yang kebingungan. Ada apa dengan pria itu? Bukankah ia mengikutiku sampai mengejarku tadi? Mengapa kini ia pergi begitu saja?

"Reyhan, ayo pergi," ujar Alan.

Alan benar. Kami harus tetap berjalan dan secepat mungkin menghindari daerah yang sepi seperti ini. Aku dan Alan melangkah cepat. Kami bahkan tak sempat mengobrol seperti biasanya. Tak lama kemudian kami tiba di persimpangan Tamansari dan Dayang Sumbi dan tiba disini, rasanya ingin aku bersujud untuk berterima kasih pada Tuhan. Suasana yang jauh lebih ramai, suara bising dari proyek konstruksi bangunan sebuah universitas, dan samar-samar musik yang mengalun dari Wijde Blik membuatku merasa lebih aman. Kulihat beberapa orang di sekitarku, yang kebanyakan adalah para pekerja konstruksi dan pedagang dari kios-kios kecil di sekitar universitas itu. Aku dan Alan menyebrang jalan menuju trotoar di depan Wijde Blik. Kurogoh sakuku dan kuperiksa ponselku. Jam menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh menit. Syukurlah aku tiba saat restoran itu belum tutup, sehingga suasana masih cukup ramai. Meskipun begitu aku dan Alan tetap berjalan dalam langkah yang cukup cepat sampai akhirnya kami tiba di depan rumahku yang letaknya tak jauh dari Wijde Blik. Alan mengangkat kedua bahunya saat aku membuka pintu pagar.

"Cepat masuk. Papa nanti marah," ujarnya.

Aku mengangguk pelan. Segera aku berlari menuju teras depan dan menekan tombol bel. Pintu pun terbuka dan ayah segera menyambutku. Meskipun tak nampak kekhawatiran di wajahnya, aku tahu pasti bahwa ayah sebenarnya sangat mengkhawatirkanku.

"Lain kali jangan pulang terlalu malam," ujarnya.

"Maaf, yah. Rey diturunin di jalan sama supir angkot," jawabku.

"Diturunkan di jalan? Dimana?" tanya ayah.

"Gelap Nyawang. Rey jalan kaki jadinya," jawabku pelan.

Ayah meringis pelan.

"Sudah makan?" tanyanya.

"Sudah," jawabku.

"Ya sudah. Sekarang kamu cepat ganti pakaian. Nggak usah mandi karena sudah malam. Kalau mau makan, tinggal hangatkan makanan di kulkas. Ayah tadi buat telur dadar," ujar ayah, "Supir angkot itu kadang suka seenaknya turunkan penumpang. Lain kali kalau seperti itu, kamu nggak usah bayar. Penumpang 'kan bayar untuk diantar sampai tujuan. Kalau belum sampai tempat tujuan, nggak usah bayar segala"

Aku pun menuruti ucapan ayahku. Setelah ayah menutup pintu depan, aku segera masuk ke kamarku dan menaruh tasku lalu berganti pakaian. Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku sembari kembali mengatur nafasku. Kulepaskan kacamataku dan kutaruh kacamataku di sampingku. Hari ini begitu melelahkan. Kurasa aku bisa tidur berjam-jam malam ini dan bangun siang keesokan harinya, tapi aku tak peduli karena besok adalah hari Sabtu dan aku bisa bersantai di rumah. Angin dingin berhembus dan membuatku sadar bahwa aku belum menutup jendela kamarku. Dengan malas aku bangun dari tempat tidurku lalu berjalan menuju jendela kamarku untuk menutupnya. Kulihat Alan masih berdiri di depan pagar rumahku. Segera aku menutup jendela kamarku, mengenakan hoodie Superdry kesukaanku dan pergi keluar untuk menemui Alan.

"Lagi apa? Kenapa masih di luar?" tanyaku.

"Menikmati malam," jawabnya.

"Kenapa nggak duduk di teras aja?" tanyaku.

"Tak perlu. Disini saja," jawabnya seraya tersenyum kecil.

"Nggak dingin?"

"Kalau disana, nanti papamu dengar. Disini saja"

Aku meringis pelan. Aku yakin selama ini pasti ayahku pun sudah mengetahuinya. Hanya saja ia tak mau membicarakannya.

"Untung tadi aku lihat kamu di jalan," ujarku.

"Tadi itu siapa? Vrijman?" tanya Alan.

Aku mengangguk pelan. Kata vrijman terdengar tak asing di telingaku, meskipun aku lebih terbiasa mendengar kata preman. Sama saja sebetulnya. Vrijman. Preman. Kedua kata itu merujuk pada objek yang sama.

"Aku harus masuk sekarang. Ngantuk banget setelah terpaksa lari malam-malam," ujarku.

"Ya. Cepat masuk sekarang," jawabnya, "Goedenacht"

Aku pun segera berjalan menuju teras dan sampai disana, sesuatu menahanku. Aku berbalik dan melambaikan tanganku pada Alan. Ia membalas lambaian tanganku dan tersenyum.

"Dank je, Alan!" seruku.

Alan mengangguk. Aku pun masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Kemudian aku kembali ke kamarku dan kali ini kututup pintu jendelaku. Sebelum jendelaku tertutup, masih bisa kulihat Alan berdiri di depan rumahku, menikmati suasana malam dan memperhatikan jalan di depannya yang kosong. Bocah lima belas tahun berrambut coklat itu hampir setiap hari kulihat berada di sekitar rumahku dan di malam hari, jika tidak duduk di teras rumahku, ia akan berdiri di depan pagar. Dengan hanya mengenakan kaus berwarna putih dan celana katun pendek, ia menjaga rumah ini yang dulu sempat menjadi tempat tinggalnya. 

No comments:

Post a Comment