Pages

Thursday, April 2, 2015

Pria Kopi

Hujan masih belum berhenti sejak tadi siang. Selama berjam-jam aku melihat titik-titik hujan yang meluncur cepat dari langit seperti ribuan meteor yang sedang menghantam bumi dan memporakporandakan kota ini. Beberapa terpantul di kaca jendela, membuat jejak sebelum akhirnya mengecup manis dedaunan tanaman paku yang ditanam tepat di bawah jendela. Setiap kali ada pengunjung datang, pintu yang terbuka seolah menjadi jalan bagi angin yang bertiup cukup kencang di luar untuk masuk ke dalam kedai dan bermain dengan kabel-kabel lampu bohlam yang menjuntai dari langit-langit, membuatnya berayun pelan seperti ayunan taman kanak-kanak.

Jujur saja aku selalu terkejut saat bel berdenting. Ya, jika pintu kedai dibuka secara otomatis belnya akan berdenting, menandakan bahwa ada pengunjung yang datang atau pergi. Bel kecil itu nampak indah jika dilihat dari jauh, namun menyebalkan saat ia berdenting di saat yang tak tepat, seperti saat aku sedang membaca novelku atau mempertaruhkan hidup dan matiku di Let’s Get Rich. Aku merasa nyaman untuk duduk di bawah bar, bersembunyi dari tatapan para pengunjung yang sedang duduk nyaman di kursinya masing-masing sambil menikmati secangkir kopi panas. Namun jika pengunjung datang, aku terpaksa berdiri dan mau tak mau harus menampakkan diriku di bar, menyapa pengunjung yang datang dan membuatkan pesanan mereka. Duduk di bawah bar seperti berada di dalam iglo di tengah badai salju, atau meringkuk di bawah selimut saat hujan deras di malam hari, atau membaca buku di dalam tenda saat berkemah di pegunungan. Tempat ini merupakan tempat yang paling nyaman untukku, meskipun sempat beberapa kali kepalaku terantuk meja bar saat keluar dari tempat persembunyianku.

Mas?”

Satu kata tiga huruf itu dilantunkan dengan lembut dari sebuah suara alto yang dengan anggunnya merusak kedamaianku di tempat persembunyianku. Aku segera bangkit dan berdiri, lalu melihat sosok wanita yang berusia sekitar 20 tahunan itu di depan bar. Ia berjalan ke arah meja kasir—secara tidak langsung memberi sinyal bahwa inilah saat baginya untuk berpisah dengan beberapa lembar rupiah yang nantinya akan menetap di dalam mesin kasir. Itu juga merupakan waktunya untuk keluar dari kedai yang nyaman dan hangat ini, bertarung dengan hujan yang nampaknya masih belum menyerah untuk menyerang.

Café Americano, satu. Affogato, satu. Semuanya jadi dua puluh delapan ribu lima ratus”

Wanita dengan blazer coklat tua dan T-shirt putih Zara itu mengeluarkan selembar uang senilai dua puluh ribu dan selembar uang senilai sepuluh ribu. Keduanya segera masuk ke dalam mesin kasir dan sebagai gantinya, wanita muda itu mendapatkan selembar uang seribu rupiah dan sekeping koin lima ratus rupiah. Setelah menerimanya, wanita tersebut mengucapkan terima kasih—dengan anggunnya dalam suara alto—dan berjalan bersama kekasihnya—beserta kemesraan mereka yang membuatku kesal—menuju pintu. Tepat di saat sepasang kekasih itu membuka pintu, seorang wanita masuk ke dalam kedai. Aku tak sempat kembali bersembunyi di tempat persembunyianku karena wanita itu langsung berjalan menuju bar dan duduk di kursi bar. Apa yang memisahkanku dan wanita itu hanyalah meja bar saja, dengan beberapa toples kaca cantik yang berisi biji-biji kopi dari berbagai jenis. Wanita—mungkin lebih tepatnya kusebut gadis—itu melihatku dan tersenyum kecil. Aku membalas senyumnya seraya memberikannya buku menu. Ia membuka-buka halamannya, sempat terpaku selama beberapa saat di beberapa halaman, lalu kembali membuka halaman yang lain. Seandainya aku dapat membawa jam wekerku dan mengatur waktunya agar pengunjung tidak membuang-buang banyak waktu untuk memilih menu, kurasa akan menyenangkan. Kriiiiiiiiiiiiing! Waktu habis! Silahkan pesan atau keluar dari sini! Sayang sekali hal itu hanya terjadi dalam imajinasiku.

“Aduh, saya bingung,” ujar gadis itu pelan.

“Bingung kenapa, mbak?” tanyaku.

“Bingung pesen apa,” jawabnya.

Aku tersenyum kecil.

Mbak sukanya apa? Kopi, teh, atau coklat?” tanyaku.

“Suka semuanya,” jawabnya.

“Sekarang lebih pingin minum apa?” tanyaku lagi.

“Mungkin kopi,” jawabnya.

Regulasi yang diberikan untuk semua barista mengharuskan para barista, termasuk aku, menanyakan preferensi minuman pengunjung saat pengunjung tidak dapat menentukan pesanannya. Dengan mengetahui preferensi ini, barista dapat memberikan rekomendasi minuman yang dapat pengunjung pesan. Sialnya, aku seringkali memasukkan preferensiku sendiri sehingga setiap ada pengunjung yang ingin minum kopi tapi tak tahu apa yang harus dipesan, refleks aku selalu menyarankan...

Espresso Romano?”

Gadis itu terkejut, lalu menatapku.

“Ya udah deh mas. Itu aja,” jawabnya.

Aku pun mulai mengerjakan pesananku. Aroma kopi tercium kuat saat aku membuka kotak berisi bubuk kopi. Aku selalu senang dengan aroma ini. Jika aku tak senang, mana mungkin aku menjadi barista?

“Kalau jam segini sepi ya, mas?” tanya gadis itu.

“Eh?” aku terkejut.

“Ya. Jam segini suka sepi, ya?”

“Hmm... Nggak sih. Mungkin karena hujan”

Air yang kupanaskan telah mendidih. Segera kutuangkan air panas itu ke dalam mesin espresso. Uap air panas mengepul dan mengenai wajahku. Aku sudah biasa merasakan panas di wajahku. Setiap hari wajahku seperti mendapat tiket sauna gratis.

“Kenapa ya ada orang bodoh di dunia?”

Jika semua orang pandai dan cerdik, bukankah akan membosankan?

“Kenapa aku mau aja dibodohi?”

Espresso ini belum siap, tapi apakah ini sudah waktunya untukku membalikkan tubuhku dan menatapnya lalu menanyakan pertanyaan maha dahsyat itu? Ah, aku selalu menanyakan hal yang sama. Aku selalu melakukan hal yang sama di saat-saat seperti ini. Aku ingin tahu apakah ada pengunjung yang justru menanyakan pertanyaan sakti itu padaku. Ting! Espresso telah siap. Setelah kutuangkan ke dalam cangkir, aku pun membalikkan badanku dan menanyakan pertanyaan sakti itu.

“Ada apa?”

Betapa dahsyatnya efek dari pertanyaan itu sehingga gadis berkacamata itu pun menatapku dengan tatapan yang membuatku iba padanya. Gadis ini perlu kutolong, tapi aku bukan superhero. Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang? Dimana jubahku? Ah, setiap kali datang pengunjung yang mencurahkan isi hatinya pun aku selalu bersikap seperti ini. Aku selalu ingin mengetahui apa yang membuatnya merasa sedih dan kecewa. Terutama gadis ini, aku ingin tahu mengapa tiba-tiba mengalir sebuah sungai kecil di pipinya.

“Kenapa aku bisa dibodohi begitu aja?” tanyanya pelan.

“Setiap orang pasti pernah dibodohi,” jawabku seraya menuangkan susu panas ke dalam espresso.

“Aku ngerasa tolol. Kenapa aku mau dibodohin coba?”

“Memangnya dibodohin sama siapa?”

Gadis itu justru terisak pelan saat aku menanyakan agen pembodohan yang nampaknya telah memporakporandakan hidupnya. Aku menghela nafas sejenak. Kutinggalkan pesanan yang belum selesai kubuat dan segera kusiapkan segelas air untuk gadis itu. Gelas itu kutaruh tepat di hadapannya. Gadis itu berhenti terisak dan nampak bingung.

“Ini apa?” tanyanya.

“Silahkan diminum, mbak. Biar lebih tenang,” jawabku.

Aku kembali mengerjakan pesananku. Ah, kemana botol bubuk kayumanis itu? Iza pasti menaruhnya sembarangan lagi. Lagi. Padahal sudah kubilang padanya untuk menaruh botol bubuk kayu manis di rak rempah-rempah. Akhirnya aku menemukannya, bersanding di samping botol bubuk vanili.

“Selama ini aku coba buat bisa jadi sosok yang bisa nolong dia. Aku tahu dia sosok yang kalau dari luar keliatan kuat, tegar, dan bahkan cuek. Tapi aku tahu pasti hatinya rapuh. Kenapa saat aku coba buat nolong dia, justru dia bikin aku sakit?” jelas gadis itu.

“Sakit? Seperti apa emang?” tanyaku.

“Aku nggak bisa gambarin seperti apa sakitnya. Yang jelas aku ngerasa usaha aku selama ini buat bisa nolong dia sia-sia. Maksudku, rasanya aku nolong orang yang salah. Kenapa dia malah balas semuanya dengan hal yang bikin aku sakit? Sialnya, kenapa aku juga nggak bisa melawan rasa sakit itu?”

“Karena sakitnya nggak keliatan, kamu jadi susah buat ngelawan rasa sakit itu”

“Maksudnya?”

“Misalnya kita ada luka lecet di tangan kita dan kerasa sakit, cara buat melawan rasa sakitnya adalah dengan ngobatin luka itu. Kita tahu bahwa luka itu keliatan, jadi kita tahu pengobatan seperti apa yang harus dilakukan dan dimana si plesternya harus ditempel. Kalau luka batin ‘kan nggak keliatan, hanya kerasa aja. Kita jadi susah buat ngelawannya karena kita nggak tahu luka itu tepatnya ada di sebelah mana dan seperti apa”

“Maaf. A-aku masih nggak ngerti

Gini deh. Kalau di malam hari nih, lebih gampang ngelawan perampok yang pakai baju warna kuning cerah atau yang pakai baju serba hitam?”

“Yang kuning cerah sih

“Kenapa?”

“Karena... kelihatan”

“Kurang lebih kayak gitu maksudnya, mbak

Kutuangkan satu sendok makan madu ke dalam campuran espresso yang kubuat. Aku tak bisa berharap banyak namun yang jelas kuharap gadis itu menyukai pesanannya dan mengerti apa yang kukatakan. Seringkali aku pun tak mengerti dengan ucapanku. Apa yang kukatakan padanya tadi? Astaga! Belum semenit berlalu, aku sudah lupa dengan apa yang kuucapkan! Noda espresso yang ada pada cawan segera kubersihkan sebelum minuman ini kuhidangkan.

“Kalau ngelawan sakit kayak gitu, gimana caranya?” tanyanya.

“Cari tahu dulu sebab sakitnya apa,” jawabku.

“Yang jelas aku ingin nolong dia dan aku sayang sama dia sebetulnya, tapi aku nggak ngerti kenapa balasan dari dia malah kayak gini,” jelasnya.

“Kalau gitu, menurut saya sih cara ngobatinnya ada dua. Mbak balas dendam dan perlakukan dia seperti cara dia memperlakukan mbak, atau—“

“Atau apa?”

Trying to let go?”

Ikhlasin semuanya?”

“Tenang aja, mbak. ‘Kan masih ada Tuhan yang bisa balas perbuatan dia. Mbak percaya ‘kan kalau Tuhan pasti adil? Biar Tuhan yang ngatur semuanya, mbak

Gadis itu kembali terisak dan, jujur saja, ini membuatku tak nyaman. Tapi itu tak berlangsung lama karena setelahnya ia menyeka air matanya dan tersenyum. Ya, ia tersenyum dan senyumannya begitu ikhlas, seperti seolah-olah ia baru saja merelakan sesuatu dan beban hidupnya hilang begitu saja. Aku tersenyum melihat gadis itu merasa lebih baik. Kuhidangkan pesanan gadis itu.

Café miel,” ujarku.

“Bukannya tadi Espresso Romano?” tanyanya terkejut.

“Saya berubah pikiran,” jawabku.

“Kenapa?”

“Kalau ada hal yang udah terlanjur pahit, cara buat menikmatinya ya salah satunya dengan bikin hal tersebut terasa lebih manis. Satu shot espresso, susu panas, kayumanis, dan madu”

Kepuasaan melanda diriku, menyerangku dengan perasaan lega dan bahagia dan tak memberiku sama sekali kesempatan untuk menggerutu tentang uap panas yang tadi sempat menerpa wajahku. Ekspresi gadis itu saat meneguk kopinya membuatku merasa tenang. Kekecewaan dan kesedihan yang sebelumnya nampak jelas di wajahnya menghilang begitu saja, seperti menghapus lukisan yang dibuat di atas mainan papan magnet. Dimana ponselku? Aku harus mengabadikan ekspresi itu! Tatapan mataku tiba-tiba menangkap novel Romance of the Three Kingdoms yang tergeletak begitu saja di bawah bar. Ah, aku ingin kembali duduk di bawah bar, menekuk kedua lututku sambil membaca novel tersebut. Seandainya aku bisa membacanya sekarang. Seandainya pengunjung yang datang mau memahami bahwa aku pun ingin beristirahat sejenak.

“Ada apa?”

Pertanyaan dahsyat itu terlontar dari mulut gadis itu, ditujukan padaku. Ya, padaku. Apakah ini nyata? Apakah ia benar-benar menanyakan hal itu padaku? Selamat, Aldi! Selamat! Seseorang akhirnya melontarkan pertanyaan maha dahsyat itu padamu! Seseorang akhirnya mencoba memahami apa yang kau pikiran! Aku tercekat saat aku hendak menjawab pertanyaan itu.

Mbak masih lama disini?” tanyaku.

“Sepertinya. Kenapa?” jawabnya.

“Kalau boleh, saya mau lanjut baca novel di bawah,” jelasku.

“Di bawah?”

“Ya. Di bawah bar”

Gadis itu tersenyum kecil. Ia mempersilahkanku untuk kembali berkencan dengan novelku dan bersembunyi di bawah bar. Ia sampai meminta izin untuk melihat tempat persembunyianku, bahkan ingin melihatku membaca novelku di tempat tersebut. Dengan senang hati aku membiarkannya melihat seperti apa tempat persembunyianku. Aku menjelaskan padanya betapa menyenangkannya berada di bawah bar, beristirahat sejenak dari pekerjaan yang cukup menguras tenagaku. Aku membawa beberapa buah novelku ke kedai dan membacanya saat tak ada pengunjung. Ia kemudian berjanji padaku bahwa suatu hari ia akan kembali dan memberiku sebuah novel.


Dan Iza pun kedapatan menaruh botol bubuk kayumanis di rak yang salah. Kali ini Iza menaruh botol bubuk kayu manis di rak gelas—dan itu jelas-jelas salah. Segera kutegur rekan kerjaku yang usianya hanya tiga tahun lebih muda dariku itu.

“Ini jangan ditaro disini! ‘Kan udah ada labelnya!” tegurku.

Sorry! Buru-buru,” jawabnya seraya menyiapkan pesanan untuk pengunjung.

Aku menghela nafas panjang lalu kembali bersembunyi di bawah bar. Kali ini bukan untuk membaca, namun sekedar mendengarkan lagu. Quiet Nights of Quiet Stars. Petikan gitar yang merdua dan warna suara Olivia Ong yang manis membuatku serasa dininabobokan. Jika ada sebuah bantal dan sebuah selimut, pasti aku sudah tertidur di bawah bar.

“Di, daripada nyumput mendingan baca novel aja,” sahut Iza.

Udah tamat,” jawabku.

“Ini aku ada novel. Mau baca?” tanya Iza.

Iza membuka tasnya dan mengambil sebuah novel. Novel dengan sampul berwarna biru tua dan bintang-bintang kecil itu kini berada dalam genggamanku. Iza mengizinkanku untuk membawa pulang novel itu dengan sebuah syarat: aku harus menyelesaikannya dalam waktu satu minggu. Satu minggu? Maksudmu satu hari? Aku segera mencari halaman prolog novel ini. Aku selalu senang membaca prolog novel. Rasanya seperti mendengarkan novelis bercerita tentang novelnya secara langsung. Tapi, tunggu sebentar! Tara. Tara Valeria. Sepertinya aku pernah mendengar nama ini. Jika aku tak salah, ia adalah seorang penulis yang baru saja menerbitkan novel terbarunya yang—konon—langsung laris saat hari pertama peluncurannya.

Kalau begitu, ini adalah novel yang laris itu!

Kutemukan halaman prolog tersebut dan segera kubaca. Aku tak pernah sekalipun bertemu dengan novelis-novelis kesukaanku. Aku hanya pernah melihat wajahnya di televisi atau internet. Tara Valeria. Aku pernah mendengar namanya, namun belum pernah melihat wajahnya. Dan kecepatan bacaku berkurang drastis saat aku tiba pada paragraf-paragraf ini:

Aku sempat terpikir untuk berhenti menulis. Aku sempat terpikir untuk berhenti melakukan semua hal yang kusukai. Aku bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri semuanya. Setiap orang pasti pernah berada dalam fase seperti itu, bukan? Fase dimana kita benar-benar merasa lelah atas rasa sakit yang kita derita. Terkadang kita mempertanyakan keadilan Tuhan. Apakah Ia benar-benar adil? Tapi Tuhan memang benar-benar adil. Seseorang mengingatkanku tentang hal itu.

Dalam masa-masa sulit seperti itu, selalu ada sosok pahlawan yang setidaknya mau membantumu untuk berdiri saat kau terjatuh. Sosok itu mau mendengarkan keluh kesahmu meskipun ia sebetulnya merasa jenuh. Sosok itu rela melakukan apapun untukmu. Pahlawan itu mungkin bukan berasal dari kalangan sahabat terdekatmu; ia bisa siapa saja dan berada dimana saja, namun yakinlah bahwa ia selalu muncul di saat yang tepat. Sore itu aku pergi ke sebuah kedai kopi dengan harapan bahwa secangkir kopi pahit dapat membuatku melupakan rasa sakit yang kualami karena pria itu. Hujan turun dengan derasnya dan saat itu aku tahu bahwa sore itu akan menjadi sebuah melodrama yang harus kubintangi. Aku telah membintangi cukup banyak melodrama dalam hidupku dan aku cukup lelah dengan kisah-kisah semacamnya. Dan sosok itu pun muncul di hadapanku. Pahlawan itu. Tak banyak yang ia lakukan, namun ia adalah seorang pendengar yang baik yang mau mendengarkan keluh kesahku. Ia juga membuatku menyadari bahwa “jika sesuatu terlanjur pahit, maka berikanlah sesuatu yang dapat menjadikannya setidaknya terasa lebih manis”. Ia bahkan mengajariku untuk merelakan sesuatu, mengikhklaskan apa yang terjadi karena Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Seseorang yang melukaiku akan mendapatkan balasan dari Tuhan—sesuatu yang setimpal, dan aku tak perlu repot-repot memikirkan rencana balas dendam. “Biar Tuhan yang mengatur semuanya”. Itu yang ia katakan padaku. Ia bahkan memberiku segelas air untuk menenangkanku. Hanya segelas air, tapi jika diberikan pada waktu yang tepat maka segelas air dapat menjadi semacam oasis di tengah padang gurun yang tandus. Oh! Jika aku tak bertemu dengannya, mungkin novel ini tak akan pernah ada. 
Ia—pahlawanku bukanlah sosok yang mungkin kau pikir adalah seorang ksatria berkuda, atau pahlawan super dengan kekuatan untuk menghentikan waktu. Ingin tahu seperti apa sosok pahlawan itu? Ia hanyalah pria biasa, mengenakan polo shirt hitam dan celemek berwarna hijau tua. Ia bermain dengan kopi setiap harinya. Wajahnya terkena uap dari air panas yang ia didihkan. Berada di dekatnya seperti menikmati biskuit rasa kopi. Pahlawanku bukanlah pahlawan super, namun ia memiliki kekuatan yang tak dimiliki semua orang. Nada suaranya yang ramah, senyuman yang ikhlas, dan tatapan mata yang antusias membuatku merasa nyaman. Perasaan nyaman itu bukan datang dari senyuman seorang supermodel; perasaan itu datang dari seorang barista yang sering bersembunyi di bawah bar sembari membaca novel, sembari menunggu pengunjung. 
Hidup ini hebat, bukan?


Kini jika boleh aku menanyakan satu hal, pada siapapun termasuk diriku sendiri, aku ingin tahu mengapa tiba-tiba mengalir sebuah sungai kecil di pipiku.

No comments:

Post a Comment