Hujan masih
belum berhenti sejak tadi siang. Selama berjam-jam aku melihat titik-titik
hujan yang meluncur cepat dari langit seperti ribuan meteor yang sedang
menghantam bumi dan memporakporandakan kota ini. Beberapa terpantul di kaca
jendela, membuat jejak sebelum akhirnya mengecup manis dedaunan tanaman paku
yang ditanam tepat di bawah jendela. Setiap kali ada pengunjung datang, pintu
yang terbuka seolah menjadi jalan bagi angin yang bertiup cukup kencang di luar
untuk masuk ke dalam kedai dan bermain dengan kabel-kabel lampu bohlam yang menjuntai
dari langit-langit, membuatnya berayun pelan seperti ayunan taman kanak-kanak.
Jujur saja
aku selalu terkejut saat bel berdenting. Ya, jika pintu kedai dibuka secara
otomatis belnya akan berdenting, menandakan bahwa ada pengunjung yang datang
atau pergi. Bel kecil itu nampak indah jika dilihat dari jauh, namun menyebalkan
saat ia berdenting di saat yang tak tepat, seperti saat aku sedang membaca
novelku atau mempertaruhkan hidup dan matiku di Let’s Get Rich. Aku merasa nyaman untuk duduk di bawah bar, bersembunyi
dari tatapan para pengunjung yang sedang duduk nyaman di kursinya masing-masing
sambil menikmati secangkir kopi panas. Namun jika pengunjung datang, aku
terpaksa berdiri dan mau tak mau harus menampakkan diriku di bar, menyapa
pengunjung yang datang dan membuatkan pesanan mereka. Duduk di bawah bar
seperti berada di dalam iglo di tengah badai salju, atau meringkuk di bawah
selimut saat hujan deras di malam hari, atau membaca buku di dalam tenda saat
berkemah di pegunungan. Tempat ini merupakan tempat yang paling nyaman untukku,
meskipun sempat beberapa kali kepalaku terantuk meja bar saat keluar dari
tempat persembunyianku.
“Mas?”
Satu kata
tiga huruf itu dilantunkan dengan lembut dari sebuah suara alto yang dengan
anggunnya merusak kedamaianku di tempat persembunyianku. Aku segera bangkit dan
berdiri, lalu melihat sosok wanita yang berusia sekitar 20 tahunan itu di depan
bar. Ia berjalan ke arah meja kasir—secara tidak langsung memberi sinyal bahwa
inilah saat baginya untuk berpisah dengan beberapa lembar rupiah yang nantinya
akan menetap di dalam mesin kasir. Itu juga merupakan waktunya untuk keluar
dari kedai yang nyaman dan hangat ini, bertarung dengan hujan yang nampaknya
masih belum menyerah untuk menyerang.
“Café Americano, satu. Affogato, satu. Semuanya jadi dua puluh
delapan ribu lima ratus”
Wanita
dengan blazer coklat tua dan T-shirt putih Zara itu mengeluarkan selembar uang senilai dua puluh ribu dan
selembar uang senilai sepuluh ribu. Keduanya segera masuk ke dalam mesin kasir
dan sebagai gantinya, wanita muda itu mendapatkan selembar uang seribu rupiah
dan sekeping koin lima ratus rupiah. Setelah menerimanya, wanita tersebut
mengucapkan terima kasih—dengan anggunnya dalam suara alto—dan berjalan bersama
kekasihnya—beserta kemesraan mereka yang membuatku kesal—menuju pintu. Tepat di
saat sepasang kekasih itu membuka pintu, seorang wanita masuk ke dalam kedai.
Aku tak sempat kembali bersembunyi di tempat persembunyianku karena wanita itu
langsung berjalan menuju bar dan duduk di kursi bar. Apa yang memisahkanku dan
wanita itu hanyalah meja bar saja, dengan beberapa toples kaca cantik yang
berisi biji-biji kopi dari berbagai jenis. Wanita—mungkin lebih tepatnya
kusebut gadis—itu melihatku dan tersenyum kecil. Aku membalas senyumnya seraya
memberikannya buku menu. Ia membuka-buka halamannya, sempat terpaku selama
beberapa saat di beberapa halaman, lalu kembali membuka halaman yang lain.
Seandainya aku dapat membawa jam wekerku dan mengatur waktunya agar pengunjung
tidak membuang-buang banyak waktu untuk memilih menu, kurasa akan menyenangkan.
Kriiiiiiiiiiiiing! Waktu habis! Silahkan
pesan atau keluar dari sini! Sayang sekali hal itu hanya terjadi dalam
imajinasiku.
“Aduh, saya
bingung,” ujar gadis itu pelan.
“Bingung
kenapa, mbak?” tanyaku.
“Bingung pesen apa,” jawabnya.
Aku
tersenyum kecil.
“Mbak sukanya apa? Kopi, teh, atau
coklat?” tanyaku.
“Suka semuanya,”
jawabnya.
“Sekarang
lebih pingin minum apa?” tanyaku
lagi.
“Mungkin
kopi,” jawabnya.
Regulasi
yang diberikan untuk semua barista
mengharuskan para barista, termasuk
aku, menanyakan preferensi minuman pengunjung saat pengunjung tidak dapat menentukan
pesanannya. Dengan mengetahui preferensi ini, barista dapat memberikan rekomendasi minuman yang dapat pengunjung
pesan. Sialnya, aku seringkali memasukkan preferensiku sendiri sehingga setiap
ada pengunjung yang ingin minum kopi tapi tak tahu apa yang harus dipesan,
refleks aku selalu menyarankan...
“Espresso Romano?”
Gadis itu
terkejut, lalu menatapku.
“Ya udah deh mas. Itu aja,” jawabnya.
Aku pun
mulai mengerjakan pesananku. Aroma kopi tercium kuat saat aku membuka kotak
berisi bubuk kopi. Aku selalu senang dengan aroma ini. Jika aku tak senang,
mana mungkin aku menjadi barista?
“Kalau jam segini sepi ya, mas?” tanya gadis itu.
“Eh?” aku
terkejut.
“Ya. Jam segini suka sepi, ya?”
“Hmm... Nggak sih. Mungkin karena hujan”
Air yang
kupanaskan telah mendidih. Segera kutuangkan air panas itu ke dalam mesin espresso. Uap air panas mengepul dan
mengenai wajahku. Aku sudah biasa merasakan panas di wajahku. Setiap hari
wajahku seperti mendapat tiket sauna
gratis.
“Kenapa ya
ada orang bodoh di dunia?”
Jika semua
orang pandai dan cerdik, bukankah akan membosankan?
“Kenapa aku
mau aja dibodohi?”
Espresso ini belum siap, tapi apakah ini
sudah waktunya untukku membalikkan tubuhku dan menatapnya lalu menanyakan
pertanyaan maha dahsyat itu? Ah, aku selalu menanyakan hal yang sama. Aku
selalu melakukan hal yang sama di saat-saat seperti ini. Aku ingin tahu apakah
ada pengunjung yang justru menanyakan pertanyaan sakti itu padaku. Ting! Espresso telah siap. Setelah kutuangkan ke dalam cangkir, aku pun
membalikkan badanku dan menanyakan pertanyaan sakti itu.
“Ada apa?”
Betapa
dahsyatnya efek dari pertanyaan itu sehingga gadis berkacamata itu pun menatapku
dengan tatapan yang membuatku iba padanya. Gadis
ini perlu kutolong, tapi aku bukan superhero. Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang? Dimana jubahku? Ah,
setiap kali datang pengunjung yang mencurahkan isi hatinya pun aku selalu
bersikap seperti ini. Aku selalu ingin mengetahui apa yang membuatnya merasa
sedih dan kecewa. Terutama gadis ini, aku ingin tahu mengapa tiba-tiba mengalir
sebuah sungai kecil di pipinya.
“Kenapa aku
bisa dibodohi begitu aja?” tanyanya pelan.
“Setiap
orang pasti pernah dibodohi,” jawabku seraya menuangkan susu panas ke dalam espresso.
“Aku ngerasa tolol. Kenapa aku mau dibodohin coba?”
“Memangnya dibodohin sama siapa?”
Gadis itu justru
terisak pelan saat aku menanyakan agen pembodohan yang nampaknya telah
memporakporandakan hidupnya. Aku menghela nafas sejenak. Kutinggalkan pesanan
yang belum selesai kubuat dan segera kusiapkan segelas air untuk gadis itu.
Gelas itu kutaruh tepat di hadapannya. Gadis itu berhenti terisak dan nampak
bingung.
“Ini apa?”
tanyanya.
“Silahkan
diminum, mbak. Biar lebih tenang,”
jawabku.
Aku kembali
mengerjakan pesananku. Ah, kemana botol bubuk kayumanis itu? Iza pasti
menaruhnya sembarangan lagi. Lagi. Padahal sudah kubilang padanya untuk menaruh
botol bubuk kayu manis di rak rempah-rempah. Akhirnya aku menemukannya,
bersanding di samping botol bubuk vanili.
“Selama ini
aku coba buat bisa jadi sosok yang bisa nolong
dia. Aku tahu dia sosok yang kalau dari luar keliatan kuat, tegar, dan bahkan cuek. Tapi aku tahu pasti hatinya rapuh. Kenapa saat aku coba buat nolong dia, justru dia bikin aku sakit?” jelas gadis itu.
“Sakit?
Seperti apa emang?” tanyaku.
“Aku nggak bisa gambarin seperti apa sakitnya.
Yang jelas aku ngerasa usaha aku
selama ini buat bisa nolong dia
sia-sia. Maksudku, rasanya aku nolong
orang yang salah. Kenapa dia malah balas semuanya dengan hal yang bikin aku sakit? Sialnya, kenapa aku
juga nggak bisa melawan rasa sakit
itu?”
“Karena
sakitnya nggak keliatan, kamu jadi susah buat ngelawan
rasa sakit itu”
“Maksudnya?”
“Misalnya
kita ada luka lecet di tangan kita dan kerasa
sakit, cara buat melawan rasa sakitnya adalah dengan ngobatin luka itu. Kita tahu bahwa luka itu keliatan, jadi kita tahu pengobatan seperti apa yang harus
dilakukan dan dimana si plesternya harus ditempel. Kalau luka batin ‘kan nggak keliatan, hanya kerasa aja.
Kita jadi susah buat ngelawannya
karena kita nggak tahu luka itu
tepatnya ada di sebelah mana dan seperti apa”
“Maaf. A-aku
masih nggak ngerti”
“Gini deh. Kalau di malam hari nih, lebih gampang ngelawan perampok yang pakai baju warna kuning cerah atau yang
pakai baju serba hitam?”
“Yang
kuning cerah sih”
“Kenapa?”
“Karena...
kelihatan”
“Kurang
lebih kayak gitu maksudnya, mbak”
Kutuangkan
satu sendok makan madu ke dalam campuran espresso
yang kubuat. Aku tak bisa berharap banyak namun yang jelas kuharap gadis itu
menyukai pesanannya dan mengerti apa yang kukatakan. Seringkali aku pun tak
mengerti dengan ucapanku. Apa yang
kukatakan padanya tadi? Astaga! Belum semenit berlalu, aku sudah lupa dengan
apa yang kuucapkan! Noda espresso yang ada pada cawan segera kubersihkan
sebelum minuman ini kuhidangkan.
“Kalau ngelawan sakit kayak gitu, gimana caranya?” tanyanya.
“Cari tahu dulu
sebab sakitnya apa,” jawabku.
“Yang jelas
aku ingin nolong dia dan aku sayang
sama dia sebetulnya, tapi aku nggak ngerti kenapa balasan dari dia malah kayak gini,” jelasnya.
“Kalau gitu, menurut saya sih cara ngobatinnya ada dua. Mbak balas dendam dan perlakukan dia
seperti cara dia memperlakukan mbak,
atau—“
“Atau apa?”
“Trying to let go?”
“Ikhlasin semuanya?”
“Tenang aja, mbak.
‘Kan masih ada Tuhan yang bisa balas perbuatan dia. Mbak percaya ‘kan kalau Tuhan pasti adil? Biar Tuhan yang ngatur semuanya, mbak”
Gadis itu
kembali terisak dan, jujur saja, ini membuatku tak nyaman. Tapi itu tak berlangsung
lama karena setelahnya ia menyeka air matanya dan tersenyum. Ya, ia tersenyum
dan senyumannya begitu ikhlas, seperti seolah-olah ia baru saja merelakan
sesuatu dan beban hidupnya hilang begitu saja. Aku tersenyum melihat gadis itu merasa
lebih baik. Kuhidangkan pesanan gadis itu.
“Café miel,” ujarku.
“Bukannya
tadi Espresso Romano?” tanyanya
terkejut.
“Saya
berubah pikiran,” jawabku.
“Kenapa?”
“Kalau ada
hal yang udah terlanjur pahit, cara
buat menikmatinya ya salah satunya dengan bikin
hal tersebut terasa lebih manis. Satu shot
espresso, susu panas, kayumanis, dan madu”
Kepuasaan
melanda diriku, menyerangku dengan perasaan lega dan bahagia dan tak memberiku
sama sekali kesempatan untuk menggerutu tentang uap panas yang tadi sempat
menerpa wajahku. Ekspresi gadis itu saat meneguk kopinya membuatku merasa
tenang. Kekecewaan dan kesedihan yang sebelumnya nampak jelas di wajahnya
menghilang begitu saja, seperti menghapus lukisan yang dibuat di atas mainan
papan magnet. Dimana ponselku? Aku harus
mengabadikan ekspresi itu! Tatapan mataku tiba-tiba menangkap novel Romance of the Three Kingdoms yang
tergeletak begitu saja di bawah bar. Ah, aku ingin kembali duduk di bawah bar,
menekuk kedua lututku sambil membaca novel tersebut. Seandainya aku bisa membacanya sekarang. Seandainya pengunjung yang
datang mau memahami bahwa aku pun ingin beristirahat sejenak.
“Ada apa?”
Pertanyaan
dahsyat itu terlontar dari mulut gadis itu, ditujukan padaku. Ya, padaku. Apakah ini nyata? Apakah ia benar-benar
menanyakan hal itu padaku? Selamat, Aldi! Selamat! Seseorang akhirnya melontarkan
pertanyaan maha dahsyat itu padamu! Seseorang akhirnya mencoba memahami apa
yang kau pikiran! Aku tercekat saat aku hendak menjawab pertanyaan itu.
“Mbak masih lama disini?” tanyaku.
“Sepertinya.
Kenapa?” jawabnya.
“Kalau
boleh, saya mau lanjut baca novel di bawah,” jelasku.
“Di bawah?”
“Ya. Di
bawah bar”
Gadis itu tersenyum
kecil. Ia mempersilahkanku untuk kembali berkencan dengan novelku dan
bersembunyi di bawah bar. Ia sampai meminta izin untuk melihat tempat
persembunyianku, bahkan ingin melihatku membaca novelku di tempat tersebut.
Dengan senang hati aku membiarkannya melihat seperti apa tempat
persembunyianku. Aku menjelaskan padanya betapa menyenangkannya berada di bawah
bar, beristirahat sejenak dari pekerjaan yang cukup menguras tenagaku. Aku
membawa beberapa buah novelku ke kedai dan membacanya saat tak ada pengunjung.
Ia kemudian berjanji padaku bahwa suatu hari ia akan kembali dan memberiku
sebuah novel.
Dan Iza pun
kedapatan menaruh botol bubuk kayumanis di rak yang salah. Kali ini Iza menaruh
botol bubuk kayu manis di rak gelas—dan itu jelas-jelas salah. Segera kutegur
rekan kerjaku yang usianya hanya tiga tahun lebih muda dariku itu.
“Ini jangan
ditaro disini! ‘Kan udah ada labelnya!” tegurku.
“Sorry! Buru-buru,” jawabnya seraya
menyiapkan pesanan untuk pengunjung.
Aku
menghela nafas panjang lalu kembali bersembunyi di bawah bar. Kali ini bukan
untuk membaca, namun sekedar mendengarkan lagu. Quiet Nights of Quiet Stars. Petikan gitar yang merdua dan warna
suara Olivia Ong yang manis membuatku serasa dininabobokan. Jika ada sebuah
bantal dan sebuah selimut, pasti aku sudah tertidur di bawah bar.
“Di, daripada
nyumput mendingan baca novel aja,”
sahut Iza.
“Udah tamat,” jawabku.
“Ini aku
ada novel. Mau baca?” tanya Iza.
Iza membuka
tasnya dan mengambil sebuah novel. Novel dengan sampul berwarna biru tua dan
bintang-bintang kecil itu kini berada dalam genggamanku. Iza mengizinkanku
untuk membawa pulang novel itu dengan sebuah syarat: aku harus menyelesaikannya
dalam waktu satu minggu. Satu minggu? Maksudmu satu hari? Aku segera mencari halaman
prolog novel ini. Aku selalu senang membaca prolog novel. Rasanya seperti
mendengarkan novelis bercerita tentang novelnya secara langsung. Tapi, tunggu
sebentar! Tara. Tara Valeria. Sepertinya aku pernah mendengar nama ini. Jika
aku tak salah, ia adalah seorang penulis yang baru saja menerbitkan novel
terbarunya yang—konon—langsung laris saat hari pertama peluncurannya.
Kalau begitu, ini adalah novel yang laris itu!
Kutemukan
halaman prolog tersebut dan segera kubaca. Aku tak pernah sekalipun bertemu
dengan novelis-novelis kesukaanku. Aku hanya pernah melihat wajahnya di
televisi atau internet. Tara Valeria.
Aku pernah mendengar namanya, namun belum pernah melihat wajahnya. Dan
kecepatan bacaku berkurang drastis saat aku tiba pada paragraf-paragraf ini:
Aku sempat terpikir untuk berhenti menulis. Aku sempat terpikir untuk berhenti melakukan semua hal yang kusukai. Aku bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri semuanya. Setiap orang pasti pernah berada dalam fase seperti itu, bukan? Fase dimana kita benar-benar merasa lelah atas rasa sakit yang kita derita. Terkadang kita mempertanyakan keadilan Tuhan. Apakah Ia benar-benar adil? Tapi Tuhan memang benar-benar adil. Seseorang mengingatkanku tentang hal itu.
Dalam masa-masa sulit seperti itu, selalu ada sosok pahlawan yang setidaknya mau membantumu untuk berdiri saat kau terjatuh. Sosok itu mau mendengarkan keluh kesahmu meskipun ia sebetulnya merasa jenuh. Sosok itu rela melakukan apapun untukmu. Pahlawan itu mungkin bukan berasal dari kalangan sahabat terdekatmu; ia bisa siapa saja dan berada dimana saja, namun yakinlah bahwa ia selalu muncul di saat yang tepat. Sore itu aku pergi ke sebuah kedai kopi dengan harapan bahwa secangkir kopi pahit dapat membuatku melupakan rasa sakit yang kualami karena pria itu. Hujan turun dengan derasnya dan saat itu aku tahu bahwa sore itu akan menjadi sebuah melodrama yang harus kubintangi. Aku telah membintangi cukup banyak melodrama dalam hidupku dan aku cukup lelah dengan kisah-kisah semacamnya. Dan sosok itu pun muncul di hadapanku. Pahlawan itu. Tak banyak yang ia lakukan, namun ia adalah seorang pendengar yang baik yang mau mendengarkan keluh kesahku. Ia juga membuatku menyadari bahwa “jika sesuatu terlanjur pahit, maka berikanlah sesuatu yang dapat menjadikannya setidaknya terasa lebih manis”. Ia bahkan mengajariku untuk merelakan sesuatu, mengikhklaskan apa yang terjadi karena Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Seseorang yang melukaiku akan mendapatkan balasan dari Tuhan—sesuatu yang setimpal, dan aku tak perlu repot-repot memikirkan rencana balas dendam. “Biar Tuhan yang mengatur semuanya”. Itu yang ia katakan padaku. Ia bahkan memberiku segelas air untuk menenangkanku. Hanya segelas air, tapi jika diberikan pada waktu yang tepat maka segelas air dapat menjadi semacam oasis di tengah padang gurun yang tandus. Oh! Jika aku tak bertemu dengannya, mungkin novel ini tak akan pernah ada.
Ia—pahlawanku bukanlah sosok yang mungkin kau pikir adalah seorang ksatria berkuda, atau pahlawan super dengan kekuatan untuk menghentikan waktu. Ingin tahu seperti apa sosok pahlawan itu? Ia hanyalah pria biasa, mengenakan polo shirt hitam dan celemek berwarna hijau tua. Ia bermain dengan kopi setiap harinya. Wajahnya terkena uap dari air panas yang ia didihkan. Berada di dekatnya seperti menikmati biskuit rasa kopi. Pahlawanku bukanlah pahlawan super, namun ia memiliki kekuatan yang tak dimiliki semua orang. Nada suaranya yang ramah, senyuman yang ikhlas, dan tatapan mata yang antusias membuatku merasa nyaman. Perasaan nyaman itu bukan datang dari senyuman seorang supermodel; perasaan itu datang dari seorang barista yang sering bersembunyi di bawah bar sembari membaca novel, sembari menunggu pengunjung.
Hidup ini hebat, bukan?
Kini jika boleh aku menanyakan
satu hal, pada siapapun termasuk diriku sendiri, aku ingin tahu mengapa
tiba-tiba mengalir sebuah sungai kecil di pipiku.
No comments:
Post a Comment