Pages

Thursday, July 9, 2015

Penerbangan pagi

Koper terakhir telah selesai kusiapkan. Koper itu kuletakkan tepat di samping koper besar berwarna biru tua dan backpack American Tourister hitam. Kutaruh windbreaker jacket Superdry-ku di atas koperku agar aku tak lupa mengenakannya nanti. Kulihat ke arah lemari pakaianku yang kini setengah kosong. Seolah tak percaya, aku membawa pergi setengah isi lemariku. Aku menyisakan beberapa pakaian di lemariku, dengan anggapan bahwa aku tak perlu membawa terlalu banyak pakaian saat aku kembali ke sini untuk berlibur. Toh lagi pula aku masih bisa mengenakan kaus kakakku yang ia tinggalkan di lemari pakaiannya. Sekarang aku mulai memahami apa yang kakakku rasakan. Mungkin seperti inilah rasanya meninggalkan rumah. Perbedaannya hanyalah jarak saja. Kakakku masih tinggal di kota yang sama, sedangkan aku tak hanya pindah kota, tetapi juga pindah pulau, bahkan pindah negara. Aku perlu pintu kemana saja, sekarang juga! Pasti senang rasanya jika ada pintu kemana saja. Jarak jauh pun tak menjadi masalah. Aku tak perlu mempersiapkan pakaian sebanyak ini. Aku masih bisa tinggal di rumah meskipun kampusku berada di negara tetangga.

“Reyhan?”

Aku melirik ke arah pintu. Ayah berada di ambang pintu, melihat apa yang sedang kulakukan di kamarku. Ia sepertinya baru saja selesai melaksanakan solat Subuh karena ia masih ada peci hitam di atas kepalanya.

“Buku-buku yang penting sudah dibawa?” tanya ayah.

Aku mengangguk pelan.

“Itu kok biola belum dimasukkan ke tempatnya?” tanya ayah lagi.

Aku melirik ke arah meja belajarku, dimana kutaruh biolaku begitu saja di atasnya. Aku menghela nafas pendek kemudian bergegas memasukkan biolaku dan penggeseknya ke dalam tasnya. Kuperiksa kembali kelengkapannya. Penggesek cadangan, damar, dan senar cadangan sudah ada di dalam tas. Buku-buku partitur sudah kumasukkan di tas terpisah.

“Kalau sampai ketinggalan nanti repot,” ujar ayah, “Apalagi biola ‘kan akan jadi senjata kamu nanti di perkuliahan.”

“Ya, ayah,” jawabku pelan.

Ayah kemudian pergi dan kini tinggal aku sendiri di kamarku. Astaga! Hanya dalam waktu beberapa jam saja aku sudah akan berada jauh dari kamarku. Aku akan merindukan kamarku. Aku akan merindukan semuanya. Tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang harus kutemui untuk kuucapkan salam perpisahan. Setengah berlari aku menuju dapur dan melihat keluar melalui jendela dapur. Ah! Syukurlah aku melihatnya di luar! Sosok Alan nampak sedang duduk di kursi kecil di dekat jemuran pakaian. Kubuka pintu dapur dan, bertelanjang kaki, aku menghampirinya. Alan kemudian melihatku. Bibirnya yang pucat membentuk sebuah senyuman kecil.

“Alan, sedang apa?” tanyaku.

“Duduk saja,” jawabnya.

Aku pun duduk di sebuah tembokan pendek yang dulunya ayah gunakan untuk menyimpan pot-pot tanaman besar. Alan ikut duduk di sampingku. Ia memperhatikan wajahku dan menepuk bahuku. Pada awalnya, tangannya terasa sangat dingin, namun berangsur-angsur terasa hangat.

“Hari ini berangkat?” tanya Alan.

“Ya. Sekarang tinggal menunggu mas Eza buat antar ke bandara,” jawabku.

Viool dibawa juga?” tanyanya.

“Ya. Kalau tidak dibawa, nanti tidak bisa apa-apa disana,” jawabku.

“Aduh. Tidak bisa dengar jou main viool lagi,” sesalnya.

Mataku mulai terasa sembab. Rasanya aku tak ingin meninggalkan rumah ini. Aku tak ingin pergi! Aku ingin disini saja! Tolong batalkan penerbangannya dan buat surat pengunduran diri untukku! Sayangnya sudah terlambat untuk mengatakan bahwa aku ingin melanjutkan sekolahku disini saja. Aku tak mau meninggalkan semuanya.

Wees niet bedroefd. Reyhan, wees niet bedroefd,” ujar Alan pelan.

Aku menyeka air mata di sudut mataku.

Dank je, Alan,” ujarku pelan, “Ik zaal je missen.”

Ik zaal je missen, ook.”

Kudengar klakson mobil dari arah depan rumah. Mas Eza pasti sudah tiba. Aku pamit pada Alan dan masuk kembali ke dalam rumah. Ayah baru keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah ruang tamu. Ia nampak rapi, seolah-olah sudah siap untuk mengantarku ke bandara. Tapi aku adalah cerita yang lain. Kurasa aku belum siap, belum siap secara mental. Sambil membuka pintu ruang tamu, ayah berseru padaku untuk bersiap-siap dan berganti baju. Dengan malas kuganti pakaianku dan kukenakan windbreaker jacket-ku yang di Singapura nanti tak akan ada gunanya. Jujur saja cuaca pagi ini memang sangat dingin. Kurasa ini karena hujan lebat turun kemarin malam.

“Rey udah siap?” kudengar suara kakakku dari arah ruang tamu.

“Sudah. Koper-kopernya masukkan saja ke bagasi,” jawab ayah.

Aku tak mau melihat wajah kakakku! Aku tak mau melihatnya saat ini! Aku tahu jika aku melihatnya, aku akan semakin tak sanggup untuk pergi. Kudengar langkah kaki yang berjalan ke arah kamarku. Aku harus melakukan sesuatu, mungkin bersembunyi atau berpura-pura mencari sesuatu di dalam lemariku agar aku tak harus melihat kakakku. Sosok mas Eza pun kemudian masuk ke kamarku, menyapaku, mengambil koper-koperku dan membawanya keluar untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Saat itu aku sedang pura-pura mencari sesuatu di dalam lemari pakaianku yang sudah setengah kosong. Mas Eza pun kembali lagi ke kamar, namun kali ini memanggilku.

“Rey?” panggilnya.

“Ada apa?” jawabku.

“Lagi ngapain?” tanyanya.

Nyari sesuatu,” jawabku.

“Sesuatu? Ada yang ketinggalan? Bukannya semua udah kamu masukkan? Lemari kamu sampai sudah kosong setengahnya begitu.”

Aku terdiam. Percuma aku berbohong karena kakakku pasti tahu aku sudah memasukkan semua yang harus kubawa ke dalam koperku. Kukira kakakku akan mengatakan hal yang membuatku semakin tersudutkan, namun ia justru hanya menyuruhku bergegas dan meninggalkanku di kamarku. Kini aku sendirian di kamarku. Kututup pintu kamarku dan kusandarkan punggungku pada pintu kamar. Kupandang kamarku sekali lagi. Semuanya telah rapi, siap untuk kutinggalkan. Bantal, guling, dan selimutku telah tertata rapi. Tak ada buku-buku yang tergeletak begitu saja di atas meja belajarku. Semuanya sudah rapi. Kuseka air mata di pipiku. Cat tembok kamarku, bau kayu lemari pakaian, retakkan pada cermin, serta gorden berwarna coklat tua. Aku akan merindukan ini semua.

“Reyhan, ayo kita berangkat sekarang,” sahut ayah dari luar kamarku.

Aku pun kembali menyeka air mataku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja di hadapan ayah dan kakakku. Mbak Alia tidak ikut mengantarku ke bandara. Mungkin ia tak tega jika harus membawa si kecil Dira pergi pagi-pagi sekali, hanya untuk mengantarku. Toh lagipula aku sudah berpamitan padanya kemarin sore. Aku bahkan berkali-kali mencium dahi Dira dan memeluknya, berjanji padanya bahwa saat aku pulang untuk berlibur, aku akan membawakannya mainan. Aku tak sempat melihat dapur dan ruang keluarga karena ayah telah berdiri di ambang pintu depan, bersiap-siap untuk menutup pintu. Segera kukenakan sepatuku dan setengah berlari menuju mobil. Sengaja aku duduk di seat belakang agar aku tak perlu bersebelahan dengan kakakku. Bagaimana jika tiba-tiba aku menangis lagi dan kakakku melihatnya? Mobil bergerak mundur, keluar dari pelataran. Aku sempat melihat lagi Alan, kini berdiri di dekat pohon mangga sambil memperhatikan kami. Aku benar-benar akan merindukannya. Ia pasti akan semakin kesepian setelah aku pergi. Toh selama ini yang bisa melihatnya hanya aku.

Kami pun pergi menuju bandara. Mas Eza mengendarai mobil dalam kecepatan yang cukup tinggi untuk mengejar waktu. Check-in dilakukan satu jam sebelum penerbangan. Segala sesuatunya nampak terburu-buru, seolah-olah aku harus segera tiba di bandara secepat mungkin. Itu artinya akan semakin cepat aku berpisah dengan ayah dan kakakku. Aku tak ingin pergi! Aku ingin pulang saja!

“Kalau mau beli sarapan di pesawat, beli saja,” ujar ayah.

“Nanti aja, yah, kalau udah sampai di Singapura,” jawabku.

“Atau kamu beli aja cemilan apa gitu buat dimakan di pesawat,” sambung kakakku.

“Rey bawa biskuit di tas,” jawabku pelan.

Menyebut kata ‘biskuit’ saja rasanya sulit sekali. Aku benar-benar tak boleh banyak bicara. Jika tidak, suara isakan itu akan kembali terdengar dan akhirnya ayah dan kakakku tahu bahwa aku sedang menangis. Kenapa aku begitu cengeng? Ini benar-benar mengesalkan! Jalanan yang lengang membuat perjalanan terasa begitu cepat. Perjalanan dari Tamansari menuju bandara pun dapat ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam. Ini juga karena mas Eza mengemudi dalam kecepatan tinggi. Jujur saja aku selalu takut jika mas Eza mulai mengebut. Setelah mobil terparkir, mas Eza dan ayah membantuku membawakan koper-koper dan tasku. Gila! Aku harus membawa dua buah koper dan satu buah backpack! Belum lagi biolaku! Apa yang akan kulakukan setibanya di Changi nanti? Mencari porter untuk membawakan barang-barangku? Ah, yang benar saja!

“Nanti coba minta tolong seseorang untuk bawakan koper-koper dan tas kamu ke taksi,” ujar ayah.

“Mungkin ada porter yang bisa bantu kamu, atau kamu pakai troli aja sampai taksi,” sambung mas Eza.

Aku mengangguk pelan. Kini kami telah berada di selasar luar bandara. Jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Itu artinya aku harus segera melakukan check-in. Tak ada banyak waktu untuk mengobrol lebih lama dengan ayah dan kakakku. Aku harus segera masuk. Ayah memelukku, cukup lama karena aku sempat terisak pelan dalam pelukannya. Ia mengusap kepalaku dan berpesan padaku untuk selalu menjaga diri. Dan dalam momen itu, aku akhirnya melontarkan kalimat yang kurasa tak selalu kukatakan pada ayah secara langsung.

“Reyhan sayang ayah,” ujarku terbata-bata.

Ayah kembali mengusap kepalaku, kemudian ia melepaskan pelukannya. Kini aku harus menghadapi kakakku yang, saat melihatku menangis, telah menyiapkan saputangannya. Ia yang menyeka air mataku. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Aku terisak hebat saat mas Eza memelukku. Bahkan saat mas Eza menyuruhku untuk berhenti menangis dan mencoba melepaskan pelukannya, aku menahannya. Ini pertama kalinya aku pergi jauh dan tak akan kembali dalam waktu yang lama, meninggalkan rumah dan keluargaku. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, terutama karena selama ini aku terbiasa bersama ayah dan kakakku. Selain itu, kakakku juga menjadi sosok yang paling dekat denganku, terutama setelah kepergian ibu. Saat mas Eza belum menikah, ialah sosok yang setiap harinya menemaniku belajar, mengobrol, dan bermain. Aku seringkali mengunjunginya di kamarnya, menjahilinya saat ia sedang mengerjakan tugas atau sekedar bermain Dota. Mas Eza pun terkadang masuk ke kamarku, memecah konsentrasiku saat belajar karena ia banyak bicara tentang hal-hal yang konyol, dan pada akhirnya tertidur di tempat tidurku dengan laptop yang masih menyala. Bagaimana bisa aku melupakan hal-hal itu, yang selama bertahun-tahun kujalani?

“Reyhan, kamu harus udah check-in sekarang,” ujar mas Eza.

“Rey nggak mau pergi,” ujarku pelan.

“Nanti telat. Ayo masuk sekarang,” tegas mas Eza.

“Rey masih—“

“Jangan cengeng! Masuk sekarang!”

Aku terkejut. Kakakku membentakku di depan umum. Aku pun melepaskan pelukanku dan menyeka air mataku. Akhirnya kulihat wajah kakakku. Matanya nampak merah dan sedikit berair, tapi ia tak mau menunjukkan padaku bahwa ia sedang sedih saat ini. Tanganku masih gemetaran saat aku mencoba membawa kedua koperku dan mulai berjalan menuju pintu masuk ke dalam bandara. Ayah dan mas Eza mengantarku, dan berhenti saat aku mulai memasuki titik pemeriksaan. Kutunjukkan paspor dan tiket pesawatku pada petugas, sementara semua barang bawaanku masuk ke dalam mesin pemeriksaan.

“Nanti mas Eza sesekali  berkunjung ke sana. Kalau ada apa-apa selalu berkabar ya!” seru kakakku.

Aku berbalik dan melihat kakakku. Ia tersenyum kecil. Kubalas senyumannya dan aku pun kembali berjalan.
Kini aku telah berada di dalam bandara, di antara orang-orang yang tak kukenal. Aku benar-benar sendirian sekarang, tanpa ayah dan kakakku. Segera kulakukan check-in sebelum aku benar-benar terlambat. Meskipun aku sangat ragu bahwa aku bisa melewatinya sendiri, aku tetap harus melakukannya. Aku benar-benar tak mau membuang banyak waktu. Semua prosedur segera kulakukan dan aku pun akhirnya berjalan sendiri menuju ruang tunggu. Ada banyak orang di sana dan aku benar-benar merasa kikuk. Kukeluarkan ponselku dan kuperiksa pesan-pesan yang masuk. Teman-temanku rupanya mengirim pesan-pesan perpisahan padaku. Yang benar saja! Kalian ingin aku menangis sekarang? Di tengah keramaian seperti ini? Aku pun membalas pesan mereka satu persatu dan ada kesedihan tersendiri saat kukatakan pada mereka bahwa dalam waktu beberapa jam lagi nomor ponselku sudah tak dapat mereka hubungi, namun aku berjanji aku akan memberitahu mereka nomor ponsel baruku segera setelah kudapatkan kartu seluler baru di Singapura.
Gea Kamila 
5.28 AM - Tenang aja, Rey. Kita masih tetap bisa komunikasi kok. Semangat!


Adriandra Wilander 
5.29 AM - Masih ada LINE kok. Tenang aja. Take care ya disana. Cepet pulang :(

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Terdengar pengumuman bahwa seluruh penumpang penerbangan menuju Singapura telah dapat naik ke pesawat. Kukenakan kembali backpack-ku dan ikut mengantri bersama penumpang lain untuk dapat turun dari ruang tunggu dan masuk ke pesawat. Aku pun kembali sadar aku semakin jauh dari ayah dan kakakku. Mereka mungkin telah kembali pulang. Mereka mungkin sudah berada dalam perjalanan menuju Tamansari. Ayah mungkin nanti akan bersiap-siap untuk kembali bekerja, begitu pula kakakku. Sahabat-sahabatku saat ini mungkin juga sedang bersiap-siap untuk menyambut hari ini. Mereka juga pasti sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk kehidupan baru mereka sebagai seorang mahasiswa, sama sepertiku. Dua orang pramugari menyambutku, menyapaku dengan ramah. Sepuluh. Ah, sepuluh! Sepuluh F! Setelah menemukan nomor tempat dudukku, aku pun menaruh tasku di bagasi atas tempat duduk. Yang kubawa hanyalah pemutar musikku dan headphone. Syukurlah aku mendapat tempat duduk di sebelah jendela. Setidaknya aku memiliki sesuatu yang dapat kulihat, meskipun hanya awan-awan saja. Matahari terbit akan menjadi pemandangan hebat yang kudapatkan di penerbangan pagi ini. Ya, ini karena selama ini aku tak pernah benar-benar memperhatikan matahari terbit.

Seorang anak laki-laki seusiaku menyimpan tasnya di bagasi atas, kemudian melihat ke arahku. Dari ekspresinya, sepertinya ia ingin duduk di sebelah jendela. Oh, apa daya! Kursi ini milikku! Akhirnya ia hanya tersenyum kecil dan duduk di sebelahku. Ia sempat mencoba melihat ke luar jendela, namun akhirnya ia nampak kecewa. Kurasa ia belum bisa melihat pemandangan yang ingin ia lihat, atau mungkin ia tak bisa melihat ke luar dengan jelas. 

“Mau tukeran tempat duduk?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja dari mulutku.

“Eh? Nggak kok. Nggak usah,” jawabnya.

Nggak apa-apa. Kayaknya mas mau duduk di dekat jendela,” ujarku.

“Di sini aja. Nggak apa-apa,” jawabnya seraya tersenyum kecil.

Aku membalas senyumnya. Ya sudah kalau memang tidak mau duduk di dekat jendela! Aku baru saja hendak mengenakan headphone-ku dan memutar musik saat anak itu menanyakan sesuatu padaku.

“Liburan?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

“Kuliah. Maksudku, baru mau kuliah. Semester satu,” jawabku.

“Wah? Sama dong! Kuliah dimana?” tanyanya.

“NUS, tapi di konservatorium musiknya,” jawabku.

“Sama! Aku juga di NUS, tapi ambil bahasa Inggris,” jawabnya.

Aku tersenyum kecil. Ini benar-benar kebetulan. Aku duduk bersebelahan dengan seorang anak yang juga melanjutkan studinya di NUS. Apakah ia juga mengalami apa yang kualami? Apakah ia merasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya disini? Anak berkacamata itu kemudian menyodorkan tangannya padaku.

“Kita belum kenalan. Rendra,” ujarnya.

“Reyhan,” jawabku seraya membalas jabatan tangannya.

Rendra mengernyitkan dahinya dan tersenyum kecut. Aku merasa ada yang aneh. Apa jawabaku salah? Atau mungkin, cara menjawabku kurang tepat? Rendra nampak terkejut saat aku menyebutkan namaku. Kurasa tak ada yang salah, kecuali jika ia mengetahui sesuatu yang mungkin menurutnya aneh. Rendra terus mengajakku mengobrol. Pada awalnya aku merasa kikuk. Aku jarang sekali berada dalam situasi seperti ini. Lebih tepatnya lagi, aku tak banyak bicara pada orang-orang yang tak kukenal baik, bahkan saat bersekolah dulu. Namun, sikap Rendra yang terbuka dan ramah membuatku akhirnya merasa nyaman untuk mengobrol dengannya. Ia menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dan untuk sejenak, aku lupa dengan perpisahan melankolis yang kualami.

“Reyhan, langitnya bagus!” ujar Rendra seraya menunjuk ke arah jendela.

Aku melihat keluar jendela dan kagum dengan pemandangan yang kulihat. Di bawah kami adalah hamparan awan putih, dan matahari yang baru terbit nampak keemasan, tidak begitu menyilaukan. Cahayanya masuk melalui jendela dan menerpa telapak tanganku yang dingin. Ada semacam ketenangan yang kurasakan setelah aku melihat pemandangan tersebut, seperti ada suara yang memberitahuku bahwa aku akan baik-baik saja. Mungkinkah itu ibu? Aku tak tahu pasti, namun yang jelas aku merasa jauh lebih tenang sekarang. Ya, aku memang sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabatku, namun ada sesuatu yang meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku takut aku tak dapat berteman dengan baik, dan pada akhirnya aku menjalani kehidupanku di Singapura sendirian. Aku juga takut tak dapat beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tapi sekarang ketakutan itu mulai menghilang. Aku bisa menjalaninya. Aku harus bisa.

“Jangan-jangan kita tetangga asrama?” tanya Rendra tiba-tiba.

Who knows,” jawabku seraya tertawa kecil.

"Aku di PGPR. Kamu dimana?" ujar Rendra.

"Serius? Aku curiga kamar kita sebelahan," jawabku kaget karena, tanpa kuberitahu Rendra, aku pun tinggal di PGPR. 

Sepanjang perjalanan, aku jadi tak mendengarkan musik. Aku mengobrol bersama Rendra. Banyak hal yang membuat kami terkejut, dan kami banyak tertawa sepanjang perjalanan. Rendra bersekolah di SMAN 3, namun anehnya, meskipun masih berada dalam satu kompleks yang sama dengan sekolahku, aku tak pernah melihatnya. Kami mengenang banyak hal tentang masa-masa sekolah, termasuk penjual mie baso di dekat sekolah kami yang terkenal karena rasa makanannya yang lezat. Hal yang paling membuatku terkejut adalah saat kami berdua akhirnya sadar bahwa kami didaftarkan di taman kanak-kanak yang sama. Rendra berjanji akan membawa foto bersama murid taman kanak-kanak dan memintaku menunjukkan diriku di foto tersebut. Aku ingat foto itu, foto bersama dengan murid-murid yang lain. Ada cukup banyak anak di kelasku. Aku saja bahkan tak dapat mengingat semuanya.

Awalnya aku benar-benar tak siap dengan perpisahan ini. Sejujurnya, aku memang masih belum siap. Meskipun aku senang mengobrol dengan Rendra, jujur saja masih ada keinginan untuk kembali pulang. Tapi ternyata penerbangan pagi ini tak seburuk yang kubayangkan. Aku tak benar-benar sendiri. Ya, setidaknya aku punya teman mengobrol selama di pesawat. Setidaknya aku telah mengenal seseorang yang nanti akan tinggal di asrama yang sama denganku, dan mungkin kami akan bertetangga. 

Kurasa inilah awal dari perjalananku yang sebenarnya. 

No comments:

Post a Comment