Sebelumnya, saya mau mengakui satu hal. Saya mengakui bahwa penggunaan beberapa istilah bahasa Sunda itu dirasa lebih praktis saat saya mencoba menggambarkan sesuatu. Dan pengakuan ini didasari oleh sebuah post di Facebook yang mengatakan hal demikian, serta mencantumkan alasannya. Dan kurang lebih dari beberapa gambar yang beredar mengenai isu tersebut penampakannya seperti ini:
credit: Itateanese |
Nah, dari penjelasan di gambar di atas bisa kita ketahui bahwa ada beberapa istilah dalam bahasa Sunda yang menjelaskan suatu keadaan yang kalau digambarkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris akan sangat loba omong. Semisal istilah 'angkaribung' di bahasa Sunda bisa berarti carrying a great number of things, looking so ripuh. Sementara itu, istilah 'ripuh' bisa berarti being bothered tapi lebih ke.. Ya, gitu lah. Saya juga bingung jelasinnya kudu kumaha.
Dari berbagai istilah bahasa Sunda yang menggambarkan situasi-situasi yang kompleks itu, ada satu istilah yang baru saya pahami maknanya akhir-akhir ini dan saya sadar bahwa saya sedang dalam keadaan tersebut. Parahnya, saya bukan sekali dua kali mengalami itu tapi sering, dan saya nggak tahu apa istilahnya untuk menggambarkan situasi seperti itu.
I've been so waas.
Kalau menurut auntie saya, waas adalah situasi dimana kita melihat atau mendengar sesuatu yang mengingatkan kita pada sebuah memori dan kemudian kita tersentuh hati dan rasa dan terharu karena di memori itu terekam satu momen yang berkesan. Sebagai contoh, saya dulu pernah ikut les melukis waktu saya kelas 4 SD, dan walhasil setiap saya main ke art gallery, saya suka merasa waas saat melihat lukisan, ingat dulu waktu kelas 4 SD pernah melukis cukup banyak lukisan. Kalau saya mudik saat lebaran, saya sering mengunjungi rumah peninggalan oma opa dari garis mama saya yang dulu pernah saya tempati selama beberapa tahun. Setiap kali masuk ke rumah kosong itu, saya pasti merasa waas, ingat dulu pernah tinggal disana beberapa tahun dan menikmati masa kecil saya disana. Saya pasti mencoba mengingat letak-letak benda seperti sofa, radio tua jaman beuheul, meja makan antik, sampai lemari baju besar peninggalan jaman Daendels. Pokoknya, kunjungan ke rumah itu pasti bikin saya waas.
Melihat dari definisi kata waas, saya yakin kita semua pernah merasakan hal yang sama. Selalu ada satu tempat, atau satu barang khusus, atau satu lagu, atau objek apapun yang menyimpan kenangan tertentu untuk kita. Mungkin kita punya satu mainan yang sangat spesial buat kita karena ada banyak kenangan yang disimpan di mainan tersebut, misalnya kenangan saat main bersama teman-teman masa kecil kita. Kalau saya sendiri sih untuk mainan, saya sampai sekarang masih menyimpan boneka George si monyet karena kenangan tentang masa kecil saya sangat banyak tersimpan. Saya sampai pernah rela hujan-hujanan, mengeluarkan tangga portable untuk naik ke atap demi menyelamatkan hiasan di mobil (itu loh boneka atau figur apalah yang tangannya atau kepalanya bisa gerak-gerak sendiri karena ada panel suryanya) berbentuk Spiderman. Sebetulnya mainan itu biasa-biasa saja, tapi karena saya tahu itu hadiah dari mama saya buat saya dan belinya jauh, saya rela basah kuyup demi menyelamatkan kenangan itu.
Dan saya yakin, nggak hanya saya saja yang rela berkorban dan melakukan ini itu demi menyelamatkan sebuah 'kenangan indah'.
Waas, buat saya, adalah momen dimana saya merasa terharu saat teringat satu kenangan tertentu, merasa ingin merasakan dan mengulang kembali kenangan tersebut, yet I'm so helpless, doing nothing but letting the memory bring me to my tears. Ya, beberapa kenangan memang--karena saking berharga dan berkesannya--bisa bikin kita menangis terharu. Terutama kenangan tentang orang-orang yang biasanya ada bersama kita lalu tiba-tiba menghilang (entah pergi jauh atau pergi dan tak kembali lagi), pasti kenangan itu yang membuat kita lebih mudah tersentuh.
Sejujurnya akhir-akhir ini saya sedang gampang merasa waas. Di jalan pulang melihat sesuatu, saya waas. Saat beli makan siang dan melihat sesuatu, saya waas. Mendengar satu lagu, saya waas. Ada banyak hal yang membuat saya waas, terkenang teman-teman KKN saya dan satu yang paling penting adalah kenangan tentang kakak saya. Bisa dibayangkan biasa (hampir) setiap harinya bertemu dan berinteraksi secara intens, lalu tiba-tiba saat perkuliahan dimulai saya kehilangan sosok kakak saya.
Saya dan mas Ezar (karena kalau saya sebut koh justru saya yang merasa awkward) bisa dibilang sangat intens berinteraksi, dan itu yang berefek pada kedekatan kami. Seusai bubar anak-anak dari posko KKN, saya makan baso sama mas Ezar dan beberapa teman KKN yang masih bertahan di posko. Kalau pulang dan kebetulan mas Ezar menginap, saya biasanya kabur lagi sama mas Ezar untuk makan seafood lalu ngopi di gerobak kopi Jenggo yang lokasinya nggak jauh dari warung seafood yang penjualnya ternyata orang Korea (asli loh!). Biasanya lewat tengah malam, saya sudah mulai ngantuk dan mas Ezar sih masih santai dengan laptopnya, entah main DOTA 2 atau buka-buka apa lah (seringnya sih dia main DOTA 2 dan saya nggak ngerti jadi tidur saja). Saya dan mas Ezar sering berkunjung ke satu warung pempek dan makan siang disana, sampai ibu penjualnya hapal pesanan kesukaan saya. Mas Ezar kadang suka ceplos ngomong apa dan itu bikin saya ketawa puas. Kadang-kadang ada juga kelakuan mas Ezar yang konyol, tapi ya kembali bisa bikin saya ketawa puas.
Sekarang saat KKN berakhir dan kuliah dimulai kembali, saya jadi nggak sering bertemu sama mas Ezar karena kesibukan masing-masing. Saya rindu kakak saya dan banyak hal yang terkait dengan kakak saya yang bikin saya merasa waas. Kalau main ke gerobak kopi Jenggo, si bartender akan nanya tentang mas Ezar dan saya cuma bisa bilang kalau saya datang sendiri karena kakak saya sibuk. Saat makan di warung pempek langganan, ibu penjaganya nanya kemana mas Ezar dan saya cuma bisa bilang kalau mas Ezar sibuk. Saat saya dengar lagu dan nggak sengaja terputar satu lagu soundtrack dari film Architecture 101, saya jadi ingat mas Ezar pernah berkomentar tentang film ini dan kembali, saya merasa waas. Apalagi film itu punya ending yang sebetulnya miris dan soundtrack-nya begitu menyentuh, perasaan waas saya pun semakin menjadi.
Waas. I've got a lot of things reminding me of my alter Bruder.
Perasaan waas yang saya alami ini membuat saya pada akhirnya benar-benar merindukan sosok kakak saya. Mas Ezar yang biasanya pergi kesana kesini dengan saya, baik naik mobil ataupun naik motor, sekarang sudah tidak lagi di rumah. Sebelum tidur saya nggak punya teman ngobrol karena mas Ezar tidak di rumah lagi. Ngopi Jenggo sendiri, makan pempek sendiri, nonton Sule sendiri.. karena kakak saya sudah mulai kembali dengan dunia perkuliahannya. Saya rasa empat puluh hari belum cukup. It's kinda useless when I told my big brother that "my piano is your piano, too", karena pada kenyataannya yang pakai piano cuma saya aja. Mas Ezar sudah mulai sibuk dengan matakuliah desain lansekap atau apalah saya nggak ngerti. Dan yang membuat saya tersiksa adalah, I can't even cry. Nggak seperti waktu saya kangen sama auntie, Andra, Gea, Dilla, dan teman-teman KKN lainnya, kerinduan saya terhadap kakak saya ini.. Ya, saya rasa sama besarnya dengan mereka tapi karena kedekatan kami dan hubungan adik-kakak yang erat ini membuat saya memberi nilai lebih terhadap kakak saya. My alter Bruder ist so special. Dan kenyataannya meskipun saya rindu sekali, saya nggak bisa menangis, though I want to cry it out. Waas. Mungkin waas se-waas waas-nya.
Rasa rindu yang tidak bisa terungkapkan, dan hanya bisa dipendam. You know how it hurts. Dan saat saya bilang sama mas Ezar kalau saya sering waas taraf ekstrim akhir-akhir ini, dia--yang seorang plegmatis--dengan santai bilang bahwa saya terlalu berlebihan. Melancholic vs. Phlegmatic. Me vs. my big brother. Yeah, that's us. Di posko pun kami begitu. Di rumah pun kami begitu.
L to R: auntie, mas Ezar, me |
Pasti kalau mas Ezar tahu saya bikin post ini, dia bakal bilang:
"Euh naon meni kitu ah kamu mah"
Oh, saya harap mas Ezar paham bahwa orang melankolis itu ya.. begini.
No comments:
Post a Comment