Pages

Saturday, February 28, 2015

Jai guru deva, om..

Most of times, when visiting my favorite coffee shop, they play some rock music with the varied subgenres from 70s rock to 90s brit-rock. I'm not really into rock music, though I can't deny listening to some rockin' tunes. The atmosphere built through the music in the coffee shop is so different, so unlike-me-but-somehow-me-gusta. Well I went there to enjoy my favorite iced chocolate drink while (sometimes) reading a novel or some e-Magz and then they played some 90s brit-rock tunes then people started singing along and I'd be like Oompa Loompa lost in Bikini Bottom but then deciding to live there because he was like "Oh! I love Fancy! I love Krabby Patty!"

I've never thought 90s brit-rock would be that awesome.. Well they have such charms that I could hardly explain, like a magic forcing you to keep listening to the music and absorb the magical lyrics. Magical? I'm not really sure about it but The Beatles' Across The Universe has been haunting me for days like "Hey! You can never forget me because I'm gonna linger on your mind until the end of the world!" 

Jai Guru Deva, Om

So the lyrics say "Jai Guru Deva, Om" which means something like "I thank Guru Dev. Om" or "Salutation to Guru Deva. Om", while Om itself is a kind of hum, a mantra, or rather, a natural vibration. Reading on Wikipedia, it is said that "Om" is a sacred, mystical sound. The song haunts me. It HAS BEEN haunting me for days and "Jai Guru Deva, Om" pops into my head like every single day. 

This morning, Radiohead's Karma Police just popped into my head and I felt the urge to go to iTunes store and buy the music. So there it is, now playing in my iTunes. Karma. Police. So there is a police regulating all karmas all around the world, eh? I mean, when you do something bad to others, you'll get what you've done. You'll pay for it. The song is what I'll be most likely listening to before sleeping (well it's not a lullaby anyway) and it's in my special playlist designed to accompany my study-time. Arranged in mid-tempo, this alternative rock song kind of reminds me of Dewa 19's Dua Sejoli, despite the clear differences between the two songs in terms of composition. I think the reminiscent is based on my idea that they're both alternative rock songs I'd love to hear while studying because they give me such indescribably nuance. 


Karma police! Please arrest those who have wronged me! If you do something good, then the goodness would come back to you in ways you might have never expected before. If you do something bad, then the badness would come back to you someday. Karma does exist. 

And when trouble comes, what you have to do is to keep your chin up and say "Let it be". The Beatles' Let It Be is actually my favorite one. It's like a song you'd love to hear when you feel sad and depressed. "Mother Mary comes to me speaking words of wisdom "Let It Be". What a powerful line. Its piano riffs are the best! I love to play it on my piano and sing to the piano accompaniment. The chorus echoes in my mind, telling me to.. well, just let things happen, let them be because "there will be an answer"


I love Talbot's version. She's really got the talent! 

Tamansari

"Disini aja ya, dek. Udah malam soalnya. Mau pulang ini juga" 

Ucapan itu menjadi semacam peluru yang dengan cepat ditembakkan ke arahku yang sama sekali tak punya persiapan untuk menghadapi serangan semacam itu. Aku yang masih tak percaya dengan apa yang supir itu ucapkan hanya bisa tercengang. Supir itu sekali lagi memintaku untuk turun dan saat itu aku sadar bahwa supir ini akan membuat malam ini menjadi malam yang buruk bagiku. Dengan kesal aku keluar dari mobil tersebut, merogoh saku celana seragam abu-abuku dan dengan kasar menaruh selembar uang sebesar dua ribu rupiah di atas dasbor kendaraan umum tersebut. Dalam keremangan cahaya lampu di dalam kendaraan, kulihat supir itu mengernyitkan dahinya, membuatnya nampak seperti leprechaun yang kebingungan. 

"Masa dua ribu, dek?" 

Aku mendengus kesal. 

"Bapak aja nurunin saya seenaknya. Saya juga bisa dong bayar seenaknya. Ini udah malam, pak. Emang bapak pikir saya naik angkot bapak buat diturunin seenaknya?" 

Menyadari bahwa aku baru saja membalas dendam, supir itu menggerutu lalu dengan cepat membawa pergi mobilnya, meninggalkanku di persimpangan Gelap Nyawang. Kutendang kerikil yang ada didekatku dan kerikil itu terlempar beberapa meter ke arah utara. Pandanganku beralih dari kerikil yang kutendang menuju trotoar dan jalan Tamansari yang terbentang lurus di hadapanku dan kusadari bahwa malam ini memang akan menjadi malam yang buruk bagiku. Tak ada kendaraan umum lain yang biasanya berhenti untuk menunggu penumpang. Mungkin masih ada beberapa yang menunggu di persimpangan jalan Ganeca, pikirku. Dan kulangkahkan kakiku menuju persimpangan tersebut. Zipper jaketku kunaikkan sampai leher dan kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaketku. Sebetulnya cuaca malam ini tak begitu dingin. Hanya saja bayangan-bayangan buruk itu membuatku merasa tak nyaman. 

Tak ada satupun kendaraan yang berhenti di persimpangan itu. Kini di depanku hanyalah jalan Tamansari yang kosong dan remang, dengan barisan pepohonan yang rimbun di sisi kiri dan kanan jalan. Aku meringis pelan. Kurogoh saku celanaku dan kuperiksa ponselku. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Aku tak pernah pulang selarut ini sebelumnya. Ya, setidaknya jika pulang larut aku selalu pulang bersama kakakku. Aku berbalik ke belakang untuk memeriksa jika ada kendaraan umum yang lewat namun dari sepinya jalan di belakangku, aku yakin memang tak akan ada lagi kendaraan umum yang melintas di jalan ini. Kalaupun ada, aku harus menunggu cukup lama. 

Langkahku pun mulai mengisi kekosongan jalan Tamansari. Kudengar suara-suara seperti jangkrik dan desir angin yang membuat dedaunan saling bergesek, seperti suara sebuah kantung plastik yang diremas. Kini udara terasa dingin dan aku pun menutup kepalaku dengan hood jaketku. Samar-samar dapat kudengar suara-suara hewan yang berasa dari kebun binatang yang letaknya berada tepat di sisi barat jalan Tamansari. Untunglah tak ada koleksi serigala di kebun binatang Bandung, meskipun samar-samar dapat kudengar suara auman harimau yang membuat bulu kudukku merinding. Lampu-lampu jalan berwarna oranye menyala, namun tak begitu cerah. Suasana remang membuatku tak nyaman, meskipun jujur saja terkadang aku menyukai cahaya lampu jalan berwarna oranye ini. Aku terus berjalan dan berjalan, sampai kulewati area parkir kebun binatang dan pertokoan yang menjual berbagai souvenir kebun binatang. Area parkir itu nampak sepi. Hanya ada beberapa motor yang terparkir disana. Dua buah toko nampak masih buka dan kedua toko itu nampak seperti oase di tengah padang pasir yang tandus, atau restoran dan motel untuk beristirahat setelah lelah memacu kendaraan di Route 66. Namun aku tak bisa singgah di toko itu, meskipun jujur saja cahaya yang terang dan musik cadas tahun 70an yang mengalun dari salah satu toko menarik perhatianku. 

Aku haus dan mungkin aku bisa mendapatkan minuman di salah satu toko tersebut. 

Namun kakiku nampaknya menuruti superegoku, memaksaku untuk terus berjalan, melawan egoku yang mencoba bernegosiasi agar aku dapat singgah sejenak di salah satu toko tersebut dan membeli minuman dingin sembari meluruskan kedua kakiku yang pegal. Toko-toko itu kulewati begitu saja dan musik yang kudengar menghilang secara perlahan, sampai akhirnya aku kembali mendengar suara jangkrik dan langkah kakiku. Tanganku sudah gatal ingin merogoh ponselku lalu memasukkan nomor telpon untuk kuhubungi, namun aku bersikeras agar aku tak menghubungi siapapun. Salah sendiri aku pulang terlalu larut setelah mengunjungi temanku yang rumahnya berada cukup jauh dari rumahku. Saat aku berada di kendaraan umum sebelumnya ayah sudah menghubungiku dan mas Ezar mengirim pesan untukku, menanyakan keberadaanku. Aku hanya menjawab bahwa aku masih dalam perjalanan pulang bersama temanku. Mungkin itu sebuah kebohongan, mungkin juga tidak, karena memang aku sempat bertemu dengan temanku Adicita di mobil itu meskipun kami turun di tempat yang berbeda dan aku bernasib buruk karena terpaksa turun sebelum mencapai rumahku.

Dan kudengar suara langkah kaki yang lain di belakangku. Mungkin jaraknya sekitar beberapa meter dariku. Aku memberanikan diri untuk melirik ke belakang dan benar saja dugaanku. Ada seseorang yang berjalan sekitar sepuluh meter di belakangku, mengenakan trackjacket hitam, jeans biru tua ketat dan topi. Langkahnya tak cepat namun lebar sehingga jika aku terus berjalan dalam langkah tetap, ia bisa mengejarku. Kuputuskan untuk mempercepat langkahku dan langkah di belakangku pun terdengar mengikuti kecepatanku. Kuperlambat laju langkahku dan kuputuskan untuk berhenti mendadak.

Pria itu pun menghentikan langkahnya.

Aku tak pernah merasa takut seperti ini. Rasanya jantungku seperti akan meledak karena detak jantungku yang cepat. Aku terengah-engah namun sebisa mungkin aku tak bersuara. Kemudian kembali aku berjalan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, dan pria itu kembali berjalan namun lebih cepat kali ini. Aku kembali menoleh ke belakang dan kali ini aku dapat melihat wajahnya. Usianya sekitar dua puluh tahunan dan sorot matanya tajam, seolah-olah baru saja mengunci bidikan pada mangsanya dan siap untuk menyerang kapanpun. Gemetaran tanganku berada di dalam saku jaketku. Ingin rasanya aku merogoh saku celanaku dan mengambil ponselku untuk menghubungi seseorang namun jika aku melakukannya, pria itu bisa saja menyerangku. Isu-isu bahwa sekelompok perampok yang memangsa kendaraan bermotor marak beredar dan ini membuatku semakin takut. Memang hanya satu orang pria yang mengikutiku, tapi tetap saja ada kemungkinan ia bisa merampokku dan mengambil barang-barangku. Sebetulnya aku tak membawa barang-barang berharga di dalam tasku jadi kalaupun memang tasku diambilnya, itu tak jadi masalah besar. Tapi bagaimana dengan tugas rumahku? Dan bagaimana jika ia melukaiku dengan benda tajam, misalnya? Atau bisa jadi ia membawa senjata api? Bukankah orang-orang seperti itu selalu nekat untuk, bahkan melukai korbannya? Benar-benar tak ada orang di jalan ini dan kalaupun ada kendaraan yang melintas, semuanya melaju dalam kecepatan tinggi yang pastinya akan sulit bagiku untuk menghentikan kendaraan-kendaraan itu jika terjadi sesuatu padaku.

Pria itu kini berada dalam jarak yang lebih dekat. Mungkin sekitar lima meter dariku. Kupercepat langkahku dan ia pun ikut mempercepat langkahnya. Akhirnya kuputuskan untuk berlari secepat mungkin. Kukeluarkan kedua tanganku dari dalam saku jaketku. Aku yakin pasti bahwa malam ini memang malam yang buruk bagiku dan apa yang kualami hari ini menjadikan hari ini adalah hari sialku.

Dan pria itu pun mengejarku.

Aku terus berlari secepat mungkin dan menjaga jarak sejauh mungkin dari pria itu. Kurasa pria itu terbiasa berlari sehingga jarak antara aku dan pria itu sama sekali tak bertambah, justru semakin kecil. Jalan Tamansari menikung dan aku hampir saja terjatuh karena cukup keras terantuk bongkahan paving block trotoar yang sudah rusak. Ada goresan abu-abu di ujung sepatuku dan jempol kakiku terasa sakit. Mungkinkah sampai berdarah? Atau mungkin sekedar memar? Aku tak peduli. Aku harus tiba di rumah secepatnya karena saat ini aku sedang dikejar-kejar oleh orang asing yang nampaknya akan melakukan hal jahat padaku. Nafasku semakin kacau dan energiku semakin terkuras. Lariku melambat dan ini bisa menjadi kesempatan bagi pria itu untuk menangkapku dan mengambil barang-barangku, dan mungkin membunuhku. Namun kulihat seseorang di halte kendaraan umum. Ia berdiri disana lalu melihat ke arahku. Dan saat aku melihat wajahnya, refleks aku mempercepat lariku dan berseru ke arahnya.

"Alan!"

Aku hampir terjatuh di depan Alan. Ia segera menahan tubuhku. Dahinya berkerut.

"Reyhan, ada apa? Kenapa pulang malam hari?" tanyanya.

"Alan, kita harus pergi dari sini. Orang itu dari tadi ikutin terus," jawabku sembari terengah-engah.

"Orang itu? Orang yang berdiri disana?"

Aku dan Alan pun melihat ke jalan kosong di belakang kami. Pria yang tadi mengejarku kini berdiri menatap kaku kami. Ia melangkah maju ragu, namun tiba-tiba melangkah mundur dan pada akhirnya berbalik lalu pergi begitu saja. Kini aku dan Alan yang kebingungan. Ada apa dengan pria itu? Bukankah ia mengikutiku sampai mengejarku tadi? Mengapa kini ia pergi begitu saja?

"Reyhan, ayo pergi," ujar Alan.

Alan benar. Kami harus tetap berjalan dan secepat mungkin menghindari daerah yang sepi seperti ini. Aku dan Alan melangkah cepat. Kami bahkan tak sempat mengobrol seperti biasanya. Tak lama kemudian kami tiba di persimpangan Tamansari dan Dayang Sumbi dan tiba disini, rasanya ingin aku bersujud untuk berterima kasih pada Tuhan. Suasana yang jauh lebih ramai, suara bising dari proyek konstruksi bangunan sebuah universitas, dan samar-samar musik yang mengalun dari Wijde Blik membuatku merasa lebih aman. Kulihat beberapa orang di sekitarku, yang kebanyakan adalah para pekerja konstruksi dan pedagang dari kios-kios kecil di sekitar universitas itu. Aku dan Alan menyebrang jalan menuju trotoar di depan Wijde Blik. Kurogoh sakuku dan kuperiksa ponselku. Jam menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh menit. Syukurlah aku tiba saat restoran itu belum tutup, sehingga suasana masih cukup ramai. Meskipun begitu aku dan Alan tetap berjalan dalam langkah yang cukup cepat sampai akhirnya kami tiba di depan rumahku yang letaknya tak jauh dari Wijde Blik. Alan mengangkat kedua bahunya saat aku membuka pintu pagar.

"Cepat masuk. Papa nanti marah," ujarnya.

Aku mengangguk pelan. Segera aku berlari menuju teras depan dan menekan tombol bel. Pintu pun terbuka dan ayah segera menyambutku. Meskipun tak nampak kekhawatiran di wajahnya, aku tahu pasti bahwa ayah sebenarnya sangat mengkhawatirkanku.

"Lain kali jangan pulang terlalu malam," ujarnya.

"Maaf, yah. Rey diturunin di jalan sama supir angkot," jawabku.

"Diturunkan di jalan? Dimana?" tanya ayah.

"Gelap Nyawang. Rey jalan kaki jadinya," jawabku pelan.

Ayah meringis pelan.

"Sudah makan?" tanyanya.

"Sudah," jawabku.

"Ya sudah. Sekarang kamu cepat ganti pakaian. Nggak usah mandi karena sudah malam. Kalau mau makan, tinggal hangatkan makanan di kulkas. Ayah tadi buat telur dadar," ujar ayah, "Supir angkot itu kadang suka seenaknya turunkan penumpang. Lain kali kalau seperti itu, kamu nggak usah bayar. Penumpang 'kan bayar untuk diantar sampai tujuan. Kalau belum sampai tempat tujuan, nggak usah bayar segala"

Aku pun menuruti ucapan ayahku. Setelah ayah menutup pintu depan, aku segera masuk ke kamarku dan menaruh tasku lalu berganti pakaian. Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidurku sembari kembali mengatur nafasku. Kulepaskan kacamataku dan kutaruh kacamataku di sampingku. Hari ini begitu melelahkan. Kurasa aku bisa tidur berjam-jam malam ini dan bangun siang keesokan harinya, tapi aku tak peduli karena besok adalah hari Sabtu dan aku bisa bersantai di rumah. Angin dingin berhembus dan membuatku sadar bahwa aku belum menutup jendela kamarku. Dengan malas aku bangun dari tempat tidurku lalu berjalan menuju jendela kamarku untuk menutupnya. Kulihat Alan masih berdiri di depan pagar rumahku. Segera aku menutup jendela kamarku, mengenakan hoodie Superdry kesukaanku dan pergi keluar untuk menemui Alan.

"Lagi apa? Kenapa masih di luar?" tanyaku.

"Menikmati malam," jawabnya.

"Kenapa nggak duduk di teras aja?" tanyaku.

"Tak perlu. Disini saja," jawabnya seraya tersenyum kecil.

"Nggak dingin?"

"Kalau disana, nanti papamu dengar. Disini saja"

Aku meringis pelan. Aku yakin selama ini pasti ayahku pun sudah mengetahuinya. Hanya saja ia tak mau membicarakannya.

"Untung tadi aku lihat kamu di jalan," ujarku.

"Tadi itu siapa? Vrijman?" tanya Alan.

Aku mengangguk pelan. Kata vrijman terdengar tak asing di telingaku, meskipun aku lebih terbiasa mendengar kata preman. Sama saja sebetulnya. Vrijman. Preman. Kedua kata itu merujuk pada objek yang sama.

"Aku harus masuk sekarang. Ngantuk banget setelah terpaksa lari malam-malam," ujarku.

"Ya. Cepat masuk sekarang," jawabnya, "Goedenacht"

Aku pun segera berjalan menuju teras dan sampai disana, sesuatu menahanku. Aku berbalik dan melambaikan tanganku pada Alan. Ia membalas lambaian tanganku dan tersenyum.

"Dank je, Alan!" seruku.

Alan mengangguk. Aku pun masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Kemudian aku kembali ke kamarku dan kali ini kututup pintu jendelaku. Sebelum jendelaku tertutup, masih bisa kulihat Alan berdiri di depan rumahku, menikmati suasana malam dan memperhatikan jalan di depannya yang kosong. Bocah lima belas tahun berrambut coklat itu hampir setiap hari kulihat berada di sekitar rumahku dan di malam hari, jika tidak duduk di teras rumahku, ia akan berdiri di depan pagar. Dengan hanya mengenakan kaus berwarna putih dan celana katun pendek, ia menjaga rumah ini yang dulu sempat menjadi tempat tinggalnya. 

Tuesday, February 24, 2015

Time flies fast. Can I have my Nutella?

It's already February, I mean, it's going closer to the end of February. 

Seriously? Wow!


I can't believe it's already February, it's 2015 and it's going closer to the end of February which means that March will come soon. Time flies so fast, so fast that I didn't realize May is coming. May. Yes, May! My birthday, and it means another preparation for my birthday party which, I hope, would be much merrier. A number of close friends would be invited and I already started saving some money for the birthday party. I guess there would be pizza and root beer for this year (and maybe ice cream!) and some small games for the party but I don't expect there would be Pinata. 

Any suggestions for the birthday venue around Bandung? 

But mentioning pizza then the party would be likely to be held somewhere like nearby pizzeria, though actually I don't like pizza. Ice cream! Ice cream! I scream for ice cream! But wait! Too much ice cream won't kill you, will it? Because every spoon of McFlurry is sooooo a-mew-zing and I can't resist the temptation! I NEED MY MCFLURRY RIGHT NOW CUZ IT MAKES ME DANCE LIKE PHINEAS! 


Not a really good dance, though. Ferb dances better anyway. 

So that's all. I just want to say that time flies fast and it means early preparation for my birthday party. Way too early to think of such thing actually but I don't care. I want this year to be much merrier, so special that the party would be memorable for me myself and my friends. 

So where's my Nutella? 

Thursday, February 19, 2015

Melewati Pandu

Pertengkaran yang terjadi antara aku dan kakakku sore ini berakhir dengan pelukan maaf. Mbak Tara berjanji untuk tetap menjagaku dan mencoba mengubah penyampaian pesannya agar tak menyinggung perasaanku dan aku berjanji untuk dapat lebih menerima apa yang kakakku pesankan demi kebaikanku sendiri. Tapi pertengkaran itu tak hanya membuat aku dan kakakku lebih memahami satu sama lain. Apa yang terjadi sore ini sedikitnya membuatku takut pada kakakku. Tidak, ia tak sampai melakukan kekerasan fisik padaku. Hanya saja saat kakakku tiba-tiba diam dan nampak begitu serius, dengan mata yang hampir tak berkedip dan menatap kaku apa yang ada di depannya, aku harus memahami bahwa ia mengetahui sesuatu; sesuatu yang mungkin bagusnya tak kuketahui.

Dan mbak Tara pun mengancam Ferry untuk tak mendekatiku lagi. Ia melakukan itu di hadapan banyak orang, teman-temanku dan juga aku sendiri. Mbak Tara bahkan hampir menampar Ferry, jika saja Ezra tak segera bertindak untuk menahan kakakku. Mbak Tara begitu saja membawaku keluar dari restoran itu dan menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Karena kejadian itu, aku terpaksa membatalkan rencanaku untuk pergi bersama kakakku dan Ezra ke sebuah tempat karaoke dan bertemu dengan Reyhan, Evan dan Riani disana. Rencanaku sore ini adalah mengobrol dengan teman-temanku lalu bersama-sama bersenang-senang bernyanyi dan menikmati lagu-lagu. Namun rencana itu tak terrealisasi dan semua itu karena kakakku.

“Kamu nggak lihat dia mau apa tadi?!” tegas mbak Tara.

“Emang dia mau apa? Apa yang mbak lihat dari dia?” tanyaku ketus.

“Tania! Dia itu udah rangkul-rangkul kamu! Kamu malah diem aja dan malah asyik ngobrol!” jawab mbak Tara.

“Ya udah sih, mbak! Cuma dirangkul ini!” balasku kesal.

“Cuma dirangkul kata kamu? Kamu nggak lihat tatapan dia kayak gimana?!”

Aku meringis pelan. Kulirik kakakku yang sedang mengemudi dan menatap lurus jalanan yang ada di depannya.

Emang dia natap aku kayak gimana? Emang mbak tahu Ferry orangnya kayak gimana? Mbak nggak kenal dia, ‘kan? Mbak baru kenal hari ini, ‘kan? Jadi mbak jangan pernah ikut campur lagi urusan persahabatan aku!” tegasku.

Kami mulai memasuki jembatan flyover dan kakakku menancap gas lebih dalam, mempercepat laju mobil ini untuk bersaing dengan kendaraan lain. Hujan deras menerpa kaca depan mobil dan menciptakan bunyi ribut bersahutan seperti serangkaian bunyi tembakan senjata. Wiper bergerak cepat, mengenyahkan titik-titik air yang mencoba menembus tebalnya tempered glass yang melindungi kami dari serangan tersebut.

“Kamu duduk di sebelah dia dan kamu fokus ngobrol sama Ezra yang ada di depan kamu! Mana bisa kamu lihat mata dia!” jawab mbak Tara.

“Aku sempat lihat dia tapi dia biasa aja!” tukasku, “Mbak Tara berlebihan tau nggak?!”

Mbak bukannya berlebihan! Kamu mau dia seenaknya rangkul kamu terus lama-lama bisa bertingkah lebih daripada itu?!” sanggah mbak Tara.

Kami melewati tiang pancang jembatan flyover dan kakakku semakin mempercepat laju mobil. Hujan nampak semakin deras dan sejujurnya aku mulai merasa takut. Jarak pandang perlahan berkurang dan pecahnya titik-titik air di permukaan kaca depan tentu saja menghambat pandangan kakakku yang sedang mengemudi. Belum lagi jalanan yang licin dapat membahayakan kami. Aku takut jika kakakku melakukan sebuah kesalahan—bahkan kesalahan kecil sekalipun—yang dapat membunuh kami berdua. Mbak Tara menekan klakson beberapa kali, mengusir kendaraan-kendaraan yang ada di depannya agar mau ingkah dari jalannya. Ia menyalakan lampu kabut dan meskipun demikian, tetap saja jarak pandang dari tempat dudukku tak bertambah.

“Memang Ferry mau ngapain? Itu tempat umum, mbak! Ferry nggak akan mungkin lakukan hal-hal aneh di tempat umum!” bantahku.

“Oh, jadi kalau bukan di tempat umum kamu bisa ngebiarin Ferry ngerangkul kamu, bahkan melakukan hal yang lebih daripada itu?!” tanya kakakku sinis.

Mbak Tara coba bilang kalau aku gampangan?!” aku semakin geram.

“Terus mbak harus bilang apa lagi?” jawab kakakku dingin.

“Tania udah bilang kalau mbak nggak tahu apa-apa tentang Ferry, mbak jangan sembarangan nilai dia! Dan juga, jangan pernah mbak anggap aku gampangan karena aku nggak kayak gitu!” bentakku.

“Kalau memang kamu nggak gampangan, jangan mau lagi dideketin sama cowok kayak Ferry!” mbak Tara balas membentakku.

Aku terpukul. Tangisku meledak saat mobil mulai mendekati akhir jembatan. Aku tak ingin melihat kakakku. Kupalingkan pandanganku ke luar jendela dan dengan mata yang berkaca-kaca, dapat kulihat langit hitam menyelimuti areal pemakaman yang seolah menyambut kami saat kami turun dari jembatan flyover tersebut. Kakakku menaikkan volume suara radio dan suara bas yang keluar semakin berdebum. Kukecilkan volume suara radio dan kakakku kembali menaikkannya. Kesal, kumatikan radio mobil dan akhirnya tak ada suara apapun yang terdengar kecuali isak tangisku.

“Kenapa mbak Tara nggak bisa paham perasaan orang lain? Kenapa mbak Tara selalu blak-blakan kalau bicara dan nggak mikirin apakah orang lain sakit hati atau nggak? Kenapa mbak Tara berani perlakukan Ferry di depan umum kayak gitu dan bikin aku malu di depan teman-teman aku? Apa salah aku, mbak? Coba jawab!”

Dan kakakku tak bergeming.

Tuh lihat sekarang! Mbak Tara malah diam aja! Kenapa sih kalau mbak salah, mbak nggak mau mengaku kalau memang mbak salah? Mbak ini pengecut atau bukan!”

Kakakku masih tetap tak bergeming. Ia tetap berfokus pada kemudi yang dipegangnya. Jalanan mulai padat dan laju kendaraan kami pun tersendat karena kemacetan yang ada di hadapan kami. Aku mulai kewalahan dengan tangisku sendiri. Beberapa lembar tisu kuambil untuk menyeka air mataku.

“Selama ini aku nggak pernah ikut campur dalam urusan mbak Tara. Aku nggak larang waktu mbak Tara bilang mbak mulai dekat sama mas Dika, ‘kan? Aku juga nggak pernah larang mas Dika buat datang ke rumah”

Mobil terus melaju perlahan dan aku masih tetap menangis. Aku ingin cepat-cepat turun dari mobilku lalu mengunci diri di kamarku. Aku tak ingin diganggu oleh siapapun, terutama oleh kakakku. Bahkan jika saat ini sedang tak hujan, aku bisa saja nekat membuka pintu mobil dan berlari pulang karena kompleks perumahan tempat kami tinggal berada tak jauh dari tempat kami terjebak saat ini. Lampu sein kiri menyala dan kami berbelok, akhirnya memasuki jalanan dengan lalu lintas yang tak padat. Di samping kanan berdiri sebuah pusat perbelanjaan yang menyatu dengan sebuah hotel yang baru berdiri. Kami pun kembali berbelok ke kiri, melewati gerbang kompleks perumahan, lurus melaju sejauh beberapa meter lalu kembali berbelok ke kanan dan pada akhirnya tiba di depan rumah. Tanpa pikir panjang aku membuka kunci pintuku dan keluar dari mobil. Kubuka pintu pagar dan, tidak menghiraukan kakakku yang memanggilku, mengetuk pintu rumah dengan tergesa-gesa. Pintu rumah terbuka dan aku segera masuk, tak peduli dengan ayah yang bertanya apa yang terjadi. Kukunci diriku di dalam kamar dan kembali aku menangis. Mengapa mbak Tara begitu jahat padaku?

Dan saat mataku terbuka kusadari hujan telah berhenti. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku pasti tertidur saat menangis tadi. Kuperiksa ponselku dan kulihat beberapa panggilan tak terjawab yang masuk, salah satunya adalah Ezra. Aku segera menghubunginya kembali dan tak berapa lama suara Ezra pun terdengar.

“Kamu udah sampai rumah?” tanya Ezra.

Udah. Aku minta maaf ya karena hari ini nggak bisa ikut karaoke,” jawabku.

Nggak apa-apa. Sekarang aku lagi sama Evan dan Reyhan di CiWalk. Biasa nih, ngasuh si Reyhan main di Game Master sambil nunggu dia dijemput abangnya,” ujar Ezra.

Terdengar samar-samar musik yang biasa kudengar saat Reyhan bermain permainan musik dan tari dengan panel lima arah. Anak itu pasti sedang bersenang-senang saat ini.

“Biasanya Reyhan main sama Andra dan Gea. Kemana memang mereka?” tanyaku.

“Andra sama Gea nggak bisa ikut. Dilla lagi di toko buku. Riani sendiri akhirnya nggak bisa ikut karena mendadak harus ngasih les tari ke anak-anak di komplek rumahnya,” jawab Ezra.

“Jadi akhirnya hanya kalian cowok bertiga yang pergi?” tanyaku.

“Ya. Habis ini kayaknya mau langsung makan,” jawab Ezra, “Oh ya, kita juga ketemu Ferry kok tadi di tempat parkir”

Aku terkejut.

“Ferry?”

“Ya. Ferry. Dia sama Asha tadi aku lihat. Mesra banget mereka sambil rangkul-rangkulan”

Rangkulan?”

“Ya. Tapi nggak tau kenapa tadi pas kita papasan sama mereka, Reyhan dan Evan bilang kalau mereka nggak suka lihat Ferry. Kata Evan sih cara Ferry ngeliat Asha itu beda. Kalau Reyhan sendiri bilang tatapan Ferry itu mesum”

Aku menelan ludahku. Apa mungkin yang kakakku katakan tentang Ferry itu benar?

“Mesum?”

“Kata Reyhan sih gituEvan juga bilang gitu sih akhirnya. Tan, saran aku sih kamu jangan terlalu dekat sama Ferry. Takutnya dia ada niat buruk”

Ucapan Ezra terngiang-ngiang di benakku dan samar-samar aku masih dapat mendengar apa yang kakakku katakan tentang Ferry. Saat aku mengingat kembali apa yang Ferry lakukan saat kami berada di restoran sore ini, aku merasa menyesal. Mengapa aku membiarkannya merangkulku? Mengapa aku tak memperhatikan caranya menatapku? Mengapa aku begitu ceroboh? Seandainya mbak Tara tak membentak Ferry dan menyuruhnya untuk tak merangkulku, mungkin Ferry bisa saja melakukan hal yang lebih jauh. Seandainya mbak Tara tak duduk berhadapan denganku, pasti tak akan ada yang menyadari tatapan Ferry padaku. Dan seandainya aku tak mengajak mbak Tara untuk pergi denganku, tak akan ada yang menyelamatkanku saat Ferry mulai bertingkah terlalu jauh. Kurasa ini semua mulai masuk akal. Pantas saja Ferry sempat bertanya padaku apakah aku suka minum cocktail dan ia sempat menawariku bir yang ia minum.

Kutaruh ponselku di atas mejaku lalu perlahan berjalan keluar kamar. Tepat di depan pintu kamar kakakku aku terdiam sejenak. Aku menyesal telah membentaknya, memarahinya dan menyalahkannya. Seharusnya aku sadar bahwa kakakku mencoba untuk menyelematkanku dan ia sedang melindungiku. Kuketuk pelan pintu kamar kakakku dan akhirnya pintu itu terbuka. Mbak Tara melepas headset yang ia kenakan.

“Ada apa?” tanyanya.

“Aku minta maaf. Yang mbak bilang tentang Ferry itu bener,” ujarku pelan.

Mbak juga minta maaf, Tan. Harusnya cara mbak kasih tahu kamu nggak seperti itu. Mbak harus ubah cara penyampaian mbak,” jawabnya.

Mbak Tara lalu memelukku dan mengusap pelan rambutku.

“Ezra bilang tadi dia lihat Ferry sama Asha. Kata Ezra, Evan sama Reyhan nggak suka dengan Ferry karena cara Ferry natap Asha itu beda,” jelasku.

“Dari awal mbak perhatiin Ferry, mbak langsung mikir ada yang nggak beres sama orang itu. Taunya betul, ‘kan?” balas kakakku.

“Ya. Aku minta maaf. Harusnya aku mau dengar apa kata mbak

Mbak Tara melepaskan pelukannya.

“Ya sudah. Sekarang mbak mau lanjut revisi lagi. Kamu makan dulu,” ujarnya.

Aku mengangguk pelan dan kembali ke kamarku. Tiba-tiba aku teringat bahwa ada sesuatu yang belum kuberitahu pada kakakku. Kuputuskan untuk kembali menemui kakakku namun langkahku terhenti saat kulihat pintu kamar kakakku terbuka sedikit. Lewat celah kecil itu aku dapat melihat kakakku sedang duduk membelakangi pintu, berbicara dengan seseorang di telpon. Saat namaku ia sebut, aku tertarik untuk menguping pembicaraan mereka.


Udah. Aku udah sampai rumah kok. Tania juga kayaknya baru bangun barusan. Nggak, Dik. Dia nggak tahu. Yang tahu cuman aku dan aku sengaja nggak kasih tau dia. Tania marah-marah sepanjang jalan dan akhirnya nangis. Pas kita turun jembatan flyover, jalanan mulai macet. Ya, macet depan kompleks pemakaman Pandu. Dari belakang ada yang kasih klakson beberapa kali. Penasaran, aku lihat spion belakang. Taunya aku lihat ada orang di seat belakang. Apa? Astaga Tuhan, aku nggak bohong, Dika! Aku lihat ada perempuan duduk di seat belakang dan itu bukan pertama kali aku mengalami hal semacam itu! Tania masih nangis dan marah-marah. Kalau aku ngomong sama dia, pasti dia bakalan lihat ke aku dan dia bisa lihat seat belakang. Kamu ‘kan tahu sendiri Tania takut banget sama hal kayak gitu. Akhirnya aku diam aja sepanjang jalan sampai sosok perempuan itu hilang pas kita lewat depan Shell. Dika, aku sendiri takut! Perempuan itu sekitar umur tiga puluh tahunan, pakai gaun warna putih. Bukan itu yang aku takutin! Masalahnya, mulut sama dua mata perempuan itu dijahit benang hitam!” 

Monday, February 16, 2015

[Review] Di Balik 98

Sekitar sebulan yang lalu saya pergi nonton film dengan David, teman saya. Film yang kita tonton adalah Di Balik 98, film garapan Lukman Sardi dengan setting berdasarkan kejadian nyata, yaitu kerusuhan tahun 98 dan perubahan dari orde baru Soeharto ke orde reformasi. Dibintangi oleh Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah dan Alya Rohali, film yang durasinya sekitar satu setengah jam ini kurang lebih menggambarkan kejadian saat kerusuhan besar Mei tahun 1998, dari mulai tragedi Trisakti sampai pengrusakan toko-toko dan kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa. Awalnya saya lihat trailer film ini waktu nonton TV. Biasa kan kalo giliran lagi ada iklan kadang-kadang nongol deh trailer film-film Indonesia. Tapi Di Balik 98 langsung narik perhatian saya, bukan karena Chelsea Islan yang mengubah image dari si gemesin Bintang di Tetangga Masa Gitu ke Diana, tapi karena setting filmnya itu sendiri. Kerusuhan besar Mei 1998 selalu jadi hal yang sensitif buat dibicarakan, meskipun saya nggak mengalami secara langsung (ya sedikit mengalami sindir-sindir rasis sih pernah). Kalau dengar tentang cerita jaman kerusuhan dulu, rasanya kesal, marah, sedih dan.. segalanya campur aduk. 

Kenapa malah curhat? 

Theatrical poster of Di Balik 98

Di film ini saya bisa bilang banyak banget karakter utama yang merepresentasikan lapisan-lapisan masyarakat yang berbeda (bener ga sih istilahnya 'lapisan'?): mahasiswa, warga Indonesia keturunan Tionghoa, TNI, pegawai di Istana Negara, dan masyarakat kecil. Melihat kejadian tahun 98 dari sudut pandang mahasiswa, ada karakter Diana (Chelsea Islan) dan Daniel (Boy William). Dari sudut pandang TNI, ada karakter Bagus (Donny Alamsyah), seorang letnan dua yang juga adalah kakak ipar dari Diana. Sementara itu, Salma (Ririn Ekawati) adalah kakak Diana yang bekerja sebagai pegawai di Istana Negara, yang pada saat kejadian kerusuhan sedang hamil besar. Kerusuhan besar tahun 98 juga dilihat dari sudut pandang masyarakat kecil, seorang pemulung (Teuku Rifnu Wikana) dengan anak laki-lakinya yang beberapa hari sebelum terjadi kerusuhan ingin banget punya jersey tim nasional Indonesia.

Film ini punya banyak sub-plot yang to some extent bisa saling berkaitan, khususnya karakter Diana, Salma, dan Bagus. Kalau saya bisa bilang, main characters di film ini adalah Diana dan Bagus, meskipun karakter Salma juga sebetulnya penting karena dari sudut pandang karakter Salma inilah kita bisa melihat ketegangan di dapur Istana Negara dan juga kerusuhan yang terjadi di Jakarta saat Salma terjebak dalam kerusuhan tersebut. Kalau kita berekspektasi bahwa film ini merupakan semacam film politik, saya rasa mendingan jangan berekspektasi seperti itu karena kata Lukman Sardi sendiri (seperti yang ditulis di Tribunnews.comDi Balik 98 bukan sebuah film politik; rather, the genre is drama and romance.


Mahasiswa vs. Pemerintah
Berperan sebagai seorang mahasiswa yang aktif dalam demonstrasi kontra pemerintah, Chelsea Islan menunjukkan performa yang menurut saya luar biasa. Coba bandingkan aja penampilan Chelsea sebagai si kalem Bintang di Tetangga Masa Gitu dengan penampilan Diana di Di Balik 98 yang nggak hanya blak-blakan tapi juga tegas dan nekat. Kita bakalan banyak menemukan scene dimana Chelsea bener-bener nggak woles--ngomongnya tegas dan teriak-teriak, nggak sekalem Bintang (syukurlah Bastian nikahnya sama Bintang, bukan Diana hahaha). Di sisi lain, Boy William sebagai perwakilan mahasiswa  menurut saya cenderung lebih kalem (bahkan lebih kalem dari penampilannya sebagai host di Breakout). Jangan buat ekspektasi bahwa Boy bakalan banyak pakai code-switching saat bicara karena di Di Balik 98 (thanks to penulis skrip) code-switching itu nggak muncul.


Kalau bicara mahasiswa vs. pemerintah dalam konteks kerusuhan tahun 98, pasti mengacu sama kejadian penembakan Trisakti. Saya memang nggak mengalami atau melihat kejadian penembakan itu secara langsung seperti apa tapi buat saya, ketegangan yang digambarkan cukup kuat. Tentu saja, detil-detil seperti bagaimana korban-korban tertembak nggak digambarkan (karena pastinya kalau ada bakalan memicu lebih banyak pro dan kontra). Tapi saya rasa, kericuhan dan kepanikan saat mulai terjadi penembakan digambarkan cukup baik. Ya, kebayang lah gimana situasinya saat kita sedang ramai-ramai demonstrasi dan tiba-tiba dari arah berlawanan tembakan mulai diluncurkan dan orang yang segitu banyaknya secepat mungkin mundur untuk menghindari tembakan-tembakan tersebut.

So far sih demonstrasi-demonstrasi yang ada digambarkan cukup baik dan properti yang ada menyesuaikan semirip mungkin dengan properti yang ada pada tahun 98 (contohnya adalah microphone atau logo stasiun-stasiun televisi, bahkan nama-nama stasiun televisi yang sekarang sudah ganti nama). Ketegangan paska demonstrasi dan penembakan pun digambarkan cukup baik. Kita akan disuguhi situasi di dalam kampus Trisakti di malam hari dimana beberapa mahasiswa yang berdemo terjebak di dalam kampus dan harus bertahan sambil sembunyi dari kejaran militer yang berjaga.


Linear plot yang digunakan dalam film ini memungkinkan kita untuk melihat gambaran bagaimana sih pada tahun 1998, mahasiswa berdemonstrasi dan mencoba menguasai gedung DPR sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, yang pada akhirnya berhasil membuat presiden Soeharto turun dari tahtanya sebagai presiden Republik Indonesia. Lagi, karena saya nggak mengalami kejadian itu jadi saya nggak punya background knowledge yang cukup dalam tentang proses penggulingan kekuasaan itu. Di Balik 98 bisa saya bilang jadi semacam gambaran buat saya memahami apa yang terjadi antara mahasiswa dan pemerintah di tahun itu.


Satu Rumah, Dua Kubu
Kalau misalnya kita memposisikan diri kita sebagai mahasiswa yang kontra dengan pemerintah, lalu kita tinggal serumah dengan, katakanlah, om kita yang bertugas sebagai letnan dua yang saat itu harus berada di sisi pemerintah, bisa kita gambarkan situasinya seperti apa di rumah. Dua kubu yang berlawanan dalam satu rumah digambarkan di Di Balik 98 dalam bentuk--kebanyakan--konflik verbal. Diana banyak bertengkar dengan kakak iparnya, Bagus, yang merupakan seorang letnan dua. Terlepas dari fakta bahwa pekerjaan yang Bagus lakoni bisa menghasilkan uang untuk biaya hidup keluarganya dan biaya kuliah Diana, tetap saja pertengkaran antara  Diana dan Bagus kerap kali terjadi. Disinilah drama keluarganya diperlihatkan dalam Di Balik 98. Intinya sih kalau untuk sisi drama keluarga, Di Balik 98 menunjukkan bagaimana dalam sebuah keluarga, anggota keluarga yang saling bermusuhan pada akhirnya bisa kembali akur dan bersama-sama bekerja sama untuk menyelesaikan sebuah masalah (dalam hal ini, mencari mbak Salma).

Dari sisi drama keluarga juga kita bisa lihat konflik batin yang dialami sama Bagus sebagai seorang tentara. Ya kita bisa lihat sendiri lah kehidupan tentara seperti apa dan di film ini, buat saya sih cukup jelas ya konflik batinnya seperti apa. Bagus harus bertugas menjaga keamanan Jakarta yang pada saat itu lagi kacau balau, tapi di saat yang sama dia sadar bahwa dia juga harus melindungi Diana (walaupun situasinya saat itu mahasiswa lagi kontra sama TNI) dan juga mendampingi Salma, istrinya yang udah hamil besar. Saat ketahuan kalau Salma hilang dalam kerusuhan, Bagus jelas-jelas gamang dan memohon sama atasannya supaya dapat ijin untuk bisa mencari Salma. Atasannya jelas menolak dan bilang bahwa dulu dia sendiri saat istrinya melahirkan, dia nggak mendampingi istrinya. Konflik batin Bagus semakin rumit saat Diana, adik Salma, menyalahkan Bagus karena dianggap nggak peduli dengan istri sendiri. Bagus sendiri pada akhirnya bilang sama Diana bahwa jadi tentara itu nggak enak. Ya walaupun tentara dia juga kan tetap seorang manusia lah..

Kalau ingat konflik batin yang dialami Bagus, disitu kadang saya merasa sedih.

*apasih gue*


Kerusuhan dan Warga Keturunan Tionghoa
Menceritakan tentang kerusuhan tahun 98 kayaknya nggak lengkap kalau nggak menyinggung tentang kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa dan pengursakan toko-toko serta rumah-rumah mereka. Saat nonton Di Balik 98, jujur aja scene kerusuhan itu yang bikin saya emosional, meskipun nggak sampai nangis. Kalau dengar dari cerita oma opa (atau mungkin kalian yang pernah diceritakan sama keluarganya tentang kekerasan terhadap warga etnis Tionghoa di kerusuhan besar itu) pasti ngeri, apalagi cerita dari beberapa saudara saya cukup eksplisit. Coba search aja di Google tentang kejadian itu dan pasti ada banyak cerita-cerita dari mereka yang pernah jadi korban ataupun sebatas jadi saksi kekerasan terhadap warga etnis Tionghoa saat itu.

Meskipun scene yang ada nggak seeksplisit short story berjudul Clara yang ditulis oleh Seno Aji Gumira, tapi gambarannya cukup ngeri. Pagi (menuju siang) itu, para warga keturunan Tionghoa yang sedang nyaman-nyamannya di rumah tiba-tiba diributkan oleh suara-suara gaduh dari arah luar yang ternyata adalah keributan dari toko-toko yang sedang dirusak dan dijarah. Para warga keturunan Tionghoa akhirnya mulai panik saat sadar bahwa mereka jadi sasaran utama kerusuhan itu. Salma, yang niatnya mau mencari dan menyusul Diana ke kampusnya malah terjebak dalam kerusuhan itu dan saat mencoba melarikan diri, menyaksikan sendiri satu keluarga Tionghoa--ayah, ibu, dan anak perempuan--di sebuah gang yang sedang dianiaya oleh para pengrusuh. Si ayah dipukuli habis-habisan dan si ibu dan anak perempuannya dilecehkan. Salma yang sedang hamil besar nggak sanggup melihat itu dan saat mencoba mencari tempat aman justru pingsan dan pada akhirnya kita lihat Salma yang hamil besar diselamatkan oleh seorang wanita Tionghoa.


Oh ya, beruntung kita punya karakter Daniel disini yang ngasih kita 'akses' untuk melihat kejadian kerusuhan Mei 98 dari kacamata warga etnis Tionghoa. Daniel yang pada saat kerusuhan terjadi sedang berada di kampusnya (Trisakti) baru bisa melihat kondisi rumahnya beberapa hari kemudian. Dia kaget saat lihat bahwa seluruh rumahnya sudah dijarah dan dirusak habis-habisan. Daniel makin histeris saat tahu bahwa ayah dan adiknya sudah nggak ada di rumah itu. Dalam pencarian ayah dan adiknya, Daniel sendiri hampir kena sweeping warga etnis Tionghoa dan pada akhirnya diselamatkan oleh seorang kiyai (if I may call him so) yang menunjukkan keberadaan ayah dan adiknya.

Kalau misalnya berekspektasi untuk melihat kerusuhan dalam gambaran yang lebih eksplisit dan lebih gore, sayangnya hal semacam itu nggak ada di Di Balik 98. Menurut saya sih pasti konsiderasinya banyak. Kalau penonton etnis Tionghoa yang lihat kemungkinan besar bakalan kasuat-suat (kalau orang Sunda sih bilangnya begitu) alias teringat-ingat lagi. Mengorek luka lama, kalau idiom bahasa Indonesianya. Gambaran yang nggak seeksplisit itu aja yang ada di Di Balik 98 bikin saya emosional. Gimana kalau gambarannya lebih eksplisit dan gore? Ya gitu deh. Saya aja udah kasuat-suat.

*begini deh kalau penulis Sunda-Tionghoa ngomong, bahasanya campur aduk*


Daniel Diana
Dalam Di Balik 98 ada juga romance. Daniel dan Diana adalah sepasang kekasih (bahasa gue aduh) yang memang kebetulan sama-sama aktivis. Di beberapa scene bisa kita lihat kemesraan mereka, sesama aktivis yang saling mendukung satu sama lain. Bahkan saat Daniel kembali ke rumahnya, Diana pun ikut buat menemani dan Diana juga ada disana saat Daniel histeris dan sedih karena kehilangan keluarganya, meskipun pada akhirnya Daniel mengusir Diana karena dia ingin sendiri.


Pada akhirnya Daniel pindah ke Singapura bersama ayah dan adiknya dan beberapa tahun kemudian, Daniel kembali lagi ke Indonesia. Saat itu Diana sudah dewasa dan jadi guru TK. Mereka ketemu lagi. Apakah mereka bakalan balikan lagi?

Buat saya, ending dari romansa mereka ini.. Hmm.. Entah ya, apa saya harus bilang sad ending atau happy ending, tapi yang jelas masing-masing karakter punya resolusi mereka masing-masing. Cuman kalau misalnya kalian nge-ship pasangan ini, siap-siap deh di akhir film bakalan menemukan kejutan. Kasih tau gak ya? Gak ah. Ketebak kah? Entahlah.


Overall
Secara keseluruhan sih kalau dari segi plot, ya cukup lah ya kalau buat saya. Perpindahan dari satu subplot ke subplot lainnya nggak bikin pusing dan masing-masing subplot memainkan tugasnya dengan baik (drama keluarga, romance, politik, dan lain-lain). Elemen-elemen kecil pun diperhatikan, jadi kita nggak kehilangan detilnya, semisal logo stasiun-stasiun televisi sesuai dengan logo yang dipakai pada tahun itu. Penggabungan antara rekaman liputan dan penggambaran kejadian di film nggak sampai bikin gap perbedaan antara jaman dulu dengan jaman sekarang. I mean, penggambaran yang dikasih sama Di Balik 98 cukup menyesuaikan dengan rekaman liputan, as if memang rekaman liputan dan aksi yang ada itu direkam pada waktu yang sama.

Tingkat violence yang ada di film ini nggak se-violent yang saya bayangkan, which is good karena saya malas kalau terlalu banyak lihat darah-darah. Performa para bintangnya juga baik, terutama Chelsea Islan yang bisa mengubah image Bintang si Wikipedia berjalan jadi mahasiswa aktivis yang blak-blakan. Boy William juga nampak lebih kalem, which is a bit different kalau saya lihat penampilan dia sebagai host di sebuah acara musik di stasiun TV yang baru itu (yang itu tuh). Kalau saya lihat review di situs lain tentang film ini, ada beberapa yang mengomentari tentang pemilihan judul film yang dirasa terlalu ngasih harapan besar ke penonton. Mungkin dari pemilihan judul, penonton seolah bakalan dikasih tahu ada apa sih di balik kerusuhan tahun 98 itu dan ternyata, kalau buat saya sih, harapan seperti itu nggak terkabul.

Overall, suka sih sama film ini. Chelsea Islan walaupun teriak-teriak tetep cantik. But I like Bintang better sih..



Kasian si Bintang :(

Monday, February 9, 2015

[Review] Indo Top40 (Raisa, Potret, Rafael Tan, Dygta, Yuka Tamada)

Udah lumayan lama saya nggak buat review musik. Kemarin-kemarin ini sibuk bikin short stories terus dan juga dibayang-bayangi proposal skripsi dan kesibukan program internship (doakan lancar ya!), jadi belum sempat bikin post yang membutuhkan konsentrasi lebih (padahal buat short stories juga harus konsentrasi). 

Kali ini saya mau kasih review untuk lima lagu Top40 Indonesia yang dirilis di awal 2015. Lagu-lagu ini bisa kita dengar di radio-radio dan beberapa masuk chart (ada juga yang baru masuk ke chart di beberapa stasuin radio). Genrenya sih masih berputar di kawasan easy listening sampai pop alternatif. Untuk sesi review ini saya punya lagu-lagu dari Raisa, Potret, Rafael Tan, Dygta, dan Yuka Tamada. 


Potret
Gimana Caranya 
2015



Mengawali tahun 2015 ini, teh Melly Goeslaw bersama band Potret mulai menginvasi lagi chart lagu Indonesia dengan tembang pop alternatif mereka, Gimana Caranya. Lagu berdurasi sekitar 4 menit ini menyuguhkan lirik dengan bahasa yang santai (terlihat dari pemilihan diksi 'gimana', instead of 'bagaimana') dan aransemen yang bisa dibilang sederhana, dengan iringan piano riffs yang mendominas di sepanjang lagu (meskipun kalau buat saya sih piano riffs yang dimainkan, karena ada di oktaf yang cukup rendah, kesannya jadi berat). Di interlude menjelang chorus terakhir ada progresi akord yang menurut saya menarik karena ada transisi ke akord minor, lalu kembali ke akord aslinya (pas pertama kali dengar saya langsung ingat progresi akord di beberapa piece klasik). 

Gimana Caranya menceritakan tentang seseorang yang mencari cara supaya bisa mendapatkan perhatian dan cinta dari orang yang dia sukai (mungkin bisa dibilang juga orang ini frustrasi dengan repetisi kata tanya 'gimana'). Selain frustrasi, lagu ini juga mengindikasikan possessiveness, tergambar dari baris terakhir chorus lagu "Gimana caranya sepenuhnya aku dapat jiwa dan ragamu hanya milikku saja"

Agak ngeri sih sebetulnya kalau sudah posesif begitu (jadi baper nih gue). 

Mungkin lagu ini pas banget ya kalau didengerin saat kita lagu frustrasi banget, udah mampet nih otak buat cari cara supaya orang yang kita sukai mau ngelirik kita dan membalas rasa sayang kita. Kalau didengerin malam-malam mungkin bisa jadi bahan galau sebelum tidur (LOL). 


Link untuk beli lagu: iTunes


Dygta
Cinta Aku Menyerah
2015


Mengusung genre pop alternatif, Dygta muncul dengan lagu Cinta Aku Menyerah di awal 2015 ini. Lagunya mejeng di chart beberapa stasiun radio dan memang pas didengar.. worth listening (and requesting). Secara aransemen, temponya bisa dibilang lambat (mungkin sekitar 80 BPM, more or less sih) dan iringan piano mendominasi. Bagian intronya dibuka dengan melodi piano dan melodi cello yang bisa jadi early warning buat yang belum siap dengan after-effect dari lagu ini (badai galau melanda dimana-mana ini sih kayanya). Di chorus pun kita masih bisa dengar melodi cello, terutama di chorus pertama dan kedua dan melodi cello itu jadi semacam point of interest di lagu ini yang, menurut saya sih, ngasih sentuhan manis dan melankolis (bahasa gue...)

Berbeda dengan Gimana Caranya, lagu ini bercerita tentang seseorang yang menyerah dengan hubungannya karena si kekasih sudah "terlalu dalam" melukai hati. Meskipun rasanya sakit, si orang ini sebetulnya nggak mau berpisah. Bisa dibilang mungkin lagu ini mendeskripsikan dilema seseorang yang disakiti. Ingin putus sih karena udah disakiti, tapi sebetulnya nggak mau pisah. Tapi kalaupun bertahan juga nggak bisa karena sudah terlanjur sakit. Jadi maunya gimana? Semoga pas dengar lagu ini nggak sambil bawa perasaan ya. 

Sambil nulis review sambil baper



Yuka Tamada
C.I.N.T.A
2015


Jebolan Indonesian Idol ini mewarnai chart lagu Indonesia di awal tahun 2015 ini dengan C.I.N.T.A, lagu yang sebelumnya kita tahu dibawakan oleh d'Bagindas. Dengan sentuhan yang berbeda, lagu C.I.N.T.A ini menawarkan atmosfer yang lebih ringan dan lebih santai. Dalam interview dengan Yuka di Pro2 96 FM Bandung beberapa hari yang lalu (Selasa, 3 Februari), Yuka bilang kalau lagu ini bisa dibilang masuk kategori easy listening, sementara kalau saya sendiri bisa bilang ini lebih ke arah pop dengan sentuhan slow bossanova. Aransemennya ringan banget dan dijamin bakalan ngasih listening experience yang berbeda dengan lagu aslinya yang dibawakan d'Bagindas. Dengan rhythm yang mendayu-dayu, warna suara Yuka yang manis dan petikan gitar yang romantis, lagu ini cocok banget buat didengerin saat lagi santai minum teh atau menemani perjalanan di mobil. 



Raisa
Jatuh Hati
2015


Jatuh Hati-nya Raisa cukup sering diputar di radio-radio dan mejeng juga di beberapa chart lagu Indonesia. Aransemen ringan, tempo yang santai, warna suara Raisa yang manis, dan petikan gitar yang lagi-lagi manis dan melankolis cukup menjadi alasan kenapa lagu ini bisa nongol di chart. Dengan nada dasar di C mayor dan, later, ada progresi ke D mayor, kita akan disuguhkan dengan petikan folk guitar yang santai dan bikin adem. Worth listening lah pokoknya! 

Liriknya sendiri menceritakan tentang seseorang yang bukan jatuh cinta pada kekasihnya, tapi jatuh hati, dan perasaan ini dia dapat karena si kekasihnya ini punya charm spesial yang bikin si seseorang itu terpikat, dari mulai tutur katanya sampai cara pandangnya terhadap dunia. Si orang ini bahkan bilang bahwa kekasihnya ini menginspirasi dia. Quite romantic, isn't it? 



Rafael Tan
Tiada Kata Berpisah
2015


Tiada Kata Berpisah awalnya dipopulerkan oleh Rio Febrian, dan sekarang dinyanyikan kembali oleh Rafael Tan, salah satu anggota boyband SM*SH, dengan aransemen yang berbeda. Petikan folk guitar yang mendominasi aransemen lagu mengingatkan saya dengan lagu-lagu seperti Ksatria Cinta milik Glenn Fredly atau I'm Nothing At All milik Thomas Cook. Di bagian chorus juga bisa kita dengarkan aransemen strings section. Lagu ini bakalan nongol di album kompilasi #Y2Koustic. Jadi nggak sabar ingin dengar lagu-lagu lain di album itu. Ya, ditunggu saja deh sampai rilisnya. 


Monday, February 2, 2015

Melankolia dan Menunggu

Aku mempercepat langkahku menuju pelataran parkir sekolah bersama yang lainnya. Darah masih mengalir dari pelipis sahabatku yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang dorong klinik sekolah. Mereka menggotong tubuhnya, memindahkan tubuhnya ke dalam mobil pak Dede, guru olahraga kami. Mobil pun mulai bergerak meninggalkan pelataran parkir. Bersama pak Yana, wakil kesiswaan, pak Dede meninggalkan sekolah untuk membawa Reyhan ke rumah sakit. Anak-anak yang berkerumun untuk melihat apa yang terjadi kembali dengan kegiatan mereka masing-masing, kecuali aku, Gea, Dilla, dan empat orang temanku yang tadi bermain basket bersamaku dan Reyhan. 

"Ayo, Andra," bujuk Robi. 
"Nggak, Rob. Aku mau ke rumah sakit," tolakku. 
"Kamu nggak ngerti juga? Tadi 'kan kamu sampai dimarahi sama pak Dede dan dilarang ikut ke rumah sakit," sambung Stefan. 
"Aku yang bikin Reyhan celaka!" tegasku, "Aku yang nubruk dia waktu dia coba shoot sampai dia jatuh dan kepalanya kebentur!" 

Mataku mulai terasa panas. Di jersey tim basket sekolah yang kukenakan bahkan masih dapat kulihat bekas darah Reyhan. Begitupula di tanganku. Aku menggosok-gosokkan telapak tanganku pada celana basketku. Gea seketika menarik tanganku dan menyeka bekas darah di telapak tanganku dengan saputangannya. 

"Kalau kamu ke rumah sakit dan ketahuan sama pak Dede, bisa-bisa dimarahin lagi kamu," ujar Dilla. 
"Terus kalau ternyata cedera Reyhan serius gimana? Aku harus tanggung jawab dan bilang sama papanya dan mas Reza!" balasku. 

Tak ada yang bisa menghentikanku. Kutarik tanganku dan berjalan menuju motorku yang kuparkir tak jauh dari tempat kami berkumpul tadi. Dapat kudengar teman-temanku memanggilku, mencoba menahanku agar tak menyusul ke rumah sakit, namun aku tak peduli. Segera kukenakan helmku dan kunyalakan mesin motorku. Saat aku hendak memundurkan motorku, Gea berlari ke arahku dan menahanku. 

"Serius kamu mau pergi?" tanya Gea ragu. 
"Kalau misalnya Dilla yang ada di posisi Reyhan dan kamu yang bikin dia celaka, kamu mau diem aja?" tanyaku. 

Gea meringis pelan. 

"Aku ikut kalo gitu," ujarnya. 
"Kamu ga usah ikut. Diem aja disini," larangku. 
"Kamu itu kalo lagi emosi nggak bisa mikir dengan tenang. Kalau ada apa-apa sama kamu gimana?" balas Gea. 
"Ya terus kalau sekarang malah terjadi sesuatu sama kamu saat kamu ikut, nanti gimana?" balasku. 
"Pokoknya aku ikut. Titik!" 

Gea begitu saja naik ke atas motor dan duduk di belakangku. Ia bahkan tak mengenakan helm sama sekali. Aku mematikan mesin motor dan menurunkan standard motor, lalu turun dari motorku. Gea menatapku serius untuk beberapa saat. Kuhela nafas pendek dan aku pun kemudian tertunduk. 

"Aku takut, Ge," ujarku pelan. 

Aku bahkan hampir berbisik saat mengatakan hal itu. Ini pertama kalinya aku membuat seseorang celaka seburuk ini. Sebelumnya saat bermain basket, aku tak pernah sampai mencederai seseorang seburuk ini. Sebatas terjatuh dan mendapat luka lecet di sikut ataupun lutut sudah biasa. Aku sendiri pun beberapa kali terjatuh dan mencederai sikutku sendiri, namun apa yang terjadi hari ini adalah hal terburuk yang pernah kualami selama bermain basket. Aku mencederai Reyhan saat kami bermain basket, 3-on-3 bersama Robi, Stefan, Panji dan Riza. Awalnya kukira luka di pelipisnya tak begitu buruk, sampai Reyhan menangis, mengeluh bahwa ia sempat merasakan sesuatu yang retak di pelipisnya dan akhirnya ia kehilangan kesadarannya saat kami membawanya ke klinik sekolah. Aku takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi padanya. Gea tiba-tiba berdiri tepat di hadapanku lalu memelukku, dan aku akhirnya menangis dalam pelukannya. 

"Aku takut," isakku pelan. 
"Kita semua juga takut, Dra," Gea mencoba menenangkanku. 
"Aku mau ke rumah sakit. Aku mau tahu kondisi dia sekarang" 
"Oke. Kamu bisa nyusul rumah sakit, tapi aku ikut dan kamu pakai jaket kamu dulu" 

Gea mengambil kunci motorku dan menyuruhku mengambil jaketku. Aku berlari cepat menuju lapangan basket dan mengambil tas serta jaketku. Sambil berlari kukenakan jaket dan tasku lalu saat kembali ke pelataran parkir, motorku telah siap. Teman-temanku yang lain nampak ragu, mencoba menahanku sekali lagi. Aku kembali menegaskan pada mereka bahwa aku akan baik-baik saja dan mereka tak perlu khawatir jika aku akan dimarahi lagi. Toh jika aku memang harus dimarahi lagi, aku pantas menerima itu. Bersama Gea, aku pun akhirnya pergi menuju rumah sakit, menyusul pak Dede dan pak Yana yang kurasa sekarang telah tiba di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari sekolahku. Setelah memarkirkan kendaraanku, aku dan Gea segera masuk ke lobi rumah sakit dan bertanya pada petugas di bagian informasi tentang pasien yang hari ini masuk. Nama Reyhan Gunadinegara ada di dalam daftar pasien yang masuk ke rumah sakit hari ini dan ia baru saja masuk ke unit gawat darurat. Kondisinya pasti sangat serius. 

"Kita tunggu aja ya dan berdoa semoga lukanya bisa ditangani dengan baik," ujar Gea. 

Langkahku terasa berat. Bersama Gea aku berjalan menuju unit gawat darurat dan di ruang tunggu, pak Dede dan pak Yana sedang duduk menunggu. Pak Dede seketika berdiri dari tempat duduknya dan dengan gusar berjalan ke arahku dan Gea saat ia melihat kami. Pak Yana mengikuti setelahnya. Aku dan Gea dimarahi karena menyusul ke rumah sakit. Tak banyak yang bisa kulakukan selain mendengarkan bentakkan-bentakkan pak Dede padaku dan tertunduk. Gea merangkulku dan mencoba menenangkan pak Dede. 

"Kamu ini susah sekali dikasih tahu! Punya telinga tidak?! Disuruh tunggu di sekolah ya tunggu! Malah keluar sekolah di jam sekolah seperti ini. Bapak juga tahu Reyhan ini teman kamu, tapi aturan tetap aturan! 'Kan sudah jelas kamu dilarang keluar tanpa izin dari sekolah saat jam sekolah masih berlangsung!" 

Pak Dede baru berhenti memarahiku setelah pak Yana menengahi. Pak Yana menasehatiku untuk beberapa menit dan setelahnya, bersama pak Dede, turun ke lantai dasar untuk mengurus prosedur rawat inap bagi Reyhan. Kami segera duduk dan menunggu. Kukenakan hood jaketku agar Gea tak perlu melihat wajahku saat ini. Aku kesal karena dimarahi habis-habisan oleh pak Dede, namun aku tahu aku memang pantas mendapatkan itu. Pak Dede juga menyudutkanku, membuatku merasa bersalah dengan mengatakan bahwa seharusnya aku bermain lebih hati-hati. Aku meringis pelan. Hari ini memang hari burukku dan kurasa keadaan akan semakin bertambah buruk bagiku karena ponselku berdering dan nama Reza Gunadinegara muncul dilayar ponselku. Aku tahu mas Reza pasti akan menanyakan tentang kecelakaan yang menimpa adik satu-satunya dan aku tak bisa menyembunyikan apapun darinya.

"Andra? Kamu lagi di rumah sakit Bungsu kah? Gimana keadaan terakhir Reyhan? Kenapa dia bisa sampai cedera gitu? Tadi mas ditelpon sama pihak sekolah katanya Reyhan masuk rumah sakit. Pihak sekolah coba telpon ayah tapi katanya ayah nggak bisa dihubungi"

Gemetaran tanganku memegang ponselku. Aku mulai terisak pelan.

"Maafin Andra, mas Reza," ujarku pelan.
"Kenapa, Dra? Ada apa? Kamu jangan bikin mas bingung," tanya mas Reza.

Dan aku pun akhirnya menceritakan semuanya, bagaimana insiden itu dapat terjadi. Aku dan teman-temanku ingin bermain basket 3-on-3 dan membutuhkan satu orang lagi untuk bermain. Robi melihat Reyhan berjalan keluar dari kelasnya dan memanggilnya, mengajaknya untuk bergabung. Awalnya aku tak yakin bahwa Reyhan akan ikut bermain karena selama ini Reyhan tak begitu berminat pada olahraga tim tapi kenyataannya, ia berlari ke lapangan, melepas hoodie Superdry biru tuanya dan menaruhnya di dekat tas-tas kami dan ikut bermain, bergabung bersama Robi dan Stefan sebagai satu tim. Gerakannya tak segesit kami yang memang berlatih basket setiap minggu, namun ia begitu enerjik dan menikmati permainan. Saat ia melompat dan mencoba memasukkan bola ke ring, aku mencoba menahannya, melompat untuk mendorong bola dari tangan Reyhan. Lompatanku lebih tinggi dari lompatannya dan tubuhku menabraknya. Reyhan terjatuh dan kepalanya menghantam lantai cukup keras. Ia sempat memekik dan mengaduh kesakitan. Kami segera menghampirinya dan darah mulai muncul di sekitar kepalanya. Aku dan yang lain membantunya untuk bangun dan saat itu darah telah mengalir dari pelipisnya, cukup deras hingga darah itu mencapai leher dan pundaknya. Ia mengaduh kesakitan, memberitahu kami bahwa ia merasakan sesuatu yang retak di kepalanya dan setelah itu ia jatuh pingsan. Kami memberitahu pihak sekolah dan mereka segera membawa Reyhan ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.

Kronologi itu kuceritakan dengan perjuangan yang cukup berat; aku terbata-bata, sesekali terisak dan bahkan terkadang suaraku terlalu pelan sehingga mas Reza harus memintaku untuk berbicara lebih jelas lagi. Tak ada jawaban dari seberang selama beberapa saat hingga akhirnya suara mas Reza kembali terdengar. Aku begitu takut jika mas Reza akan marah besar padaku. Aku tahu Reyhan adiknya satu-satunya dan ia--kami semua--pernah hampir kehilangannya. Kecelakaan ini pasti membuatnya sangat panik dan takut jika sampai kecelakaan ini akhirnya merenggut adiknya.

"Namanya juga musibah. Kita nggak ada yang tahu, Dra. Kamu juga pasti nggak sengaja 'kan nubruk Rey? Mas ke rumah sakit secepatnya dan tolong kamu tunggu disana ya. Kalau ada apa-apa langsung telpon mas," ujar mas Reza mengakhiri percakapan di telpon.

Entah aku harus bersyukur atau justru merasa semakin bersalah, yang jelas reaksi mas Reza mengejutkanku. Aku menceritakan obrolanku dengan mas Reza pada Gea dan ia pun terkejut karena mas Reza tak memarahiku ataupun menyudutkanku. Ia menggenggam tanganku dan mengusapnya pelan.

"Mas Reza aja nggak sampai marah, 'kan? Kamu jangan khawatir lagi. Lagian aku tahu kok mas Reza pasti paham situasinya," ujar Gea.
"Ya. Puji Tuhan deh mas Reza nggak sampai marah-marah kayak pak Dede," jawabku.

Gea melepaskan genggaman tangannya. Ia lalu menatapku dan menyeka air mataku.

"Kamu tuh keliatan aneh kalau nangis," ujarnya.
"Kayak nggak pernah lihat aku nangis aja sebelumnya," jawabku kesal.

Gea tersenyum kecil.

"Dra, keluarga kamu ngomongin aku nggak setelah aku pulang dari makan malam di rumah kamu?" tanyanya.
"Pas Natal?"
"Ya. Aku gugup banget waktu itu. Takutnya dianggap aneh"

Aku menggeleng.

"Nggak ngomongin yang aneh-aneh. Kata mama, dress merah marun kamu bagus," jawabku.
"Serius? Aku kira aneh loh. Soalnya kalau lihat di cermin sih kayak aneh," ujar Gea tak percaya.
"Beneran. Kayaknya kamu harus sering main ke rumah dan belanja bareng sama mama," jawabku.
"Mama yang bilang?" tanya Gea lagi.
"Nggak sih, cuma usul aku sih kamu kapan-kapan belanja bareng sama mama," jelasku.
"Kamu nggak ikut?"
"Ah, kalian kalau belanja pasti lama"

Aku dan Gea tertawa kecil.

"Kalau keluarga kamu sendiri gimana? Ngomongin aku nggak setelah aku pulang?" tanyaku.
"Pas Lebaran?" tanya Gea.

Aku mengangguk.

"Nggak. Mereka biasa aja. Waktu kita makan bareng, mama sempet bisik ke aku. Katanya kemeja yang kamu pakai bagus," jawab Gea.
"Itu 'kan yang kita beli bareng," ujarku, "Ingat 'kan waktu itu aku minta kamu temenin aku cari kemeja yang pas buat main ke rumah kamu pas Idul Fitri"
"Ya. Terus macet di jalan jadi kita buka puasa di McDonald's," tambah Gea.

Aku tersenyum kecil. Kugenggam tangan Gea dan kuusap pelan. Gadis itu lalu menaruh kepalanya di pundakku. Tak ada yang berbicara setelahnya selama beberapa saat. Aku tahu Gea pasti sedang memikirkan sesuatu dan kurasa aku tahu apa yang ia pikirkan. Dalam hubungan yang kujalani bersamanya, ketakutan terbesar kami adalah perpisahan karena perbedaan kami. Sejauh ini keluargaku menerima Gea dengan baik. Begitu pula keluarga Gea yang menerimaku dengan hangat. Mama pernah membelikan bolero untuk Gea dan saat aku berkunjung ke rumah Gea, ibunya menyuruhku untuk menginap disana karena saat itu sudah larut malam dan ibunya khawatir jika terjadi hal yang buruk padaku. Orangtua kami bahkan pernah bertemu dan mereka berteman baik, namun aku masih takut jika dibalik keramahtamahan dan pertemanan mereka, ada hal yang tak bisa mereka terima--hubungan kami yang lebih lanjut.

Ini adalah tahun terakhir kami di sekolah dan itu artinya hubungan yang kujalin bersama Gea telah berjalan lama. Jika kami bisa mempertahankan ini sampai kuliah nanti, maka bukan tak mungkin kami bisa melanjutkan ke hubungan yang lebih serius. Aku tahu ini terdengar konyol dan terlalu dewasa untukku, namun jika ada sesuatu yang layak untuk dipertahankan, mengapa dilepas begitu saja? Tanpa perlu kukatakan padanya Gea tahu bahwa aku menyayanginya dan aku tak perlu meragukan perasaannya padaku. Aku ingin mempertahankan perasaan ini--hubungan ini. Kurasa aku tak sanggup jika perjalanan yang telah kutempuh sejauh ini bersama Gea harus berakhir begitu saja hanya karena perbedaan itu. Gea meringis pelan dan membetulkan posisi kepalanya di bahuku. Tangan kiriku merangkulnya dan tangan kananku menggenggam salib yang menggantung di leherku. Aku tak ingin melepas keduanya dan aku takut jika cepat atau lambat aku harus melepas salah satunya. Aku tak ingin sikap keluargaku berubah padaku dan Gea jika aku melepaskan tangan kananku, tapi jika kulepaskan tangan kiriku aku yakin pasti hidupku takkan lagi sama dan mungkin saja segalanya akan terasa begitu berat bagiku karena aku kehilangan teman perjalananku yang selama ini ada bersamaku. Aku ingin menggenggam keduanya dan mempertahankan keduanya. Aku tak bisa membuat Gea untuk melepas apa yang ia pegang teguh selama ini dan jika aku melakukannya, sudah pasti aku akan menjadi orang yang paling egois di dunia ini karena telah membuatnya kehilangan apa yang ia miliki selama ini hanya agar ia dapat menjadi milikku. Gea sendiri yang pernah mengatakannya padaku bahwa ia tak akan melepas apa yang ia genggam, yang ia kenakan lima kali setiap harinya. Ia tak ingin jika tangan dan wajahnya tak tersentuh oleh segarnya basuhan itu, atau jika dahinya tak menyentuh lantai untuk menyembah dan mengingat Dia yang Maha Kuasa.

Pada titik ini aku merasa hidup begitu berat. Aku tahu kejadian yang menimpa Reyhan dan melibatkanku adalah hal yang harus kupertanggungjawabkan. Namun ada sesuatu yang mungkin hanya dirasakan olehku dan Gea yang benar-benar membuatku kami merasa bahwa hidup memang tak adil. Ya, memang tak adil. Terkadang ada hal-hal dalam hidup yang membawaku pergi jauh dari apa yang ingin kuraih, merobek mimpi-mimpiku menjadi potongan-potongan kecil yang pastinya akan sulit untuk kusatukan kembali. Tahun-tahun kebersamaanku dengannya diisi dengan banyak cerita yang sangat berkesan, namun tetap saja tak dapat kupungkiri bahwa selalu ada melankolia semacam ini yang melanda, membabi buta menyerangku, menyesakkan, melumpuhkanku, membuatku tak berdaya. Aku ingin bersamanya. Aku hanya ingin bersamanya, namun aku tak yakin hidup mengizinkanku untuk dapat bersamanya. Bukan sekali dua kali aku bertanya, mengadu pada Tuhan. Ribuan, atau mungkin puluhan ribu pertanyaan keluar dari mulutku, kutanyakan padaNya, sambil berharap bahwa Ia akan membisikanku jawabannya. Aku tak mendapat bisikan itu. Aku belum mendapatkannya.

Dari arah yang berlawanan, mas Reza muncul, terengah-engah melihat ke arahku dan Gea. Ia menghampiri kami. Kami berdua bangun. Mas Reza meringis pelan lalu mengacak-acak rambutku.

"Ayolah, Andra. Itu 'kan musibah. Kamu nggak perlu merasa bersalah begini," ujarnya.

Aku tertunduk. Perasaan bersalahku berhasil menutupi melankolia yang perlahan membunuhku.