Pages

Thursday, July 23, 2015

[Review] CUPS Coffee & Kitchen

Sudah lama nggak bikin review tempat ngopi dan ngadem. Maklum lah deadline terjemahan benar-benar mencekik. Belum lagi revisi skripsi dan PR dari les piano yang masih numpuk. Masih untung ini masih bisa ngemil. 

Jadi sore ini saya dan koko saya pergi ke CUPS Coffee & Kitchen yang berlokasi di jalan Trunojoyo no. 25. Lokasinya menurut saya cukup strategis, terutama kalau kalian sedang atau hobi belanja karena di jalan Trunojoyo dan Sultan Agung ada banyak distro yang bisa dikunjungi. Tapi saran saya sih kalau mau belanja dulu, baru ngopi. Anggap saja singgah di oasis setelah berburu diskon. Awalnya saya memang nggak ada rencana khusus buat datang ke CUPS. Hari ini saya dan koko saya keliling Sultan Agung dan Trunojoyo, singgah dari satu distro ke distro lain, siapa tahu ada kaus atau jaket bagus dan kita bisa beli (angbao lebaran masih ada nih!). Setelah makan siang, mulut masih gatel nih karena ingin minum kopi dan walhasil, mendadak mencari tempat yang dekat untuk ngopi. Koko saya tiba-tiba mencetuskan CUPS karena sebelumnya kami pernah lewat saja, tapi penasaran dengan tempatnya. Maka akhirnya diputuskanlah kami ngopi di CUPS. 


Lokasi dan desain interior bangunan
Terletak di jalan Trunojoyo nomor 25, CUPS Coffee & Kitchen cocok dijadikan rest area buat para shoppers yang kelelahan setelah mengunjungi distro-distro dan belanja. Lokasinya yang berada di distrik distro juga memudahkan saya yang, pada saat itu, harus balik ke Blackjack untuk beli jaket yang akhirnya saya putuskan mau beli. Saya dan koko datang sekitar pukul tiga sore dan cuaca saat itu berawan (which is a good weather to sip some coffee). Kami disambut dengan interior minimalis yang manis. Dinding ruangan utama berwarna abu-abu muda. Lantainya pakai parquet dengan warna coklat tua, cukup kontras dengan dinding. Beam warna hitam juga dibiarkan saja terekspos, menyokong atap dan lantai dua yang merupakan area minum terbuka. 

Copyright © 2015 Klaus R Dewanto

Untuk seating area, bisa dibilang ada empat area. Area yang pertama adalah area terdepan (paling dekat dengan pintu masuk). Ada split level, naik sedikit, kita sampai di area kedua--ruang utama yang bentuknya memanjang, dengan deretan jendela-jendela kaca di dinding atas sehingga ada banyak cahaya yang bisa masuk ke ruangan. Disini ada lebih banyak meja dan kursi. Selain itu ada juga tempat yang sedikit mojok, di sisi kiri ruangan utama. Yang terakhir, seating area juga ada di lantai dua. Kalau di sana, karena tempatnya di luar ruangan mungkin lebih cocok untuk suasana yang lebih berisik (semisal kalau bawa banyak teman buat ngobrol-ngobrol). Di ruangan utama dan area yang agak mojok, menurut saya sih cocok kalau kita ingin ngopi dengan suasana yang lebih kalem. Tapi kayaknya kalau lagi jam-jam ramai atau weekend sih buat nyari suasana yang lebih tenang agak susah karena banyaknya orang yang datang. 

Yang bikin saya dan koko saya amazed adalah adanya tanaman-tanaman dan props yang berkaitan dengan berkebun. Sisi naturalis saya pun keluar deh saat saya lihat ada beberapa tanaman anggrek yang ditanam di dalam pot tempel di dinding. Ada juga semacam tanaman rambat yang ditanam di dinding kiri ruangan utama (kalau dari arah pintu masuk). Di setiap meja, diletakkan sebuah vas tanaman kecil. Selain itu juga ada tanaman-tanaman semacam sukulen dan kaktus yang ditanam dalam pot-pot kecil. Jadi gatel ingin nyiram tanaman. Yang jelas tanaman-tanaman tersebut menjadi pemanis ruangan utama CUPS Coffee & Kitchen.

Copyright © 2015 Klaus R Dewanto

Copyright © 2015 Klaus R Dewanto

Oh ya, saat saya keliling ruangan utama, saya menemukan sebuah pintu yang menghubungkan CUPS dengan Flower Shop yang lokasinya bersebelahan. Namanya juga Flower Shop, yang dijual pastinya bunga. Nah kita bisa pesan bouquet bunga, dari mulai mawar sampai bunga-bunga yang diimpor dari luar negeri. Di sana juga ada beragam pilihan vas yang bisa kita pilih. Selain itu, ada juga semacam display kecil yang memuat mainan dari clay yang menggemaskan! Yay! Habis ngopi, kita bisa beli bunga buat orang yang kita sayangi! Atau mungkin sambil ngopi, diam-diam kita menyelinap ke toko bunga itu, beli satu bouquet bunga terus kembali ke kafe dan kasih surprise buat orang yang kita sayangi. Bisa jadi surprise plan yang kece tuh!

Copyright © 2015 Klaus R Dewanto


Kopi Magic
Karena judulnya ngopi, maka kami harus pesan kopi. Ralat: salah satu dari kami. Berhubung koko saya lebih suka kopi daripada saya, jadi koko saya yang pesan kopi. Sementara itu, seperti biasa saya pesan minuman yang berbahan dasar coklat. Karena kami sudah makan siang, kami pun memutuskan untuk beli light meal saja. 

Koko saya pesan minuman kopi bertajuk Magic. Dari nama turun ke hati, koko saya langsung penasaran dengan minumannya setelah baca namanya. Saya sendiri pesan iced chocolate. Untuk light meal, kami pesan french fries yang disajikan dalam semacam ember berbahan logam yang bagian dalamnya dilapisi oleh semacam kertas. Gemes deh penampilannya. 

Kiri ke kanan: Magic dan Iced ChocolateCopyright © 2015 Klaus R Dewanto

Untuk rasa sendiri, saya sempat cicipi Magic dan, bagi saya yang bukan penggila kopi, rasa kopinya sangat dominan (ya iyalah). Bittersweet, tapi jatuhnya lebih ke pahit sih (dan itulah kenapa si waiter memberikan gula tambahan). Tapi saat saya coba, ada semacam rasa coklat. Kalau saya bisa tebak, mungkin Magic itu semacam kopi moka. Harusnya koko saya sih yang kasih penjelasan tapi dia sudah keburu tidur jadi.. ya sudahlah. 

Untuk iced chocolate sendiri sih menurut saya oke. Iced chocolate-nya bukan susu coklat (you know what I mean, kan?), dan rasa manisnya juga pas karena saya memang nggak begitu suka yang terlalu manis. Untuk french fries yang kami pesan, dari segi rasa sih lumayan lah ya karena si kentang dikasih seasoning yang bikin rasanya nggak flat atau sebatas asin karena garam aja. Sayangnya karena kami sudah makan siang, kami nggak sanggup buat mencicipi main course. Lha wong perutnya sudah penuh. Tapi semoga saja di lain kesempatan saya dan koko saya bisa kesana lagi dan mencicipi main course-nya (dan tentunya tulisan ini nanti di-update lagi). 

Gimana dengan harganya? Nah, kalau soal harga sih saya dan koko saya sepakat, ada harga ada rupa, meskipun memang urusan rasa sih subjektif. Tapi setidaknya buat saya dan koko saya, rasa makanan dan minuman serta suasana yang ditawarkan cukup lah sebanding dengan harga makanan dan minuman. Magic sendiri harganya Rp 25.000,- per cangkir dan iced chocolate harganya Rp 27.000,- per gelas. Untuk french fries, per 'ember mini' itu harganya Rp 22.000,-. Harga makanan utama seingat saya sih berada di kisaran 30 ribu ke atas (lupa harga paling mahalnya berapa). 


Overall commentary
Secara keseluruhan buat saya dan koko saya, CUPS Coffee & Kitchen merupakan semacam sanctuary saat kami mulai~lapar~mulai~lapar dan mulai haus setelah berburu ke distro sana sini. Lokasinya yang dekat dengan distro-distro (apalagi dari Screamous, Cosmic, dan Babybones) membuat CUPS Coffee & Kitchen ini strategis. Orang nggak perlu jalan jauh buat makan. Parkir motor atau mobil di depan Screamous, terus nyebrang jalan sedikit eh sampai deh di CUPS. 

Desain interior tempatnya kece! Tanaman-tanaman yang ada menambah suasana adem pada desain interior bernuansa rustic. Belum lagi musiknya yang nggak bikin sakit kepala (saya sih berharapnya mereka mau muter mixtape Quiet Storm), ngopi di CUPS jadi lebih nyaman lagi. Waiter dan barista yang ada juga ramah-ramah (saya malah sempat dibantu dicarikan gunting untuk motong label baju). So, kalau ditanya apakah saya dan koko saya mau kesana lagi, jawaban kami adalah ya.

#teamlapar | Kiri ke kanan: saya, koko saya


Nyam-marking
Ambiance: ★★★★★★★★★☆ (9/10)
Taste: ★★★★★★★☆☆☆ (7/10)
Price: $$$--


CUPS Coffee & Kitchen
Jl. Trunojoyo no. 25, Bandung
Opening hours: 10a.m - 10p.m (Minggu-Kamis), 10a.m - 11p.m (Jumat-Sabtu)
Twitter: @CUPSCoffeeShop

Sunday, July 12, 2015

GO-JEK dan curhatan driver GO-JEK

Yaaasss! Dan hari ini untuk pertama kalinya saya menggunakan jasa GO-JEK. 

Awalnya, saya sekedar iseng-iseng unduh aplikasinya dari Playstore. Setelah memasukkan kode referral dari teman saya, akhirnya saya pun dapat saldo gratis 50 ribu di akun GO-JEK saya. Setelah itu, saya justru nggak pakai jasa GO-JEK. Aplikasinya dibiarkan begitu saja, karena waktu itu memang sama sekali belum terpikir untuk menggunakan jasa GO-JEK. Biasanya saya bepergian dengan kendaraan pribadi (mobil) ataupun kendaraan umum, baik angkutan kota maupun ojek konvensional. Selama ini saya sering pakai jasa ojek konvensional langganan saya yang kebetulan mangkalnya nggak jauh dari kompleks. Kenyamanan dan kualitas jasa pangkalan ojek konvensional tersebut, menurut saya, bisa dibilang baik. Kekurangannya adalah, armadanya terbilang sedikit dan sering kali jam kerjanya berubah-ubah. Kadang-kadang jam empat sore masih mangkal, kadang-kadang jam dua sore sudah pada pulang. Dari segi harga, pangkalan ojek langganan itu memang lebih murah dibandingkan pangkalan ojek lainnya yang ada di dekat komplek rumah saya (apalagi dibandingkan sama pangkalan ojek di persimpangan jalan Cihanjuang yang seringkali supirnya ngegetok harga seenak jidat. Setan!). Sayangnya, harga lebih murah tidak berarti ada transparansi harga (apalagi kalau kita nggak nanya harga dari awal), meskipun memang si abang ojek biasanya memberitahu dari awal kalau bakalan ada kenaikan harga. Alasannya biasanya karena naiknya harga BBM. Sayangnya, kalau harga BBM turun, ongkos ojek nggak ikut turun. Angkot juga seringnya gitu. Harga BBM udah turun, ongkos angkot malah makin tinggi. Kadang-kadang nagihnya nggak sopan pula kalau bayarnya kurang. Setan. 

Tampilan antarmuka aplikasi GO-JEK


Pemesanan pertama
Hari ini memang saya ditakdirkan untuk menggunakan jasa GO-JEK. Sebetulnya, waktu itu saya sempat pesan GO-JEK juga, minggu lalu, saat saya harus menghadiri acara buka bersama. Sayangnya, entah karena masalah teknis atau memang kompleks rumah saya yang berada di luar daerah jangkauan GO-JEK (terlepas dari munculnya indikator GO-JEK yang ada tidak jauh dari daerah tempat tinggal saya), aplikasi GO-JEK bilang bahwa pemesanan tidak bisa dilakukan. Asem. Padahal saya lagi buru-buru saat itu. Nah, hari ini saya coba lagi menggunakan aplikasi GO-JEK, pemesanan antar pulang dengan titik awal Simpang Dago. Saya awalnya agak pesimis, kalau-kalau pemesanan nggak akan berhasil lagi karena tujuan saya yang memang jauh dari Dago. Saya takut muncul pemberitahuan bahwa lokasi tujuan saya ada di luar wilayah edar GO-JEK, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa teman saya yang berpendapat bahwa rumah saya itu kejauhan buat didatangi. 

What's wrong with living in Cimahi sih? At least kita sudah tidak lagi Bandung coret!

Saya pun senang saat diberi kabar bahwa pemesanan saya berhasil dilakukan dan driver GO-JEK sedang menuju Simpang Dago. GO-JEK punya sistem yang sebetulnya mirip dengan kalau kita pesan ojek lewat SMS, di mana kita menghubungi langsung si abang ojek buat jemput kita dari titik awal lalu diantar sampai tujuan. Bedanya, GO-JEK lebih terorganisir dan melalui perantara (aplikasi atau operator). Saat melakukan pemesanan melalui aplikasinya, kita akan disuguhi tampilan peta dengan ikon ojek yang menunjukkan driver terdekat dari tempat kita berada (meskipun driver yang jemput kita nggak selalu driver yang lokasinya paling dekat dengan kita). Menggunakan jasa GO-JEK ini mungkin seperti kalau kita melakukan pesan antar dari KFC. Kita melakukan pemesanan melalui aplikasi, lalu input pemesanan yang kita buat akan disampaikan pada para driver yang lokasinya cukup dekat dengan kita. Kalau ada driver yang lagi vacant dan bersedia jemput kita, akan ada pemberitahuan bahwa pemesanan berhasil dilakukan. Yang lebih bagusnya lagi, menurut saya, si driver akan menghubungi kita, baik lewat SMS dan telpon untuk mengkonfirmasi pemesanan kita. Setelah kita konfirmasi, barulah nanti si driver pergi buat menjemput kita. 

Bayarnya gimana? 

Menurut saya pembayaran ongkos GO-JEK ini transparan. Say goodbye to nawar harga dengan abang ojek sampai berantem! Ongkos yang dikenakan akan bergantung pada jarak yang ditempuh. Apa kita harus ngitung manual jaraknya? Nggak usah! Di aplikasi GO-JEK sudah tersedia kok kalkulator ongkosnya. Kita hanya perlu memasukkan titik awal kita (mau dijemput dimana) dan tujuan kita, dan setelah itu biarlah kalkulator bekerja sama dengan peta untuk menghitung jarak dan ongkos yang harus kita bayar. Metode pembayarannya bisa lewat GO-JEK credit (saldo akun GO-JEK yang dimiliki), cash, atau voucher

Apakah kita kena biaya tambahan lainnya? Pajak misalnya? 

Nope! Kalau hasil kalkulasi ongkos kita kena dua puluh lima ribu, ya kita bayar segitu aja. Kecuali kalau mau ngasih tips, ya kasih aja. Saya juga ngasih tips ke driver GO-JEK saya. Oya, di resi konfirmasi juga kita akan dikasih informasi mengenai driver kita. Ya, ada nama dan fotonya untuk mempermudah recognition si driver. Saat kita sudah sampai di tujuan, dari aplikasi akan muncul notifikasi, semacam ucapan terima kasih sudah menggunakan jasa GO-JEK dan minta kita untuk memasukkan rate untuk si driver serta semacam kesan pesan. 


Perjalanannya menyenangkan
Singkat cerita si driver menghubungi saya dan memberitahu bahwa dia sudah ada di lokasi. Saya pun bergegas mencari si driver yang rupanya sudah nunggu di dekat McDonald's. Awalnya agak susah untuk mengenali yang mana driver GO-JEK saya karena saat itu sedang ada banyak orang dan si driver tidak pakai jaket GO-JEK-nya. Setelah menemukan driver dan konfirmasi bahwa saya sudah melakukan pemesanan, sambil saya mengenakan jaket saya, si driver menyiapkan helm dan masker untuk saya. 

This is something conventional ojek drivers rarely do

Rupanya ini sudah masuk ke dalam regulasi mereka, bahwa driver harus menyediakan helm dan juga masker untuk penumpangnya, Ojek konvensional seringnya hanya menyediakan helm cadangan, dan kadang-kadang malah nggak menyediakan sama sekali. Sebalnya, saat melihat ada polisi dari kejauhan, kadang-kadang penumpang disuruh turun dan jalan kaki sampai si ojek berhasil melewati pemeriksaan polisi tanpa kena tilang. 

Masker. Menurut saya ini yang keren. Founder GO-JEK memang peduli dengan keselamatan pengguna jasanya, Bukan hanya kepala penumpang yang harus dilindungi, tetapi juga organ dalamnya--paru-paru. Kita pasti sadar betul betapa asap yang keluar dari kendaraan bermotor itu berbahaya buat pernafasan. Semakin banyak kendaraan di jalan raya, semakin banyak polusi yang dihasilkan. Meskipun memang penggunaan masker saja tidak lantas bisa menghindarkan kita dari menghirup asap berbahaya, tapi setidaknya apa yang GO-JEK berikan untuk penumpangnya harus diberikan apresiasi. 

Driver memulai perjalanan setelah memastikan saya sudah siap, sudah mengenakan helm dan masker. Sepanjang perjalanan, si driver banyak ngajak ngobrol saya tentang beragam topik, dari mulai penggunaan jasa GO-JEK sampai geng motor. Tapi memang sih, abang ojek konvensional pun kadang-kadang ngajak saya ngobrol selama perjalanan. Selain itu, pas saya perhatikan cara mengemudinya, driver GO-JEK ini juga nggak membahayakan penumpangnya, but somehow nyetirnya cepat dan lincah. Kalau dibandingkan dengan beberapa abang ojek atau supir angkot yang biasa mereka ulang film Fast and Furious di jalan yang ramai dan hanya memiliki lebar 2 mobil kecil, rasanya lebih tenang pakai jasa GO-JEK. Pernah saya mengalami naik angkot dan duduk di belakang. Cara mengemudi supirnya yang seenak jidat, bikin bahaya pengguna jalan lain, dan ngebut bikin saya nggak tenang. At one point si supir harus mengerem mendadak dan saya pun hampir jatuh dari kursi saya. Sinting! Memangnya dia ngasih asuransi untuk setiap penumpangnya? Saya pun tiba di rumah sekitar pukul sembilan lebih lima belas menit (yah, sekitar dua jam yang lalu lah dari momen tulisan ini dipublikasikan). Saya pesan GO-JEK itu sekitar pukul delapan lebih sepuluh menit, dan menunggu driver sekitar dua puluh menit. Berarti kalau dihitung-hitung totalnya dari mulai pemesanan sampai tiba di rumah itu sekitar satu jam. Untuk perjalanannya sendiri makan waktu sekitar 30 sampai 45 menit. Saya nggak bisa bayangkan kalau saya pulang ke rumah, dari titik awal yang sama, dengan menggunakan angkot. Belum lagi kalau kejebak macet. Kalau seperti itu kejadiannya, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, saya sampai di rumah sekitar pukul sepuluh atau setengah sebelas malam. 

Jadi, setengah jam dari Simpang Dago ke Cimahi, dengan traffic khas malam minggu? BIG YES!


Curhatan driver GO-JEK
Seperti yang saya bilang, driver GO-JEK mengajak saya mengobrol tentang beragam topik. Nah, salah satu topik yang diangkat adalah tentang rasa takut yang dia alami sebagai driver GO-JEK. Kita mungkin pernah lihat beberapa artikel berita tentang para abang ojek konvensional yang memprotes keberadaan GO-JEK yang mereka rasa 'merebut' rejeki mereka. Beberapa bahkan dengan terang-terangan membuat spanduk yang bertuliskan larangan bagi driver GO-JEK untuk masuk ke wilayah edar mereka. Buat saya, perilaku abang ojek konvensional yang seperti itu adalah sebuah ketololan. 

Driver GO-JEK saya, kang Agus, menyebutkan alasannya mengapa dia nggak pakai jaket GO-JEK (waktu itu dia pakai biker jacket yang bikin saya bingung buat mengenali driver saya). Sebelum menjemput saya, kang Agus sempat cerita ke saudaranya tentang rasa takut yang dia alami. Takut diserang abang ojek lain lah, atau diancam, atau dikejar, dan sebagainya. Akhirnya saudaranya menyarankan dia untuk pakai jaket lain, selain jaket GO-JEK. Kang Agus minta maaf karena penampilannya sempat menyulitkan saya untuk mengenali kang Agus. Saya, yang merasa bahwa itu bukan masalah besar, tentu saja memaafkan dan memahami situasi yang kang Agus hadapi. 

Selain tentang jaket, kang Agus juga sempat tanya apakah rute yang diambil melewati beberapa perumahan dengan pangkalan ojek di depannya. Saya bilang saya nggak melewati rute semacam itu (sebetulnya bisa saja sih, tapi saya tolak karena tidak mau sampai kang Agus kena masalah). Kang Agus pun kembali bercerita bahwa dia agak was was kalau melewati beberapa daerah, terutama depan kompleks perumahan yang biasanya ada pangkalan ojek. Kang Agus takut abang ojek konvensional yang mangkal tersebut marah dengan keberadaan GO-JEK dan melarang dia masuk, atau mungkin melakukan tindakan yang lebih berbahaya. Meskipun memang kang Agus mengenakan biker jacket, identitas kang Agus sebagai driver GO-JEK tidak lantas hilang begitu saja karena helm penumpang yang dia berikan pada saya ditempeli stiker GO-JEK. Saya jadi ikut merasa was was karena kalau sampai ada oknum jahat yang mengincar GO-JEK, saya sebagai penumpang ikut kena. Untunglah sepanjang perjalanan tidak sampai ada kejadian buruk. 

Kang Agus juga sempat tanya tentang apakah daerah Cimahi aman. Saya bilang sejauh ini yang saya tahu sih aman. Kang Agus rupanya mengkhawatirkan juga tentang adanya beberapa geng motor yang kalau malam Minggu biasa nangkring di jalan utama kota Cimahi. Saya coba jelaskan sama kang Agus bahwa sejauh ini saya nggak sampai mengalami hal buruk terkait adanya geng motor atau melewati geng motor yang sedang nangkring. Ditambah lagi saya rasa kepolisian Cimahi juga sudah bertindak lebih tegas untuk melawan geng-geng motor yang anarkis. Ketakutan kang Agus terhadap geng motor juga bikin saya jadi was was dan khawatir karena setelah mengantar saya, dia akan langsung pulang ke Ujung Berung. Ujung Berung! Rumah kang Agus di Ujung Berung, tapi jangkauan antar GO-JEK-nya bisa sampai Padalarang. Dari ujung ke ujung, saya membayangkan betapa capeknya kang Agus. Saya pun memberitahu rute menuju Bandung yang saya rasa aman, baik aman dari gangguan atau ancaman oknum-oknum ojek konvensional maupun risiko dicegat geng motor. 


Empati
Mendengar cerita kang Agus, saya merasa empatik sama kang Agus dan juga para driver GO-JEK lainnya yang mungkin memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang sama dengan kang Agus. Kemunculan GO-JEK memberikan kemudahan tersendiri bagi para pengguna jasa kendaraan umum. Gimana nggak? GO-JEK menawarkan jasa antar jemput, bahkan pengiriman dan pembelian barang, dan pemesanan layanan bisa dilakukan lewat sentuhan saja. Mau pesen ojek sekarang nggak perlu repot-repot jalan ke pangkalan, atau telpon ke nomor pribadi abang ojek konvensional. Dengan satu aplikasi, pemesanan ojek bisa kita lakukan, lengkap dengan informasi titik jemput dan tujuan, identitas driver, kalkulasi ongkos, serta metode pembayaran. Selain itu, pelayanan yang diberikan juga mencakup konfirmasi pemesanan, serta prosedur keselamatan untuk penumpang, seperti diberikannya helm dan masker. 

Sayangnya, ada pihak-pihak yang menentang keberadaan GO-JEK ini. Mereka menganggap bahwa GO-JEK mengambil rezeki mereka dan menjadi ancaman bagi eksistensi ojek-ojek konvensional. Pihak-pihak inilah yang, di beberapa artikel berita, memberikan ancaman bagi para driver GO-JEK. Driver GO-JEK pun jadi nggak bisa bekerja dengan tenang, karena takut dengan ancaman yang bisa membahayakan mereka. Nah, perilaku oknum-oknum tersebut apakah hanya merugikan GO-JEK saja kah? Bagaimana dengan pengguna jasa GO-JEK yang sudah menunggu untuk dijemput, tapi akhirnya nggak dijemput karena driver GO-JEK dicegat oleh oknum-oknum tersebut dan disuruh pergi, sehingga nggak bisa menjemput pelanggan? Bagaimana dengan penumpang GO-JEK yang jadi ikut kena sasaran oknum-oknum yang mungkin bersifat anarkis? 

Sebagai pengguna jasa, saya punya hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Walaupun itu sebatas naik angkot atau ojek, tetap saja disitu saya menggunakan jasa mereka, membayar mereka dengan harapan saya mendapatkan pelayanan yang baik. Misalnya, ada sebuah restoran yang memberikan pelayanan yang buruk kepada pelanggannya, apakah pelanggan yang datang mau balik lagi? Kemungkinan nggak, 'kan? Beda dengan restoran yang memberikan pelayanan yang baik untuk pelanggannya. Si pelanggan akan merasa puas dan kemungkinan besar akan kembali lagi, dan mungkin merekomendasikan restoran itu ke keluarga atau rekan-rekannya. Hal yang sama juga, bagi saya, berlaku untuk jasa kendaraan umum. Sejak kena getok harga, saya berhenti menggunakan jasa ojek konvensional yang mangkal di pertigaan jalan Cihanjuang. Saya berani blak-blakan saja sebut tempatnya karena memang perilaku oknum-oknum abang ojek (tidak semua ya begitu ya, harus diingat) yang dengan beraninya main getok harga untuk jarak tempuh yang bahkan kurang dari satu kilometer. Selain getok harga, sikap yang kurang sopan pun bikin saya semakin enggan untuk menggunakan lagi jasa ojek konvensional tersebut. Saya bahkan sekarang pun mulai menghindari penggunaan jasa angkot Cimahi-Ledeng. Bukan sekali dua kali saya mengalami ketidakadilan dari si supir dan juga koordinator angkot yang maksa harus mengangkut penumpang dengan beban yang melebihi daya angkut kendaraan. Apakah saya kebagian tempat duduk sedikit sampai kadang-kadang jatuh, atau ditagih ongkos lagi sampai pernah tangan saya ditarik paksa oleh supirnya dan sikut saya kena spion, yang jelas pelayanan seperti itu bukanlah pelayanan yang saya harapkan. 

GO-JEK sejauh ini menurut saya memberikan pelayanan yang lebih baik, meskipun ojek konvensional langganan saya pun memberikan pelayanan yang baik juga. Kalau begini, nggak salah kalau saya lebih memilih GO-JEK. Jangan salahkan juga orang-orang kalau mereka pindah dan menggunakan jasa baru yang memberikan pelayanan lebih baik. Kita bayar karena kita ingin pelayanan yang baik. Saat orang-orang mulai beralih ke GO-JEK, apakah itu artinya GO-JEK mengambil rezeki mereka? Menurut saya sih nggak. GO-JEK deserves it. Kalau mereka memberikan pelayanan yang lebih baik dan orang-orang suka, ya wajar lah. Lalu maksud dari 'merebut rezeki orang' itu apa? Itu hanyalah excuse dari oknum-oknum yang merasa terancam dengan kehadiran GO-JEK. Mereka seperti merasa tersaingi dengan para driver GO-JEK yang bisa dapat penumpang. Sejauh ini saya belum mendengar berita driver GO-JEK melakukan kekerasan pada abang ojek konvensional. Justru saya pernah dengarnya driver GO-JEK yang jadi sasaran ancaman. Untuk bisa bersaing dengan GO-JEK, ojek-ojek konvensional harus mau meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Coba mulai dari transparansi harga dan cara mengemudi yang aman. Penumpang itu manusia loh, bukan benda mati. 

Kesan pertama saya tentang GO-JEK? Bagus. Saya puas dengan pelayanannya. Saya harap di pemesanan berikutnya saya bisa mendapatkan pelayanan yang sama bagusnya, atau bahkan lebih baik lagi. Dan kalau ditanya apakah saya akan menggunakan jasa GO-JEK lagi, jawaban saya adalah YA



PS: by the way, ini kode referral saya, siapa tahu mau dapat saldo gratis 50 ribu: 543069643

Thursday, July 9, 2015

Penerbangan pagi

Koper terakhir telah selesai kusiapkan. Koper itu kuletakkan tepat di samping koper besar berwarna biru tua dan backpack American Tourister hitam. Kutaruh windbreaker jacket Superdry-ku di atas koperku agar aku tak lupa mengenakannya nanti. Kulihat ke arah lemari pakaianku yang kini setengah kosong. Seolah tak percaya, aku membawa pergi setengah isi lemariku. Aku menyisakan beberapa pakaian di lemariku, dengan anggapan bahwa aku tak perlu membawa terlalu banyak pakaian saat aku kembali ke sini untuk berlibur. Toh lagi pula aku masih bisa mengenakan kaus kakakku yang ia tinggalkan di lemari pakaiannya. Sekarang aku mulai memahami apa yang kakakku rasakan. Mungkin seperti inilah rasanya meninggalkan rumah. Perbedaannya hanyalah jarak saja. Kakakku masih tinggal di kota yang sama, sedangkan aku tak hanya pindah kota, tetapi juga pindah pulau, bahkan pindah negara. Aku perlu pintu kemana saja, sekarang juga! Pasti senang rasanya jika ada pintu kemana saja. Jarak jauh pun tak menjadi masalah. Aku tak perlu mempersiapkan pakaian sebanyak ini. Aku masih bisa tinggal di rumah meskipun kampusku berada di negara tetangga.

“Reyhan?”

Aku melirik ke arah pintu. Ayah berada di ambang pintu, melihat apa yang sedang kulakukan di kamarku. Ia sepertinya baru saja selesai melaksanakan solat Subuh karena ia masih ada peci hitam di atas kepalanya.

“Buku-buku yang penting sudah dibawa?” tanya ayah.

Aku mengangguk pelan.

“Itu kok biola belum dimasukkan ke tempatnya?” tanya ayah lagi.

Aku melirik ke arah meja belajarku, dimana kutaruh biolaku begitu saja di atasnya. Aku menghela nafas pendek kemudian bergegas memasukkan biolaku dan penggeseknya ke dalam tasnya. Kuperiksa kembali kelengkapannya. Penggesek cadangan, damar, dan senar cadangan sudah ada di dalam tas. Buku-buku partitur sudah kumasukkan di tas terpisah.

“Kalau sampai ketinggalan nanti repot,” ujar ayah, “Apalagi biola ‘kan akan jadi senjata kamu nanti di perkuliahan.”

“Ya, ayah,” jawabku pelan.

Ayah kemudian pergi dan kini tinggal aku sendiri di kamarku. Astaga! Hanya dalam waktu beberapa jam saja aku sudah akan berada jauh dari kamarku. Aku akan merindukan kamarku. Aku akan merindukan semuanya. Tiba-tiba aku teringat ada seseorang yang harus kutemui untuk kuucapkan salam perpisahan. Setengah berlari aku menuju dapur dan melihat keluar melalui jendela dapur. Ah! Syukurlah aku melihatnya di luar! Sosok Alan nampak sedang duduk di kursi kecil di dekat jemuran pakaian. Kubuka pintu dapur dan, bertelanjang kaki, aku menghampirinya. Alan kemudian melihatku. Bibirnya yang pucat membentuk sebuah senyuman kecil.

“Alan, sedang apa?” tanyaku.

“Duduk saja,” jawabnya.

Aku pun duduk di sebuah tembokan pendek yang dulunya ayah gunakan untuk menyimpan pot-pot tanaman besar. Alan ikut duduk di sampingku. Ia memperhatikan wajahku dan menepuk bahuku. Pada awalnya, tangannya terasa sangat dingin, namun berangsur-angsur terasa hangat.

“Hari ini berangkat?” tanya Alan.

“Ya. Sekarang tinggal menunggu mas Eza buat antar ke bandara,” jawabku.

Viool dibawa juga?” tanyanya.

“Ya. Kalau tidak dibawa, nanti tidak bisa apa-apa disana,” jawabku.

“Aduh. Tidak bisa dengar jou main viool lagi,” sesalnya.

Mataku mulai terasa sembab. Rasanya aku tak ingin meninggalkan rumah ini. Aku tak ingin pergi! Aku ingin disini saja! Tolong batalkan penerbangannya dan buat surat pengunduran diri untukku! Sayangnya sudah terlambat untuk mengatakan bahwa aku ingin melanjutkan sekolahku disini saja. Aku tak mau meninggalkan semuanya.

Wees niet bedroefd. Reyhan, wees niet bedroefd,” ujar Alan pelan.

Aku menyeka air mata di sudut mataku.

Dank je, Alan,” ujarku pelan, “Ik zaal je missen.”

Ik zaal je missen, ook.”

Kudengar klakson mobil dari arah depan rumah. Mas Eza pasti sudah tiba. Aku pamit pada Alan dan masuk kembali ke dalam rumah. Ayah baru keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah ruang tamu. Ia nampak rapi, seolah-olah sudah siap untuk mengantarku ke bandara. Tapi aku adalah cerita yang lain. Kurasa aku belum siap, belum siap secara mental. Sambil membuka pintu ruang tamu, ayah berseru padaku untuk bersiap-siap dan berganti baju. Dengan malas kuganti pakaianku dan kukenakan windbreaker jacket-ku yang di Singapura nanti tak akan ada gunanya. Jujur saja cuaca pagi ini memang sangat dingin. Kurasa ini karena hujan lebat turun kemarin malam.

“Rey udah siap?” kudengar suara kakakku dari arah ruang tamu.

“Sudah. Koper-kopernya masukkan saja ke bagasi,” jawab ayah.

Aku tak mau melihat wajah kakakku! Aku tak mau melihatnya saat ini! Aku tahu jika aku melihatnya, aku akan semakin tak sanggup untuk pergi. Kudengar langkah kaki yang berjalan ke arah kamarku. Aku harus melakukan sesuatu, mungkin bersembunyi atau berpura-pura mencari sesuatu di dalam lemariku agar aku tak harus melihat kakakku. Sosok mas Eza pun kemudian masuk ke kamarku, menyapaku, mengambil koper-koperku dan membawanya keluar untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Saat itu aku sedang pura-pura mencari sesuatu di dalam lemari pakaianku yang sudah setengah kosong. Mas Eza pun kembali lagi ke kamar, namun kali ini memanggilku.

“Rey?” panggilnya.

“Ada apa?” jawabku.

“Lagi ngapain?” tanyanya.

Nyari sesuatu,” jawabku.

“Sesuatu? Ada yang ketinggalan? Bukannya semua udah kamu masukkan? Lemari kamu sampai sudah kosong setengahnya begitu.”

Aku terdiam. Percuma aku berbohong karena kakakku pasti tahu aku sudah memasukkan semua yang harus kubawa ke dalam koperku. Kukira kakakku akan mengatakan hal yang membuatku semakin tersudutkan, namun ia justru hanya menyuruhku bergegas dan meninggalkanku di kamarku. Kini aku sendirian di kamarku. Kututup pintu kamarku dan kusandarkan punggungku pada pintu kamar. Kupandang kamarku sekali lagi. Semuanya telah rapi, siap untuk kutinggalkan. Bantal, guling, dan selimutku telah tertata rapi. Tak ada buku-buku yang tergeletak begitu saja di atas meja belajarku. Semuanya sudah rapi. Kuseka air mata di pipiku. Cat tembok kamarku, bau kayu lemari pakaian, retakkan pada cermin, serta gorden berwarna coklat tua. Aku akan merindukan ini semua.

“Reyhan, ayo kita berangkat sekarang,” sahut ayah dari luar kamarku.

Aku pun kembali menyeka air mataku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja di hadapan ayah dan kakakku. Mbak Alia tidak ikut mengantarku ke bandara. Mungkin ia tak tega jika harus membawa si kecil Dira pergi pagi-pagi sekali, hanya untuk mengantarku. Toh lagipula aku sudah berpamitan padanya kemarin sore. Aku bahkan berkali-kali mencium dahi Dira dan memeluknya, berjanji padanya bahwa saat aku pulang untuk berlibur, aku akan membawakannya mainan. Aku tak sempat melihat dapur dan ruang keluarga karena ayah telah berdiri di ambang pintu depan, bersiap-siap untuk menutup pintu. Segera kukenakan sepatuku dan setengah berlari menuju mobil. Sengaja aku duduk di seat belakang agar aku tak perlu bersebelahan dengan kakakku. Bagaimana jika tiba-tiba aku menangis lagi dan kakakku melihatnya? Mobil bergerak mundur, keluar dari pelataran. Aku sempat melihat lagi Alan, kini berdiri di dekat pohon mangga sambil memperhatikan kami. Aku benar-benar akan merindukannya. Ia pasti akan semakin kesepian setelah aku pergi. Toh selama ini yang bisa melihatnya hanya aku.

Kami pun pergi menuju bandara. Mas Eza mengendarai mobil dalam kecepatan yang cukup tinggi untuk mengejar waktu. Check-in dilakukan satu jam sebelum penerbangan. Segala sesuatunya nampak terburu-buru, seolah-olah aku harus segera tiba di bandara secepat mungkin. Itu artinya akan semakin cepat aku berpisah dengan ayah dan kakakku. Aku tak ingin pergi! Aku ingin pulang saja!

“Kalau mau beli sarapan di pesawat, beli saja,” ujar ayah.

“Nanti aja, yah, kalau udah sampai di Singapura,” jawabku.

“Atau kamu beli aja cemilan apa gitu buat dimakan di pesawat,” sambung kakakku.

“Rey bawa biskuit di tas,” jawabku pelan.

Menyebut kata ‘biskuit’ saja rasanya sulit sekali. Aku benar-benar tak boleh banyak bicara. Jika tidak, suara isakan itu akan kembali terdengar dan akhirnya ayah dan kakakku tahu bahwa aku sedang menangis. Kenapa aku begitu cengeng? Ini benar-benar mengesalkan! Jalanan yang lengang membuat perjalanan terasa begitu cepat. Perjalanan dari Tamansari menuju bandara pun dapat ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam. Ini juga karena mas Eza mengemudi dalam kecepatan tinggi. Jujur saja aku selalu takut jika mas Eza mulai mengebut. Setelah mobil terparkir, mas Eza dan ayah membantuku membawakan koper-koper dan tasku. Gila! Aku harus membawa dua buah koper dan satu buah backpack! Belum lagi biolaku! Apa yang akan kulakukan setibanya di Changi nanti? Mencari porter untuk membawakan barang-barangku? Ah, yang benar saja!

“Nanti coba minta tolong seseorang untuk bawakan koper-koper dan tas kamu ke taksi,” ujar ayah.

“Mungkin ada porter yang bisa bantu kamu, atau kamu pakai troli aja sampai taksi,” sambung mas Eza.

Aku mengangguk pelan. Kini kami telah berada di selasar luar bandara. Jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Itu artinya aku harus segera melakukan check-in. Tak ada banyak waktu untuk mengobrol lebih lama dengan ayah dan kakakku. Aku harus segera masuk. Ayah memelukku, cukup lama karena aku sempat terisak pelan dalam pelukannya. Ia mengusap kepalaku dan berpesan padaku untuk selalu menjaga diri. Dan dalam momen itu, aku akhirnya melontarkan kalimat yang kurasa tak selalu kukatakan pada ayah secara langsung.

“Reyhan sayang ayah,” ujarku terbata-bata.

Ayah kembali mengusap kepalaku, kemudian ia melepaskan pelukannya. Kini aku harus menghadapi kakakku yang, saat melihatku menangis, telah menyiapkan saputangannya. Ia yang menyeka air mataku. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Aku terisak hebat saat mas Eza memelukku. Bahkan saat mas Eza menyuruhku untuk berhenti menangis dan mencoba melepaskan pelukannya, aku menahannya. Ini pertama kalinya aku pergi jauh dan tak akan kembali dalam waktu yang lama, meninggalkan rumah dan keluargaku. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, terutama karena selama ini aku terbiasa bersama ayah dan kakakku. Selain itu, kakakku juga menjadi sosok yang paling dekat denganku, terutama setelah kepergian ibu. Saat mas Eza belum menikah, ialah sosok yang setiap harinya menemaniku belajar, mengobrol, dan bermain. Aku seringkali mengunjunginya di kamarnya, menjahilinya saat ia sedang mengerjakan tugas atau sekedar bermain Dota. Mas Eza pun terkadang masuk ke kamarku, memecah konsentrasiku saat belajar karena ia banyak bicara tentang hal-hal yang konyol, dan pada akhirnya tertidur di tempat tidurku dengan laptop yang masih menyala. Bagaimana bisa aku melupakan hal-hal itu, yang selama bertahun-tahun kujalani?

“Reyhan, kamu harus udah check-in sekarang,” ujar mas Eza.

“Rey nggak mau pergi,” ujarku pelan.

“Nanti telat. Ayo masuk sekarang,” tegas mas Eza.

“Rey masih—“

“Jangan cengeng! Masuk sekarang!”

Aku terkejut. Kakakku membentakku di depan umum. Aku pun melepaskan pelukanku dan menyeka air mataku. Akhirnya kulihat wajah kakakku. Matanya nampak merah dan sedikit berair, tapi ia tak mau menunjukkan padaku bahwa ia sedang sedih saat ini. Tanganku masih gemetaran saat aku mencoba membawa kedua koperku dan mulai berjalan menuju pintu masuk ke dalam bandara. Ayah dan mas Eza mengantarku, dan berhenti saat aku mulai memasuki titik pemeriksaan. Kutunjukkan paspor dan tiket pesawatku pada petugas, sementara semua barang bawaanku masuk ke dalam mesin pemeriksaan.

“Nanti mas Eza sesekali  berkunjung ke sana. Kalau ada apa-apa selalu berkabar ya!” seru kakakku.

Aku berbalik dan melihat kakakku. Ia tersenyum kecil. Kubalas senyumannya dan aku pun kembali berjalan.
Kini aku telah berada di dalam bandara, di antara orang-orang yang tak kukenal. Aku benar-benar sendirian sekarang, tanpa ayah dan kakakku. Segera kulakukan check-in sebelum aku benar-benar terlambat. Meskipun aku sangat ragu bahwa aku bisa melewatinya sendiri, aku tetap harus melakukannya. Aku benar-benar tak mau membuang banyak waktu. Semua prosedur segera kulakukan dan aku pun akhirnya berjalan sendiri menuju ruang tunggu. Ada banyak orang di sana dan aku benar-benar merasa kikuk. Kukeluarkan ponselku dan kuperiksa pesan-pesan yang masuk. Teman-temanku rupanya mengirim pesan-pesan perpisahan padaku. Yang benar saja! Kalian ingin aku menangis sekarang? Di tengah keramaian seperti ini? Aku pun membalas pesan mereka satu persatu dan ada kesedihan tersendiri saat kukatakan pada mereka bahwa dalam waktu beberapa jam lagi nomor ponselku sudah tak dapat mereka hubungi, namun aku berjanji aku akan memberitahu mereka nomor ponsel baruku segera setelah kudapatkan kartu seluler baru di Singapura.
Gea Kamila 
5.28 AM - Tenang aja, Rey. Kita masih tetap bisa komunikasi kok. Semangat!


Adriandra Wilander 
5.29 AM - Masih ada LINE kok. Tenang aja. Take care ya disana. Cepet pulang :(

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Terdengar pengumuman bahwa seluruh penumpang penerbangan menuju Singapura telah dapat naik ke pesawat. Kukenakan kembali backpack-ku dan ikut mengantri bersama penumpang lain untuk dapat turun dari ruang tunggu dan masuk ke pesawat. Aku pun kembali sadar aku semakin jauh dari ayah dan kakakku. Mereka mungkin telah kembali pulang. Mereka mungkin sudah berada dalam perjalanan menuju Tamansari. Ayah mungkin nanti akan bersiap-siap untuk kembali bekerja, begitu pula kakakku. Sahabat-sahabatku saat ini mungkin juga sedang bersiap-siap untuk menyambut hari ini. Mereka juga pasti sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk kehidupan baru mereka sebagai seorang mahasiswa, sama sepertiku. Dua orang pramugari menyambutku, menyapaku dengan ramah. Sepuluh. Ah, sepuluh! Sepuluh F! Setelah menemukan nomor tempat dudukku, aku pun menaruh tasku di bagasi atas tempat duduk. Yang kubawa hanyalah pemutar musikku dan headphone. Syukurlah aku mendapat tempat duduk di sebelah jendela. Setidaknya aku memiliki sesuatu yang dapat kulihat, meskipun hanya awan-awan saja. Matahari terbit akan menjadi pemandangan hebat yang kudapatkan di penerbangan pagi ini. Ya, ini karena selama ini aku tak pernah benar-benar memperhatikan matahari terbit.

Seorang anak laki-laki seusiaku menyimpan tasnya di bagasi atas, kemudian melihat ke arahku. Dari ekspresinya, sepertinya ia ingin duduk di sebelah jendela. Oh, apa daya! Kursi ini milikku! Akhirnya ia hanya tersenyum kecil dan duduk di sebelahku. Ia sempat mencoba melihat ke luar jendela, namun akhirnya ia nampak kecewa. Kurasa ia belum bisa melihat pemandangan yang ingin ia lihat, atau mungkin ia tak bisa melihat ke luar dengan jelas. 

“Mau tukeran tempat duduk?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja dari mulutku.

“Eh? Nggak kok. Nggak usah,” jawabnya.

Nggak apa-apa. Kayaknya mas mau duduk di dekat jendela,” ujarku.

“Di sini aja. Nggak apa-apa,” jawabnya seraya tersenyum kecil.

Aku membalas senyumnya. Ya sudah kalau memang tidak mau duduk di dekat jendela! Aku baru saja hendak mengenakan headphone-ku dan memutar musik saat anak itu menanyakan sesuatu padaku.

“Liburan?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan.

“Kuliah. Maksudku, baru mau kuliah. Semester satu,” jawabku.

“Wah? Sama dong! Kuliah dimana?” tanyanya.

“NUS, tapi di konservatorium musiknya,” jawabku.

“Sama! Aku juga di NUS, tapi ambil bahasa Inggris,” jawabnya.

Aku tersenyum kecil. Ini benar-benar kebetulan. Aku duduk bersebelahan dengan seorang anak yang juga melanjutkan studinya di NUS. Apakah ia juga mengalami apa yang kualami? Apakah ia merasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya disini? Anak berkacamata itu kemudian menyodorkan tangannya padaku.

“Kita belum kenalan. Rendra,” ujarnya.

“Reyhan,” jawabku seraya membalas jabatan tangannya.

Rendra mengernyitkan dahinya dan tersenyum kecut. Aku merasa ada yang aneh. Apa jawabaku salah? Atau mungkin, cara menjawabku kurang tepat? Rendra nampak terkejut saat aku menyebutkan namaku. Kurasa tak ada yang salah, kecuali jika ia mengetahui sesuatu yang mungkin menurutnya aneh. Rendra terus mengajakku mengobrol. Pada awalnya aku merasa kikuk. Aku jarang sekali berada dalam situasi seperti ini. Lebih tepatnya lagi, aku tak banyak bicara pada orang-orang yang tak kukenal baik, bahkan saat bersekolah dulu. Namun, sikap Rendra yang terbuka dan ramah membuatku akhirnya merasa nyaman untuk mengobrol dengannya. Ia menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dan untuk sejenak, aku lupa dengan perpisahan melankolis yang kualami.

“Reyhan, langitnya bagus!” ujar Rendra seraya menunjuk ke arah jendela.

Aku melihat keluar jendela dan kagum dengan pemandangan yang kulihat. Di bawah kami adalah hamparan awan putih, dan matahari yang baru terbit nampak keemasan, tidak begitu menyilaukan. Cahayanya masuk melalui jendela dan menerpa telapak tanganku yang dingin. Ada semacam ketenangan yang kurasakan setelah aku melihat pemandangan tersebut, seperti ada suara yang memberitahuku bahwa aku akan baik-baik saja. Mungkinkah itu ibu? Aku tak tahu pasti, namun yang jelas aku merasa jauh lebih tenang sekarang. Ya, aku memang sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabatku, namun ada sesuatu yang meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku takut aku tak dapat berteman dengan baik, dan pada akhirnya aku menjalani kehidupanku di Singapura sendirian. Aku juga takut tak dapat beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tapi sekarang ketakutan itu mulai menghilang. Aku bisa menjalaninya. Aku harus bisa.

“Jangan-jangan kita tetangga asrama?” tanya Rendra tiba-tiba.

Who knows,” jawabku seraya tertawa kecil.

"Aku di PGPR. Kamu dimana?" ujar Rendra.

"Serius? Aku curiga kamar kita sebelahan," jawabku kaget karena, tanpa kuberitahu Rendra, aku pun tinggal di PGPR. 

Sepanjang perjalanan, aku jadi tak mendengarkan musik. Aku mengobrol bersama Rendra. Banyak hal yang membuat kami terkejut, dan kami banyak tertawa sepanjang perjalanan. Rendra bersekolah di SMAN 3, namun anehnya, meskipun masih berada dalam satu kompleks yang sama dengan sekolahku, aku tak pernah melihatnya. Kami mengenang banyak hal tentang masa-masa sekolah, termasuk penjual mie baso di dekat sekolah kami yang terkenal karena rasa makanannya yang lezat. Hal yang paling membuatku terkejut adalah saat kami berdua akhirnya sadar bahwa kami didaftarkan di taman kanak-kanak yang sama. Rendra berjanji akan membawa foto bersama murid taman kanak-kanak dan memintaku menunjukkan diriku di foto tersebut. Aku ingat foto itu, foto bersama dengan murid-murid yang lain. Ada cukup banyak anak di kelasku. Aku saja bahkan tak dapat mengingat semuanya.

Awalnya aku benar-benar tak siap dengan perpisahan ini. Sejujurnya, aku memang masih belum siap. Meskipun aku senang mengobrol dengan Rendra, jujur saja masih ada keinginan untuk kembali pulang. Tapi ternyata penerbangan pagi ini tak seburuk yang kubayangkan. Aku tak benar-benar sendiri. Ya, setidaknya aku punya teman mengobrol selama di pesawat. Setidaknya aku telah mengenal seseorang yang nanti akan tinggal di asrama yang sama denganku, dan mungkin kami akan bertetangga. 

Kurasa inilah awal dari perjalananku yang sebenarnya. 

Monday, July 6, 2015

I forgot that..

Three days ago I wrote a post about being grown up. Quoting a character in a Korean children drama, I noted that happiness is not something which is set in a stone. Each of us has different ways to be happy. What makes me happy is not always what makes you happy, and vice versa, and as long as you don't sink others' boats, please do what makes you happy and make your own happiness. But lately, I've felt like I forgot what I wrote about or, rather, I kind of have indulged in hypocrisy. 

Two days ago--exactly a day after I wrote that post--my big brother came home and stayed for one night. We spent the night talking about random things, mostly about girls, since my big brother is (still) in search of a soulmate. We came to a moment when I started to feel sleepy and he felt like doing something so while I was trying to sleep, he turned on his notebook and tried to connect to the internet. He grumbled that he could not connect to the internet, and that he could not play Dota 2. He kept trying to connect to the internet and, once connected, grumbled that the signal was poor and the speed was slow. Irritated by such constant grumble, I yelled at him, telling him to stop playing Dota 2 and get a life. He told me to give it a try--playing Dota 2--since he knew I have never been into such games but I strongly refused his suggestion. I have never played such games and I'm bad at playing such games. I once signed up for RF Online and ended up neglecting the ID, complaining that the interface was so complex "I could not even understand a thing." 

The next morning he tried to connect to the internet again to play Dota 2. I suggested moving to the living room, taking his notebook with him due to the poor signal quality in our bedroom (yeah I just have to admit it). He moved to the living room, taking his notebook with him and reconnecting to the internet. I sat next to him and wondered how Dota 2 was like. I came up with the same idea, complaining that the interface was way too complex for me and I could not understand a thing. I kept asking my big brother what he was doing, what he was clicking, what creatures showing up, what the mission was, and so on. All the things made me confused and I asked him what makes him so happy to play it. I wondered why he played it a lot. I even asked him what was the point of playing the game. He told me that it was fun and I got to play it, at least once in a lifetime. The suggestion met my strong refusal, saying that I would not play such game and I would never understand a thing due to the extreme complexity. I even told him to play any other games and get a life. Thereby I admitted my inability to process complex things. Maybe this explains why my big brother does math well and I hate math. 

Now I realize I have been so selfish, urging my big brother to leave what makes him happy and follow my standard of having fun. I must have forgotten that happiness is not something which is set in a stone. I must have forgotten that Dota 2 is what makes my big brother happy, though it is not for me. I felt bad as I realized I have said such words to my big brother, even telling him to 'get a life' since he played Dota 2 a lot (well he needs to reduce the frequency of playing the game anyway). He was okay when I refused to play Dota 2. Unlike him, I was not so okay when my big brother told me Dota 2 was a great fun. I was disappointed to see that things did not go my way, that we did not share the same way of having fun. I play Pump It  Up a lot and there are times when my big brother has to sit down, waiting and watching me playing Pump It Up. He must be bored because Pump It Up is not his stuff but he never complains. He never tells me to stop playing Pump It Up. He even tried, once, though he failed a stage. 

Oh God. I feel so bad. I must have been real selfish. 

Wednesday, July 1, 2015

Being grown up does not mean not having fun

Being grown up does not mean not having fun.

Sederhana, tapi ngena. Kadang-kadang kita terlalu sibuk mikirin gimana caranya supaya kita bisa dianggap dewasa, atau setidaknya, nampak dewasa di depan orang-orang banyak. Kadang kita mencoba menjadi dewasa dengan meninggalkan berbagai hal yang kita sukai--yang membuat kita bahagia. Saya nonton video dari Buzzfeed Violet dan it sums up everything. Untuk menjadi dewasa kita nggak bisa bersenang-senang. Loh, kenapa kayak gitu?


Masih ada orang yang mengaitkan kedewasaan dengan umur. Buat saya secara pribadi, menjadi dewasa dan menjadi tua itu dua hal yang berbeda. There's a fine line between growing old and growing up. Growing old is like you are aging over time, while growing up is like being mature. Bertambah tua itu lebih ke arah fisik, sementara bertambah dewasa itu lebih ke arah mental. Am I correct? Betulkan aja deh kalau salah, toh nggak ada orang yang sempurna. 

Ya setidaknya buat saya sih seperti itu. 

Saya masih ingat dulu ibu saya pernah ngomel karena saya sering main ke arcade. Kata ibu saya, di umur saya yang udah masuk kepala dua, saya nggak seharusnya masih main ke arcade. "Do something people my age do," my mom said. Bukannya nurut, saya malah kesal dan bingung. Kesal, karena saya merasa bahwa apa yang saya lakukan menjadi kebahagiaan buat saya DAN tidak mengganggu kebahagiaan orang lain. Bingung, karena saya nggak tahu standar kegiatan yang harus dilakukan oleh orang-orang berusia 20 tahun itu seperti apa. Sejauh ini saya menjalani hidup layaknya orang-orang lain: makan, minum, tidur, buang air, dan lain-lain. Apa setelah melakukan itu saya masih belum dianggap melakukan sesuatu yang people my age do? Kejadian seperti ini juga nggak hanya terjadi sekali. Dulu di semester satu, ada teman kuliah saya yang berfikir bahwa main ke arcade itu adalah hal yang way too childish dilakukan oleh anak kuliahan. Does going to arcade and playing some games make you childish? 

Jaman SMP dulu ada seorang teman sekelas yang, pada saat tahu bahwa saya dan sahabat-sahabat saya suka main ke arcade, bilang bahwa kami belum dewasa. Plus, karena saya main Pump It Up, he told me to play games boys play

Jadi itu artinya kalau anak laki-laki main Pump It Up, dia nggak laki? Coba pelorotin aja celananya. Kalau dia punya penis, berarti dia masih laki-laki. Kenapa orang harus didikte untuk memilih permainan yang dia inginkan? Apa karena ada anak laki-laki, semisal, main Barbie satu kali, dia lantas jadi perempuan? Apa karena ada anak perempuan yang hobinya panjat tebing dia lantas jadi laki-laki? Laki-laki, walaupun main masak-masakan, tetap masih punya kemungkinan bikin perempuan hamil. Dan perempuan, walaupun main tinju, tetap masih punya kemungkinan hamil. If a girl plays Beyblade and it makes her happy, so why bother yourself dictating her to do what she got to play?

Beberapa orang terlalu senang mendikte orang lain, menentukan kebahagiaan apa yang orang lain harus dapatkan dan menentukan apa yang harus orang lain lakukan. Who the fuck are you? Mungkin terkadang kita juga begitu. Kita terlalu sibuk ngurusin orang lain, menentukan orang lain harus bahagia dengan cara yang sesuai dengan yang kita pikirkan. Ada sebagian orang yang bahagia saat baca novel kesukaannya. Ada yang bahagia saat nonton kartun kesukaannya. Ada yang bahagia saat main musik. Masing-masing orang punya caranya masing-masing untuk bahagia. Sekali lagi, seperti kata Shim Ha Na di The Queen's Classroom, happiness is not something which is set in a stone. Apa yang menurut kita bahagia, mungkin orang lain biasa saja. Begitu juga sebaliknya. Kebahagiaan itu relatif dan manusia itu berbeda-beda. Kenapa kebahagiaan mesti dibuat absolut? Buat teman saya, makan sushi itu jadi kebahagiaan tersendiri buat dia. Lalu, apa lantas saya juga harus makan sushi supaya saya bisa bahagia? Kalau saya bisa bahagia dengan makan kentang goreng McDonald's ukuran reguler, ya kenapa nggak dilakukan? 

Seorang teman me-repath sebuah post di akun Path-nya. Katanya, "Do whatever floats your boat, as long as it doesn't sink mine." Cerdas! Kita bisa melakukan apapun yang membuat kita bahagia SELAMA hal itu nggak mengganggu hak dan kebahagiaan orang lain dan nggak melanggar hukum dan norma-norma yang ada. Memangnya kalau saya main ke arcade, saya bikin kelaparan besar? Nggak, kan? Saat ada yang nggak suka melihat kita bahagia, masalahnya ada di orang itu. Dia yang bermasalah. Dia yang nggak suka melihat kita bahagia ATAU dia yang berpikiran sempit karena setiap orang harus melakukan segala sesuatunya sesuai dengan standar dia. 

Ini jadi lebih banyak membicarakan tentang kebahagiaan daripada growing up-nya. 

Oke kita kembali ke growing up. Main ke arcade, berenang, main Beyblade, main gundu, atau apapun lah nggak lantas bikin orang tidak dewasa. Kalau menjadi dewasa itu artinya having no fun, saya sih nggak mau deh menjadi dewasa. Hidup bakalan sangat membosankan. Kalau menjadi dewasa artinya selalu serius, menanggapi semua dengan serius, menutup kemungkinan-kemungkinan yang ada, menolak masukkan dari orang... rasanya membosankan buat jadi orang dewasa. BUT HEY! Being grown up does not mean not having fun, and you can do anything you want to have some fun, as long as it's not against other people's rights! 

Jadi intinya apa? 

Berhenti mendikte orang. Jangan ngatur-ngatur orang dan mencekoki dengan ide bahwa "Kalau mau hidup bahagia itu kamu harus kerjanya blablabla" atau "Hidup yang bahagia itu kalau kamu bisa menghasilkan blablabla." Ada textual evidence-nya nggak itu? Itu hasil riset mana? Menjadi dewasa itu proses yang berjalan seumur hidup. Kita semua pasti punya sisi kekanak-kanakan dalam diri kita (don't you dare say no!). Tapi kalau kamu berfikir bahwa menjadi dewasa itu artinya nggak bisa bersenang-senang dan mendapatkan kebahagiaan, coba mandi dan cuci muka dulu deh biar seger.