Cuaca hari ini cukup cerah. Berbeda dengan beberapa hari
sebelumnya. Akhir-akhir ini cuaca memang tak menentu. Aku tak pernah berharap
banyak pada langit. Ia bisa berubah-ubah begitu saja. Seperti suasana hati,
atau perasaan, bisa berubah begitu saja. Tak ada yang benar-benar pasti dalam
hidup. Bahkan untuk sesuatu yang sebelumnya kuyakin akan terjadi pun,
kenyataannya tak pernah terjadi.
“Gea?”
Aku menoleh ke samping kiriku. Seorang perempuan seusiaku
tersenyum padaku. Ia didampingi oleh laki-laki, kurasa sekitar setahun lebih
tua darinya, berperawakan tinggi besar. Aku mengernyitkan dahiku. Ia adalah
salah satu teman Reyhan yang ia kenal di SMA. Aku pun mengenalnya, namun tak
begitu akrab dengannya.
“Eh, Tania,” jawabku seraya tersenyum.
“Mau ke Reyhan juga?” tanyanya.
“Ya. Kamu juga?” tanyaku.
“Ya. Hari ini ulang tahun ‘kan dia,” jawabnya.
Aku mengangguk pelan. Pria yang bersamanya—kurasa
kekasihnya—membawa semacam parsel berisi buah-buahan dan biskuit. Jika benar ia
adalah kekasihnya, ini adalah pertama kalinya aku melihat Tania dan kekasihnya
yang pernah Reyhan ceritakan padaku beberapa bulan yang lalu. Ia sempat
menyukai Tania, namun semuanya tak berjalan seperti yang ia harapkan. Aku
bahkan merasa bahwa Reyhan sekarang justru membencinya. Bukan karena ia
cemburu, tetapi karena hal lain yang aku sendiri belum tahu pasti. Pintu lift terbuka dan kami pun segera masuk.
Di dalam lift hanya ada kami bertiga.
Tak ada obrolan di antara kami, kecuali pria itu yang bertanya pada Tania
mengenai lokasi kecelakaan yang menimpa sahabatku. Sejujurnya, pertanyaan itu
membuatku kesal. Aku curiga ia tak benar-benar bertanya; ia hanya mencoba
pura-pura peduli.
Pintu lift
terbuka dan seseorang berdiri di depan pintu. Ia menundukkan kepalanya, menatap
layar ponsel yang ia pegang. Aku meringis dan segera keluar dari lift, namun sialnya orang itu menyadari
keberadaanku dan memanggil namaku.
“Gea!”
Aku berbalik. Ia kini telah berada di dalam kapsul lift. Ada beberapa orang yang ikut masuk
ke dalam lift, sehingga aku hanya
tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Ia memintaku menunggunya, namun aku
tak akan menunggunya di depan lift.
Aku akan masuk menemui Reyhan terlebih dahulu. Untuk apa aku menunggunya? Untuk
apa aku harus mengulang kejadian yang sama, yang pernah terjadi beberapa tahun
yang lalu? Menunggu di depan pintu besar itu selama sekitar satu jam, berada di
tengah ketidakpastian, dan pada akhirnya menghadapi kenyataan pahit yang
membuat langitku semakin mendung. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyebutkan
kalimat itu yang sampai sekarang masih kuingat jelas. Kalimat itu bergema di
benakku selama berminggu-minggu, membuatku harus mengunjungi Dilla untuk
menangis. Tania dan kekasihnya terlebih dahulu masuk ke ruangan. Aku menunggu
selama sekitar satu menit sebelum akhirnya masuk ke ruangan. Di dalam ruangan
telah ada banyak orang, termasuk Dilla dan beberapa orang teman Reyhan yang
lain. Dira, keponakan Reyhan, kini telah tumbuh besar. Terakhir kali aku
melihatnya, gadis itu masih didudukkan di kereta bayi.
“Hai, Gea,” ujar Reyhan. Suaranya terdengar aneh karena
terhalang masker oksigen.
“Reyhan. Apa kabar?” tanyaku.
“Sorry. Aku keliatan lemes banget pasti,” ujarnya.
“Nggak apa-apa,
Rey. Namanya juga lagi sakit,” jawabku.
“Aku kangen kamu. Kita baru ketemu lagi sekarang. Sekalinya ketemu,
aku malah kayak gini,” ujarnya.
“Yang penting bisa ketemu,
Rey. Nanti kalau kamu udah sembuh,
kita bisa ngopi bareng lagi,” ujarku.
“Oh, ya. Andra juga udah
datang. Kamu udah ketemu dia? Tadi
dia bilang mau beli sesuatu dulu,” ujar Reyhan.
“Ya, tadi aku ketemu
dia di lift,” jawabku.
Dilla mengobrol denganku ketika teman-teman Reyhan yang
lain mengobrol dengannya. Kesibukkan kami membuat kami tak bisa bertemu
sesering dulu. Dilla juga saat ini sedang menjalankan bisnis kecil di bidang
pakaian. Ia pasti sangat sibuk.
“Main lah sesekali ke rumah,” ujar Dilla.
“Ya. Aku nanti main lagi deh ke rumah. Udah lama nggak ke sana,” jawabku.
“Aku jadi inget
loh kita dulu maraton film seharian.
Itu waktu kamu nginep di rumahku,”
kenang Dilla.
“Maratonnya kepotong
curhat. Filmnya cuman satu jam, tapi selesainya jadi tiga jam gara-gara kita curhat dua jam,” sambungku.
“Pake acara nangis dulu satu jam lagi,” tambah
Dilla.
“Oh ya, kamu masih sama dia?” tanyaku.
“Udah nggak.
Sekarang kebongkar semua tentang dia.
Selama ini ternyata dia udah punya
pacar, dan nggak hanya satu,” jawab
Dilla.
“Wah? Kenapa nggak
cerita ih!” aku terkejut.
“Ceritanya panjang deh!
Kayaknya kamu emang harus nginep lagi
di rumah deh,” jawabnya.
Pintu kamar terbuka dan kulihat sosok Andra memasuki
ruangan. Aku meringis pelan. Dilla yang tahu apa yang terjadi padaku segera
mengusap bahuku.
“Masih kesel
ya, Ge?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
“Nggak tahu,
Dil. Aku bingung sama perasaanku sendiri,” jawabku.
“Udah sekitar 3
tahun sejak kejadian itu. Hubungan kalian bahkan lebih lama dari itu,” ujar
Dilla.
“Rasanya baru kemarin,” ujarku.
Perayaan ulang tahun untuk Reyhan pun dimulai. Semua
orang tampak gembira, kecuali Reyhan yang tampak tak ceria seperti biasanya.
Bukan, bukan karena ia sedang sakit. Aku mengenalnya dengan baik. Pasti ada
sesuatu yang membuatnya murung. Ia melepaskan masker oksigennya sesaat untuk
meniup lilin ulang tahunnya. Ia kemudian mengenakannya lagi. Tempat tidurnya
dinaikkan agar ia tetap dapat bersandar sambil duduk. Ia tak mau memakan kue
ulang tahunnya sehingga potongan pertama kue itu ia berikan untuk ayahnya.
Potongan kedua ia berikan untuk kakaknya dan potongan ketiga untuk kakak iparnya.
Ia mendapatkan beberapa hadiah ulang tahun, tertumpuk rapi di atas meja, di dekat
televisi. Ketika orang-orang sedang asyik menikmati kue, aku menangkap tatapan
Reyhan yang seolah-olah memberi tahuku sesuatu. Lebih tepatnya, mungkin ia
meminta tolong. Meminta tolong untuk dibawa pergi dari ruangan ini. Meminta
kebebasan. Reyhan terkekang.
Satu per satu, teman-teman Reyhan mulai berpamitan. Aku
dapat melihat ekspresi lega di wajah Reyhan ketika Tania pamit bersama pria
itu. Aku tahu Reyhan pasti merasa sangat lega. Ia pasti jengah melihat Tania
bersama pria itu. Ia pasti tak menyukai mereka. Andra pamit sekitar 10 menit
setelah Tania pulang, disusul dengan Dilla yang sudah dijemput oleh temannya, 5
menit setelah Andra pulang.
“Gea, mau makanan?” tanya Reyhan pelan.
“Udah makan
tadi. Kamu nggak mau makanan apa gitu?” tanyaku.
Reyhan menggeleng pelan.
“Semuanya udah
diatur. Aku gak bisa makan apa yang
aku pengen,” ujarnya.
“Biskuit?” tanyaku.
“Nggak. Waktu
itu aku mau makan biskuit, tapi dimarahin
mas Eza,” jawabnya.
Aku yakin mas
Eza mendengarnya, namun ia berpura-pura tak mendengarnya dan justru sibuk
mengobrol dengan istrinya. Arlojiku menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh enam
menit. Aku pun pamit pada Reyhan dan keluarganya, serta dua orang temannya yang
masih berkunjung. Reyhan kembali menatapku dengan tatapan itu, dan aku berjanji
pada diriku sendiri malam ini aku harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
padanya. Aku turun ke lantai dasar menggunakan lift. Setelah itu, aku berniat untuk keluar dari rumah sakit
melalui pintu yang lain, namun justru tersasar ke koridor yang menghubungkan
rumah sakit dengan kapel yang berada di belakangnya. Koridor ini sangat sepi.
Ada sebuah pintu menuju ruangan remang dengan tangga antik, dan aku agak
merinding melihatnya. Tiba di ujung koridor, aku melihat ke arah kanan, ke arah
pintu kapel yang terbuka. Di antara barisan bangku-bangku gereja, aku melihat
seseorang yang kukenal, sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Aku segera
berbalik sebelum ia melihatku, namun lagi-lagi ia melihatku dan memanggil
namaku. Aku terpaksa berbalik. Kulihat ia bangkit dari bangku dan berjalan
menuju ambang pintu. Ia terhenti di sana dan menatapku.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Aku kesasar.
Mau keluar lewat pintu samping,” jawabku.
“Kalau lewat sini nggak
bisa. Ini daerah kapel. Kamu harus masuk lagi dan agak mutar,” ujarnya.
“Ah, ya. Aku masuk lagi kalau gitu,” ujarku.
“Gea, tunggu!”
Aku tertahan, sama seperti ketika ia menahanku. Ia
menahanku dengan kata-kata, bukan dengan sentuhan atau genggaman tangan. Ia
menahanku dengan cara yang sama yang ia lakukan tiga tahun yang lalu, di depan
katedral. Kami terpisah sekitar beberapa meter. Tubuhnya bahkan tak melewati
ambang pintu kapel.
“Ada apa? Aku buru-buru,” ujarku.
“Aku minta maaf,” ujarnya.
Andra kemudian menghampiriku. Aku baru menyadari bahwa
matanya berkaca-kaca. Kini kami berdiri saling berhadapan, hanya terpisah jarak
sekitar dua meter.
“Minta maaf? Untuk?” tanyaku.
“Aku minta maaf karena bikin kamu sakit hati dan kecewa,” jawabnya.
“Untuk apa? Andra, tiga tahun. Udah tiga tahun dan semuanya udah
terjadi,” ujarku.
“Aku masih nggak
bisa lupain kejadian itu, Ge. Aku
minta maaf. Aku ngerasa... Aku ngerasa bodoh. Seharusnya aku nggak—“
“Nggak apa? Nggak mutusin aku? Nggak
menyudahi hubungan kita? Nggak
pacaran sama aku sama sekali? Kamu sendiri ‘kan yang bilang waktu itu kalau
kamu percaya bahwa apa yang pastor dan teman-teman kamu bilang itu benar?”
potongku.
“Aku minta maaf, Gea! Waktu itu keadaannya serba salah.
Teman-temanku bilang kalau aku seharusnya cari pacar yang seiman. Pastorku juga
dulu menyarankan untuk cari pacar yang seiman. Keadaannya sulit. Banyak orang
yang nyudutin posisiku. Aku juga
dapat banyak tekanan,” jelas Andra.
“Aku juga harus menghadapi situasi yang sulit, Dra! Kamu
pikir aku nggak dengar omongan
orang-orang tentang kita? Kamu pikir aku nggak
tahu bahwa ada pihak-pihak yang nggak
setuju dengan hubungan kita? Kamu pikir aku nggak
ngerasa sakit setiap kali aku dengar orang-orang
bicara tentang hubungan beda agama?” balasku.
“Kamu jadi sakit hati gara-gara aku, Ge. Kamu tahu,
setiap kali aku ingat tentang kamu, aku ngerasa
berdosa. Aku ngerasa sedih. Aku marah
sama diriku sendiri,” ujar Andra.
“Buat apa marah sama diri sendiri? Andra, semuanya udah terjadi. Udah lewat. Nggak ada
gunanya kamu marah. Nggak ada
hubungan apa-apa lagi di antara kita. Andra, kita cuman temenan sekarang. Kita cuman
sahabatan. Masa-masa pacaran yang
dulu kita lalui bareng, itu cuman fase aja. Itu cuman bagian
dari kenangan masa SMP dan SMA,” tegasku.
“Dan kamu dengan mudahnya melupakan itu semua? Ge, lima
tahun kita pacaran, dari SMP sampai semester awal kuliah. Kamu lupain itu semua, seolah-olah semua itu nggak berharga?” tanya Andra kecewa.
“Andra, kamu tahu, ada beberapa hal yang lebih pantas
dilupakan atau nggak diingat sama
sekali. Kenapa? Karena setiap kali aku ingat lima tahun kebersamaan kita, aku ngerasa sakit. Sakit hati. Aku udah muak dengan rasa sakit kayak gitu. Aku capek nangis berhari-hari. Aku nggak mau lagi ingat kenangan itu,”
ujarku geram.
“Gea! Kamu nggak—“
“Aku muak sama kamu, Andra!” bentakku.
Andra terkejut. Ia menatapku tak percaya. Aku tak pernah
mengatakan hal itu sebelumnya. Setelah putus, kami tak pernah berbicara lagi.
Kami baru mulai berbicara kembali beberapa bulan yang lalu. Itu pun Andra yang
menghubungiku, menanyakan kabarku dan kabar keluargaku. Aku tak banyak membalas
pertanyaannya. Aku sudah jengah.
“Pastor dan teman-teman kamu benar. Kamu harus dengerin mereka! Aku ini bukan buat
kamu! Kamu harus cari orang lain! Aku bukan orang yang tepat buat kamu! Jangan
coba kontak aku lagi, dan kamu harusnya menyesal karena pernah jatuh cinta sama
orang yang salah!” bentakku.
Bibir Andra bergetar. Wajahnya memerah. Matanya menyipit.
Aku tahu seperti apa Andra ketika ia mulai marah. Tangannya bahkan sudah
terkepal, dan ia menahannya sekuat mungkin. Aku terkejut karena ia tiba-tiba mencengkram
tanganku dan menariknya. Ia menarikku masuk ke dalam kapel, tanpa mengatakan
apa pun. Aku kini berada di ruangan utama kapel. Langit-langitnya begitu
tinggi. Ada beberapa buah lampu hias berayun pelan. Di ujung ruangan, sebuah
salib besar tergantung di dinding. Andra menarikku dengan paksa dan tak
memedulikanku. Tak peduli sekuat apa pun aku meronta, cengkraman tangan Andra
terlalu kuat. Aku sadar bahwa ini pertama kalinya ia mencengkram tanganku
sekuat ini. Ia menarikku, membawaku ke depan altar. Di sana ia melepaskan
cengkraman tangannya. Aku tercengang. Aku melihat ke arah salib besar, Yesus
yang terpaku di salib itu, altar, dan kemudian Andra. Ia menatapku geram. Ia
tak pernah seperti ini sebelumnya.
“Kamu tahu, di depan pastorku, di depan teman-temanku,
aku bisa bilang bahwa aku akan cari orang lain. Aku akan cari perempuan yang
lain. Aku bisa bilang bahwa mereka benar, dan aku harus mengakhiri hubungan
kita. Aku bisa tertunduk patuh dan mendengarkan kata-kata mereka!” ujar Andra
tegas.
Andra tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir begitu
saja.
“Tapi di depan Tuhanku, aku nggak bisa bohong kalau aku sayang sama kamu!” ujarnya.
Aku semakin tercengang. Kini air mataku ikut mengalir,
dan aku tak dapat menahannya. Aku bisa merasakan tubuhku gemetaran. Aku
melangkah mundur satu langkah dan punggungku menyentuh salah satu sisi bangku.
Aku memegang erat sandaran bangku tersebut dengan tanganku yang gemetaran. Ucapan
Andra seperti petir yang menyambarku secara tiba-tiba.
“Sekarang, di depan Tuhanku, aku akan bilang jujur. Aku
sayang kamu,” ujarnya.
“Andra—“
“Kita nggak
bisa berbohong di depan Tuhan. Kita nggak
boleh membohongi Tuhan,” potongnya.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku juga tak bisa melakukan
apa-apa selain menatapnya. Aku hanya diam saja ketika Andra mendekatiku dan
akhirnya memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis di dalam
pelukannya yang sudah cukup lama tak kudapatkan. Kehangatan ruang kecil yang ia
buat dengan pelukannya itu kembali menyelimutiku, setelah cukup lama aku tak merasakannya.
Pelukan itu membuatku merasa aman. Aku merindukan perasaan seperti ini. Begitu
lama aku merindukannya.
Andra mengantarku sampai ambang pintu. Ia tersenyum
padaku. Aku mengangguk dan membalas senyumannya, kemudian setengah berlari
meninggalkan kapel, kembali masuk ke rumah sakit dan mencari jalan menuju pintu
samping rumah sakit. Ponselku bergetar di dalam tasku. Ia pasti sudah cukup
lama menungguku. Aku akhirnya menemukan pintu itu dan kulihat Kris ternyata
telah menunggu di sana, berdiri di depan pintu. Sosok berjaket hitam itu
tersenyum padaku, namun senyuman itu kemudian menghilang.
“Kamu habis nangis?”
tanya Kris.
Aku mengangguk pelan.
“Ada apa?” tanyanya.
“Nggak ada
apa-apa,” jawabku.
“Hei, ada apa?” tanyanya.
Kris mengusap pipiku dengan jemarinya.
“Kamu nggak
akan nangis kayak gini kalau nggak ada apa-apa. Perlu cerita
sesuatu?” tanyanya.
Aku tersenyum kecil.
“Cuman sedih aja. Kangen dengan sahabat-sahabatu. Udah lama nggak ketemu mereka.
Sekalinya ketemu, kondisinya lagi
sakit gini,” ujarku.
“Reyhan? Gimana
kondisinya sekarang? Udah membaik?”
tanya Kris.
“Jauh lebih baik, cuman
dia masih harus pakai masker oksigen. Aku nggak
tahu kenapa, padahal kelihatannya dia lebih nyaman kalau nggak pakai,” jawabku.
Kris meringis pelan.
“Biadab memang kelakuan oknum geng motor itu. Aku ikut
geram loh waktu kamu ceritakan kejadiannya. Semoga pelakunya cepat tertangkap.
Katanya sih polisi dapat lebih banyak
ciri-ciri tentang pelakunya,” ujar Kris.
“Semoga cepat ditangkap pelakunya,” ujarku.
Kris kemudian memelukku dan menenangkanku. Sayangnya
pelukan itu terasa berbeda.