Dengan
terburu-buru Alia mengambil kunci mobil dari atas meja kerjaku. Ia kemudian
memanggil namaku dengan tegas dan pergi. Aku meringis kesal. Kumatikan
komputerku dan aku pergi mengejar Alia. Ia baru saja masuk ke mobil dan menutup
pintu dengan kasar. Aku menyusulnya, masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya. Ia
tampak sangat kesal. Ia tak pernah merengut seperti ini. Tapi asal ia tahu
saja, aku pun sudah cukup kesal dengan semua keluhannya.
“Dira nggak boleh dengar kita berantem,” ujar Alia.
“Apa lagi
sih yang mau kamu keluhkan?” tanyaku kesal.
Alia tak
menjawab. Ia hanya duduk kaku, melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Sekarang
kamu nggak jawab apa-apa. Gimana aku tahu apa yang kamu
permasalahkan?” tanyaku.
“Dari satu
minggu, berapa banyak waktu yang kamu punya yang bisa kamu luangkan buat aku
dan Dira?” tanya Alia sinis.
“Kerjaanku
sekarang-sekarang ini memang lagi padat. Aku minta kamu paham,” tegasku.
“Kamu minta
aku paham? Udah tiga minggu kamu
pulang larut malam, bahkan di akhir pekan. Waktu aku minta tolong kamu antar
aku belanja kebutuhan bulanan, kamu bilang nggak
bisa. Waktu aku bilang Dira ingin main, kamu bilang kamu nggak bisa nemenin karena
kamu sibuk. Aku capek sama kamu dan kesibukan
kamu!” jawab Alia.
“Aku ‘kan udah bilang, aku nggak bisa antar kamu karena aku ada rapat. Soal Dira yang ingin
jalan-jalan, minggu kemarin ‘kan aku udah
ajak kalian main,” jelasku.
“Quality time bersama keluarga cuman satu jam. Setelah itu kamu balik
lagi ke kantor dan aku terpaksa pulang sendiri sama Dira. Itu maksud kamu?”
balasnya ketus.
“Seenggaknya aku berusaha buat ada untuk
kalian. Aku minta kamu hargai usaha aku. Kenapa susah banget sih hargai usaha aku? Kamu sendiri banyak ngeluh. Arisan kompleks lah, tagihan ini
itu lah, sampai urusan sofa kamu keluhkan juga,” jawabku.
“Kamu sadar
nggak sih satu minggu kemarin
jaringan internet di rumah bermasalah? Kamu juga sadar nggak sih kalau selama ini bak cuci dapur bocor? Apa kamu yang
telepon pihak provider buat betulkan
jaringan internet kita?” balas Alia.
“Aku udah betulkan bak cuci, Alia!” tegasku.
“Kamu baru
betulkan pas selang bak cuci lepas dan dapur kita kebanjiran!” balas Alia.
“Aku juga
‘kan sudah minta upgrade layanan
internet, Alia. Kamu mau minta apa lagi? Akhir-akhir ini kamu banyak
permintaan. Ingin televisi untuk di kamar lah, AC untuk di kamar Dira lah, uang
belanja bulanan dinaikkan lah. Kamu pakai apa sih uang belanja kita?” jawabku.
“Kamu kira
kebutuhan kita itu sedikit? Kamu kira harga barang-barang pada murah? Aku nombok pakai uangku sendiri, Za!” balas
Alia.
“Terus apa
maksudnya kamu buat status di Facebook tentang ingin liburan, tapi suami
terlalu sibuk? Kamu bilang kamu mau coba ngerti,
tapi kamu malah nyindir suami sendiri
di Facebook!” tantangku kesal.
“Emang aku nggak boleh punya keinginan buat liburan? Apa aku nggak boleh buat istirahat sejenak?
Selama ini aku yang urus rumah! Aku yang urus Dira! Apa kamu ngerasa udah jadi ayah yang baik buat Dira?” balas Alia.
“Kalau nggak ada aku, kalian nggak akan bisa hidup seperti sekarang!
Aku yang cari kerja! Aku yang cari uang buat nafkahin kalian!” balasku.
“Terus apa
itu artinya kamu bisa sombong dan merasa lebih baik daripada aku? Apa kamu tahu
kebiasaan-kebiasaan Dira? Apa kamu yang ajari Dira baca? Apa kamu mau ngasuh Dira, ladenin nangis dan marahnya dia?” tanya Alia.
“Kalau nggak ada aku, kalian mau gimana? Aku seperti ini karena aku lagi
berusaha supaya kalian bisa tetap hidup enak!” tegasku.
“Kamu pikir
aku nggak bisa apa-apa? Kamu anggap aku lemah sampai kamu pikir aku nggak bisa cari nafkah buat aku dan
Dira? Jangan bodoh ya, Za! Pas kita masih kuliah pun aku udah kerja. Inget! Aku
yang ajarin Reyhan bahasa Inggris di
tempat lesnya! Kamu sendiri apa? Apa kamu udah
kerja waktu itu? Kerja kamu ‘kan cuman
jalan-jalan!” balas Alia.
“Jangan sok
tau kamu! Tau apa kamu tentang kerjaanku?” bantahku.
“Memang gitu kenyataannya!” jawab Alia.
“Kalau gitu tunjukkin
kalau kamu juga bisa bantu aku buat cari nafkah! Kamu udah nggak ngajar lagi bahasa Inggris atau jadi
guru les. Dari mana kamu mau dapat uang kalau bukan dari aku? Apa kamu sama
Dira bisa hidup tanpa aku? Aku yang banting tulang! Aku yang begadang sampai
sakit! Aku yang kerja keras buat hidupin
kalian!” tantangku.
Alia
menatapku tak percaya.
“Aku nggak nyangka kamu bakalan
searogan ini,” ujarnya.
“Apa
susahnya sih hargai usaha aku?!” tanyaku ketus.
“Kamu pikir
aku nggak capek ngurus rumah
sendiri?! Aku perlu dukungan kamu, Za! Aku perlu kamu! Ke mana kamu selama ini?
Dua minggu yang lalu pun kamu sama sekali nggak
pulang!” balasnya.
“Aku udah bilang aku kerja lembur! Aku lembur
sampai aku sakit, Alia! Kamu nggak
ingat Adit bilang apa ke kamu? Aku pingsan di kantor!” tegasku.
“Kamu
pingsan di kantor. Gimana dengan aku?
Aku capek, Za! Aku capek urus rumah sendiri!” balas Alia, “Waktu kamu pulang,
kamu langsung gitu aja peluk-peluk
dan cium leher. Bukan itu yang aku butuhin,
Za! Kamu egois! Kamu mentingin diri
sendiri! Aku butuh bantuan kamu buat ngurus
rumah juga! Yang kamu pikirin pas
sampai rumah adalah kesenangan kamu sendiri!” balas Alia.
Kukepalkan
kedua tanganku. Aku tak bisa seperti ini terus. Aku lelah jika Alia terus
menuntut banyak hal. Aku berharap ia mau memahami posisiku, tapi ia tak mau.
Aku tahu ia lelah dan aku tahu seperti apa sulitnya mengurus rumah, tetapi aku
pun sedang menghadapi kesulitan yang kurasa lebih berat dari apa yang Alia
hadapi. Toh aku melakukan ini semua deminya dan Dira. Alia mulai menangis. Ia
terisak pelan. Jujur saja aku tak suka jika ia mulai menangis. Aku ingin sekali
membuatnya merasa lebih tenang dan berhenti menangis, namun ia akan kembali
mengeluh dan menyalahkan semuanya padaku. Aku tak bisa begini terus. Aku tak
bisa selalu egois pada diriku sendiri.
“Aku muak
sama kamu, Za. Aku muak,” ujarnya pelan.
Terlanjur
kesal, aku menaruh kunci mobil di atas dasbor dan keluar dari mobil. Setengah
berlari aku kembali ke rumah dan masuk ke kamarku, meninggalkan Alia yang masih
menangis di dalam mobil. Kuganti pakaianku, kukenakan jaketku dan kuambil
dompet, ponsel, serta kunci motorku. Aku pun segera keluar dari rumah. Dari
kaca depan mobil, kulihat Alia melihatku. Ia menatapku tak percaya. Aku
mengacuhkannya, mengeluarkan motorku dari garasi dan membawanya keluar pagar.
Sekali lagi kulihat ke arah mobil. Alia masih di dalam, tak kunjung keluar dari
mobil. Ia tak mau melihatku.
Ia sudah
terlanjur muak padaku.
Kupacu
motorku dalam kecepatan tinggi, melewati jalan Pasteur yang sudah lengang di
tengah malam seperti ini. Kubawa motorku ke arah flyover Pasupati. Tak sadar aku sudah berteriak keras, mengeluarkan
kemarahanku. Tak akan ada yang mendengar suaraku karena deru mesin motorku
lebih keras daripada suaraku.
“Anjing!”
umpatku.
Aku
mencapai ujung flyover, kini memasuki
jalan Surapati. Kubelokkan kemudi ke kanan saat lampu hijau menyala di
persimpangan. Di saat-saat seperti ini, rasanya aku ingin mabuk saja. Di
benakku terbayang tiga botol bir dingin di atas meja yang siap kutenggak.
Meskipun terdengar dangkal, namun itulah yang kuinginkan saat ini. Sebetulnya
bisa saja aku menghubungi adikku dan mengobrol dengannya, atau datang langsung
ke rumah orang tuaku dan menemui adikku, mungkin menginap semalam di sana. Akan
tetapi, menyadari bahwa malam semakin larut, sepertinya kedatanganku hanya akan
mengganggu waktu istirahatnya saja. Reyhan bilang saat dua hari yang lalu ia
datang ke rumahku bahwa ia merasa sangat lelah karena minggu lalu ia baru saja
menyelesaikan ujian praktek tengah semester yang menguras tenaganya. Ayah
sendiri bilang bahwa adikku, selama beberapa hari ia berlibur di sini, lebih
banyak menghabiskan waktunya di rumah dan beristirahat. Niatku mencari bar
untuk menghabiskan tiga botol bir hilang begitu saja saat kulihat seseorang,
sambil berjalan tertatih, sedang menuntun motornya. Cahaya lampu depan motorku
menyorot plat nomor yang terpasang di bagian belakang motor. Mengenali dengan
pasti plat nomor tersebut, aku segera mengejar orang tersebut dan memanggil
namanya. Aku menepi dan ia menghentikan langkahnya. Untuk sejenak kemarahan dan
kekecewaanku pada Alia mereda, berubah menjadi perasaan kaget dan bingung
dengan adanya sosok yang menuntun motor tersebut.
“Kamu
kenapa di sini? Mas kira kamu di
rumah. Ada apa?” tanyaku khawatir.
“Rey habis ketemu temen-temen. Waktu pulang, ada
anak kecil nyebrang jalan tiba-tiba.
Rey kaget. Daripada nabrak anak
kecil, Rey banting setir. Akhirnya jatuh,” jawab adikku.
“Anak
kecil? Siapa?” tanyaku.
“Kayaknya anak pengamen. Bajunya lusuh.
Dia juga bawa gelas plastik bekas air mineral,” jelas adikku.
“Lalu ini
motornya kenapa?” tanyaku. Tampak bagian samping motor matik tersebut sedikit
lecet.
“Rantainya
putus. Pasti karena jatuh,” jawab adikku.
Aku
meringis pelan.
“Mas kira kamu nggak pergi ke mana-mana malam ini. Kenapa nggak bilang kalau kamu jatuh dari motor?” tanyaku khawatir.
“Nggak apa-apa, mas. Lagian dari sini ke rumah ‘kan nggak
jauh,” jawab adikku.
“Nggak jauh? Reyhan, coba kamu pikir! Ini
sudah malam! Rantai motormu putus, lalu kamu tuntun motor dari Diponegoro
sampai Tamansari. Mau sampai rumah jam berapa? Belum lagi ini udah larut malam. Kalau ada orang yang ngincar kamu, gimana? Kamu mau dicelakai orang lain? Masih mending kalau orang yang menghadang kamu cuman ambil uang atau motor. Kalau kamu dilukai? Ditikam? Kamu mau gimana? Mau minta tolong sama siapa?
Rey, ayah sama mas udah nggak mau
lagi kehilangan siapa pun! Udah cukup
kita kehilangan ibu! Kita nggak perlu
kehilangan siapa pun lagi! Kamu adik mas
satu-satunya! Tindakan nekat kamu ini bodoh!”
Adikku
terkejut. Air mataku pun tiba-tiba menetes dan aku sendiri terkejut. Aku segera
menyeka air mataku, meskipun pada akhirnya aku terisak pelan.
“Mas Eza nggak apa-apa? Ada sesuatu kah?” tanya adikku.
“Mas cuman
khawatir, Rey,” jawabku.
“Bukan,”
sanggah adikku, “Pasti ada sesuatu yang lain.”
Aku
mengangguk pelan. Akhirnya kami meminggirkan motor kami dan duduk di pinggir
trotoar, tak jauh dari kompleks Gedung Sate. Aku hendak memulai ceritaku saat
adikku tiba-tiba pergi dan setengah berlari—dengan sedikit
terpincang-pincang—meninggalkanku. Kupanggil namanya namun ia tak membalas atau
mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua botol air
mineral. Salah satunya ia berikan padaku. Setelah merasa lebih tenang, kuceritakan
apa yang terjadi sebenarnya. Reyhan mengernyitkan dahinya saat kukatakan bahwa
Alia sudah muak padaku.
“Mas memang pernah berbuat atau bersikap kayak gimana sampai mbak Alia muak sama mas?”
tanya Reyhan.
“Pada
dasarnya dia nggak mau mas kerja. Dia ngerasa kalau mas kerja, mas nggak punya waktu buat dia dan Dira.
Mas juga dianggap nggak peduli dengan apa yang
kemarin-kemarin ini terjadi. Masalah elektronik rusak lah, atau dapur, atau
semacamnya, dia ngerasa mas nggak peduli dengan masalah-masalah itu.
Mas peduli, hanya saja mas nggak mau banyak nunjukkin reaksi. Kalau mas nggak peduli, mas nggak akan berusaha cari uang untuk bayar biaya perbaikan ini
itu,” jelasku.
“Mbak Alia pasti selama ini capek karena
sering ngurus rumah sendiri. Rey rasa
itu yang bikin dia kesal,” ujar
adikku.
“Memang. Mas paham dia capek dan kesal. Mas cuman ingin dia juga ngerti keadaan mas seperti apa. Kamu tahu ‘kan pekerjaan mas kayak gimana? Capek, Rey! Capek banget! Apalagi kalau mas
harus lembur. Mas nggak pulang ke
rumah itu karena kerja, bukan karena cari hiburan atau semacamnya. Sekarang,
kalau misalnya mas pulang kerja lalu
pergi sama teman-teman kerja buat sekadar ngopi,
apa mas salah? Mas jengah sama pekerjaan. Mas
juga perlu istirahat. Kadang-kadang saat mas
mau istirahat atau sekadar senang-senang sebentar, mas malah ditelepon dan disuruh ke kantor atau ketemu klien,” ujarku.
Kuteguk air
mineral yang adikku berikan, kemudian kuletakkan botolnya di sampingku. Mataku mulai berkaca-kaca lagi. Sekarang aku benar-benar tahu seperti apa rasanya
menjadi seorang ayah. Ayah juga dulu pasti pernah berada di posisiku saat ini.
Hidup tak semudah yang kubayangkan, dan aku tahu itu sejak aku sadar bahwa Alia
mengandung anak pertama kami, Dira. Saat Alia berkata bahwa ia muak denganku,
semuanya terasa lebih sulit bagiku. Entahlah. Ia pasti tak ingin bertemu
denganku, entah sampai kapan. Aku tak pernah melihat ia semarah ini sebelumnya.
Kurasa baru kali ini aku pun semarah dan sekesal ini padanya, sampai aku nekat
meninggalkannya di rumah bersama Dira. Aku belum siap untuk kembali ke rumah.
Aku tak akan pulang malam ini, tapi aku pun tak enak jika harus menginap di
rumah ayah. Apa yang akan ia katakan padaku saat besok ia melihatku? Aku tak
suka jika harus jujur padanya bahwa aku dan Alia bertengkar hebat. Itu pasti
akan membuatnya tertekan. Adikku tengah mengangkat ujung celananya. Tampak luka
memar dan lecet di kaki kanannya. Ia meringis saat ia tak sengaja menyentuh
luka tersebut.
“Lukanya
parah tidak? Kaki kirimu gimana?”
tanyaku sembari mencondongkan tubuhku untuk melihat luka tersebut lebih dekat.
“Memar sama
lecet aja,” jawab adikku.
“Lenganmu?
Atau kepalamu?” tanyaku lagi.
“Jaketnya
lumayan tebal, jadi lengan Rey nggak
apa-apa. Kepala Rey juga nggak
apa-apa karena Rey pakai helm,” jawabnya.
“Ayah
telepon nggak?” tanyaku lagi.
“Itu yang
Rey takutkan. Rey takut ayah telepon dan tanya Rey di mana. Rey nggak mau buat ayah khawatir. Kalau Rey
bilang Rey jatuh dan rantai motor putus, ayah pasti khawatir. Rencananya Rey
memang mau secepatnya pulang dan dorong motor sampai rumah. Pokoknya, ayah nggak boleh sampai tahu kalau Rey
jatuh,” jawabnya.
Aku
meringis pelan.
“Kamu
pulang pakai motor mas aja. Biar
motormu mas yang urus,” ujarku.
“Loh, mas sendiri gimana?” Reyhan terkejut.
“Mas bisa telepon teman mas. Ada beberapa teman mas yang tinggal di dekat sini. Atau, mas bawa motormu ke kantor dan
dititipkan semalam di sana,” jawabku.
“Lantas mas
mau pulang pakai apa?” tanya Reyhan lagi.
“Mas nggak
akan pulang dulu untuk malam ini. Entah untuk berapa hari. Mas juga malas
pikirkan kerjaan. Mungkin mas nanti izin nggak kerja selama satu atau dua hari.
Mas kayaknya perlu istirahat juga,” jawabku.
“Mas mau ke mana? Kalau mas sampai nggak pulang, mbak Alia
sama Dira pasti khawatir. Mbak Alia
juga kemungkinan telepon ayah. Nanti ayah jadi tahu kalau mas ngilang,” Reyhan semakin terkejut.
“Kamu
pura-pura nggak tahu apa-apa aja. Kamu pura-pura panik aja. Pokoknya cuman kamu yang tahu mas
di mana dan mas nggak mau kamu kasih
tahu ke siapa pun,” ujarku.
“Pura-pura nggak tahu? Rey nggak bisa. Mas suruh Rey
pulang pakai motor mas. Ayah pasti
tahu kalau Rey ketemu mas,” sanggah
adikku.
“Pokoknya mas nggak
akan pulang malam ini,” tegasku.
“Kalau gitu, Rey juga nggak akan pulang,” ujar adikku tegas.
Aku
mengernyitkan dahiku.
“Kalau Rey
pulang, Rey bikin ayah panik karena
Rey jatuh. Mas nggak pulang dan mas bikin mbak Alia, Dira, dan ayah panik. Apa pun yang kita lakukan, kita
tetap bikin semua orang panik. Kayaknya semuanya serba salah. Tapi
setidaknya, kalau Rey nggak pulang,
Rey ‘kan sama mas. Seenggaknya Rey nggak bikin mas khawatir. Mas
juga nggak bikin Rey khawatir,” jelas
adikku.
Aku
menghela nafas panjang. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Adikku harus
pulang. Ia sengaja berkata seperti itu. Ini semacam psikologi terbalik. Ia
ingin bergabung denganku ‘kabur’ dari rumah, namun pada kenyataannya ia
menyuruhku pulang. Arlojiku menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh empat
menit. Kurasa belum terlalu larut untuk mengantar adikku pulang. Tentangku
sendiri, aku dapat tinggal atau pergi ke mana pun aku ingin. Aku memang tak
akan pulang ke rumah malam ini dan keputusanku sudah bulat. Biarlah Alia
menenangkan dirinya sejenak. Aku pun perlu menenangkan diri.
“Mas antar kamu pulang,” ujarku.
“Motornya gimana?” tanya adikku.
Aku
meringis pelan, kemudian bangkit dan berjalan menuju motorku. Kubuka bagasi
motorku dan kucari tali tambang yang pernah kumasukkan dulu ke bagasi saat
menarik motor Adit yang mogok.
“Rantai
motormu lepaskan aja semua,” ujarku.
“Rantainya udah dimasukkan ke bagasi motor, kok,” jawab adikku.
Kusiapkan
tali tambang dan kuikatkan salah satu ujungnya ke motor adikku. Sementara ujung
yang satu laginya kuikatkan pada motorku. Aku jujur saja tak tahu seperti apa
kecelakaan yang dialami adikku sampai rantai motornya bisa putus seperti itu.
Mungkin saja motor itu sudah lama tidak dibawa ke pusat servis atau diperbaiki.
Kunyalakan mesin motorku dan kurasa aku sudah siap mengantar adikku pulang.
“Siap,
Rey?” tanyaku.
Adikku
mengangguk. Ia sudah menaiki motornya. Aku pun mulai melaju dengan kecepatan
sedang, takut jika dibawa terlalu cepat ikatan tali tambang akan renggang atau
bahkan putus. Sesekali kulihat adikku di belakang melalui spion motorku dan
tampaknya ia baik-baik saja. Terkadang aku harus melambatkan laju motor karena
adikku terpaksa harus mendorong laju motornya dengan kakinya. Saat mencapai
Dago, kuminta adikku mengendarai motorku dan aku yang menaiki motornya. Kami
bergantian. Arlojiku menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh sembilan menit
saat kami akhirnya tiba di rumah. Kami memasukkan motor-motor ke dalam garasi,
kemudian melepas lelah sejenak duduk di teras depan. Kulepaskan jaketku dan, di
saat yang sama, adikku melepaskan helmnya. Di bawah cahaya lampu teras, dapat
kulihat memar di pelipis kiri adikku. Memar tersebut tampak sangat jelas,
sepertinya disebabkan oleh benturan yang sangat keras.
“Rey,
kepalamu kok memar gitu?” aku
terkejut.
Adikku
menoleh ke arahku dan mengernyitkan dahinya.
“Masa?”
tanyanya.
“Kamu nggak ngerasa sakit kepala atau gimana?” tanyaku.
Belum
adikku menjawab pertanyaanku, suara klakson mobil mengejutkan kami. Di depan
pagar, sebuah mobil yang tak asing bagiku berhenti. Lampunya menyala, menyoroti
kami yang duduk di teras. Kemudian si pengemudi mematikan lampu dan mesin,
keluar dari mobil dan menatap kami. Reyhan setengah berlari ke arah pagar dan
membukanya. Ia dan si pengemudi mobil kemudian kembali ke teras. Kini aku
berhadapan langsung dengan pengemudi tersebut. Bekas air mata tampak menjejak
di pipinya. Matanya pun masih berkaca-kaca.
“Gimana kalau Rey tinggalin mas sama mbak
berdua? Kalau ngobrol di dalam,
takutnya ayah terbangun. Rey mau ganti baju dan siap-siap istirahat,” ujar
adikku.
Aku
mengangguk pelan. Pamit, adikku pun masuk ke rumah. Kini hanya ada aku dan Alia
di teras. Alia duduk di tembokan, sementara aku berdiri membelakanginya,
melihat ke arah jalan.
“Kalau
muak, kenapa nyari aku?” tanyaku.
“Za, ini
bukan tentang—“
“Semua ini
salah aku, ‘kan? Itu ‘kan yang mau kamu bilang?” ujarku.
Aku
terkejut saat Alia tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya memelukku
erat.
“Kamu tetap
orang yang aku sayang, Za,” ujarnya pelan.
Aku
meringis pelan, kemudian berbalik dan mendekapnya.
“Aku minta
maaf,” ujarku.
Alia
terisak pelan di dalam dekapanku. Kubelai lembut rambutnya dan kuusap bahunya. Kudengar
Alia pun mengatakan hal yang sama. Ia meminta maaf padaku, meskipun sedikit
terbata-bata dan tak begitu jelas karena isakannya. Sebetulnya ini semua dapat
diselesaikan dengan satu hal, pengertian. Kami harus lebih memahami satu sama
lain, mencoba merasakan seperti apa rasanya berada di posisi masing-masing. Alia
harus bisa memahamiku dan pekerjaanku, dan aku harus berusaha lebih keras untuk
mengurangi beban yang ia rasakan saat ini.
“Dira di
mana?” tanyaku.
“Aku
mendadak minta tolong Eva buat datang ke rumah. Aku nggak bisa bawa Dira karena aku nggak
mau dia lihat kita bertengkar,” jawab Alia.
“Sekali
lagi aku minta maaf,” ujarku.
“Aku juga,
Za. Aku minta maaf,” ujar Alia.
Pertengkaran
kami berakhir dengan ciuman kecil. Alia kemudian tersenyum. Kuusap lembut
pipinya. Kuputuskan untuk pulang bersama Alia. Aku akan mengendarai motorku dan
ia mengemudikan mobil. Sebelum pergi, kuajak Alia masuk untuk berpamitan dengan
Reyhan. Pintu kamarnya tertutup. Kupanggil namanya dan kuketuk pintu kamarnya. Alia
melirikku dan mengernyitkan dahinya. Ia pasti bingung karena adikku tak
menjawab sama sekali. Saat kubuka knop pintu, aku terkejut karena pintu
kamarnya tak terkunci.
Pintu kamar
adikku kubuka. Aku dan Alia disuguhi oleh hal yang membuat mata kami terbuka
lebar. Aku tercengang, begitu pun Alia. Adikku terkapar di lantai kamarnya. Darah
mengalir dari lubang hidung dan mulutnya. Bibirnya tampak pucat. Alia menutup
mulutnya dengan tangannya. Ia hampir berteriak histeris, meskipun akhirnya aku
yang berteriak memanggil nama adikku.
“Reyhan!”
Ini semua
pasti karena memar di pelipis kirinya.