Tuesday, October 6, 2015

No Murder Tonight

Televisi kini menampilkan pertunjukan musik yang disiarkan secara langsung. Menjelang pergantian tahun, berbagai stasiun televisi menampilkan acara-acara yang memperlihatkan kemeriahan momen yang hanya berlangsung setahun sekali itu. Jam menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Jalanan di depan rumah sudah mulai ramai, dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan bermotor yang mengantri ingin masuk ke area Dago yang letaknya tak jauh dari rumah. Kurasa ayah dan yang lain masih terjebak dalam kemacetan, namun aku benar-benar berharap mereka dapat segera tiba di rumah secepatnya. Ayah ‘kan tidak suka jika tehnya mulai dingin.

Kudengar sayup-sayup Nancy Bird mengalun dari arah kamarku. Kuletakkan remote televisi di atas meja kopi dan setengah berlari pergi menuju kamarku. Ponselku bergetar di atas meja belajarku dan nama ayah muncul di layar ponselku.

“Halo?” jawabku.

“Halo. Reyhan, sudah makan?” tanya ayah.

Udah. Tadi buat mi kuah,” jawabku.

“Ayah bawa ayam kremes. Kalau masih lapar, kamu bisa makan lagi,” ujar ayah.

“Memang sekarang baru sampai mana?” tanyaku.

“Ini sudah di dekat persimpangan Dago. Macet memang di sini. Ayah dan kakakmu tiba mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh menit lagi. Antrian kendaraannya panjang sekali,” jawab ayah.

Aku meringis pelan. Kurasa aku harus menghangatkan teh ayah di microwave.

“Ya udah. Rey tunggu,” jawabku.

Obrolan di telepon berakhir. Aku kini membawa ponselku ke ruang keluarga. Belum bokongku menyentuh sofa, ponselku kembali bergetar dan membunyikan Nancy Bird. Ayah meneleponku lagi.

“Ada apa lagi?” tanyaku.

“Paketmu sudah dilihat?” tanya ayah.

Udah. Tadi siang ‘kan Reyhan buka,” jawabku.

“Itu isinya apa memang?” tanya ayah.

“Hadiah dari Aline,” jawabku.

Setelah ayah puas dengan jawabanku, ia mengakhiri panggilan. Aku tersenyum kecil. Senang rasanya bisa memiliki teman yang melanjutkan studinya di bidang kedokteran. Hadiah yang ia berikan memang unik. Mungkin kapan-kapan aku harus memberikannya hadiah yang unik juga, seperti biola tua atau harmonika. Aku melihat cangkir teh ayah di atas meja. Tadi, ada banyak uap yang mengepul dari permukaannya. Sekarang, sudah tidak ada lagi uap yang mengepul. Teh ayah sudah dingin. Jelas saja dingin, karena aku membuatnya pada jam setengah delapan. Aku pun segera membawa cangkir itu ke dapur dan memasukannya ke dalam microwave. Ayah tidak suka jika tehnya dingin. Pemanasan selama tiga puluh detik kurasa sudah cukup membuat teh itu panas. Kukeluarkan cangkir teh dari dalam microwave dan kini kulihat ada uap kecil yang mengepul. Ya, ini sudah cukup panas.

Aku kembali ke ruang keluarga dan menonton televisi. Acara pertunjukan musik yang ditayangkan secara langsung itu sama sekali tidak menarik untukku. Musik yang seadanya, lirik yang terkesan murahan, dan penampilan si penyanyi yang bagiku terkesan seperti seorang pelacur mendorongku untuk meraih remote di atas meja dan mengganti saluran. Pada akhirnya, aku menonton reality show yang, setidaknya, tidak menyuguhkan musik murahan. Kudengar klakson mobil dari luar dan suara decit pagar besi yang dibuka. Ah, ayah dan kakakku sudah tiba rupanya. Kukenakan hoodie kesayanganku, hoodie Superdry biru laut yang dulu sering kukenakan ke sekolah dan berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu untuk ayah dan kakakku. Ayah lebih dulu masuk ke rumah karena kakakku masih memarkirkan mobil.

“Makan banyak tadi?” tanya ayah.

Nggak. Cuma mi kuah,” jawabku, “Aku mau ayam kremes, yah.”

Aku dan ayah berjalan menuju ruang makan. Teh yang kuhangatkan kembali sudah ada di atas meja makan. Aku membuka boks karton yang berisi ayam kremes yang ayah belikan. Mas Eza datang menyusul. Ia melepaskan parka hitamnya dan duduk di sofa. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan komputer jinjingnya. Ia memasang kabel pengisi daya dan menyambungkannya pada komputernya, kemudian menonton televisi sambil menunggu pengisian daya berlangsung.

“Rey kira ayah datang sama mbak Alia dan Dira,” ujarku heran.

“Tanya kakakmu tuh. Dia ada acara sendiri katanya,” jawab ayah.

Mbak Alia sama Dira nggak diajak?” tanyaku.

Nggak. Mas mau pergi lagi soalnya,” jawabnya seraya mengganti saluran televisi.

“Pergi? Ke mana lagi?” tanyaku.

Ketemu anak-anak. Udah lama nggak ketemu. Dekat lagian, di McDonald’s. Mas bisa jalan kaki dari rumah,” jawabnya.

Ngapain di sana?” tanyaku.

Nggak tau. Ngobrol. Mungkin sambil main Dota,” jawabnya.

Ayah duduk di kursi dan menikmati tehnya. Aku mulai menikmati ayam kremes yang ayah belikan untukku. Beberapa hari terakhir ini ayah sering pulang larut malam karena pekerjaannya. Jujur saja aku merasa kasihan karena ayah nampak sangat kelelahan. Setibanya di rumah, ia biasanya langsung mandi, berganti pakaian, dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Terkadang ia langsung tidur jika memang tidak ada sisa pekerjaan yang harus diselesaikan.

Mbak Alia jadi sendiri di rumah? Berdua aja sama Dira?” tanyaku pada ayah.

“Ya. Katanya kakakmu nggak mau bawa Alia dan Dira. Takut kemalaman,” jawab ayah.

“Malam tahun baru malah pergi sendiri. Istri sama anaknya ditinggal. So mean,” ujarku pelan.

I heard that, Reyhan,” seru mas Eza dari ruang keluarga.

Seenggaknya kalau mas mau pergi lagi, mbak Alia sama Dira ‘kan bisa diam di sini daripada hanya berdua aja di rumah,” tukasku.

“Lagi malam tahun baru kayak gini, jalanan pasti macet. Kasihan Alia sama Dira kalau harus ikut kejebak macet di jalan. Mereka bisa keburu capek duluan,” jelas mas Eza.

“Walaupun capek, seenggaknya ‘kan nggak sendirian. You’re being mean for neglecting them,” sanggahku, sambil menyobek daging kulit ayam menjadi potongan-potongan kecil.

Kakakku tertawa kecil.

No, I’m not. You always exaggerate things,” bantahnya.

Yes, you are,” aku bersikeras.

“Kamu masih marah gara-gara mas malam tahun baru mau pergi sama teman-teman dan bukan sama kamu?” tanya mas Eza, “Mas ‘kan udah bilang, kita bisa pergi besok atau lusa.”

“Lusa Rey udah balik ke Singapura. ‘Kan mas Eza yang suruh Rey jangan nunda buat balik lagi ke Singapura,” balasku.

“Kalau gitu bisa kapan-kapan, kalau kamu libur dan pulang ke Bandung,” jawab mas Eza.

Ayah menguap lebar, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Masih ada sekitar tiga jam lagi menuju tahun baru, tapi rasanya aku ingin cepat-cepat saja merayakan momen itu.

“Rasanya ngantuk sekali,” ujar ayah.

“Ayah kecapean. Beberapa hari ini ‘kan ayah pulang malam terus, dan kadang nggak cukup tidur. Mendingan ayah tidur aja,” jawabku.

Tanpa pikir panjang, ayah segera meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya. Aku tersenyum kecil. Ayah memang perlu istirahat yang cukup. Semoga ayah tidak kelelahan lagi. Jangan sampai ayah jatuh sakit karena terlalu sibuk bekerja dan sering pulang larut malam. Sejujurnya, aku juga jadi tak bisa tidur cepat selama berlibur di rumah karena harus menunggu ayah tiba terlebih dahulu. Mas Eza bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruang makan. Ia menduduki kursi yang ayah duduki sebelumnya dan memegang cangkir teh ayah.

“Kamu buatin ayah teh, masa mas nggak dibuatin juga?” tanyanya.

Aku yang masih mengunyah makananku tak bisa menjawab apapun. Aku hanya melemparkan tatapanku pada kakakku, yang ia balas dengan kerutan di dahinya.

Segitu sentimennya ya kamu sama mas?” ujarnya.

Aku kembali tak menjawab. Mas Eza meringis kesal.

Mas juga ‘kan nggak tahu kalau ada acara mendadak kayak gini. Kemarin waktu kita mau pergi, mas dapat e-mail kerjaan dan harus diselesaikan secepatnya. Hari ini, mas tiba-tiba diajak sama teman-teman,” jelasnya.

“Tapi ‘kan mas janji duluan sama Rey,” tukasku.

“Ya, mas tahu. Tapi ‘kan kalau sama kamu waktunya bisa lebih fleksibel. Mas ‘kan udah lama nggak ketemu sama teman-teman. Tentang urusan kerjaan juga, masa mas biarkan kerjaan begitu aja?” balasnya.

“Rey sekarang ‘kan kuliah di luar, mas. Apa mas nggak mikir kalau mas juga sebetulnya udah lama nggak ketemu sama Rey?” tanyaku.

“Kamu tuh kayak seolah-olah nggak ada waktu lagi aja. Kita ‘kan bisa pergi lain kali,” jawab mas Eza santai.

“Kalau pas balik ke Singapura, pesawat yang Rey naiki meledak, mas mau apa? Masih berani bilang seolah-olah Rey nggak ada waktu lagi?” tanyaku.

“Ya nggak kayak gitu juga kali. Kamu tuh mikirnya kejauhan duluan,” bantah mas Eza.

Aku tertawa kecil. Kubawa boks karton yang kini sudah tak berisi makanan lagi ke tempat sampah, lalu kucuci tanganku di bak cuci piring.

“Manis apa tawar?” tanyaku.

Tuh ‘kan masih ngambek kamu,” ujar mas Eza tiba-tiba.

“Loh, Rey tanya mas Eza mau teh manis apa tawar? Tadi katanya minta dibuatin,” tegasku.

“Teh manis,” jawabnya ketus.

Aku penasaran seperti apa sebetulnya efek hadiah yang dikirimkan oleh Aline. Ada dua buah hadiah yang Aline kirimkan untukku. Aku bilang padanya bahwa aku ingin mencoba mengawetkan serangga dan reptil kecil, dan aku membutuhkan kloroform. Salah satu hadiah yang ia kirimkan adalah sebotol kloroform. Sengaja aku memintanya untuk mengirimkannya seolah-olah itu adalah hadiah karena, jika ayah tahu aku menggunakan kloroform, ia tak akan mengizinkanku untuk mengawetkan hewan. Mungkin sambil menunggu pergantian tahun, aku akan mencoba mencari serangga atau reptil kecil yang ada di sekitar rumah untuk kuawetkan.

Kuambil cangkir bersih dari lemari dan kuisi setengah cangkir itu dengan air panas. Kumasukkan satu kantung teh dan kulihat perlahan warna air mulai berubah menjadi kecoklatan. Aku terdiam sejenak. Jika kakakku tahu waktu yang tersisa denganku tidak lagi banyak, akan berubah seperti apa ekspresi wajahnya?

“Teh manis panas,” ujarku seraya menaruh cangkir teh di atas meja.

Aku mengambil cangkir teh milik ayah yang isinya masih tersisa satu pertiga cangkir. Ayah tidak sempat menghabiskan seluruhnya, mungkin karena terlanjur mengantuk. Kubawa cangkir itu ke bak cuci dan kucuci hingga bersih. Kudengar kakakku mulai meminum tehnya. Aku tersenyum kecil. Apa tehnya kurang manis?

Kayaknya kita harus coba bicarakan masalah kita, Rey,” ujar kakakku.

“Ya udah, cerita aja,” jawabku.

Nggak bisa kayak gini. Coba kamu duduk,” tukasnya.

“Rey masih cuci cangkir,” balasku.

“Kamu itu suka kayak gini, seolah-olah menghindar. Kalau udah ngambek, nggak mau bicara,” tukas kakakku.

Mas kalau ada apa-apa suka anggap enteng. Mas pikir Rey nggak tersinggung apa setiap kali mas seenaknya batalin janji sama Rey? Mas pikir Rey nggak punya kegiatan lain, dan waktu Rey itu selalu ada buat mas?” balasku.

“Bukan kayak gitu! Mas juga ‘kan ada keperluan—“

“Kalau nggak bisa janji, jangan pernah berani janji ke orang lain!” bentakku.

Cangkir yang kucuci terlepas dari peganganku, jatuh ke dalam bak cuci logam dan membuat suara yang gaduh. Aku terdiam sejenak dan kedua tanganku mencengkram erat pinggiran bak cuci dapur. Nafasku tersengal-sengal, seolah-olah aku baru saja melakukan lari sprint dari ujung jalan Tamansari ke rumah.

Mas nggak suka ah kalau kamu mulai kayak gini!” tegas kakakku.

Kayak gini gimana? Mas nggak suka kalau Rey marah sama mas?” tanyaku.

“Kamu harusnya lebih dewasa! Coba lebih bisa pahami keadaan orang lain!” jawab kakakku.

Mas sendiri memang ngerti dengan situasi orang lain atau apa yang orang lain rasakan? Mas sendiri seenaknya ubah janji! Mas perlakukan orang seenaknya! Mas pikir Rey nggak sakit hati kalau mas batalkan janji seenaknya dan pada akhirnya malah suruh Rey buat lebih dewasa dan nggak ngambek?” balasku, “Rey marah juga ‘kan gara-gara mas Eza!”

“Terus kamu maunya apa sekarang? Mau ikut? Mau mas nggak pergi dan diem di sini?!” tanya kakakku ketus.

“Percuma!”

Aku mengambil cangkir yang terjatuh tadi dan melemparkannya ke lantai. Cangkir itu pecah dan suaranya terdengar seperti bom yang meledak tiba-tiba. Kakakku bangkit dari tempat duduknya dan menatapku geram.

“Kamu ini maunya apa sih? Bentak-bentak pakai acara lempar-lempar barang. Punya otak nggak kamu? Ayah lagi tidur, kamu malah bikin berisik! Dijaga emosinya! Kamu ganggu orang istirahat!” bentak kakakku.

“Aku nggak akan ganggu tidur ayah. Enam sampai delapan jam ayah tidur dan nggak akan kebangun hanya karena kegaduhan ini,” jawabku.

Mas Eza mengernyitkan dahinya. Ia menatapku tajam.

“Enam sampai delapan jam.. Dari mana kamu tahu?” tanyanya.

Aku tak mengatakan apa pun. Aku tak menunjukkan ekspresi apa pun. Kini kulihat ekspresi wajah kakakku berubah. Wajahnya nampak semakin merah. Ia tak pernah menatapku setajam ini.

“Kamu habis ngapain? Jawab!”

Kurasa salah satu hadiah yang Aline kirimkan untukku memang terbukti efeknya. Ayah akan tidur selama enam sampai delapan jam, dan ia tak akan terbangun oleh keributan semacam ini. Memang sudah seharusnya begitu. Ayah perlu beristirahat karena ia tidak banyak istirahat beberapa hari terakhir ini. Lagipula, ayah pasti tidak akan senang melihat apa yang terjadi sekarang.

“Enam sampai delapan jam itu waktu yang cukup, ‘kan?” tanyaku.

“Cukup.. buat apa?” tanya mas Eza.

Mata kakakku tiba-tiba terbelalak. Ia menutup mulutnya dengan tangannya, kemudian berlari ke arahku di dekat bak cuci. Ia mendorongku untuk menjauh. Di sana ia memuntahkan semuanya. Suara batuknya terdengar menyedihkan. Aku melangkah pelan menuju kulkas, membuka pintunya dan mengeluarkan salah satu botol kaca yang diletakkan berdampingan. Kupegang botol tersebut dan kubaca labelnya. Jadi apa benar cairannya dapat merusak ginjal dan hati?

“R-Reyhan... Kamu apa-apaan,” ujar kakakku terbata-bata.

Wajahnya basah karena ia mencuci wajahnya setelah muntah tadi. Kini ia nampak pucat, mungkin karena terlalu banyak batuk dan muntah. Meskipun begitu, ia masih bisa menatapku tajam. Ia nampak sangat geram padaku. Namun sayangnya, efek hadiah itu sudah menguasainya. Batuknya terdengar semakin menyedihkan.

“K-kamu tambahin apa ke teh mas?!” tanya kakakku terbata-bata.

Kakakku mencoba menghampiriku namun batuknya yang hebat membuatnya kesulitan. Ia memuntahkan cairan merah pekat itu tepat di depanku dan akhirnya jatuh tersungkur. Masih terus terbatuk dan sesekali memuntahkan cairan yang sama, ia nampak begitu kesakitan. Aku menjauhinya dan berjalan menuju rak alat-alat makan, mencari sesuatu yang mungkin dapat mengurangi rasa sakitnya. Kulihat benda itu, dengan ujung yang berkilau saat kuarahkan ke cahaya lampu. Ini dapat mengurangi rasa sakitnya, selama kakakku mau sedikit bersabar.

“Reyhan! Kamu bener-bener—“

Ia tak sempat melanjutkan kata-katanya karena yang selanjutnya keluar dari mulutnya adalah erangan keras. Erangan itu berbaur dengan sorak-sorai orang-orang yang menikmati kemeriahan malam tahun baru di sebuah acara yang ditayangkan di televisi. Kakakku pasti sangat bahagia bahwa malam ini adalah malam pergantian tahun, sampai-sampai ia ikut bersorak seperti itu di dalam rumah. Aku melepaskan tanganku dari pisau yang kini menancap di betis kanan kakakku. Telapak tanganku berlumuran darah, tapi aku bisa mencuci tanganku nanti. Rasanya tak adil jika hanya satu sisi yang terluka, jadi kucabut pisau itu dan kutancapkan dengan kuat pada betis kiri kakakku. Ia kembali mengerang kesakitan dan mencoba menendang-nendang, meskipun usahanya sia-sia saja.

“Supaya sakitnya cepet hilang,” ujarku pelan.

Sejak kapan ada genangan darah di lantai? Aku meringis pelan. Kakakku benar-benar menyusahkanku. Kalau begini, aku harus membersihkan lantai lagi. Padahal tadi sore aku sudah membersihkannya. Aku meninggalkan kakakku yang terkapar di lantai dapur dan berjalan menuju ruang keluarga, mencabut kabel pengisi daya dari stop kontak dan komputer jinjing kakakku, kemudian kembali ke dapur sambil membawa kabel tersebut dan juga komputer jinjingnya. Ia terkejut saat aku kembali dan tiba-tiba membantingkan komputer jinjingnya ke kepalanya. Benda itu hancur, mengeluarkan sedikit percikan api dan melukai kepala kakakku. Darah mengalir, dari pelipis turun ke pipi, dan akhirnya menetes dari ujung dagunya. Kabel pengisi daya kugunakan untuk mengikat kedua tangannya agar ia tak banyak bergerak. Kalau ia banyak bergerak, rasa sakit itu tak akan cepat hilang.

“Reyhan! Lepasin!” ia meronta.

Aku mencabut pisau yang menancap di betis kiri kakakku dan meletakannya di dekatku. Kubalikkan tubuhnya agar ia telentang. Wajah dan kemeja abu-abu kakakku berlumuran darah yang ia muntahkan. Ia masih terbatuk-batuk dan sesekali ada darah yang ikut termuntahkan. Mau sampai kapan ia memuntahkan darah seperti itu? Kugenggam kembali pisau yang ada di dekatku dan segera kutikamkan ke dada kanannya. Kakakku mengerang lebih keras. Itu adalah ucapan terima kasihku karena ia begitu saja membatalkan janjinya untuk menjemputku di bandara dan membuatku terpaksa pulang sendiri ke rumah. Kutikam juga dada kirinya, sebagai ucapan terima kasih karena sudah meminjam kameraku dan tidak mengembalikannya, sampai akhirnya aku tahu bahwa kamera itu ia pinjamkan pada temannya.

“Masih sakit?” tanyaku.

Kakakku tak bisa menjawab. Mulutnya terbuka dan matanya terbelalak. Aku merangkak ke meja makan dan mengambil botol yang ada di atasnya. Kubuka botol itu dan kutumpahkan isinya ke dalam mulut kakakku. Semoga dengan itu rasa sakitnya dapat segera hilang. Bibirnya mulai bergerak pelan, mungkin ia ingin mengatakan sesuatu. Aku tak tahu apa yang ingin ia katakan jika ia tak bicara. Suaranya terlalu pelan untuk bisa kudengar.

“Rey nggak tahu mas Eza ngomong apa,” ujarku.

Kucabut pisau yang menancap di dada kiri kakakku dan kutikamkan berkali-kali di lehernya. Terima kasih karena membuatku harus menjaga Dira di hari pertama aku tiba di Bandung, sementara kau pergi bersenang-senang. Terima kasih karena tak menjemputku di bandara, padahal kau sudah berjanji akan menjemputku. Terima kasih karena kau membatalkan janjimu untuk mengunjungiku di Singapura dan kau menyuruhku untuk berhenti merengek karena masih ada waktu lain, padahal kau sudah berjanji dan kau lebih memilih pergi berkemah bersama teman-temanmu. Terima kasih untuk lebih memilih bermain game bersama teman-temanmu daripada pergi berendam air panas bersama keluarga. Terima kasih karena menyebutku terlalu banyak bergantung padamu, padahal aku memang saat itu sedang membutuhkan bantuanmu. Terima kasih karena kau selalu menganggap enteng kemarahanku dan menggodaku karena aku merasa kesal padamu. Terima kasih karena kau justru tidur dan lupa bahwa kau sudah berjanji akan mengantarku ke dokter. Terima kasih karena kau justru lebih memilih untuk menghabiskan malam pergantian tahun dengan teman-temanmu, meninggalkanku, istri dan anakmu, dan ayahmu, dan justru menyuruhku untuk segera kembali ke Singapura karena kau bilang kau akan sangat sibuk dan tak bisa banyak meluangkan waktumu untukku yang kini tak lagi bertemu denganmu setiap hari.

Nancy Bird terdengar dari arah ruang keluarga. Aku membiarkan pisau itu menancap di leher kakakku dan segera berjalan menuju ruang keluarga. Aku meraih ponselku di atas meja dengan tangan yang masih berlumuran darah. Nama kakak iparku muncul di layar ponsel.

“Halo?” jawabku.

“Halo, Rey? Ayah sama mas udah datang?” tanya mbak Alia.

Udah. Udah lama malahan,” jawabku.

“Lagi pada ngapain? Eza udah berangkat lagi?” tanyanya lagi.

“Ayah langsung tidur, kalau mas Eza lagi minum teh,” jawabku.

Mbak kira dia langsung pergi lagi buat ketemu temen-temennya,” tukas mbak Alia.

Kayaknya mas Eza nggak jadi pergi lagi,” ujarku.

“Kenapa? Macet ya di jalan?” tanya mbak Alia.

Aku tertawa pelan. Kulirik kakakku yang terkapar dan bersimbah darah di dapur. Aku tak menyangka ternyata mewarnai kemeja bisa semudah ini. Sayang sekali sepertinya kakakku tak bisa bertemu teman-temannya malam ini dan memainkan permainan yang biasa ia mainkan bersama teman-temannya. Kuakhiri panggilan di telepon tanpa mengatakan apa pun dan kumatikan ponselku. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih lima menit. Aku pun kembali ke dapur, menyeret tubuh kakakku ke ruang keluarga dan mendudukkannya di atas sofa. Rambutnya basah oleh cairan merah pekat itu. Kubersihkan potongan-potongan komputer jinjing yang menempel di dahi, pipi, dan rambutnya. Kucabut pisau yang menancap di lehernya dan kubawa pisau itu ke bak cuci dapur. Kubuka kulkas dan kukeluarkan satu ember kecil es krim dan satu kaleng kripik kentang, kemudian kubawa cemilan-cemilan tersebut ke ruang keluarga. Telepon kemudian berdering. Aku yakin itu pasti kakak iparku yang mencoba meneleponku kembali. Kubiarkan telepon berdering, namun ternyata deringnya semakin lama semakin menyebalkan. Kuambil pesawat telepon itu dari atas bufet dan kulemparkan ke arah kakakku. Pesawat telepon itu mengenai pipinya dan jatuh tepat di atas pangkuannya.

Mbak Alia telepon tuh. Coba angkat,” ujarku.

Kakakku hanya diam saja. Matanya yang terbuka menatap datar layar televisi yang ada di hadapannya. Tangannya masih terikat oleh kabel pengisi daya komputer jinjingnya di belakangnya. Aku meringis pelan dan kemudian duduk di sebelahnya, menikmati es krim dan kripik kentang sambil menonton televisi.

“Rey nggak suka musik kayak gini. Penyanyinya kalau pakai baju suka terlalu seronok,” tukasku.

Aku meraih remote televisi yang ada di atas meja dan mengganti saluran televisi. Untunglah aku menemukan saluran televisi yang menyiarkan film spesial. Film komedi itu menceritakan tentang anak kecil yang tersesat sendiri di kota New York. Setiap tahun, film ini selalu ditayangkan di televisi. Sepertinya aku tak pernah bosan menonton film ini, tapi aku tak tahu apakah kakakku menikmatinya atau tidak.

“Mau es krim?” aku menawarkan es krimku pada kakakku.

Ia tak menjawab apa pun. Ah, ya sudah kalau memang tak mau. Aku akan menghabiskannya sendiri. Jam kini menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Mungkin karena aku menikmati filmnya. Aku berdiri dan melihat ke arah kakakku. Ia membuat sofa kami jadi kotor. Kalau begini, pekerjaanku akan semakin banyak. Aku harus membersihkan dapur dan menghilangkan noda yang menempel pada sofa kami. Kurasa aku bisa membersihkannya besok pagi, setelah aku membuang kakakku ke parit kecil di depan rumah. Pakaianku juga kotor. Hoodie kesayanganku ikut kotor. Kalau begini aku harus membersihkan diriku sendiri terlebih dahulu. Aku berjalan pelan menuju kamarku, memilih pakaian dan kemudian membawa pakaianku ke kamar mandi. Kutanggalkan semua pakaianku dan kunyalakan keran shower. Air hangat menghujani tubuhku. Darah yang menempel di tubuhku terbawa hanyut oleh air. Nothing to Fear bergaung di langit-langit kamar mandi. Siulanku terdengar berharmoni bersama suara air. Pandanganku terhalang oleh uap air. Kumatikan keran air dan kukeringkan tubuhku sebelum kukenakan pakaianku. Celana jin hitam, kemeja lengan panjang biru muda, dan sweter rajut hitam. Kulihat diriku di depan cermin. Kurasa aku sudah cukup rapi untuk sekedar melewati malam pergantian tahun. Kubuka pintu kamar mandi dan kulihat kakakku masih duduk di sofa. Bukankah ia bilang ia akan menemui teman-temannya?

Aku berjalan ke dapur dan melihat kekacauan yang ada. Kugulung lengan sweter dan kemejaku sampai sikut dan mulai membersihkan pecahan-pecahan gelas dan bangkai komputer jinjing yang berserakan di lantai. Kuambil lap pel dan membersihkan lantai dari cairan merah pekat itu. Setiap kali aku memeras lap pel, tanganku akan ikut terkotori oleh cairan itu. Membersihkan dapur memakan waktu yang lebih lama dari yang kuperkirakan. Setelah dapur bersih, kucuci lagi tanganku. Kuambil cangkir teh yang baru dan kuisi dengan air panas. Kumasukkan satu kantung teh ke dalam cangkir tersebut dan kubiarkan selama beberapa menit. Ponsel kakakku tergeletak begitu saja di atas meja makan. Aku memeriksanya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab. Kubuka pemutar musik di ponselnya. Shades of Cool kumainkan dan ponsel itu kuletakkan kembali di atas meja. Aku duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh ayahku dan kakakku, membelakangi ruang keluarga. Aroma teh mulai tercium, terbawa oleh kepulan uap. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa lega. Tak ada lagi yang perlu kupikirkan atau kukhawatirkan. Semuanya bersenang-senang di malam pergantian tahun ini. Tak boleh ada yang bersedih. Aku baru saja hendak mengambil cangkir tehku saat seseorang memanggil namaku. Suara itu terdengar tepat dari belakangku.

“Reyhan!”

Aku terdiam sejenak.

“Reyhan! Reyhan!”

Saat kubuka mataku, kulihat sosok Rendra dan Du Fei berlutut di depanku. Rendra mengambil cutter dari tanganku dan melemparnya jauh-jauh. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun lengan kiriku penuh dengan luka sayatan yang nampak masih baru. Aku juga sudah tak berada di ruang keluarga rumahku.

Reyhan! You should never do this again!” Du Fei menegurku.

Aku baru menyadari bahwa aku berada di flat-ku di Singapura. Kamarku berantakan, dengan buku-buku dan barang-barang lainnya berserakan di lantai. Ada percikan darah kulihat di dekatku. Du Fei dan Rendra kemudian merangkulku. Mengapa jantungku berdetak lebih cepat? Dan mengapa nafasku tersengal-sengal?

“Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kalau kamu ketahuan kayak gini lagi, aku nggak akan segan-segan hajar kamu,” tegas Rendra.

Mengapa tiba-tiba aku ingin menangis? Bukankah tadi aku merasa benar-benar lega? Aku masih ingat betul aku merasa sangat tenang dan lega. Aku tak punya lagi apa pun untuk kupendam atau kupikirkan. Aku sudah berpakaian rapi dan bersih, meskipun saat ini kusadari kedua telapak tanganku berlumuran darah.

“Kamu boleh marah atau benci sama kakak kamu, tapi jangan sampai kamu kayak gini. Sejak kamu datang tadi pagi, aku sama Du Fei bisa tebak pasti ada sesuatu yang nggak beres. Kalau ada sesuatu, bilang sama kita,” tegur Rendra.

Kemudian aku ingat bahwa aku tiba di Singapura tadi pagi, sekitar pukul sembilan. Aku datang kembali ke Singapura sendiri, meskipun rencananya aku akan datang bersama kakakku, istrinya, dan keponakanku karena ia sudah berjanji akan menghabiskan libur tahun baru bersamaku di Singapura. Aku ingat di malam sebelumnya aku bertengkar hebat dengannya karena ia membatalkan rencananya tiba-tiba. Saat aku mengungkapkan kekecewaanku, ia justru memojokkanku, menyebutku kekanak-kanakan dan berkata seolah-olah tak ada lagi waktu untuk bertemu. Karena ia tak ikut, aku juga jadi tak bisa membawa kameraku yang ia pinjam. Padahal aku sudah berencana akan membawa kameraku. Aku tak membalas pesan-pesannya seharian dan, saat aku memeriksanya, ia menyuruhku untuk bersikap dewasa dan tak mudah marah karena hal-hal sepele. Ia menyebut ini sebagai hal sepele. Ia senang menyepelekan sesuatu. Ia menyepelekan perasaanku. Bajingan seperti itu pantas untuk kuhabisi, dan aku hampir berhasil menghabisinya. 


Sayang sekali, tak ada yang mati malam ini. 

2 comments: