Televisi
kini menampilkan pertunjukan musik yang disiarkan secara langsung. Menjelang
pergantian tahun, berbagai stasiun televisi menampilkan acara-acara yang
memperlihatkan kemeriahan momen yang hanya berlangsung setahun sekali itu. Jam
menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Jalanan di depan rumah sudah
mulai ramai, dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan bermotor yang mengantri ingin
masuk ke area Dago yang letaknya tak jauh dari rumah. Kurasa ayah dan yang lain
masih terjebak dalam kemacetan, namun aku benar-benar berharap mereka dapat
segera tiba di rumah secepatnya. Ayah ‘kan tidak suka jika tehnya mulai dingin.
Kudengar
sayup-sayup Nancy Bird mengalun dari
arah kamarku. Kuletakkan remote
televisi di atas meja kopi dan setengah berlari pergi menuju kamarku. Ponselku bergetar
di atas meja belajarku dan nama ayah muncul di layar ponselku.
“Halo?”
jawabku.
“Halo.
Reyhan, sudah makan?” tanya ayah.
“Udah. Tadi buat mi kuah,” jawabku.
“Ayah bawa
ayam kremes. Kalau masih lapar, kamu
bisa makan lagi,” ujar ayah.
“Memang
sekarang baru sampai mana?” tanyaku.
“Ini sudah
di dekat persimpangan Dago. Macet memang di sini. Ayah dan kakakmu tiba mungkin
sekitar lima belas sampai dua puluh menit lagi. Antrian kendaraannya panjang
sekali,” jawab ayah.
Aku
meringis pelan. Kurasa aku harus menghangatkan teh ayah di microwave.
“Ya udah. Rey tunggu,” jawabku.
Obrolan di
telepon berakhir. Aku kini membawa ponselku ke ruang keluarga. Belum bokongku
menyentuh sofa, ponselku kembali bergetar dan membunyikan Nancy Bird. Ayah meneleponku lagi.
“Ada apa
lagi?” tanyaku.
“Paketmu
sudah dilihat?” tanya ayah.
“Udah. Tadi siang ‘kan Reyhan buka,”
jawabku.
“Itu isinya
apa memang?” tanya ayah.
“Hadiah
dari Aline,” jawabku.
Setelah
ayah puas dengan jawabanku, ia mengakhiri panggilan. Aku tersenyum kecil.
Senang rasanya bisa memiliki teman yang melanjutkan studinya di bidang
kedokteran. Hadiah yang ia berikan memang unik. Mungkin kapan-kapan aku harus
memberikannya hadiah yang unik juga, seperti biola tua atau harmonika. Aku melihat
cangkir teh ayah di atas meja. Tadi, ada banyak uap yang mengepul dari
permukaannya. Sekarang, sudah tidak ada lagi uap yang mengepul. Teh ayah sudah
dingin. Jelas saja dingin, karena aku membuatnya pada jam setengah delapan. Aku
pun segera membawa cangkir itu ke dapur dan memasukannya ke dalam microwave. Ayah tidak suka jika tehnya
dingin. Pemanasan selama tiga puluh detik kurasa sudah cukup membuat teh itu
panas. Kukeluarkan cangkir teh dari dalam microwave
dan kini kulihat ada uap kecil yang mengepul. Ya, ini sudah cukup panas.
Aku kembali
ke ruang keluarga dan menonton televisi. Acara pertunjukan musik yang
ditayangkan secara langsung itu sama sekali tidak menarik untukku. Musik yang
seadanya, lirik yang terkesan murahan, dan penampilan si penyanyi yang bagiku
terkesan seperti seorang pelacur mendorongku untuk meraih remote di atas meja dan mengganti saluran. Pada akhirnya, aku
menonton reality show yang,
setidaknya, tidak menyuguhkan musik murahan. Kudengar klakson mobil dari luar
dan suara decit pagar besi yang dibuka. Ah,
ayah dan kakakku sudah tiba rupanya. Kukenakan hoodie kesayanganku, hoodie
Superdry biru laut yang dulu sering kukenakan ke sekolah dan berjalan menuju
ruang tamu untuk membukakan pintu untuk ayah dan kakakku. Ayah lebih dulu masuk
ke rumah karena kakakku masih memarkirkan mobil.
“Makan
banyak tadi?” tanya ayah.
“Nggak. Cuma mi kuah,” jawabku, “Aku mau
ayam kremes, yah.”
Aku dan
ayah berjalan menuju ruang makan. Teh yang kuhangatkan kembali sudah ada di
atas meja makan. Aku membuka boks karton yang berisi ayam kremes yang ayah belikan. Mas
Eza datang menyusul. Ia melepaskan parka hitamnya dan duduk di sofa. Ia membuka
tasnya dan mengeluarkan komputer jinjingnya. Ia memasang kabel pengisi daya dan
menyambungkannya pada komputernya, kemudian menonton televisi sambil menunggu
pengisian daya berlangsung.
“Rey kira
ayah datang sama mbak Alia dan Dira,”
ujarku heran.
“Tanya
kakakmu tuh. Dia ada acara sendiri
katanya,” jawab ayah.
“Mbak Alia sama Dira nggak diajak?” tanyaku.
“Nggak. Mas
mau pergi lagi soalnya,” jawabnya seraya mengganti saluran televisi.
“Pergi? Ke
mana lagi?” tanyaku.
“Ketemu anak-anak. Udah lama nggak ketemu. Dekat lagian, di McDonald’s. Mas
bisa jalan kaki dari rumah,” jawabnya.
“Ngapain di
sana?” tanyaku.
“Nggak tau. Ngobrol. Mungkin sambil main Dota,” jawabnya.
Ayah duduk
di kursi dan menikmati tehnya. Aku mulai menikmati ayam kremes yang ayah belikan untukku. Beberapa hari terakhir ini ayah
sering pulang larut malam karena pekerjaannya. Jujur saja aku merasa kasihan
karena ayah nampak sangat kelelahan. Setibanya di rumah, ia biasanya langsung
mandi, berganti pakaian, dan melanjutkan kembali pekerjaannya. Terkadang ia
langsung tidur jika memang tidak ada sisa pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Mbak Alia jadi sendiri di rumah? Berdua aja sama Dira?” tanyaku pada ayah.
“Ya.
Katanya kakakmu nggak mau bawa Alia
dan Dira. Takut kemalaman,” jawab ayah.
“Malam
tahun baru malah pergi sendiri. Istri sama anaknya ditinggal. So mean,” ujarku pelan.
“I heard that, Reyhan,” seru mas Eza dari ruang keluarga.
“Seenggaknya kalau mas mau pergi lagi, mbak
Alia sama Dira ‘kan bisa diam di sini daripada hanya berdua aja di rumah,” tukasku.
“Lagi malam
tahun baru kayak gini, jalanan pasti
macet. Kasihan Alia sama Dira kalau harus ikut kejebak macet di jalan. Mereka bisa keburu capek duluan,”
jelas mas Eza.
“Walaupun
capek, seenggaknya ‘kan nggak sendirian. You’re being mean for neglecting them,” sanggahku, sambil menyobek
daging kulit ayam menjadi potongan-potongan kecil.
Kakakku
tertawa kecil.
“No, I’m not. You always exaggerate things,”
bantahnya.
“Yes, you are,” aku bersikeras.
“Kamu masih
marah gara-gara mas malam tahun baru
mau pergi sama teman-teman dan bukan sama kamu?” tanya mas Eza, “Mas ‘kan udah bilang, kita bisa pergi besok atau lusa.”
“Lusa Rey udah balik ke Singapura. ‘Kan mas Eza yang suruh Rey jangan nunda buat balik lagi ke Singapura,”
balasku.
“Kalau gitu bisa kapan-kapan, kalau kamu libur
dan pulang ke Bandung,” jawab mas
Eza.
Ayah
menguap lebar, lalu meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Kulihat jam dinding
menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Masih ada sekitar tiga jam lagi
menuju tahun baru, tapi rasanya aku ingin cepat-cepat saja merayakan momen itu.
“Rasanya
ngantuk sekali,” ujar ayah.
“Ayah kecapean. Beberapa hari ini ‘kan ayah
pulang malam terus, dan kadang nggak
cukup tidur. Mendingan ayah tidur aja,” jawabku.
Tanpa pikir
panjang, ayah segera meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya. Aku
tersenyum kecil. Ayah memang perlu istirahat yang cukup. Semoga ayah tidak
kelelahan lagi. Jangan sampai ayah jatuh sakit karena terlalu sibuk bekerja dan
sering pulang larut malam. Sejujurnya, aku juga jadi tak bisa tidur cepat
selama berlibur di rumah karena harus menunggu ayah tiba terlebih dahulu. Mas Eza bangkit dari duduknya dan
berjalan ke arah ruang makan. Ia menduduki kursi yang ayah duduki sebelumnya
dan memegang cangkir teh ayah.
“Kamu buatin ayah teh, masa mas nggak dibuatin juga?” tanyanya.
Aku yang
masih mengunyah makananku tak bisa menjawab apapun. Aku hanya melemparkan
tatapanku pada kakakku, yang ia balas dengan kerutan di dahinya.
“Segitu sentimennya ya kamu sama mas?” ujarnya.
Aku kembali
tak menjawab. Mas Eza meringis kesal.
“Mas juga ‘kan nggak tahu kalau ada acara mendadak kayak gini. Kemarin waktu kita mau pergi, mas dapat e-mail kerjaan
dan harus diselesaikan secepatnya. Hari ini, mas tiba-tiba diajak sama teman-teman,” jelasnya.
“Tapi ‘kan mas janji duluan sama Rey,” tukasku.
“Ya, mas tahu. Tapi ‘kan kalau sama kamu
waktunya bisa lebih fleksibel. Mas
‘kan udah lama nggak ketemu sama teman-teman. Tentang urusan kerjaan juga, masa mas
biarkan kerjaan begitu aja?” balasnya.
“Rey
sekarang ‘kan kuliah di luar, mas. Apa mas nggak mikir kalau mas juga
sebetulnya udah lama nggak ketemu sama Rey?” tanyaku.
“Kamu tuh kayak seolah-olah nggak ada waktu lagi aja. Kita ‘kan bisa pergi lain kali,”
jawab mas Eza santai.
“Kalau pas
balik ke Singapura, pesawat yang Rey naiki meledak, mas mau apa? Masih berani bilang seolah-olah Rey nggak ada waktu lagi?” tanyaku.
“Ya nggak kayak gitu juga kali. Kamu tuh mikirnya
kejauhan duluan,” bantah mas Eza.
Aku tertawa
kecil. Kubawa boks karton yang kini sudah tak berisi makanan lagi ke tempat
sampah, lalu kucuci tanganku di bak cuci piring.
“Manis apa
tawar?” tanyaku.
“Tuh ‘kan masih ngambek kamu,” ujar mas
Eza tiba-tiba.
“Loh, Rey
tanya mas Eza mau teh manis apa
tawar? Tadi katanya minta dibuatin,”
tegasku.
“Teh
manis,” jawabnya ketus.
Aku
penasaran seperti apa sebetulnya efek hadiah yang dikirimkan oleh Aline. Ada
dua buah hadiah yang Aline kirimkan untukku. Aku bilang padanya bahwa aku ingin
mencoba mengawetkan serangga dan reptil kecil, dan aku membutuhkan kloroform.
Salah satu hadiah yang ia kirimkan adalah sebotol kloroform. Sengaja aku
memintanya untuk mengirimkannya seolah-olah itu adalah hadiah karena, jika ayah
tahu aku menggunakan kloroform, ia tak akan mengizinkanku untuk mengawetkan
hewan. Mungkin sambil menunggu pergantian tahun, aku akan mencoba mencari
serangga atau reptil kecil yang ada di sekitar rumah untuk kuawetkan.
Kuambil
cangkir bersih dari lemari dan kuisi setengah cangkir itu dengan air panas.
Kumasukkan satu kantung teh dan kulihat perlahan warna air mulai berubah
menjadi kecoklatan. Aku terdiam sejenak. Jika kakakku tahu waktu yang tersisa
denganku tidak lagi banyak, akan berubah seperti apa ekspresi wajahnya?
“Teh manis
panas,” ujarku seraya menaruh cangkir teh di atas meja.
Aku
mengambil cangkir teh milik ayah yang isinya masih tersisa satu pertiga
cangkir. Ayah tidak sempat menghabiskan seluruhnya, mungkin karena terlanjur
mengantuk. Kubawa cangkir itu ke bak cuci dan kucuci hingga bersih. Kudengar
kakakku mulai meminum tehnya. Aku tersenyum kecil. Apa tehnya kurang manis?
“Kayaknya kita harus coba bicarakan
masalah kita, Rey,” ujar kakakku.
“Ya udah, cerita aja,” jawabku.
“Nggak bisa kayak gini. Coba kamu duduk,” tukasnya.
“Rey masih
cuci cangkir,” balasku.
“Kamu itu
suka kayak gini, seolah-olah
menghindar. Kalau udah ngambek, nggak mau bicara,” tukas kakakku.
“Mas kalau ada apa-apa suka anggap
enteng. Mas pikir Rey nggak
tersinggung apa setiap kali mas
seenaknya batalin janji sama Rey? Mas pikir Rey nggak punya kegiatan lain, dan waktu Rey itu selalu ada buat mas?” balasku.
“Bukan kayak gitu! Mas juga ‘kan ada keperluan—“
“Kalau nggak bisa janji, jangan pernah berani
janji ke orang lain!” bentakku.
Cangkir
yang kucuci terlepas dari peganganku, jatuh ke dalam bak cuci logam dan membuat
suara yang gaduh. Aku terdiam sejenak dan kedua tanganku mencengkram erat
pinggiran bak cuci dapur. Nafasku tersengal-sengal, seolah-olah aku baru saja
melakukan lari sprint dari ujung
jalan Tamansari ke rumah.
“Mas nggak suka ah kalau kamu mulai kayak gini!” tegas kakakku.
“Kayak gini gimana? Mas nggak suka kalau Rey marah sama mas?” tanyaku.
“Kamu harusnya
lebih dewasa! Coba lebih bisa pahami keadaan orang lain!” jawab kakakku.
“Mas sendiri memang ngerti dengan situasi orang lain atau apa
yang orang lain rasakan? Mas sendiri
seenaknya ubah janji! Mas perlakukan
orang seenaknya! Mas pikir Rey nggak sakit hati kalau mas batalkan janji seenaknya dan pada
akhirnya malah suruh Rey buat lebih dewasa dan nggak ngambek?” balasku, “Rey marah juga ‘kan gara-gara mas Eza!”
“Terus kamu
maunya apa sekarang? Mau ikut? Mau mas
nggak pergi dan diem di sini?!”
tanya kakakku ketus.
“Percuma!”
Aku
mengambil cangkir yang terjatuh tadi dan melemparkannya ke lantai. Cangkir itu
pecah dan suaranya terdengar seperti bom yang meledak tiba-tiba. Kakakku
bangkit dari tempat duduknya dan menatapku geram.
“Kamu ini
maunya apa sih? Bentak-bentak pakai acara lempar-lempar barang. Punya otak nggak kamu? Ayah lagi tidur, kamu malah
bikin berisik! Dijaga emosinya! Kamu ganggu orang istirahat!” bentak kakakku.
“Aku nggak akan ganggu tidur ayah. Enam
sampai delapan jam ayah tidur dan nggak
akan kebangun hanya karena kegaduhan
ini,” jawabku.
Mas Eza mengernyitkan dahinya. Ia
menatapku tajam.
“Enam
sampai delapan jam.. Dari mana kamu tahu?” tanyanya.
Aku tak
mengatakan apa pun. Aku tak menunjukkan ekspresi apa pun. Kini kulihat ekspresi
wajah kakakku berubah. Wajahnya nampak semakin merah. Ia tak pernah menatapku
setajam ini.
“Kamu habis
ngapain? Jawab!”
Kurasa
salah satu hadiah yang Aline kirimkan untukku memang terbukti efeknya. Ayah
akan tidur selama enam sampai delapan jam, dan ia tak akan terbangun oleh
keributan semacam ini. Memang sudah seharusnya begitu. Ayah perlu beristirahat
karena ia tidak banyak istirahat beberapa hari terakhir ini. Lagipula, ayah
pasti tidak akan senang melihat apa yang terjadi sekarang.
“Enam
sampai delapan jam itu waktu yang cukup, ‘kan?” tanyaku.
“Cukup..
buat apa?” tanya mas Eza.
Mata
kakakku tiba-tiba terbelalak. Ia menutup mulutnya dengan tangannya, kemudian
berlari ke arahku di dekat bak cuci. Ia mendorongku untuk menjauh. Di sana ia
memuntahkan semuanya. Suara batuknya terdengar menyedihkan. Aku melangkah pelan
menuju kulkas, membuka pintunya dan mengeluarkan salah satu botol kaca yang
diletakkan berdampingan. Kupegang botol tersebut dan kubaca labelnya. Jadi apa
benar cairannya dapat merusak ginjal dan hati?
“R-Reyhan...
Kamu apa-apaan,” ujar kakakku terbata-bata.
Wajahnya
basah karena ia mencuci wajahnya setelah muntah tadi. Kini ia nampak pucat,
mungkin karena terlalu banyak batuk dan muntah. Meskipun begitu, ia masih bisa
menatapku tajam. Ia nampak sangat geram padaku. Namun sayangnya, efek hadiah
itu sudah menguasainya. Batuknya terdengar semakin menyedihkan.
“K-kamu tambahin apa ke teh mas?!” tanya kakakku terbata-bata.
Kakakku
mencoba menghampiriku namun batuknya yang hebat membuatnya kesulitan. Ia
memuntahkan cairan merah pekat itu tepat di depanku dan akhirnya jatuh tersungkur.
Masih terus terbatuk dan sesekali memuntahkan cairan yang sama, ia nampak
begitu kesakitan. Aku menjauhinya dan berjalan menuju rak alat-alat makan,
mencari sesuatu yang mungkin dapat mengurangi rasa sakitnya. Kulihat benda itu,
dengan ujung yang berkilau saat kuarahkan ke cahaya lampu. Ini dapat mengurangi
rasa sakitnya, selama kakakku mau sedikit bersabar.
“Reyhan!
Kamu bener-bener—“
Ia tak
sempat melanjutkan kata-katanya karena yang selanjutnya keluar dari mulutnya
adalah erangan keras. Erangan itu berbaur dengan sorak-sorai orang-orang yang
menikmati kemeriahan malam tahun baru di sebuah acara yang ditayangkan di
televisi. Kakakku pasti sangat bahagia bahwa malam ini adalah malam pergantian
tahun, sampai-sampai ia ikut bersorak seperti itu di dalam rumah. Aku
melepaskan tanganku dari pisau yang kini menancap di betis kanan kakakku. Telapak
tanganku berlumuran darah, tapi aku bisa mencuci tanganku nanti. Rasanya tak
adil jika hanya satu sisi yang terluka, jadi kucabut pisau itu dan kutancapkan
dengan kuat pada betis kiri kakakku. Ia kembali mengerang kesakitan dan mencoba
menendang-nendang, meskipun usahanya sia-sia saja.
“Supaya
sakitnya cepet hilang,” ujarku pelan.
Sejak kapan ada genangan darah di lantai? Aku
meringis pelan. Kakakku benar-benar menyusahkanku. Kalau begini, aku harus
membersihkan lantai lagi. Padahal tadi sore aku sudah membersihkannya. Aku
meninggalkan kakakku yang terkapar di lantai dapur dan berjalan menuju ruang
keluarga, mencabut kabel pengisi daya dari stop kontak dan komputer jinjing
kakakku, kemudian kembali ke dapur sambil membawa kabel tersebut dan juga
komputer jinjingnya. Ia terkejut saat aku kembali dan tiba-tiba membantingkan komputer
jinjingnya ke kepalanya. Benda itu hancur, mengeluarkan sedikit percikan api
dan melukai kepala kakakku. Darah mengalir, dari pelipis turun ke pipi, dan
akhirnya menetes dari ujung dagunya. Kabel pengisi daya kugunakan untuk
mengikat kedua tangannya agar ia tak banyak bergerak. Kalau ia banyak bergerak,
rasa sakit itu tak akan cepat hilang.
“Reyhan! Lepasin!” ia meronta.
Aku
mencabut pisau yang menancap di betis kiri kakakku dan meletakannya di dekatku.
Kubalikkan tubuhnya agar ia telentang. Wajah dan kemeja abu-abu kakakku
berlumuran darah yang ia muntahkan. Ia masih terbatuk-batuk dan sesekali ada
darah yang ikut termuntahkan. Mau sampai kapan ia memuntahkan darah seperti
itu? Kugenggam kembali pisau yang ada di dekatku dan segera kutikamkan ke dada
kanannya. Kakakku mengerang lebih keras. Itu adalah ucapan terima kasihku
karena ia begitu saja membatalkan janjinya untuk menjemputku di bandara dan
membuatku terpaksa pulang sendiri ke rumah. Kutikam juga dada kirinya, sebagai
ucapan terima kasih karena sudah meminjam kameraku dan tidak mengembalikannya,
sampai akhirnya aku tahu bahwa kamera itu ia pinjamkan pada temannya.
“Masih
sakit?” tanyaku.
Kakakku tak
bisa menjawab. Mulutnya terbuka dan matanya terbelalak. Aku merangkak ke meja
makan dan mengambil botol yang ada di atasnya. Kubuka botol itu dan kutumpahkan
isinya ke dalam mulut kakakku. Semoga dengan itu rasa sakitnya dapat segera
hilang. Bibirnya mulai bergerak pelan, mungkin ia ingin mengatakan sesuatu. Aku
tak tahu apa yang ingin ia katakan jika ia tak bicara. Suaranya terlalu pelan
untuk bisa kudengar.
“Rey nggak tahu mas Eza ngomong apa,”
ujarku.
Kucabut
pisau yang menancap di dada kiri kakakku dan kutikamkan berkali-kali di
lehernya. Terima kasih karena membuatku harus menjaga Dira di hari pertama aku
tiba di Bandung, sementara kau pergi bersenang-senang. Terima kasih karena tak
menjemputku di bandara, padahal kau sudah berjanji akan menjemputku. Terima
kasih karena kau membatalkan janjimu untuk mengunjungiku di Singapura dan kau menyuruhku
untuk berhenti merengek karena masih ada waktu lain, padahal kau sudah berjanji
dan kau lebih memilih pergi berkemah bersama teman-temanmu. Terima kasih untuk
lebih memilih bermain game bersama
teman-temanmu daripada pergi berendam air panas bersama keluarga. Terima kasih
karena menyebutku terlalu banyak bergantung padamu, padahal aku memang saat itu
sedang membutuhkan bantuanmu. Terima kasih karena kau selalu menganggap enteng
kemarahanku dan menggodaku karena aku merasa kesal padamu. Terima kasih karena
kau justru tidur dan lupa bahwa kau sudah berjanji akan mengantarku ke dokter. Terima
kasih karena kau justru lebih memilih untuk menghabiskan malam pergantian tahun
dengan teman-temanmu, meninggalkanku, istri dan anakmu, dan ayahmu, dan justru
menyuruhku untuk segera kembali ke Singapura karena kau bilang kau akan sangat
sibuk dan tak bisa banyak meluangkan waktumu untukku yang kini tak lagi bertemu
denganmu setiap hari.
Nancy Bird terdengar dari arah ruang keluarga.
Aku membiarkan pisau itu menancap di leher kakakku dan segera berjalan menuju
ruang keluarga. Aku meraih ponselku di atas meja dengan tangan yang masih
berlumuran darah. Nama kakak iparku muncul di layar ponsel.
“Halo?”
jawabku.
“Halo, Rey?
Ayah sama mas udah datang?” tanya mbak
Alia.
“Udah. Udah lama malahan,”
jawabku.
“Lagi pada ngapain? Eza udah berangkat lagi?” tanyanya lagi.
“Ayah
langsung tidur, kalau mas Eza lagi
minum teh,” jawabku.
“Mbak kira dia langsung pergi lagi buat ketemu temen-temennya,” tukas mbak
Alia.
“Kayaknya mas Eza nggak jadi pergi
lagi,” ujarku.
“Kenapa?
Macet ya di jalan?” tanya mbak Alia.
Aku tertawa
pelan. Kulirik kakakku yang terkapar dan bersimbah darah di dapur. Aku tak
menyangka ternyata mewarnai kemeja bisa semudah ini. Sayang sekali sepertinya
kakakku tak bisa bertemu teman-temannya malam ini dan memainkan permainan yang
biasa ia mainkan bersama teman-temannya. Kuakhiri panggilan di telepon tanpa
mengatakan apa pun dan kumatikan ponselku. Jam menunjukkan pukul setengah
sepuluh lebih lima menit. Aku pun kembali ke dapur, menyeret tubuh kakakku ke
ruang keluarga dan mendudukkannya di atas sofa. Rambutnya basah oleh cairan
merah pekat itu. Kubersihkan potongan-potongan komputer jinjing yang menempel
di dahi, pipi, dan rambutnya. Kucabut pisau yang menancap di lehernya dan
kubawa pisau itu ke bak cuci dapur. Kubuka kulkas dan kukeluarkan satu ember
kecil es krim dan satu kaleng kripik kentang, kemudian kubawa cemilan-cemilan
tersebut ke ruang keluarga. Telepon kemudian berdering. Aku yakin itu pasti
kakak iparku yang mencoba meneleponku kembali. Kubiarkan telepon berdering,
namun ternyata deringnya semakin lama semakin menyebalkan. Kuambil pesawat
telepon itu dari atas bufet dan kulemparkan ke arah kakakku. Pesawat telepon
itu mengenai pipinya dan jatuh tepat di atas pangkuannya.
“Mbak Alia telepon tuh. Coba angkat,” ujarku.
Kakakku
hanya diam saja. Matanya yang terbuka menatap datar layar televisi yang ada di
hadapannya. Tangannya masih terikat oleh kabel pengisi daya komputer jinjingnya
di belakangnya. Aku meringis pelan dan kemudian duduk di sebelahnya, menikmati
es krim dan kripik kentang sambil menonton televisi.
“Rey nggak suka musik kayak gini. Penyanyinya kalau pakai baju suka terlalu seronok,” tukasku.
Aku meraih remote televisi yang ada di atas meja
dan mengganti saluran televisi. Untunglah aku menemukan saluran televisi yang
menyiarkan film spesial. Film komedi itu menceritakan tentang anak kecil yang
tersesat sendiri di kota New York. Setiap tahun, film ini selalu ditayangkan di
televisi. Sepertinya aku tak pernah bosan menonton film ini, tapi aku tak tahu
apakah kakakku menikmatinya atau tidak.
“Mau es
krim?” aku menawarkan es krimku pada kakakku.
Ia tak
menjawab apa pun. Ah, ya sudah kalau
memang tak mau. Aku akan menghabiskannya sendiri. Jam kini menunjukkan pukul
setengah sebelas malam. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Mungkin karena
aku menikmati filmnya. Aku berdiri dan melihat ke arah kakakku. Ia membuat sofa
kami jadi kotor. Kalau begini, pekerjaanku akan semakin banyak. Aku harus
membersihkan dapur dan menghilangkan noda yang menempel pada sofa kami. Kurasa
aku bisa membersihkannya besok pagi, setelah aku membuang kakakku ke parit
kecil di depan rumah. Pakaianku juga kotor. Hoodie
kesayanganku ikut kotor. Kalau begini aku harus membersihkan diriku sendiri
terlebih dahulu. Aku berjalan pelan menuju kamarku, memilih pakaian dan
kemudian membawa pakaianku ke kamar mandi. Kutanggalkan semua pakaianku dan
kunyalakan keran shower. Air hangat
menghujani tubuhku. Darah yang menempel di tubuhku terbawa hanyut oleh air. Nothing to Fear bergaung di
langit-langit kamar mandi. Siulanku terdengar berharmoni bersama suara air.
Pandanganku terhalang oleh uap air. Kumatikan keran air dan kukeringkan tubuhku
sebelum kukenakan pakaianku. Celana jin hitam, kemeja lengan panjang biru muda,
dan sweter rajut hitam. Kulihat diriku di depan cermin. Kurasa aku sudah cukup
rapi untuk sekedar melewati malam pergantian tahun. Kubuka pintu kamar mandi
dan kulihat kakakku masih duduk di sofa. Bukankah
ia bilang ia akan menemui teman-temannya?
Aku
berjalan ke dapur dan melihat kekacauan yang ada. Kugulung lengan sweter dan
kemejaku sampai sikut dan mulai membersihkan pecahan-pecahan gelas dan bangkai
komputer jinjing yang berserakan di lantai. Kuambil lap pel dan membersihkan lantai
dari cairan merah pekat itu. Setiap kali aku memeras lap pel, tanganku akan ikut
terkotori oleh cairan itu. Membersihkan dapur memakan waktu yang lebih lama
dari yang kuperkirakan. Setelah dapur bersih, kucuci lagi tanganku. Kuambil
cangkir teh yang baru dan kuisi dengan air panas. Kumasukkan satu kantung teh
ke dalam cangkir tersebut dan kubiarkan selama beberapa menit. Ponsel kakakku
tergeletak begitu saja di atas meja makan. Aku memeriksanya dan melihat
beberapa panggilan tak terjawab. Kubuka pemutar musik di ponselnya. Shades of Cool kumainkan dan ponsel itu
kuletakkan kembali di atas meja. Aku duduk di kursi yang sebelumnya diduduki
oleh ayahku dan kakakku, membelakangi ruang keluarga. Aroma teh mulai tercium,
terbawa oleh kepulan uap. Aku merasa lebih tenang sekarang. Aku merasa lega.
Tak ada lagi yang perlu kupikirkan atau kukhawatirkan. Semuanya bersenang-senang
di malam pergantian tahun ini. Tak boleh ada yang bersedih. Aku baru saja
hendak mengambil cangkir tehku saat seseorang memanggil namaku. Suara itu
terdengar tepat dari belakangku.
“Reyhan!”
Aku terdiam
sejenak.
“Reyhan!
Reyhan!”
Saat kubuka
mataku, kulihat sosok Rendra dan Du Fei berlutut di depanku. Rendra mengambil cutter dari tanganku dan melemparnya
jauh-jauh. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun lengan kiriku penuh
dengan luka sayatan yang nampak masih baru. Aku juga sudah tak berada di ruang
keluarga rumahku.
“Reyhan! You should never do this again!”
Du Fei menegurku.
Aku baru
menyadari bahwa aku berada di flat-ku
di Singapura. Kamarku berantakan, dengan buku-buku dan barang-barang lainnya
berserakan di lantai. Ada percikan darah kulihat di dekatku. Du Fei dan Rendra
kemudian merangkulku. Mengapa jantungku
berdetak lebih cepat? Dan mengapa nafasku tersengal-sengal?
“Kalau ada
apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kalau kamu ketahuan kayak gini lagi, aku nggak
akan segan-segan hajar kamu,” tegas Rendra.
Mengapa tiba-tiba aku ingin menangis? Bukankah tadi
aku merasa benar-benar lega? Aku masih ingat betul aku merasa
sangat tenang dan lega. Aku tak punya lagi apa pun untuk kupendam atau
kupikirkan. Aku sudah berpakaian rapi dan bersih, meskipun saat ini kusadari kedua
telapak tanganku berlumuran darah.
“Kamu boleh
marah atau benci sama kakak kamu, tapi jangan sampai kamu kayak gini. Sejak kamu datang tadi pagi, aku sama Du Fei bisa tebak
pasti ada sesuatu yang nggak beres.
Kalau ada sesuatu, bilang sama kita,” tegur Rendra.
Kemudian
aku ingat bahwa aku tiba di Singapura tadi pagi, sekitar pukul sembilan. Aku
datang kembali ke Singapura sendiri, meskipun rencananya aku akan datang
bersama kakakku, istrinya, dan keponakanku karena ia sudah berjanji akan menghabiskan
libur tahun baru bersamaku di Singapura. Aku ingat di malam sebelumnya aku
bertengkar hebat dengannya karena ia membatalkan rencananya tiba-tiba. Saat aku
mengungkapkan kekecewaanku, ia justru memojokkanku, menyebutku kekanak-kanakan
dan berkata seolah-olah tak ada lagi waktu untuk bertemu. Karena ia tak ikut,
aku juga jadi tak bisa membawa kameraku yang ia pinjam. Padahal aku sudah
berencana akan membawa kameraku. Aku tak membalas pesan-pesannya seharian dan,
saat aku memeriksanya, ia menyuruhku untuk bersikap dewasa dan tak mudah marah
karena hal-hal sepele. Ia menyebut ini sebagai hal sepele. Ia senang
menyepelekan sesuatu. Ia menyepelekan perasaanku. Bajingan seperti itu pantas
untuk kuhabisi, dan aku hampir berhasil menghabisinya.
Sayang
sekali, tak ada yang mati malam ini.
Waaah dah lama ga baca ceritamu... dan ini keceeeeeee 😈
ReplyDeletewah dibaca lah wkwkwk
Delete