Jalanan masih belum begitu dipadati kendaraan bermotor.
Mobil kami dapat melaju dengan cukup leluasa, tanpa perlu terjebak kemacetan
yang biasa terjadi. Sebetulnya ini sudah memasuki jam makan siang, namun jalan
Setiabudhi tidak seramai biasanya. Apa
mungkin orang-orang masih sibuk di kantornya? Atau mungkin mereka makan siang
di kantornya? Ah, aku tak peduli! Yang penting jalanan hari ini tidak padat.
Mbak Tara memindahkan lagu yang
sedang dimainkan. Alunan tangganada pentatonik pada piano pun terdengar dari
pengeras suara mobil. Kurasa ia sudah mulai tercekoki oleh lagu-lagu jazz yang akhir-akhir ini sering kuputar
di komputerku.
“Lapar nih. Mau
makan siang dimana jadinya?” tanya mbak
Tara.
“Terserah,” jawabku.
“Kok terserah? Tadi
mbak ajak makan di kantin fakultas
malah nggak mau,” ujar mbak Tara sedikit kesal.
Setelah tadi mengajakku berkeliling gedung fakultas
tempatnya belajar dan mengunjungi beberapa departemen bahasa, termasuk
departemen bahasa Inggris yang sudah kuimpi-impikan sejak lama, mbak Tara mengajakku untuk makan siang
di kantin fakultasnya. Namun aku mendapatkan kesan pertama yang tidak berkesan
saat mengunjungi kantin itu. Entahlah, seperti ada sebuah suara yang berkata
bahwa lebih baik aku makan siang di tempat lain. Bukan karena tempatnya yang
kotor. Tempatnya cukup bersih, dengan banyak kursi dan meja yang tersedia.
Mungkin aku memang sedang tidak ingin makan disana.
“Oh ya, kenapa sih
kamu nggak mau masuk bahasa Perancis aja?” tanya mbak Tara.
“Nggak aja.
Dari awal aku udah incar bahasa
Inggris,” jawabku.
“Bukan gara-gara nggak
mau satu jurusan sama mbak, ‘kan?”
tanya mbak Tara lagi.
“Bukan. Di bahasa Perancis ‘kan ada grammaire,” jawabku seraya meniru aksen Perancis mbak Tara.
“Terus kamu pikir di bahasa Inggris nggak ada grammar?!”
balas mbak Tara kesal.
Aku tertawa kecil. Ah,
benar juga ya. Toh pada ujungnya
departemen bahasa apapun yang kupillih, aku tetap harus mempelajari tata
bahasanya. Kami berbelok memasuki jalan Sukajadi. Aku mengernyitkan dahiku.
Sekarang aku tak tahu kemana kami akan pergi. Tujuan kami sekarang bergantung
pada mbak Tara.
“Ke Doppio aja
ya. Mbak lagi pengen lasagna,” ujar mbak
Tara.
“Lasagna?”
“Ya”
Jawaban kakakku membuatku terdiam sejenak. Kakakku bukan
sekedar ingin menikmati satu porsi lasagna.
Ia ingin bertemu dengan seseorang. Saat aku menyadari bahwa kakakku mulai akrab
dengan barista itu, jujur saja ada
perasaan was-was yang membuatku tak nyaman setiap kali kakakku berbicara
tentang kopi, atau Doppio, atau bahkan barista itu. Aku mulai curiga apakah
kakakku mulai menyukai barista itu. Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Bagaimana
bisa seseorang bisa tiba-tiba suka pada orang lain tanpa mengenalnya dengan
baik terlebih dahulu? Bagaimana jika kakakku disakiti lagi, seperti yang dulu
pernah terjadi? Bagaimana jika pria itu bukan orang yang baik? Ingin sekali
rasanya aku bilang pada kakakku untuk memilih tempat lain, tapi entah kenapa
rasanya sulit untuk mengatakannya. Saat itu, mbak Tara mengajak barista
itu datang ke meja kami dan mengenalkannya padaku, Reyhan, dan Ezra. Jujur
saja, ia menunjukkan kesan yang baik. Ia bersikap baik dan ramah, dan bahkan
ikut mengobrol bersama kami tentang apa yang sedang kami pelajari—materi
biologi tentang virus. Tapi kesan pertama yang baik tidak berarti bahwa seseorang
memang secara keseluruhan baik. Jangan
menilai buku dari sampulnya, begitupula manusia. Setelah aku tahu seperti
apa Ferry sebenarnya, aku benar-benar sadar bahwa apa yang nampak darinya
selama ini sekedar topeng belaka. Aku terlanjur terpikat dengan sampul buku
yang nampak menarik, dan tak sadar bahwa isinya hanyalah cerita-cerita sampah
yang sama sekali tak punya nilai seni.
“Kenapa diem aja?
Sebentar lagi kita mau sampai,” tegur mbak
Tara.
Aku segera mengenakan blazer
coklat tuaku dan merapikan rambutku. Kami pun akhirnya tiba di Doppio setelah
berkendara selama sekitar 20 menit. Terima
kasih Tuhan. Semoga besok dan seterusnya tidak ada lagi lalu lintas yang padat
di kota ini. Saat mengucap syukur dan doa itu, aku tahu lalu lintas di kota
ini tidak akan lantas berubah. Tapi tak ada yang salah dengan berdoa. Ya.
Setidaknya aku percaya pada kekuatan mujizat.
Aku dan kakakku memasuki Doppio. Sebuah bel kecil
berdenting saat kami membuka pintunya. Pandangan mataku segera kulemparkan ke
arah bar yang terletak di sisi timur ruangan. Pria itu tak ada disana. Apakah ia tak masuk kerja hari ini? Atau
apakah ia sudah berhenti bekerja di tempat ini? Aku tak tahu apakah aku
harus bahagia atau harus sedih karena, jujur saja, kopi buatannya memang sangat
enak. Aku bahagia, karena kakakku tak perlu bertemu dengannya. Tapi kurasa aku
tak bisa berbahagia begitu saja karena sekitar satu menit setelah aku duduk, mbak Tara melihat ke arah bar dan
memanggil nama barista itu.
“Aldi!”
Ah! Kenapa
pria itu harus muncul? Kukira pria
itu sudah tak bekerja lagi disini. Barista
itu kemudian datang ke meja kami dan menyapa kami dengan ramah. Aku tertegun
saat ia menyapa kami. Aku juga tertegun karena ia masih mengingat namaku. Dan
saat namaku terucap dari mulutnya, jujur saja aku merasa gugup. Tidak! Ini bukan apa-apa. Ia hanya menyapaku
dan mencoba bersikap ramah padaku. Sekali lagi, ini bukan apa-apa! Aku hanya
membalas sapaan pria itu dengan senyuman kecut.
“Mau coba kopi baru, nggak?
Kemarin kita dapat stok kopi baru,” tanya barista
tersebut.
“Wah? Kopi apa nih?
Ngomong-ngomong, kopi Flores yang waktu itu kamu kasih enak banget,” jawab kakakku.
“Mau kopi Flores lagi? Atau mau coba yang lain? Sekarang
ada banyak jenis baru. Kita bisa coba di bar,” jawab barista tersebut.
Aku tak dapat berbuat apa-apa saat kakakku menarik
tanganku dan membawaku ke bar untuk mencicipi pilihan kopi baru. Enggan sekali
rasanya untuk beranjak dari tempat dudukku. Lagipula, duduk dekat jendela
rasanya lebih menyenangkan. Aku bisa sambil melihat suasana di luar kedai. Ditambah
lagi, dengan duduk di dekat jendela kakakku tidak akan banyak berinteraksi dengan
barista itu. Itu jauh lebih baik. Ya,
lebih baik. Bagaimana jika barista itu
melakukan pendekatan pada kakakku dan kakakku meresponnya? Mereka belum lama kenal. Lagipula kakakku
baru saja mengalami luka yang cukup dalam karena seorang laki-laki. Bagaimana jika ia disakiti lagi? Aku
tahu betul seperti apa rasanya disakiti, terutama saat tahu bahwa seseorang
yang kita bangga-banggakan dan kita cintai ternyata tak lebih dari sekedar bajingan.
Aku harus bersyukur karena aku akhirnya mengetahui siapa sebenarnya Ferry.
“Ini coba aja
satu-satu. Yang ini kopi Flores, yang kamu minum waktu itu,” ujar barista tersebut seraya menunjuk ke arah
cangkir yang berada paling kiri.
“Mau coba gak,
Tan?” tanya mbak Tara.
“Mbak Tara aja dulu,” jawabku tak bersemangat.
“Eh, ini coba deh,” mbak Tara bersikeras memintaku mencoba kopi yang ia
coba.
Kuterima cangkir kopi dari kakakku dan kuteguk minuman
berwarna hitam pekat itu. Aku tak dapat merasakan apa-apa selain rasa kopi.
Kopi. Hanya kopi. Barista itu
kemudian meminta kami mencoba kopi Toraja. Aku dapat melihat ekspresi senang dan
takjub mbak Tara saat menyeruput kopi panas itu, seolah-olah ia baru saja
meminum minuman paling lezat yang ada di dunia. Aku tak dapat merasakan apa-apa
lagi selain kopi. Rasa kopi yang pekat,
aroma kopi yang kuat, lalu.. apa lagi? Semuanya hanyalah kopi!
“Nggak ada
bedanya,” jawabku.
“Eh, coba cari tahu deh.
Ada aroma apa?” tanya barista itu.
“Kopi. Sama aja
kayak yang sebelumnya,” jawabku dingin.
“Ada aroma citrus loh.
Masa kamu nggak bisa cium itu?” tanya
mbak Tara kaget.
“Nggak. Aku nggak cium aroma citrus,” tegasku.
Barista itu lalu meminta kami untuk mencicipi kopi berikutnya, kopi
Kintamani. Lagi-lagi kakakku menunjukkan ekspresi itu. Apa sebetulnya yang ia rasakan? Bagiku semua kopi ini terasa sama
saja di lidahku. Kecuali jika kopi dipadukan dengan bahan-bahan lain seperti
susu, coklat, dan dibuat menjadi frappe, aku baru dapat merasakan perbedaannya.
Tapi semua ini sama. Sama aja. Semua cangkir berwarna krem ini memiliki minuman
yang sama, dengan warna yang sama gelapnya. Apanya
yang menarik? Bisa-bisa perutku
kembung karena terlalu banyak mencicipi kopi!
“Gimana?” tanya barista
itu.
“Biasa aja. Nggak kerasa apa-apa,” jawabku.
“Masa? Ada aroma apa gitu
yang bisa kamu tebak?” tanya barista
itu lagi.
“Nggak ada. Sama
aja,” jawabku dingin.
“Atau mungkin cara kamu minum salah. Jangan langsung
ditelan,” tukas mbak Tara.
“Minum yang lain aja
lah,” balasku kesal.
“Coba dicicipi lagi aja
ya. Aku buat lagi kopinya. Siapa tahu kalau udah
cium aromanya, kamu bakalan
suka,”
ujar barista tersebut seraya
mengangkat tiga cangkir kosong yang ada di atas bar.
Pria itu lantas meninggalkan bar dan berjalan menuju
dapur. Aku meringis pelan. Mbak Tara
kemudian menepuk bahuku. Ia nampak bingung, terlihat dari kerutan yang ada di
dahinya.
“Kamu kenapa, Tan?” tanya mbak Tara.
“Nggak apa-apa,”
jawabku, “Kita duduk di dekat jendela lagi aja
deh, ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa. Ayo ah pindah”
“Kamu nggak
suka mbak ngobrol sama Aldi?”
“Mbak nggak bisa begitu aja langsung dekat sama orang yang baru mbak kenal. Kalau misalnya kejadian yang sama keulang lagi gimana?
Memangnya mbak mau jatuh ke lubang
yang sama?”
Kakakku meringis pelan.
“Tania, mbak nggak
akan begitu aja langsung suka sama
orang. Mbak juga tahu mbak baru sebentar kenal sama Aldi. Tapi
mbak tahu kalau ada Aldi punya
sesuatu yang menarik. Dia juga punya bakat yang nggak semua orang punya. Memangnya salah kalau mbak tertarik sama seseorang?”
tegas kakakku.
“Kalau misalnya dia sama aja kayak mas—“
“Mbak yakin
Aldi nggak akan seperti dia,” potong
kakakku sebelum aku menyebut nama pria yang sebelumnya pernah dekat, namun akhirnya
melukai kakakku.
Barista itu pun kembali, kali ini membawa empat cangkir kopi
untuk kami. Ia menaruhnya di atas bar dan meminta kami mencicipinya kembali. Ia
bahkan menyiapkan satu cawan berisi biskuit jahe.
“Jadi biskuitnya bisa dicelup ke kopi, terus dimakan,”
ujarnya.
“Wah, biskuit jahe! Biasanya kita punya satu toples buat
natal,” jawab kakakku.
“Kapan-kapan boleh dong
bawa kesini biskuitnya,” balas barista
itu, “Oh ya, cara minumnya jangan langsung diteguk. Biarin dulu kopinya ada di dalam mulut, terus coba dirasakan sama
lidah kamu, rasa kopinya seperti apa. Cari tahu juga ada aroma apa aja.”
Aku pun sekali lagi mencoba mencicipi kopi Kintamani.
Kali ini kubiarkan kopi itu berada di dalam mulutku, agar lidahku bisa
merasakan seperti apa tepatnya rasa kopi itu. Kopi ini memang pahit dan
cenderung asam, namun lama-lama aku dapat merasakan ada rasa manis. Memang tidak
terlalu intens, tapi aku merasakannya. Rasa manis itu bisa kuibaratkan seperti
saat aku berpapasan dengan seseorang yang memakai parfum. Aroma parfum itu
tercium, namun hanya sekelebat, dan setelah itu aku tak dapat menciumnya lagi.
Indera pengecapku juga merasakan ada aroma jeruk, dan aroma seperti kacang. Aku
mulai takjub. Kopi macam apa ini? Mengapa
kopi ini bisa memiliki rasa dan aroma yang kaya?
“Ada aroma kacang. Awalnya memang pahit dan asam, tapi
lama-lama ada rasa manis,” ujarku.
“Unik, ‘kan?” tanya barista
tersebut seraya tersenyum ramah.
Ia memintaku untuk mencicipi kopi yang lain. Ia tidak
menyebutkan jenis kopinya dan, jujur saja, itu membuatku sedikit curiga. Semoga saja rasanya tidak aneh dan membuatku
trauma untuk mencicipi kopi lagi. Kopi itu pun kucicipi dan kali ini aku
merasakan sesuatu yang berbeda. Lidahku merasakan aroma karamel, dan kemudian
aroma itu hilang, digantikan oleh aroma rempah-rempah yang hanya terasa samar,
sekelebat. Sangat unik! Kopi ini sangat
unik! Apa ia memasukkan rempah-rempah
ke dalam kopi ini?
“Memang kopinya dimasukkan rempah-rempah ya?” tanyaku.
“Nggak. Itu
murni hasil dari biji kopi. Itu kopi Wamena,” jawab barista tersebut.
“Unik, ya. Bisa beda-beda aroma dan rasanya,” ujarku
pelan.
“Kopi itu kalau sepintas dilihat kayak yang sama aja, nggak ada bedanya dengan kopi lain. Tapi
buat tahu rasa kopi, kita nggak bisa
sekedar menilai dari warna sama kepekatannya. Kalau sekedar lihat warna sih bakalan
susah buat membedakannya. Mencicipi kopi itu nggak bisa buru-buru dan perlu ketelitian. Kita juga dilatih
kepekaan lidahnya buat bisa nebak
rasa dan aroma apa yang ada di kopi itu. Rasa dan aroma kopi ‘kan kuat, jadi
buat cari rasa lain yang ada itu seolah-olah kayak cari rasa stroberi di saus sambal. Susah, ‘kan? Pasti, karena
rasa pedas dan aroma cabainya sangat kuat, jadi kita harus jeli buat cari rasa stroberi
itu,” jelas barista itu.
“Ditambah lagi, pengetahuan kita tentang rasa-rasa juga
berpengaruh loh, Tan. Kalau kamu sangat
sering makan jeruk dan tahu aroma jeruk yang beda-beda, kamu kemungkinan bisa
tahu kalau ada aroma jeruk di kopi. Kalau kamu biasa coba rempah-rempah, kamu
bisa tahu kalau ada aroma rempah-rempah di kopi. Intinya sih, kopi itu nggak
semuanya sama. Kopi itu beda-beda, dan buat tahu perbedaannya kamu harus tahu
cara yang tepat buat minum kopi. Minum kopi itu ‘kan nggak kayak minum air mineral botolan yang bisa langsung kamu
teguk,” sambung kakakku.
Aku tertegun. Aku takjub dengan pengalaman minum kopi
ini. Pada awalnya, aku selalu menganggap bahwa semua kopi hitam itu sama saja.
Mereka memiliki warna yang sama dan memiliki rasa yang sama. Aku tak mengerti
mengapa para ahli kopi mampu membedakan rasa-rasa kopi, yang menurutku semuanya
sama saja terasa pahit dan pekat. Tapi saat aku mencoba, meneliti rasa dan
aromanya dengan lidahku, aku sadar bahwa memang rasa kopi tidak selalu sama.
Ada aroma dan sentuhan rasa yang berbeda saat dicoba dengan cara yang tepat.
Dan kurasa aku pun selama ini menilai barista ini dengan cara yang salah. Aku juga terlalu terburu-buru memberinya penilaian. Aku
menilainya dengan menggunakan pandangan umumku yang ternyata salah. Aku pernah
disakiti seorang pria. Kakakku juga disakiti oleh seorang pria dan aku tahu apa
yang harus ia hadapi. Rasa sakit itu membuatnya sangat tersiksa. Aku menilai barista ini seperti aku menilai Ferry. Pada
kenyataannya, jika aku menilainya dengan cara yang berbeda dan dari sudut
pandang yang berbeda, aku dapat melihat perbedaan pada pria ini. Barista ini. Barista ini berbeda. Ia bukanlah sosok pria seperti Ferry. Ia juga
bukanlah pria yang dulu sempat menyakiti kakakku. Ia berbeda. Ada sesuatu yang
membuatku merasa bahwa sebetulnya aku bisa merasa nyaman saat berada di
dekatnya. Dan perasaan itulah yang kemudian membuatku sadar bahwa aku
seharusnya sejak awal tidak salah menilainya dan berbahagia karena kakakku bisa
dekat dengannya.
Setelah beres mencicipi kopi, kami memesan makan siang
kami. Barista itu menemani kami
sambil mengobrol kecil tentang berbagai hal—meskipun kami lebih banyak
mengobrol tentang kopi dan jenis minuman lainnya, seperti coklat dan teh.
Dengan cara penilaian yang berbeda dan sudut pandang yang baru, aku merasa
sangat nyaman bisa mengobrol dengan barista ini dan kakakku. Aku merasa bahwa barista ini—pria ini—dapat menjadi teman
yang baik. Dan akhirnya, aku pun merasa bahwa pria ini dapat menyembuhkan luka
kakakku dan mungkin, menjadi bagian dari episode baru dalam kehidupan kakakku. Cuaca
yang mulai gelap membuat kami tak bisa berlama-lama setelah menghabiskan makan
siang kami. Setelah membayar, aku dan kakakku pamit pada barista tersebut. Sekali lagi ia menyebut namaku dan tersenyum
dengan ramah. Kali ini aku membalas senyumannya, dengan senyuman yang ramah.
Kakakku membuka kunci pintu mobil melalui remote
control. Aku segera masuk ke dalam mobil dan bersandar pada kursi. Kakakku
pun akhirnya masuk. Kami pun meninggalkan pelataran Doppio dan bergabung dengan
para pengguna jalan raya yang lainnya.
“Tadi gimana
kesan-kesannya? Asyik, ‘kan?” tanya kakakku.
“Ya. Aku suka kok,”
jawabku.
“Kapan-kapan kita coba jenis kopi yang lain, ya,” ujar
kakakku.
Aku mengangguk.
“Dia baik juga,” ujarku pelan.
“Siapa?” tanya kakakku.
“Mas Aldi,”
jawabku.
Kakakku tertawa kecil.
“Dia nggak seperti yang kamu kira, ‘kan?”
“Mungkin kapan-kapan mungkin kita bisa ajak mas Aldi ke rumah, buat bikin kopi.”
“Menurut kamu itu ide yang bagus?”
“Kenapa nggak?
Papa sama mama juga suka kopi, ‘kan? Sekalian dikenalin juga sama papa dan mama.”
Aku dan kakakku tertawa kecil. Dan kami pun terus melaju
ke arah barat.