PS: Kalau ingin tahu sisi pragmatics-nya di sebelah mana, harus baca sampai akhir biar paham.
Di usia yang sudah memasuki kepala dua ini (tapi bukan ular berkepala dua ya), untuk pertama kalinya saya kena tilang. Do I sound happy and proud of it? Nope. Biasanya saat orang ditilang, responnya cenderung ke arah marah atau kesal. Tapi saat itu, dan sampai sekarang, pengalaman ditilang pertama itu justru jadi sesuatu yang menurut saya unik, walaupun tentu saja saya nggak mau kena tilang lagi (syukur-syukur nggak pernah ditilang lagi seumur hidup.)
Jadi saya ditilang pas hari Jumat kemarin ini (22/5), sekitar jam 5 sore di persimpangan Gegerkalong dan Setiabudhi. Tahu kan persimpangan itu? Itu loh yang kalau ke utara dikit ada kampus Enhaii, terus ke utara lagi ada UNPAS, dan ke utara lagi ada UPI kampus tercinta aku *apasih*. Kalau bicara tentang siapa yang salah, harus saya akui memang saya yang salah. Tapi ada alasan kok kenapa saya ngebut di persimpangan itu. Bener deh.
*defense mechanism pun muncul*
Jadi saya ditilang karena mengebut pas traffic light udah berubah ke merah. Sebetulnya pas saya sampai traffic light, semua lampu mati (dan timer-nya juga mati). Saya kira memang traffic light saat itu sedang tidak berfungsi. Eh, pas sampai di tengah-tengah persimpangan, tiba-tiba lampu berubah merah. Ani dan Muthia, yang saat itu ikut sama saya, langsung kaget, terutama pas ada seorang polisi yang udah dari jauh melambaikan tangannya (mungkin kangen?) dan nyuruh saya minggir. Mengaku salah (karena memang ngebut juga sih), akhirnya saya diminta turun. Awalnya si polisi yang nyuruh saya minggir itu bicara ke saya dengan nada tegas dan galak. Gak ada ramah-ramahnya sama sekali (awas dia kalau ketemu lagi, saya jutekin)
*Nggak ngaruh juga sih dan pasti dia nggak bakalan inget muka saya*
Saya disuruh datang ke pos polisi yang letaknya nggak jauh dari tempat saya diberhentikan. Saya minta Ani buat nemenin saya ke pos polisi (dan Ani mau!). Saat itu, pikiran saya lagi agak aneh karena.. ya, bisa dibilang blank sih. Perasaan saya waktu itu percampuran antara waswas dan bingung. Saya pun turun dan ke pos polisi dengan Ani. Saat itu, polisi yang menangani saya bukan polisi yang memberhentikan saya. Ada petugas polisi lain yang, saat saya dan Ani masuk, langsung nyengir dan nyuruh saya duduk. Saya mulai ngerasa gugup, walaupun ekspresi muka saya sih masih menunjukkan kalau saya lagi bingung. Did I look fershimmeled? Only God knows deh.
Saya diminta buat menunjukkan surat-surat dan SIM saya. Saya pun mengeluarkan semua kartu-kartu yang ada, kecuali kartu Game Master dan Chatime karena dua kartu itu mah nggak ditanyain (nggak usah disebut juga sih). Si bapak melafalkan nama saya, mengernyitkan dahinya, dan mengklarifikasi nama saya. Saya tentu saja mengkonfirmasi bahwa "Yes, that's my name!" soalnya kalau si bapak tanya "Nama kamu Joe Taslim?" pasti si Ani udah ngakak sampai ngompol. Saya pun ditanya alasannya kenapa saya ngebut, dan saya jelaskan alasannya. Ditambah lagi, saya emang pengen buang air (alasan klasik, which to some extent works sih). Saya dan Ani kaget karena respon pak polisi itu justru diluar dugaan. Saat saya bilang saya mau buang air, pak polisi itu nyengir dan menjawab,
"Wah, saya juga nggak punya"
Der fick?!
Saya sama Ani pun lantas ketawa. Pak polisi itu terus menjelaskan lagi tentang peraturan dan denda yang harus dibayar. Awalnya saya kaget karena si pak polisi itu sempat nyuruh saya untuk ke persidangan di tanggal 6 Juni. Disitu saya gugup, bukan karena nggak mau disidang, tapi karena saya nggak yakin tanggal segitu kosong apa nggak (sok sibuk sih memang). Ditambah lagi, ya malas juga sih. Saya pun dikasih pilihan untuk bayar denda di tempat atau melalui ATM. Saya dan Ani kaget saat ditunjukkan bahwa denda pelanggaran itu besarnya 500 ribu rupiah. Ya, 500 ribu rupiah dan duit saya sudah mengalir ke rekening tabungan koh Hendi karena saya beli sepatu ke dia. Ani pun tiba-tiba bermetamorfosis menjadi advokat saya, melobi pak polisi supaya biaya dendanya dikurangi. Singkat cerita sih, pokoknya pak polisi itu baik sama saya dan Ani karena si bapak akhirnya bilang bahwa kita bisa bayar denda yang paling minimal (apalagi ini kali pertama saya ditilang dan alasan buang air itu memang.. ya.. daripada ngompol di pos kan?). Yang saya lihat waktu itu nominal paling kecil itu ya seratus ribu. Untunglah uang selalu siap sedia, dan saya pun bisa bayar denda di tempat.
Sudah bereskah? Belum!
Si bapak malah ngajak ngobrol lagi. Si bapak tiba-tiba menanyakan sesuatu yang bikin saya ketawa on the spot. Mungkin karena Ani banyak menjelaskan daripada saya, si bapak pun nanya ke Ani.
"Kamu ibunya?"
Saya pun ketawa on the spot dan Ani nampak shock. Saya langsung mengklarifikasi bahwa Ani itu sahabat saya, dan di-iya-kan juga oleh Ani. Si bapak malah gantian meng-ciye-ciye-kan saya dan Ani. Disitu pun saya dan Ani jadi kaget.
Ditanya juga saya dan Ani habis dari mana. Ani, yang saat itu masih jadi advokat, langsung bercerita panjang lebar, bilang kalau kami habis makan siang. Lengkap dengan keterangan tempat bahwa saya, Ani, dan Muthia habis makan sore di McDonald's. Pak polisi itu lagi-lagi menanyakan sesuatu yang mengejutkan, yang bikin jaw dropping.
"Ih, kok makan disana nggak ajak-ajak saya?"
Der fick?! (2)
Singkat cerita deh ya. Urusan ditilang beres. Saya bisa mengantar Ani dan Muthia kembali ke apartemen mereka yang nyaman dan aman. Saya pun bisa pulang ke rumah. Ada dua pelajar yang saya ambil dari kejadian ditilang itu, yang akan dijabarkan dalam bullet di bawah ini:
- Kalau memang dengan sengaja melanggar lalu lintas dan ketahuan salah, mengaku saja salah dan jangan banyak alasan. Wajar juga sih kita beralasan, ya selama alasannya memang masuk akal dan nggak aneh-aneh (semisal, nggak lihat lampunya merah atau apa lah). Dalam kasus saya, si lampu kuning dan timer saat itu memang nggak nyala, jadi saya kira memang traffic light sedang mati. Ditambah lagi, urgensi untuk buang air kan sesuatu yang inevitable. Selain itu, kalau memang harus bayar denda, ya bayarlah. Intinya sih, harus lebih disiplin dengan aturan lalu lintas. Jangan nerobos lampu merah, muter balik di tempat yang nggak seharusnya, berhenti di tempat yang dilarang, atau semacamnya. Aturan lalu lintas kan dibuat untuk keselamatan semua pengguna jalan. Saya bayar bukannya biar nggak usah dibawa ke pengadilan atau biar cepat, tapi karena memang saya mengaku salah dan kalau di aturannya harus didenda, ya saya harus bayar denda. Tapi polisi kan memberi pilihan, mau bayar di pengadilan, di tempat, atau lewat ATM. Saat itu memang saya bisa bayar di tempat, jadi ya sudah bayar di tempat. Lagipula selama ini saya jalan kaki ke Gerlong dan lewat pos polisi itu, para polisinya nampak baik kok (you know what I mean kan, bukan polisi palsu yang 'malak' duit)
- Polisi ramah, sahabat rakyat. Polisi pertama yang memberhentikan saya itu orangnya galak. Tegas sih, tapi nggak bersahabat dan banyak membentak. Ani sama Muthia sudah wanti-wanti saya supaya nggak kebawa emosi. Dan disitu, pilihan saya untuk nggak banyak ngomong dan langsung ke pos merupakan pilihan yang tepat. Lebih males lagi kan kalau harus berurusan dengan polisi yang nggak ramah. Polisi yang satu laginya, yang jaga di pos, menunjukkan keramahannya. Bahkan di momen-momen menegangkan seperti itu, pak polisi itu masih sempat bikin suasana lebih adem dengan guyonan-guyonannya. Lagi ditilang aja saya sempet ketawa. Bukannya menganggap remeh hukum, tapi kan kalau begitu juga saya yang ditilang nggak merasa benar-benar tersudutkan. Intinya sih, polisi yang ramah pasti lebih disukai masyarakat. Apalagi kalau polisinya ternyata sama-sama suka makan burger di McDonald's. Mungkin pak polisi itu juga sering beli Rice Box rasa teriyaki di KFC.
Kalau dilihat dari sudut pandang pragmatics, apa yang dilakukan polisi itu (semua guyonan dan pertanyaan konyolnya) merupakan tindakan FSA atau face-saving act (tindakan menyelamatkan wajah). FSA ini merupakan konsep yang ada dalam bahasan politeness (kesopanan) di lingkup pragmatics. Wajah disini maksudnya apa ya, kayak perasaan kita terkait rasa malu. Ditilang itu kan kejadian yang memalukan buat kebanyakan orang. Saat saya ditilang, ya saya juga malu lah pasti karena ada beberapa orang lihat. Tapi rasa malu itu nggak bikin saya merasa totally uneasy karena keramahan dan guyonan dari pak polisi yang bikin saya dan Ani merasa bahwa, meskipun kita ditilang dan bersalah pak polisi ini nggak lantas menjatuhkan harga diri kita. Dan karena itu pula, win-win solution bisa didapatkan. Saya bisa membayar denda dan menjalani proses tilang dengan baik tanpa merasa benar-benar dipermalukan, dan polisi itu juga menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapat kesan baik dari masyarakat--saya dan Ani.
Udah sih sebetulnya gitu ceritanya. Ambil hikmahnya, dan lebih banyak senyum dan ramah sama orang lain. Saya juga lagi belajar supaya lebih ramah sama orang lain hehehe
0 comments:
Post a Comment