Sudah lebih dari lima kali kuklik tombol refresh pada halaman ini selama sepuluh menit terakhir dan tak ada pemberitahuan untuk pesan baru yang muncul di laman utama surelku. Apakah lebih baik kuhubungi saja contact person yang tercantum di surat terakhir yang kuterima? Atau mungkinkah persyaratanku tak mencukupi? Perang batin yang kualami saat ini sejujurnya membuatku tersiksa. Jika aku diterima, itu artinya selangkah lebih dekat menuju cita-citaku. Jika aku ditolak, itu artinya masih ada kesempatan untukku bisa menempuh pendidikan berikutnya di kampus yang sama dengan kampus yang sahabat-sahabatku pilih. Mungkinkah itu di luar kota atau tetap di Bandung, kesempatan untuk bertemu sahabat-sahabatku akan lebih besar dibandingkan jika aku harus menempuh pendidikanku di negara itu.
“Hey! Jangan bengong!”
Teguran kakakku membuatku terkejut. Untung saja Macbook Air yang ada di atas pangkuanku saat ini tak sampai terjatuh. Mas Eza duduk di sebelahku, bersandar dan meluruskan kedua kakinya sambil menikmati coklat panasnya.
“Mau?” mas Eza menawariku segelas coklat panas.
“Biar nanti Rey bikin sendiri, mas,” jawabku.
“Kalau mau ini sekalian mbak buatkan, Rey,” sahutan dari dapur membalas ucapanku.
“Oh, dibikinin mbak Alia?” tanyaku.
Kakakku mengangguk pelan. Ia lalu menaruh mug berwarna hijau tua itu di atas meja.
“Lagi cek apa sih, Rey? Dari tadi sibuk banget keliatannya,” tanya mas Eza.
“Belum ada balasan,” jawabku pelan.
“Apa? NUS?”
“Ya”
“Sabar aja, Rey. Lagi proses namanya”
Mbak Alia muncul dari arah dapur lalu bergabung bersama kami di ruang keluarga. Ia memindahkan channel televisi dan, setelah menemukan channel yang ia sukai, menonton acara televisi sembari menikmati coklat panasnya.
“Mbak aja dulu dapat e-mail balasan dari Manchester setelah nunggu sekitar dua bulan. Kadang memang lama Rey nunggunya. Bayangkan aja. Yang daftar itu bukan ratusan orang, tapi ribuan bahkan sampai ratusan ribu orang. Pesaing kamu banyak,” jelas mbak Alia.
“Tuh, denger sendiri, ‘kan? Alia yang udah kuliah di luar aja dulu sempat nunggu berbulan-bulan. Lagian kamu baru submit data kamu kemarin. Nggak mungkin langsung keterima, Rey,” sambung mas Eza.
Aku menghela nafas sejenak.
“Sambil persiapan lagi aja kali ya?” tanyaku.
“Persiapan apa lagi memangnya?” tanya mbak Alia.
“Bahasa,” jawabku.
“Bahasa Inggris kamu udah bagus, ‘kan? Sudah ambil TOEFL?” tanya mbak Alia lagi.
“Dia bareng sama aku ambil tesnya, sekitar enam bulan yang lalu,” tukas mas Eza, “Bagus kok hasilnya dia. Lumayan. Dapet berapa kamu, Rey?”
“Lima ratus dua puluhan. Lupa,” jawabku pelan.
“Segitu sudah bagus, Rey,” balas mbak Alia, “Kamu berapa, Za?”
“Lima ratus empat puluh tiga dong!” jawab kakakku bangga, “Aku ‘kan lebih jago daripada si Rey. Ya nggak, Rey?”
Aku memajukan kedua bibirku. Hanya mendapat dua puluh poin lebih tinggi saja bangganya seolah-olah ia baru terpilih sebagai presiden.
“Eh, lupa! Mbak ‘kan bikinin kamu coklat panas juga. Ada di atas meja makan. Ambil aja sendiri ya,” seru mbak Alia.
“Ah, masih muda udah pikun,” goda mas Eza.
“Pikun pikun juga kamu nikahin,” balas mbak Alia jahil.
Aku tersenyum mendengar candaan kakakku dan istrinya. Kutaruh Macbook Air kakakku di atas meja lalu melangkah menuju ruang makan untuk mengambil coklat panasku. Suara tangisan bayi terdengar dari arah kamar kakakku saat aku hendak meneguk coklat panasku. Mbak Alia nampak bergegas menuju kamar tidurnya lalu kudengar ia menenangkan si kecil Dira yang terbangun dari tidurnya. Duduk sendiri di ruang makan, aku menikmati coklat panasku sembari menatap jam yang ada di dinding. Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa cepat atau lambat aku akan melepaskan atribut putih abu yang selama tiga tahun ini melekat padaku. Padahal rasanya baru kemarin aku, Andra, Gea dan Dilla berbaris di lapangan itu lalu berkenalan dengan orang-orang baru. Rasanya juga baru kemarin aku duduk bersebelahan dengan Ezra, berkenalan dengan Evan saat berlatih drama dan membuat prakarya dari botol plastik bekas bersama Tania. Kuambil ponselku dan jemariku mulai bergerak di atas layar sentuh. LINE. Pesan baru. Adriandra Wilander. Kuketikkan pesanku di box pesan.
“Lagi apa, Dra?”
Pesan itu terkirim. Aku meringis pelan. Kuketikkan lagi sesuatu di box pesan, lalu kublok pesan itu dan kusalin sebelum kukirimkan pada Andra. Aku pun beranjak menuju chatbox lainnya. Dilla Shani. Ezra Rashid. Evan Siregar. Gea Kamila. Tania Vinsensia Winata. Pada setiap box pesan kutahan klik dan muncul pilihan untuk operasi tempel pesan yang tersalin.
“Gimana kabarnya? Missing y’all”
Aku menghela nafas sejenak. Kemudian kuketikan kembali di tiap masing-masing chatbox.
“Missing y’all to death. Serius. Lama nggak jumpa dan main. Kapan kalian ada waktu kosong? Ingin ketemu dan makan bareng”
Kutaruh ponselku di atas meja lalu kembali meneguk coklat panasku. Mas Eza kini masuk ke kamarnya dan ikut menenangkan Dira yang masih menangis. Bayi berusia empat bulan itu begitu mirip dengan ibunya, namun senyum yang ia miliki diwarisi oleh ayahnya. Aku sering menjaga si kecil Dira saat kakakku dan istrinya pergi dan saat aku bersama Dira, aku merasa seolah-olah aku sedang melihat diriku dalam versi bayi. Dira selalu tenang saat bersamaku. Ia tak rewel, hampir tak pernah rewel saat bersamaku. Aku pernah membaringkan tubuhku begitu saja di tempat tidur dan aku lupa bahwa Dira berbaring tak jauh dariku. Ia terguncang saat aku berbaring dan aku panik saat menyadarinya. Kukira ia akan menangis namun nyatanya ia justru tersenyum kecil dan berusaha untuk tertawa.
“Rehaaaaan! Kangen!”
Dilla yang pertama membalas pesanku. Aku tersenyum membaca pesannya yang ia sambung dengan serangkaian stiker karakter Hatsune Miku. Aku mengetikkan pesan balasan untuknya.
“Sama! Aku juga kangen.. pake banget! Kabar kamu gimana? Oh ya, udah ada kabar tentang penerimaan di universitas pilihan kamu?”
Ponselku bergetar. Pesan lainnya baru saja masuk.
“Doctor Drey! Aku iseng-iseng kemarin kirim lamaran ke Hits!”
Aku tersenyum membaca pesan Ezra. Jika ia diterima, maka mimpinya menjadi penyiar radio akhirnya tercapai sudah. Aku tahu selama ini Ezra berusaha keras untuk dapat merealisasikan mimpinya. Ia sering berlatih, berpura-pura membawakan sebuah acara radio dan aku tahu ia memiliki bakat itu. Saat aku dan Ezra pergi dengan Evan yang mengendarai mobil, Ezra akan duduk di seat depan di samping Evan, menyambungkan ponselnya dengan perangkat audio mobil Evan dan berpura-pura membawakan acara request di radio dengan memainkan lagu-lagu dari ponselnya.
“Traktir ya kalau diterima! Eh, lagi sibuk apa aja?”
Ponselku kembali bergetar.
Evan Siregar
9.26 PM - Rey lagi dimana?
Aku meringis pelan.
Reyhan Gunadinegara
9.27 PM - Di rumah. Bang Evan dimana? Lama nggak ketemu nih
Ponselku bergetar sebanyak tiga kali.
Tania Vinsensia Winata
9.27 PM – Oppa! Kangen! Aku lagi sakit. Dari tadi siang meriang :(
9.27 PM – Lama nggak ketemu ya. Hiks
9.27 PM – Lagi apa?
Aku melanjutkan obrolanku dengan empat orang sahabatku yang membalas pesanku. Belum ada balasan dari Gea dan Andra. Jujur saja ini membuatku tak nyaman. Aku benar-benar ingin tahu kabar mereka. Sudah hampir dua minggu aku tak mengunjungi sekolah dan selama itu pula aku tak bertemu dengan sahabat-sahabatku. Masing-masing dari kami sibuk dengan urusan kami, mempersiapkan pendaftaran universitas atau aktivitas-aktivitas lainnya. Ezra mengajakku bertemu dengannya lusa untuk minum kopi dan mengobrol dan segera saja aku menyetujui ajakannya. Dilla pun akan ikut bertemu nanti lusa.
“Evan nggak bisa ikut. Dia lagi gamang, lagi nggak mau diganggu dulu beberapa hari ini”
Aku meringis pelan.
Reyhan Gunadinegara
9.36 PM – Aku khawatir sama bang Evan. Aku pengen bantu dia tapi aku takut salah bertindak. Nanti malah kalau gitu bikin keadaan tambah buruk.
Ezra Rashid
9.37 PM – Kamu buat sekarang diem dulu aja sambil pantau kondisinya. Dia lagi nggak bisa diganggu jadi buat saat ini jangan lakukan apapun dulu.
Reyhan Gunadinegara
9.37 PM – Dipikir-pikir jahat ya orang itu. Bang Evan udah baik sama dia, tapi malah dibalasnya begitu. Pasti sakit hati lah diperlakukan begitu.
Tangisan Dira mulai mereda. Tak lama kemudian kakakku keluar dari kamarnya lalu menangkap tatapan mataku padanya. Ia mengangkat kedua bahunya dan tersenyum kecil.
“Kalau nanti kamu punya anak, pasti kayak gitu juga,” ujar mas Eza.
Kuteguk habis coklat panasku lalu kutaruh ponselku di atas meja. Aku terpaku menatap langit-langit ruang makan. Beban mulai terasa bertumpuk di pelupuk mataku. Meringis pelan, aku pun bangkit dari tempat dudukku dan berjalan menuju halaman belakang rumah kakakku. Aku duduk di bangku kayu yang menghadap ke arah taman belakang dan kolam ikan koi. Pencahayaan yang diatur sedemikian rupa membuat halaman belakang rumah kakakku nampak mewah di malam hari. Terdapat pula lampu-lampu yang di pasang di dinding kolam ikan koi sehingga aku masih dapat dengan jelas melihat pergerakan ikan-ikan itu di malam hari.
“Ngapain, Rey?”
Aku berbalik. Kakakku telah berdiri di belakangku sembari memeluk Macbooknya. Ia lalu menghampiriku dan duduk di sampingku. Macbook itu ia taruh di atas pangkuannya.
“Kamu kenapa?” tanya mas Eza.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawabku.
“Mas juga tahu pasti ada apa-apa sama kamu,” ujar mas Eza.
Aku membetulkan posisi dudukku.
“Rey lagi kesepian,” ujarku pelan.
“Kangen teman-teman kamu?” tanya mas Eza.
Aku mengangguk pelan. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket windcheater Superdry yang ayah belikan untukku.
“Mereka sibuk,” jawabku singkat, dengan penekanan pada kata kedua.
“Wajar. Pasti lagi sibuk urus untuk kuliah,” balas kakakku.
“Sampai sama sekali nggak ada waktu buat Rey?”
“Bukan begitu. Mereka juga ‘kan punya prioritas—apa yang harus dilakukan lebih dulu”
“Apa mereka nggak sadar kalau Rey diterima di NUS itu artinya akan lebih susah lagi mereka ketemu Rey? Apa mereka nggak sadar kalau Rey akan tinggal jauh? Bahkan Gea sama Andra pun nggak balas pesan Rey. Apa mereka mulai lupa sama Rey? Kalau Rey diterima, Rey ingin sebelum Rey pindah dan susah untuk ketemu dan kumpul bareng mereka Rey bisa menikmati waktu bersama mereka. Perpisahannya memang buat sementara, tapi Rey ingin mereka tahu kalau bertemu untuk kumpul setelah Rey pindah itu nggak segampang yang dikira. Rey pengen kangen-kangenan sama mereka”
“Jangan egois. Jangan memaksa orang buat menjadikan kamu prioritas”
Aku meringis pelan. Mungkin kakakku ada benarnya. Kurasa memang nasibku saja untuk tidak sesibuk sahabat-sahabatku yang lain sehingga di saat aku membutuhkan kehadiran mereka, mereka sedang berkutat dengan kesibukan mereka dan belum memiliki waktu untukku.
“Kalau Rey pindah ke Singapura, mas bakalan gimana?” pertanyaan itu terlontar tiba-tiba.
Kakakku mengernyitkan dahinya. Matanya terus menatap halaman belakang yang ada di hadapannya.
“Sebenernya mas ingin bilang sesuatu ke kamu. Mas ingin bilang kalau kamu nggak akan betah disana karena kamu bakalan tinggal sendiri. Kamu nggak bisa naik MRT sendiri. Kamu nggak jago bahasa Mandarin. Ngobrol sama oma aja kamu malah bingung sendiri. Kamu kikuk kalau harus ada di tempat baru. Kamu nggak jago berteman sama orang baru. Pokoknya kamu nggak akan betah tinggal di Singapura,” ujar kakakku.
“Kenapa mas Eza bilang gitu?” tanyaku.
“Sengaja supaya kamu nggak perlu pindah dan lanjut kuliah di Singapura,” jawabnya.
“Are you going to miss me?”
Mas Eza meringis pelan.
“Kepikiran tentang kamu mau kuliah di luar negeri aja sudah bikin mas nggak bisa tidur,” jawabnya, “Kamu tahu, ini situasi yang dilematis. Di satu sisi, mas dukung cita-cita kamu. Mas yakin kalau kamu bakalan selangkah lebih dekat dengan cita-cita kamu kalau kamu kuliah di NUS. Kamu juga bakalan lebih berkembang. Tapi di sisi lain, mas nggak mau kamu pindah dan tinggal disana. Mas nggak mau kamu pergi jauh”
“Tapi sebetulnya belajar biola bisa di Indonesia juga nggak kalah bagus, ‘kan?” tukasku.
“Disana kamu bakalan lebih berkembang. Rey, coba ingat lagi. Kamu sendiri ‘kan yang waktu itu memutuskan untuk coba daftar?” jelas mas Eza.
Beban di pelupuk mataku tak dapat kupendam lagi. Kedua tanganku gemetaran dan untunglah keduanya berada di dalam saku jaketku sehingga kakakku tak perlu melihatnya. Namun kakakku tahu aku terisak pelan. Ia menepuk pundakku dan mengusap kepalaku pelan.
“Yang kangen nggak cuman kamu kok. Mas sama ayah juga pasti bakalan kangen,” ujarnya.
“Rey malu. Mas jangan lihat Rey,” ujarku pelan.
“Kenapa mesti malu? Mas sendiri sedih sebetulnya karena kamu mau pergi ke Singapura”
“Rey kesal. Kenapa Rey selalu nangis di saat kayak gini?”
“Mas juga nangis, kok”
“Bohong”
“Nangis. Dalam hati”
Aku menyeka air mataku. Bukan hanya kakakku yang berfikir bahwa situasi ini dilematis. Ini juga situasi yang dilematis bagiku. Selangkah lagi aku mencapai cita-citaku untuk lebih mendalami musik dan menjadi bagian dari orkestra. Itu artinya, aku harus meninggalkan keluargaku dan sahabat-sahabatku. Aku harus tinggal di tempat baru, bertemu dengan orang-orang yang belum pernah kukenal sebelumnya, yang mungkin tak seramah mereka yang kukenal disini. Aku akan menjalani hari-hari yang berbeda dan melakukan kegiatan yang berbeda. Aku tak perlu kerepotan mengasuh si kecil Dira saat kakakku dan istrinya bekerja, namun itu artinya aku pun tak dapat bermain dengannya, melihatnya tumbuh menjadi balita yang manis.
“My only little brother”
Kakakku kemudian merangkulku. Aku masih tertunduk, mencoba mengendalikan emosiku. Aku tak boleh selalu menangis di saat-saat seperti ini. Aku tak boleh terlihat lemah, meskipun sejujurnya itu hal yang tak kusukai—berpura-pura kuat di hadapan banyak orang.
“Semua juga pasti bakalan rindu sama kamu. Mas juga gitu kok. Tapi karena mas sayang sama kamu, mas dukung keputusan kamu. Kamu sudah memutuskan untuk coba daftar, sekarang kamu jalani aja. Bikin orang-orang yang sudah dukung kamu bangga sama kamu. Oke?”
Aku mengangguk pelan. Bangkit dari tempat dudukku, aku masuk ke dalam rumah dan melangkah ke kamar mandi. Kukunci pintu kamar mandi kemudian kubasuh wajahku di wastafel. Mataku nampak merah karena menangis dan jujur saja ini membuatku kesal pada diriku sendiri. Semoga saja mbak Alia tak perlu melihat mataku. Cukup kakakku saja yang tahu bahwa aku tadi sempat menangis. Keluar kamar mandi, aku disambut oleh seruan kakakku yang menggema di langit-langit ruang keluarga. Ia menaruh Macbooknya di atas meja kopi lalu setengah berlari menghampiriku dan memelukku erat selama beberapa detik. Ia mengguncang-guncangkan bahuku dan mengacak-acak rambutku, kemudian kembali memelukku. Akhirnya setelah beberapa ronde pelukan dan acak rambut, kakakku mulai reda dari euforianya.
“Mas tadi cek Macbook dan ternyata akun e-mail kamu belum di-sign out. Maaf mas jadi lihat inbox kamu dan mas lihat ada pesan baru dari NUS,” ujar mas Eza antusias.
Aku tertegun sejenak. Keringat dingin mulai mengucur.
“Selamat, Reyhan! Kamu lolos tes pertama! Mas bangga sama kamu!”
Kutelan air liurku. Aku tak tahu apakah aku harus bergembira atau bersedih.
0 comments:
Post a Comment