Koper terakhir telah selesai kusiapkan. Koper itu
kuletakkan tepat di samping koper besar berwarna biru tua dan backpack American Tourister hitam.
Kutaruh windbreaker jacket Superdry-ku di atas koperku agar
aku tak lupa mengenakannya nanti. Kulihat ke arah lemari pakaianku yang kini
setengah kosong. Seolah tak percaya, aku membawa pergi setengah isi lemariku.
Aku menyisakan beberapa pakaian di lemariku, dengan anggapan bahwa aku tak
perlu membawa terlalu banyak pakaian saat aku kembali ke sini untuk berlibur.
Toh lagi pula aku masih bisa mengenakan kaus kakakku yang ia tinggalkan di
lemari pakaiannya. Sekarang aku mulai memahami apa yang kakakku rasakan.
Mungkin seperti inilah rasanya meninggalkan rumah. Perbedaannya hanyalah jarak
saja. Kakakku masih tinggal di kota yang sama, sedangkan aku tak hanya pindah
kota, tetapi juga pindah pulau, bahkan pindah negara. Aku perlu pintu kemana saja, sekarang juga! Pasti senang rasanya
jika ada pintu kemana saja. Jarak jauh pun tak menjadi masalah. Aku tak perlu
mempersiapkan pakaian sebanyak ini. Aku masih bisa tinggal di rumah meskipun
kampusku berada di negara tetangga.
“Reyhan?”
Aku melirik ke arah pintu. Ayah berada di ambang pintu,
melihat apa yang sedang kulakukan di kamarku. Ia sepertinya baru saja selesai
melaksanakan solat Subuh karena ia masih ada peci hitam di atas kepalanya.
“Buku-buku yang penting sudah dibawa?” tanya ayah.
Aku mengangguk pelan.
“Itu kok biola
belum dimasukkan ke tempatnya?” tanya ayah lagi.
Aku melirik ke arah meja belajarku, dimana kutaruh
biolaku begitu saja di atasnya. Aku menghela nafas pendek kemudian bergegas
memasukkan biolaku dan penggeseknya ke dalam tasnya. Kuperiksa kembali
kelengkapannya. Penggesek cadangan, damar, dan senar cadangan sudah ada di
dalam tas. Buku-buku partitur sudah kumasukkan di tas terpisah.
“Kalau sampai ketinggalan
nanti repot,” ujar ayah, “Apalagi biola ‘kan akan jadi senjata kamu nanti di
perkuliahan.”
“Ya, ayah,” jawabku pelan.
Ayah kemudian pergi dan kini tinggal aku sendiri di
kamarku. Astaga! Hanya dalam waktu
beberapa jam saja aku sudah akan berada jauh dari kamarku. Aku akan
merindukan kamarku. Aku akan merindukan semuanya. Tiba-tiba aku teringat ada
seseorang yang harus kutemui untuk kuucapkan salam perpisahan. Setengah berlari
aku menuju dapur dan melihat keluar melalui jendela dapur. Ah! Syukurlah aku melihatnya di luar! Sosok Alan nampak sedang
duduk di kursi kecil di dekat jemuran pakaian. Kubuka pintu dapur dan, bertelanjang
kaki, aku menghampirinya. Alan kemudian melihatku. Bibirnya yang pucat
membentuk sebuah senyuman kecil.
“Alan, sedang apa?” tanyaku.
“Duduk saja,” jawabnya.
Aku pun duduk di sebuah tembokan pendek yang dulunya ayah
gunakan untuk menyimpan pot-pot tanaman besar. Alan ikut duduk di sampingku. Ia
memperhatikan wajahku dan menepuk bahuku. Pada awalnya, tangannya terasa sangat
dingin, namun berangsur-angsur terasa hangat.
“Hari ini berangkat?” tanya Alan.
“Ya. Sekarang tinggal menunggu mas Eza buat antar ke bandara,” jawabku.
“Viool dibawa
juga?” tanyanya.
“Ya. Kalau tidak dibawa, nanti tidak bisa apa-apa
disana,” jawabku.
“Aduh. Tidak bisa dengar jou main viool lagi,”
sesalnya.
Mataku mulai terasa sembab. Rasanya aku tak ingin
meninggalkan rumah ini. Aku tak ingin pergi! Aku ingin disini saja! Tolong
batalkan penerbangannya dan buat surat pengunduran diri untukku! Sayangnya sudah terlambat untuk mengatakan bahwa aku ingin
melanjutkan sekolahku disini saja. Aku tak mau meninggalkan semuanya.
“Wees niet bedroefd.
Reyhan, wees niet bedroefd,” ujar
Alan pelan.
Aku menyeka air mata di sudut mataku.
“Dank je,
Alan,” ujarku pelan, “Ik zaal je missen.”
“Ik zaal je missen,
ook.”
Kudengar klakson mobil dari arah depan rumah. Mas Eza pasti sudah tiba. Aku pamit pada
Alan dan masuk kembali ke dalam rumah. Ayah baru keluar dari kamarnya dan
berjalan ke arah ruang tamu. Ia nampak rapi, seolah-olah sudah siap untuk
mengantarku ke bandara. Tapi aku adalah cerita yang lain. Kurasa aku belum
siap, belum siap secara mental. Sambil membuka pintu ruang tamu, ayah berseru
padaku untuk bersiap-siap dan berganti baju. Dengan malas kuganti pakaianku dan
kukenakan windbreaker jacket-ku yang
di Singapura nanti tak akan ada gunanya. Jujur saja cuaca pagi ini memang
sangat dingin. Kurasa ini karena hujan lebat turun kemarin malam.
“Rey udah
siap?” kudengar suara kakakku dari arah ruang tamu.
“Sudah. Koper-kopernya masukkan saja ke bagasi,” jawab
ayah.
Aku tak mau
melihat wajah kakakku! Aku tak mau melihatnya saat ini! Aku tahu jika aku melihatnya, aku akan semakin tak
sanggup untuk pergi. Kudengar langkah kaki yang berjalan ke arah kamarku. Aku
harus melakukan sesuatu, mungkin bersembunyi atau berpura-pura mencari sesuatu
di dalam lemariku agar aku tak harus melihat kakakku. Sosok mas Eza pun kemudian masuk ke kamarku,
menyapaku, mengambil koper-koperku dan membawanya keluar untuk dimasukkan ke
dalam bagasi mobil. Saat itu aku sedang pura-pura mencari sesuatu di dalam
lemari pakaianku yang sudah setengah kosong. Mas Eza pun kembali lagi ke kamar, namun kali ini memanggilku.
“Rey?” panggilnya.
“Ada apa?” jawabku.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
“Nyari
sesuatu,” jawabku.
“Sesuatu? Ada yang ketinggalan?
Bukannya semua udah kamu masukkan?
Lemari kamu sampai sudah kosong setengahnya begitu.”
Aku terdiam. Percuma aku berbohong karena kakakku pasti
tahu aku sudah memasukkan semua yang harus kubawa ke dalam koperku. Kukira
kakakku akan mengatakan hal yang membuatku semakin tersudutkan, namun ia justru
hanya menyuruhku bergegas dan meninggalkanku di kamarku. Kini aku sendirian di
kamarku. Kututup pintu kamarku dan kusandarkan punggungku pada pintu kamar.
Kupandang kamarku sekali lagi. Semuanya telah rapi, siap untuk kutinggalkan.
Bantal, guling, dan selimutku telah tertata rapi. Tak ada buku-buku yang
tergeletak begitu saja di atas meja belajarku. Semuanya sudah rapi. Kuseka air
mata di pipiku. Cat tembok kamarku, bau
kayu lemari pakaian, retakkan pada cermin, serta gorden berwarna coklat tua.
Aku akan merindukan ini semua.
“Reyhan, ayo kita berangkat sekarang,” sahut ayah dari
luar kamarku.
Aku pun kembali menyeka air mataku. Sebisa mungkin aku
berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja di hadapan ayah dan kakakku. Mbak Alia tidak ikut mengantarku ke
bandara. Mungkin ia tak tega jika harus membawa si kecil Dira pergi pagi-pagi
sekali, hanya untuk mengantarku. Toh lagipula aku sudah berpamitan padanya
kemarin sore. Aku bahkan berkali-kali mencium dahi Dira dan memeluknya,
berjanji padanya bahwa saat aku pulang untuk berlibur, aku akan membawakannya
mainan. Aku tak sempat melihat dapur dan ruang keluarga karena ayah telah
berdiri di ambang pintu depan, bersiap-siap untuk menutup pintu. Segera
kukenakan sepatuku dan setengah berlari menuju mobil. Sengaja aku duduk di seat belakang agar aku tak perlu
bersebelahan dengan kakakku. Bagaimana
jika tiba-tiba aku menangis lagi dan kakakku melihatnya? Mobil bergerak
mundur, keluar dari pelataran. Aku sempat melihat lagi Alan, kini berdiri di
dekat pohon mangga sambil memperhatikan kami. Aku benar-benar akan
merindukannya. Ia pasti akan semakin kesepian setelah aku pergi. Toh selama ini
yang bisa melihatnya hanya aku.
Kami pun pergi menuju bandara. Mas Eza mengendarai mobil dalam kecepatan yang cukup tinggi untuk
mengejar waktu. Check-in dilakukan
satu jam sebelum penerbangan. Segala sesuatunya nampak terburu-buru,
seolah-olah aku harus segera tiba di bandara secepat mungkin. Itu artinya akan
semakin cepat aku berpisah dengan ayah dan kakakku. Aku tak ingin pergi! Aku ingin pulang saja!
“Kalau mau beli sarapan di pesawat, beli saja,” ujar
ayah.
“Nanti aja,
yah, kalau udah sampai di Singapura,”
jawabku.
“Atau kamu beli aja
cemilan apa gitu buat dimakan di
pesawat,” sambung kakakku.
“Rey bawa biskuit di tas,” jawabku pelan.
Menyebut kata ‘biskuit’ saja rasanya sulit sekali. Aku
benar-benar tak boleh banyak bicara. Jika tidak, suara isakan itu akan kembali
terdengar dan akhirnya ayah dan kakakku tahu bahwa aku sedang menangis. Kenapa aku begitu cengeng? Ini benar-benar mengesalkan! Jalanan
yang lengang membuat perjalanan terasa begitu cepat. Perjalanan dari Tamansari
menuju bandara pun dapat ditempuh dalam waktu kurang dari setengah jam. Ini
juga karena mas Eza mengemudi dalam
kecepatan tinggi. Jujur saja aku selalu takut jika mas Eza mulai mengebut. Setelah mobil terparkir, mas Eza dan ayah
membantuku membawakan koper-koper dan tasku. Gila! Aku harus membawa dua buah koper dan satu buah backpack! Belum lagi biolaku! Apa yang akan kulakukan setibanya di Changi nanti? Mencari porter untuk membawakan barang-barangku? Ah, yang
benar saja!
“Nanti coba minta tolong seseorang untuk bawakan
koper-koper dan tas kamu ke taksi,” ujar ayah.
“Mungkin ada porter
yang bisa bantu kamu, atau kamu pakai troli aja
sampai taksi,” sambung mas Eza.
Aku mengangguk pelan. Kini kami telah berada di selasar
luar bandara. Jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit. Itu artinya aku
harus segera melakukan check-in. Tak
ada banyak waktu untuk mengobrol lebih lama dengan ayah dan kakakku. Aku harus
segera masuk. Ayah memelukku, cukup lama karena aku sempat terisak pelan dalam
pelukannya. Ia mengusap kepalaku dan berpesan padaku untuk selalu menjaga diri.
Dan dalam momen itu, aku akhirnya melontarkan kalimat yang kurasa tak selalu
kukatakan pada ayah secara langsung.
“Reyhan sayang ayah,” ujarku terbata-bata.
Ayah kembali mengusap kepalaku, kemudian ia melepaskan
pelukannya. Kini aku harus menghadapi kakakku yang, saat melihatku menangis,
telah menyiapkan saputangannya. Ia yang menyeka air mataku. Aku tak bisa
menahan air mataku lagi. Aku terisak hebat saat mas Eza memelukku. Bahkan saat mas
Eza menyuruhku untuk berhenti menangis dan mencoba melepaskan pelukannya, aku
menahannya. Ini pertama kalinya aku pergi jauh dan tak akan kembali dalam waktu
yang lama, meninggalkan rumah dan keluargaku. Tentu saja ini bukan hal yang
mudah, terutama karena selama ini aku terbiasa bersama ayah dan kakakku. Selain
itu, kakakku juga menjadi sosok yang paling dekat denganku, terutama setelah
kepergian ibu. Saat mas Eza belum
menikah, ialah sosok yang setiap harinya menemaniku belajar, mengobrol, dan
bermain. Aku seringkali mengunjunginya di kamarnya, menjahilinya saat ia sedang
mengerjakan tugas atau sekedar bermain Dota. Mas Eza pun terkadang masuk ke kamarku, memecah konsentrasiku saat
belajar karena ia banyak bicara tentang hal-hal yang konyol, dan pada akhirnya
tertidur di tempat tidurku dengan laptop
yang masih menyala. Bagaimana bisa aku
melupakan hal-hal itu, yang selama bertahun-tahun kujalani?
“Reyhan, kamu harus udah
check-in sekarang,” ujar mas Eza.
“Rey nggak mau
pergi,” ujarku pelan.
“Nanti telat. Ayo masuk sekarang,” tegas mas Eza.
“Rey masih—“
“Jangan cengeng! Masuk sekarang!”
Aku terkejut. Kakakku membentakku di depan umum. Aku pun
melepaskan pelukanku dan menyeka air mataku. Akhirnya kulihat wajah kakakku.
Matanya nampak merah dan sedikit berair, tapi ia tak mau menunjukkan padaku
bahwa ia sedang sedih saat ini. Tanganku masih gemetaran saat aku mencoba
membawa kedua koperku dan mulai berjalan menuju pintu masuk ke dalam bandara.
Ayah dan mas Eza mengantarku, dan
berhenti saat aku mulai memasuki titik pemeriksaan. Kutunjukkan paspor dan
tiket pesawatku pada petugas, sementara semua barang bawaanku masuk ke dalam
mesin pemeriksaan.
“Nanti mas Eza
sesekali berkunjung ke sana. Kalau ada apa-apa selalu berkabar ya!” seru kakakku.
Aku berbalik dan melihat kakakku. Ia tersenyum kecil.
Kubalas senyumannya dan aku pun kembali berjalan.
Kini aku telah berada di dalam bandara, di antara
orang-orang yang tak kukenal. Aku benar-benar sendirian sekarang, tanpa ayah
dan kakakku. Segera kulakukan check-in
sebelum aku benar-benar terlambat. Meskipun aku sangat ragu bahwa aku bisa
melewatinya sendiri, aku tetap harus melakukannya. Aku benar-benar tak mau
membuang banyak waktu. Semua prosedur segera kulakukan dan aku pun akhirnya
berjalan sendiri menuju ruang tunggu. Ada banyak orang di sana dan aku
benar-benar merasa kikuk. Kukeluarkan ponselku dan kuperiksa pesan-pesan yang
masuk. Teman-temanku rupanya mengirim pesan-pesan perpisahan padaku. Yang benar saja! Kalian ingin aku menangis
sekarang? Di tengah keramaian seperti ini? Aku pun membalas pesan mereka
satu persatu dan ada kesedihan tersendiri saat kukatakan pada mereka bahwa
dalam waktu beberapa jam lagi nomor ponselku sudah tak dapat mereka hubungi,
namun aku berjanji aku akan memberitahu mereka nomor ponsel baruku segera
setelah kudapatkan kartu seluler baru di Singapura.
Gea Kamila
5.28 AM - Tenang aja, Rey. Kita masih tetap bisa komunikasi kok. Semangat!
Adriandra Wilander
5.29 AM - Masih ada LINE kok. Tenang aja. Take care ya disana. Cepet pulang :(
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Terdengar pengumuman
bahwa seluruh penumpang penerbangan menuju Singapura telah dapat naik ke
pesawat. Kukenakan kembali backpack-ku
dan ikut mengantri bersama penumpang lain untuk dapat turun dari ruang tunggu
dan masuk ke pesawat. Aku pun kembali sadar aku semakin jauh dari ayah dan
kakakku. Mereka mungkin telah kembali pulang. Mereka mungkin sudah berada dalam
perjalanan menuju Tamansari. Ayah mungkin nanti akan bersiap-siap untuk kembali
bekerja, begitu pula kakakku. Sahabat-sahabatku saat ini mungkin juga sedang
bersiap-siap untuk menyambut hari ini. Mereka juga pasti sedang mempersiapkan
segala sesuatunya untuk kehidupan baru mereka sebagai seorang mahasiswa, sama
sepertiku. Dua orang pramugari menyambutku, menyapaku dengan ramah. Sepuluh. Ah, sepuluh! Sepuluh F! Setelah
menemukan nomor tempat dudukku, aku pun menaruh tasku di bagasi atas tempat
duduk. Yang kubawa hanyalah pemutar musikku dan headphone. Syukurlah aku mendapat tempat duduk di sebelah jendela.
Setidaknya aku memiliki sesuatu yang dapat kulihat, meskipun hanya awan-awan
saja. Matahari terbit akan menjadi pemandangan hebat yang kudapatkan di
penerbangan pagi ini. Ya, ini karena selama ini aku tak pernah benar-benar
memperhatikan matahari terbit.
Seorang anak laki-laki seusiaku menyimpan
tasnya di bagasi atas, kemudian melihat ke arahku. Dari ekspresinya, sepertinya
ia ingin duduk di sebelah jendela. Oh,
apa daya! Kursi ini milikku! Akhirnya ia hanya tersenyum kecil dan duduk di
sebelahku. Ia sempat mencoba melihat ke luar jendela, namun akhirnya ia nampak
kecewa. Kurasa ia belum bisa melihat pemandangan yang ingin ia lihat, atau mungkin ia tak bisa melihat ke luar dengan jelas.
“Mau tukeran
tempat duduk?” pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja dari mulutku.
“Eh? Nggak kok.
Nggak usah,” jawabnya.
“Nggak apa-apa.
Kayaknya mas mau duduk di dekat
jendela,” ujarku.
“Di sini aja. Nggak apa-apa,” jawabnya seraya
tersenyum kecil.
Aku membalas senyumnya. Ya sudah kalau memang tidak mau duduk di dekat jendela! Aku baru
saja hendak mengenakan headphone-ku
dan memutar musik saat anak itu menanyakan sesuatu padaku.
“Liburan?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
“Kuliah. Maksudku, baru mau kuliah. Semester satu,”
jawabku.
“Wah? Sama dong!
Kuliah dimana?” tanyanya.
“NUS, tapi di konservatorium musiknya,” jawabku.
“Sama! Aku juga di NUS, tapi ambil bahasa Inggris,”
jawabnya.
Aku tersenyum kecil. Ini benar-benar kebetulan. Aku duduk
bersebelahan dengan seorang anak yang juga melanjutkan studinya di NUS. Apakah ia juga mengalami apa yang kualami? Apakah ia merasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya disini? Anak berkacamata itu kemudian menyodorkan tangannya padaku.
“Kita belum kenalan. Rendra,” ujarnya.
“Reyhan,” jawabku seraya membalas jabatan tangannya.
Rendra mengernyitkan dahinya dan tersenyum kecut. Aku merasa ada yang aneh. Apa jawabaku
salah? Atau mungkin, cara menjawabku kurang tepat? Rendra nampak terkejut
saat aku menyebutkan namaku. Kurasa tak ada yang salah, kecuali jika ia
mengetahui sesuatu yang mungkin menurutnya aneh. Rendra terus mengajakku
mengobrol. Pada awalnya aku merasa kikuk. Aku jarang sekali berada dalam
situasi seperti ini. Lebih tepatnya lagi, aku tak banyak bicara pada
orang-orang yang tak kukenal baik, bahkan saat bersekolah dulu. Namun, sikap
Rendra yang terbuka dan ramah membuatku akhirnya merasa nyaman untuk mengobrol
dengannya. Ia menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dan untuk sejenak, aku lupa dengan perpisahan melankolis yang kualami.
“Reyhan, langitnya bagus!” ujar Rendra seraya menunjuk ke
arah jendela.
Aku melihat keluar jendela dan kagum dengan pemandangan
yang kulihat. Di bawah kami adalah hamparan awan putih, dan matahari yang baru
terbit nampak keemasan, tidak begitu menyilaukan. Cahayanya masuk melalui
jendela dan menerpa telapak tanganku yang dingin. Ada semacam ketenangan yang
kurasakan setelah aku melihat pemandangan tersebut, seperti ada suara yang
memberitahuku bahwa aku akan baik-baik saja. Mungkinkah itu ibu? Aku tak tahu pasti, namun yang jelas aku merasa
jauh lebih tenang sekarang. Ya, aku memang sedih karena harus berpisah dengan
keluarga dan sahabat-sahabatku, namun ada sesuatu yang meyakinkanku bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Aku takut aku tak dapat berteman dengan baik, dan
pada akhirnya aku menjalani kehidupanku di Singapura sendirian. Aku juga takut
tak dapat beradaptasi dengan lingkungan baruku. Tapi sekarang ketakutan itu
mulai menghilang. Aku bisa menjalaninya. Aku harus bisa.
“Jangan-jangan kita tetangga asrama?” tanya Rendra
tiba-tiba.
“Who knows,”
jawabku seraya tertawa kecil.
"Aku di PGPR. Kamu dimana?" ujar Rendra.
"Serius? Aku curiga kamar kita sebelahan," jawabku kaget karena, tanpa kuberitahu Rendra, aku pun tinggal di PGPR.
Sepanjang perjalanan, aku jadi tak mendengarkan musik. Aku mengobrol bersama Rendra. Banyak hal yang membuat kami terkejut, dan kami banyak tertawa sepanjang perjalanan. Rendra bersekolah di SMAN 3, namun anehnya, meskipun masih berada dalam satu kompleks yang sama dengan sekolahku, aku tak pernah melihatnya. Kami mengenang banyak hal tentang masa-masa sekolah, termasuk penjual mie baso di dekat sekolah kami yang terkenal karena rasa makanannya yang lezat. Hal yang paling membuatku terkejut adalah saat kami berdua akhirnya sadar bahwa kami didaftarkan di taman kanak-kanak yang sama. Rendra berjanji akan membawa foto bersama murid taman kanak-kanak dan memintaku menunjukkan diriku di foto tersebut. Aku ingat foto itu, foto bersama dengan murid-murid yang lain. Ada cukup banyak anak di kelasku. Aku saja bahkan tak dapat mengingat semuanya.
Awalnya aku benar-benar tak siap dengan perpisahan ini. Sejujurnya, aku memang masih belum siap. Meskipun aku senang mengobrol dengan Rendra, jujur saja masih ada keinginan untuk kembali pulang. Tapi ternyata penerbangan pagi ini tak seburuk yang kubayangkan. Aku tak benar-benar sendiri. Ya, setidaknya aku punya teman mengobrol selama di pesawat. Setidaknya aku telah mengenal seseorang yang nanti akan tinggal di asrama yang sama denganku, dan mungkin kami akan bertetangga.
Kurasa inilah awal dari perjalananku yang sebenarnya.
0 comments:
Post a Comment