Saturday, August 15, 2015

Lemantun dan Rahim Ibu

Setelah cukup lama vakum dari dunia Soundcloud, hari ini saya mengunggah piano cover dari lagu Jepang berjudul Nada Sousou. Bagi saya, lagu tersebut begitu menyentuh, terutama dari segi lirik. Lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengenang sosok tercinta yang telah pergi mendahuluinya itu ditulis oleh Ryoko Moriyama dan BEGIN, band asal Jepang, namun popularitasnya melejit saat lagu itu dipopulerkan kembali oleh Rimi Natsukawa di tahun 2001. 

Setelah selesai mengunggah lagu, saya sempat melihat-lihat koleksi karya-karya yang saya sukai. Salah satunya adalah lagu berjudul Lagu Ibu, yang merupakan soundtrack dari sebuah film pendek berjudul Lemantun. Lagu tersebut ditulis oleh Gardika Gigih. Diaransemen dengan sederhana, Lagu Ibu berhasil menyajikan nuansa teduh dan menyentuh. Dentingan piano yang melankolis berhasil membuat saya teringat akan masa kecil saya yang, notabene, banyak dihabiskan bersama ibu saya karena ayah saya pada saat itu bekerja di luar kota.



Film Lemantun sendiri belum pernah saya tonton. Film yang disutradarai Wregas Bhanuteja ini menjadi salah satu nominator di ajang XXI Short Film Festival 2015 dan, menurut beberapa sumber, berhasil memenangkan festival tersebut. Salah satu sumber yang saya baca adalah sebuah artikel dari majalah Provoke yang mengupas filosofi lemari dari film tersebut. Lemantun, dalam bahasa Jawa, berarti lemari, dan dalam film ini, lemari menjadi key item yang mengantarkan makna untuk para penonton. Saat membacanya, tiba-tiba saya teringat dengan materi psikoanalisa yang sempat saya pelajari di semester 5 dan 6 kemarin. 


Sinopsis
Lemantun menceritakan tentang seorang ibu yang meminta kelima anaknya berkumpul untuk membagikan warisan kepada masing-masing anak. Tri, anak ketiga, merupakan anak yang bisa dikatakan tidak sesukses kakak dan adiknya. Saudara-saudaranya memiliki kehidupan yang bisa dikatakan mapan. Ada yang bekerja menjadi kontraktor, ada yang bekerja menjadi dokter, ada yang mendalami dunia fotografi, dan lain-lain. Dibandingkan empat saudaranya, Tri hanyalah seorang penjual bensin yang membuka usahanya di depan rumah orang tuanya. Tri bahkan masih tinggal bersama sang ibu dan belum berkeluarga. 

credit: http://jaff-filmfest.org/open-air-cinema-lemantun/

Sang ibu pun mewariskan lemari, satu untuk masing-masing anaknya. Lemari-lemari warisan tersebut merupakan lemari yang dibeli untuk masing-masing anaknya saat mereka lahir. Setiap anak diharuskan untuk membawa lemari tersebut di hari yang sama karena, jika tidak, si ibu mengancam akan memberi denda. Anak-anaknya pun mencari berbagai cara untuk bisa membawa lemari tersebut, tapi berbeda dengan Tri yang, notabene, belum mempunyai rumah sendiri.
credit: http://jaff-filmfest.org/open-air-cinema-lemantun/

Lemari-lemari warisan tersebut memiliki akhir yang, bisa dikatakan, agak ironis. Lemari yang seharusnya menjadi kapsul waktu tersebut ada yang dibiarkan saja tak dipakai. Ada juga yang dijual. Berbeda dengan lemari yang lain, lemari milik Tri justru disimpan dan dirawat. Lemari yang didapat oleh Tri merupakan lemari yang biasa digunakan Tri saat masih kecil dulu untuk bersembunyi. Tri bahkan sempat masuk ke dalam lemari dan diam di sana--sebuah scene yang melankolis. Pada akhirnya, lemari yang diwariskan untuk Tri digunakan untuk berjualan bensin. 


State of Jouissance
Seperti yang saya katakan sebelumnya, artikel yang diterbitkan oleh Provoke tersebut mengingatkan saya dengan materi psikoanalisa yang saya dapatkan di semester 5 dan 6. Psikoanalisa sendiri, seperti yang bisa ditebak dari namanya, merupakan cabang ilmu psikologi, namun juga bisa dijadikan sebagai pendekatan untuk menelaah karya-karya sastra. Menurut Bressler (2007:149), dengan menerapkan teknik-teknik psikoanalisa pada karya sastra, sebuah karya dianggap sebagai mimpi-mimpi si penulis karya yang, di dalamnya, terdapat keinginan dan dorongan-dorongan yang selama ini disembunyikan. Akan tetapi, Tyson (2006:35) berpendapat bahwa pendekatan psikoanalisa tidak dapat efektif membongkar keinginan tersembunyi si penulis karya melalui analisa karakter dalam karya tersebut karena karakter-karakter tersebut bukanlah sosok nyata dan, oleh karena itu, tidak memiliki jiwa nyata yang dapat dianalisa. Meskipun demikian, untuk mempelajari penerapan teori psikoanalisa, kita dapat mencoba menganalisa perilaku karakter dalam karya sastra dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa. 

Dalam Lemantun, ada satu scene yang menggambarkan karakter Tri masuk kembali ke dalam lemari. Seperti yang dikutip oleh Provoke, Wregas mengatakan bahwa lemari merupakan gambaran dari rahim. Sejalan dengan ini, di salah satu sesi perkuliahan dosen saya mengatakan bahwa dalam psikoanalisa terdapat sebuah konsep yang disebut sebagai Lustprinzip, atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai pleasure principle. Konsep ini berkaitan dengan keinginan yang ada dalam setiap diri manusia untuk mencapai state of jouissance, keadaan di mana manusia selalu merasa puas dan nyaman. Kepuasan dan kenyamanan tanpa batas tersebut didapat manusia saat ia masih berada di dalam rahim ibunya. Bayangkan bayi yang masih berada di dalam rahim ibunya. Saat ia lapar, ia tak perlu bersusah payah mengambil piring, menyendok nasi, atau bahkan mencari uang untuk bisa mendapatkan makanan; makanan bisa ia dapat dari ibunya. Si bayi tidak akan merasa kedinginan karena rahim ibu memberikan kehangatan yang membuatnya merasa nyaman. Tidak ada rasa takut atau ketidaknyamanan yang mengancam; rahim ibu pun menjadi semacam surga kecil. Kelahiran si bayi menandakan akhir dari kenyamanan dan kepuasan tanpa batas yang sebelumnya ia dapatkan. Si bayi kini masuk ke dunia, sebuah tempat baru yang berbeda. Bayi yang baru lahir untuk pertama kalinya merasakan udara luar yang mungkin dingin, tidak sehangat saat ia berada di dalam rahim. Saat ia lapar, ia harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan (kita tahu bayi kalau lapar biasanya menangis). Segala sesuatunya menjadi berbeda. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka muncullah apa yang disebut sebagai kecemasan atau anxiety

Kecemasan itu sendiri merupakan 'peringatan' yang menandakan adanya ancaman yang dapat mengakibatkan perasaan tidak nyaman, dan ancaman tersebut dapat datang dari luar (lingkungan sekitar dan orang lain) atau dari dalam (Emanuel, n.d.). Kembali ke Lemantun, sosok Tri mengalami kecemasan yang datang, tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Dari luar, karena ia merasakan sentimen saudara-saudaranya yang telah bekerja dan memiliki kehidupan yang mapan terhadap dirinya yang hanyalah penjual bensin dan belum berrumah tangga. Tri juga mengalami konflik batin yang disebabkan oleh perasaan 'minder' karena kondisinya yang belum mapan dan kenyataan bahwa ibunya semakin tua. Pewarisan sesuatu, mau tidak mau, mengingatkan kita akan sebuah kenyataan pahit bahwa setiap manusia akan meninggal. Bagi Tri, pewarisan lemari tersebut bisa saja memicu kecemasan dan ketakutan akan kehilangan sosok sang ibu yang selama ini tinggal bersamanya. Perlu diingat bahwa Tri, sampai usianya yang dewasa itu, masih tinggal bersama sang ibu dan merawatnya. Kita bisa membayangkan sendiri kedekatan antara Tri dan sang ibu. Oleh karena itu, pewarisan lemari tersebut sudah tentu bukanlah sekedar pemberian barang peninggalan bagi Tri; ada peringatan awal terhadap ancaman 'kehilangan sosok yang dicintai' di balik pewarisan tersebut.

Kehidupan yang kurang mapan, belum berkeluarga, serta ketakutan akan kehilangan sang ibu yang sangat disayanginya menjadi ancaman besar yang memberikan Tri kecemasan. Saat kecemasan muncul, secara alamiah seseorang akan menunjukkan apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan diri atau defense mechanism. Mekanisme pertahanan diri merupakan dorongan yang dapat mencegah munculnya pikiran-pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan (McLeod, 2009). Mekanisme tersebut muncul secara otomatis dan bekerja tanpa disadari, seperti halnya sistem imun pada manusia (Vaillant, 1994 dalam Bowins, 2004). Pada tahun 1977, seorang psikiater bernama George Eman Vaillant mengatakan bahwa mekanisme-mekanisme pertahanan diri dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas, yaitu pathological (primitif), immature (belum matang), neurotic (menengah), dan mature (matang/dewasa). Masing-masing kelas memiliki beberapa jenis mekanisme. Salah satu mekanismenya adalah regresi, yang diklasifikasikan ke dalam mekanisme kelas menengah. Saat seseorang mengalami regresi, ia akan menangani atau menghadapi masalahnya dengan cara yang dilakukannya saat ia masih berada di tahap perkembangan awal (semisal, anak-anak). Masuknya Tri ke dalam lemari seperti memutar kembali waktu saat Tri masih anak-anak dan sering masuk ke dalam lemari untuk bersembunyi. Hal ini semacam menggambarkan regresi yang ditunjukkan oleh sosok Tri sebagai mekanisme pertahanan dirinya dalam menghadapi kecemasannya. Di sisi lain, analogi lemari sebagai rahim ibu juga menyiratkan keinginan Tri untuk bisa kembali ke state of jouissance. Karena tidak mungkin bagi Tri untuk kembali masuk ke dalam rahim ibunya, lemari warisan ibunya-lah yang akhirnya berperan sebagai 'rahim' bagi Tri. 


Cinta Ibu
Membaca artikel-artikel mengenai film Lemantun membuat saya secara pribadi tersadar akan kenyataan bahwa, terlepas usia saya yang tak lagi bisa disebut anak-anak, saya masih menginginkan dan (akan terus mencari) suasana tenang dan hangat yang diberikan oleh sosok ibu. Lemari warisan yang dimiliki oleh Tri dari ibunya seperti menjadi simbol akan cinta dan kasih sayang seorang ibu yang tak ada akhirnya. Dari Lemantun, saya menangkap pesan bahwa, meskipun suatu hari si ibu akan pergi meninggalkan Tri, ia tidak akan begitu saja meninggalkan Tri. Lemari warisan itu seolah menjadi simbol cinta sang ibu yang tidak akan ada habisnya, serta menjadi 'rahim' di mana Tri dapat menenangkan diri dari kehidupan nyata yang mungkin tidak seindah yang dibayangkan. Singkatnya, jika Tri tidak bisa kembali ke dalam rahim ibunya, ia masih bisa mendapatkan pelukan dari sang ibu. Dan nanti, saat Tri tak bisa lagi mendapatkan pelukan dari ibunya, ada 'rahim' ibunya yang dapat ia kunjungi untuk menenangkan diri. 

Secara pribadi, saya pernah bersembunyi di dalam lemari saat saya masih kecil. Kalau tidak salah, saat itu usia saya sekitar 6 atau 7 tahun. Dulu saya tinggal di rumah peninggalan nenek saya. Rumah antik itu memiliki cukup banyak kamar dan di salah satu kamar terdapat sebuah lemari kayu raksasa. Lemari dua pintu itu memiliki sebuah cermin kaca besar berbentuk oval di salah satu pintunya. Saat pintu bercermin itu dibuka, ada sebuah ruang yang cukup besar yang digunakan untuk menggantung jas atau gaun. Saya dulu sering bersembunyi di dalam lemari itu, biasanya saat takut mendengar suara petir atau dentuman lodong atau meriam bambu yang diarak saat pawai menjelang Hari Kemerdekaan. Setiap saya menutup telinga, ibu saya selalu memarahi saya, memaksa saya agar mau berani menghadapi ketakutan saya. Namun, ada masa di mana saya benar-benar tidak tahan lagi mendengar suara-suara itu. Di saat itu-lah saya biasanya akan bersembunyi di dalam lemari itu dan, setelah beberapa saat, ibu saya akan menemukan saya di dalam lemari itu dan menenangkan saya. 

credit: thankx4stayin

Saya memang belum setua Tri. Saya bahkan belum menonton filmnya. Namun dari pembahasan film Lemantun, saya dapat merasakan apa yang Tri rasakan. Saya rasa kita semua bisa merasakannya, ketakutan akan kehilangan sosok yang disayangi, yang memberikan kita kenyamanan dan ketenangan. Sayangnya, semua manusia akan mati, termasuk ibu kita. Dan pada akhirnya, pembicaraan mengenai kerinduan akan kasih sayang ibu tidaklah melihat berapa usia kita. Terlepas dari kehidupan kita sebagai orang dewasa dan seberapa mapannya hidup yang kita jalani, kita tak bisa mengelak bahwa tidak ada ketenangan dan kehangatan yang dapat mengalahkan ketenangan dan kehangatan yang kita dapat di dalam pelukan seorang ibu. 


Referensi
  • Bowins, B. (2004, Maret). Psychological Defense Mechanisms: A New Perspective. The American Journal of Psychoanalysis, 64(1). Diambil dari http://bowins.com/downloads/psychological_defense_mechanisms.pdf pada tanggal 21 Desember 2014.
  • Bressler, C. E. (2007). Literary Criticism (4th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
  • Emanuel, R. (n.d.). Anxiety. Diambil dari http://www.freud.org.uk/education/topic/10575/subtopic/40014/ pada tanggal 15 Agustus 2015
  • McLeod, S. A. (2009). Defense Mechanisms. Diambil dari Simply Psychology: http://www.simplypsychology.org/defense-mechanisms.html pada tanggal 5 Desember 2014.
  • Tyson, L. (2006). Critical Theory Today (2nd ed.). New York: Routledge.
  • Vaillant, G. E. (1977). Adaptation to life. Boston: Little, Brown [artikel didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Defence_mechanisms]

0 comments:

Post a Comment