Lima belas tahun yang lalu, saat saya masih duduk di kelas satu sekolah dasar, saya masih ingat jelas betapa teman-teman saya menertawakan dan 'memojokkan' saya yang, saat itu, duduk di atas meja. Engké manéh loba hutang (nanti kamu banyak hutang), kata mereka. Saya, yang saat itu tidak paham apa yang terjadi, langsung menepis pernyataan mereka, menegaskan bahwa saya tidak suka berhutang di kantin sekolah dan tidak mau sampai berhutang. Tawa mereka saat itu menghantui saya dan membuat saya, akhirnya, tidak mau duduk di atas meja lagi. Meskipun demikian, dalam hati saya menanyakan hubungan antara duduk di atas meja dengan banyaknya hutang yang dimiliki. Apa hubungannya?
Superstition, atau takhayul dalam bahasa Indonesia, merupakan salah satu artefak budaya yang, mungkin, paling kita kenal di masyarakat. Berbeda budaya, berbeda juga takhayulnya (meskipun beberapa budaya memiliki takhayul yang kurang lebih sama). Mengenai duduk di atas meja, saat itu saya belum paham bahwa duduk di atas meja dapat membawa banyak hutang merupakan salah satu takhayul. Di keluarga, saya tidak banyak dikenalkan dengan takhayul (mungkin karena kedua orang tua saya juga bisa dikatakan tidak percaya dengan takhayul). Jadi, saat saya tiba-tiba dikatai "banyak hutang" karena duduk di atas meja, saya tidak percaya dan tidak memahami hubungan antara duduk di atas meja dengan banyak hutang. Setelah beberapa lama, akhirnya saya diberi tahu oleh guru saya bahwa teman-teman saya rupanya percaya dengan takhayul tersebut. Guru saya, untungnya, memberi saya "pilihan" untuk ikut percaya atau tidak. Saya memutuskan untuk tidak percaya dan mencari sendiri penjelasan yang lebih masuk akal daripada sekedar ditakut-takuti "banyak hutang." Takhayul merupakan kepercayaan yang, pada dasarnya, dibuat demi kebaikan. Larangan mengenai duduk di atas meja karena nantinya dapat membawa banyak hutang, misalnya, ternyata dibuat karena alasan kesopanan. Terlebih lagi, meja bukan tempat untuk duduk. Toh sudah ada kursi, jadi kenapa masih duduk di atas meja?
Sayangnya saat itu teman-teman saya tidak tahu alasan sebenarnya mengapa duduk di atas meja dilarang.
Mungkin kita tahu tentang larangan berdiri atau duduk di depan pintu. Katanya, kalau seseorang duduk atau berdiri di depan pintu, dia akan nongtot jodoh (susah mendapatkan jodoh). Faktanya, larangan tersebut dibuat karena jika seseorang duduk di depan pintu, orang tersebut menghalangi jalan keluar masuk orang lain. Jujur saja, saat tidak pergi ke kampus dan bisa menikmati siang atau sore di rumah, saya senang duduk di depan pintu samping yang menghadap ke taman di depan rumah. Suasana yang tenang serta angin segar yang berhembus membuat saya betah duduk di depan pintu. Ditambah lagi, kucing-kucing komplek yang bertandang membuat saya semakin senang duduk di sana. Depan pintu menjadi spot yang nyaman untuk sekedar bersantai menikmati angin sambil mendengarkan lagu, atau membaca buku sambil bersandar pada frame pintu. Seandainya saya percaya dengan takhayul tersebut, mungkin saya pernah bisa merasakan 'sensasi' nyaman saat duduk sambil membaca buku dan bermain dengan kucing-kucing yang sering mampir ke rumah saya.
Saya juga ingat saat itu saya sedang pergi tamasya bersama keluarga. Saya ikut mengajak seorang teman sekelas. Saat makan siang di semacam pendopo kecil, teman saya melihat ke arah langit dan tiba-tiba meringis ketakutan. Rupanya ia melihat seekor burung elang yang terbang berputar-putar di langit. Katanya, jika ada burung elang yang terbang berputar-putar di langit, ada seseorang yang meninggal tak jauh dari tempat elang tersebut terlihat. Saya, yang pada saat itu tiba-tiba percaya begitu saja, menebak-nebak bahwa di perjalanan pulang nanti, kami akan melewati rumah yang di depannya terdapat bendera kuning. Pada kenyataannya, sepanjang perjalanan saya tak melihat bendera kuning sama sekali. Teman saya bersikeras bahwa ada seseorang yang meninggal saat saya (akhirnya) memojokkannya dengan berkata bahwa yang ia katakan hanyalah omong kosong. Teman saya tetap percaya dengan apa yang ia percaya, sementara saya akhirnya tidak mempercayai apa yang ia percaya, tapi hal tersebut tidak lantas membuat kami tidak berteman lagi. Kalau boleh saya tebak, sepertinya sampai sekarang ia masih mempercayai hal tersebut. Mungkin juga hal tersebut yang membuatnya cukup takut terhadap burung elang.
Mengingat burung elang adalah karnivora, saya juga harus waspada terhadap burung tersebut.
Dunia tanpa takhayul sepertinya kurang seru. Kurang greget. Takhayul menyuguhkan semacam larangan yang, menurut saya, unik. Saat mengetahui satu takhayul, saya biasanya langsung mencari tahu alasan yang logis untuk takhayul tersebut. Larangan membuka payung di dalam ruangan, misalnya, ternyata dibuat demi alasan keselamatan. Ujung-ujung payung yang tajam dapat membahayakan orang jika payung dibuka di dalam ruangan; oleh karenanya larangan mengenai membuka payung di dalam ruangan pun dibuat. Di sisi lain, ada saat-saat dimana takhayul justru, menurut saya, merepotkan. Kepercayaan bahwa membakar kemenyan dapat menangkal hujan, misalnya, justru bagi saya merepotkan dan menyusahkan diri sendiri. Saya ingat betul saat itu adalah hari pernikahan paman saya. Pernikahan diadakan di rumah nenek dari ayah saya. Tetangga-tetangga nenek saya rupanya sangat percaya akan takhayul dan, demi 'menyelamatkan' hari pernikahan paman saya, di pagi hari sebelum resepsi dimulai para ibu memasak di dapur di tengah kepulan asap kemenyan yang menyesakkan. Saat saya melangkah ke dapur untuk mencari kudapan yang bisa saya makan, saya terkejut dengan bau menusuk yang berasal dari sebuah wadah tanah liat kecil. Bau tersebut benar-benar menusuk hidung dan membuat saya cukup trauma sampai sekarang. Pada kenyataannya, hujan tetap turun di sore harinya, meskipun memang tidak sampai begitu mengganggu resepsi pernikahan.
Ada beberapa hal yang saya 'kecam' dari aksi pembakaran kemenyan di pagi itu:
- Asap kemenyan yang begitu banyak dapat berbahaya bagi pernafasan
- Di pagi hari ada baiknya kita banyak menghirup udara segar yang tak berbau, bukan asap dengan bau yang menusuk
- Mereka membakar kemenyan sambil memasak di dapur untuk tamu-tamu resepsi. Bukankah asap kemenyan itu bisa menempel pada makanan yang dibuat? Bagaimana jika racun yang terbawa oleh asap itu menempel di makanan?
Mempercayai takhayul merupakan pilihan. Tapi, jika takhayul yang dipercaya dapat 'menjauhkan' seseorang dari bahaya justru menjadi bahaya tersendiri, mengapa masih dipercaya? Sebagai bagian dari budaya, mungkin mempercayai takhayul sama artinya dengan menjaga budaya itu sendiri. Jika saya tidak percaya pada takhayul, apakah itu artinya saya tidak menghargai budaya saya? Saya rasa ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghargai dan menjaga budaya sendiri, selain mempercayai takhayul. Saya tidak bermaksud untuk menjadi sompral atau sombong, tapi saya menginginkan adanya penjelasan yang logis mengenai kepercayaan-kepercayaan tersebut. Mungkin, kepercayaan bahwa saat ada tiga orang berfoto bersama, orang yang berdiri di tengah akan mati muncul karena ada seseorang yang merasa iri tidak bisa berfoto bersama dan, untuk mengungkapkan kekesalannya, membuat kepercayaan tersebut. Bisa jadi, 'kan? Apakah posisi kita saat berfoto bersama menentukan jatah usia kita? Kalau seperti itu sih, bisa-bisa semua orang tidak mau berfoto bersama.
Sebagai (setengah) keturunan Tionghoa, saya sangat mengenal takhayul yang satu ini: angka 4. Saat naik lift di mal atau bangunan-bangunan bertingkat, tidak jarang saya melihat tombol lantai 4 digantikan oleh tombol lantai 3A. Selain itu, tombol lantai 13 juga kadang-kadang digantikan dengan tombol lantai 12A. Mengapa bisa seperti itu?
Bahasa Mandarin merupakan tonal language. Ini artinya, perbedaan nada mempengaruhi makna kata. Dalam bahasa Mandarin terdapat 5 nada yang berbeda untuk setiap kata. Jika diucapkan dengan nada yang berbeda, satu kata yang secara bunyi terdengar sama dapat memiliki makna yang berbeda. Kembali ke masalah tombol lantai lift, angka 4 dalam bahasa Mandarin adalah "Sì" (四). Sayangnya, verba mati dalam bahasa Mandarin adalah "Sǐ" (死). Memiliki bunyi yang sama, mencantumkan angka 4 dapat dianggap membawa kesialan karena angka 4 dalam bahasa Mandarin, jika dibaca dalam nada yang berbeda, dapat memiliki arti yang lain (dalam hal ini, mati). Oleh karena itulah, pada lift dan bangunan seringkali sebutan lantai 4 digantikan dengan sebutan lantai 3A (bahkan ada juga yang melewati angka empat begitu saja, sehingga setelah lantai 3 adalah lantai 5).
Di gedung fakultas saya, pada lift tidak terdapat tombol lantai 3A; kami menyebut lantai 4 sebagai lantai 4, sebagaimana mestinya. Apakah hal tersebut lantas memberikan kesialan bagi semua pengguna gedung fakultas? Entahlah, tapi (puji Tuhan) selama ini tidak ada hal-hal yang benar-benar buruk menimpa kami sebagai pengguna gedung. Terlepas dari adanya kejadian-kejadian metafisika yang, konon, sering terjadi di lantai 4, penggunaan 'lantai 4' dan adanya tombol lantai 4 di lift tidak sampai membuat gedung fakultas saya mendapatkan kesialan. Mungkin karena mayoritas pengguna gedung fakultas (dosen dan mahasiswa) bukan merupakan keturunan Tionghoa? Entahlah, namun saya, selaku (setengah) keturunan Tionghoa pun tidak percaya dengan takhayul tersebut. Atau mungkin, takhayul hanya 'bekerja' pada orang-orang yang memang percaya pada takhayul tersebut? Katanya, kekuatan pikiran itu sangat besar.
Katanya.
0 comments:
Post a Comment