Post ini masih ada kaitannya dengan post sebelumnya dengan judul yang sama, "Hallo Bandoeng". Nampaknya saya memang suka dengan lagu yang dinyanyikan pertama kali oleh Willy Derby, dan versi yang lebih populer itu versinya oma Wieteken van Dort. Dan sekali lagi, "Hallo Bandoeng" disini bukan lagu perjuangan "Halo, Halo Bandung" yang biasa kita nyanyikan di sekolah. Kalau lagu "Halo, Halo Bandung" itu sifatnya menyemangati perjuangan, lagu "Hallo Bandoeng" justru bercerita tentang suasana haru seorang nenek tua yang tinggal di Belanda yang setelah nabung cukup lama akhirnya bisa nelpon anaknya yang tinggal di Indonesia.
PS: lagu mulai di menit 3:33
Nah, karena liriknya berbahasa Belanda ada bagusnya lihat terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Eh, tapi daripada repot-repot search lagi, biar saya cantumkan saja dibawah:
Songtekst
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
"Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor"
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
Refrein:
Hallo! Bandoeng!
Ja moeder hier ben ik!
Dag liefste jongen,zegt zij met een snik
Hallo, hallo!
Hoe gaat het oude vrouw?
Dan zegt ze alleen:
Ik verlang zo erg naar jou!
Jongenlief, vraagt ze,hoe gaat het Met je kleine bruine vrouw?
Best hoor, zegt hij,en we spreken
Elke dag hier over jou
En m’n kleuters zeggen ’s avonds
Voor het slapen gaan een gebed
Voor hun onbekende opoe
Met een kus op jouw portret
Refrein
"Wacht eens, moeder," zegt hij lachend
"‘k Bracht mijn jongste zoontje mee"
Even later hoort ze duidelijk
"Opoe lief, tabeh, tabeh!"
Maar dan wordt het haar te machtig
Zachtjes fluistert ze:
O Heer Dank dat ‘k dat heb mogen horen…
En dan valt ze wenend neer
Hallo! Bandoeng!
Ja moeder hier ben ik!
Ze antwoordt niet.
Hij hoort alleen ‘n snik
Hallo! Hallo! … klinkt over verre zee
Zij is niet meer en het kindje roept: "Tabeh"
Lirik
Perempuan tua itu duduk gemetar di kantor telegraf
Dengan ramah petugas operator berkata:
”Ibu, sudah tersambung dengan Bandung”
Dengan kaki yang kaku dan gontai, dia berdiri meraih mikrofon
Dan saat itu pun, oh sungguh mengagumkan,
Dia mendengar suara lembut anak lelakinya
Refr:
Halo! Bandung!
Ya bunda, aku di sini!
Salam anakku sayang, katanya dengan menahan tangis
Halo, halo!
Apa kabarnya, bunda?
Dengan suara lirih dia menjawab:
Aku sangat merindukanmu, nak!
Sayang, dia bertanya, apa kabarnya dengan isterimu yang berkulit sawo matang?
Baik-baik saja, bu, katanya, dan kami membicarakan ibu setiap hari di sini
Dan anak-anak mengucapkan doa malam sebelum tidur
Untuk opung (nenek) yang belum mereka jumpai
Dengan mencium potretmu
”Tunggu sebentar, bunda”, katanya sambil tergelak
“Aku akan memanggil anakku yang paling bungsu”
Tak lama kemudian terdengarlah dengan jelas:
”Opung (nenek) tersayang, tabeh, tabeh!”
Tak tertahankan hatinya mendengarnya, ia pun berbisik lembut kepada Tuhan
Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengijinkan aku mendengarkan
Dan kemudian ia jatuh bersimpuh sambil menangis
Halo! Bandung!
Ya bunda, aku di sini!
Dia tidak menjawab
Hanya terdengar isak tangis
Hallo! Hallo! Terdengar suara klik di seberang lautan
Dia sudah tiada saat putranya berseru: "Tabeh!"
Lyrics retrieved from wikipedia
Nah, kalau kita fokus ke setting, ini sudah jelas setting jaman dulu, sekitar jaman Belanda masih adem ayem menjajah Indonesia. Tapi kehadiran telpon dan lokasi Bandung yang tergambarkan di lirik lagu kurang lebih kasih saya clue bahwa lagu itu menggambarkan situasi sekitar tahun 20 atau 30an. Kalau saya kaitkan dengan sejarah Indonesia, di tahun 1923 pemerintah Hindia-Belanda bangun stasiun telekomunikasi di wilayah gunung Puntang, Malabar, Bandung. Nah kira-kira sekitar tahun 1930an komunikasi antara Belanda dan Indonesia sudah bisa dilakukan melalui radio telpon itu (radio telpon atuh lah eta).
Oh ya, sekilas tentang Radio Malabar (Radio Malabaar), jadi kebetulan saya pernah kemah di gunung Puntang. Pertama kali saya kesana, saya nggak tahu bahwa daerah gunung Puntang dulunya merupakan semacam kota kecil. Jaman kolonial Belanda dulu, di gunung Puntang selain dibandung stasiun radio Malabar, dibangun juga rumah-rumah untuk pekerjanya. Nggak hanya itu, bahkan katanya disiapkan juga semacam tempat olahraga sampai bioskop. Dan di depan si stasiun itu ada semacam kolam besar yang karena bentuknya mirip hati, sering disebut 'kolam cinta'.
photos credit to tomsez
Saya takjub sendiri karena stasiun radionya besar sekali. Kalau dibandingkan dengan stasiun radio di era modern kayak sekarang, ukurannya mungkin bisa tiga sampai lima kali stasiun radio sekarang. Dan yang bikin hebat lagi adalah stasiun radio itu letaknya di daerah gunung. Gunung, bro! Bisa dikatakan terpencil, sampai-sampai pekerja-pekerjanya dibuatkan rumah-rumah lengkap dengan beberapa fasilitas umum di lingkungan sekitarnya.
Sayangnya sekarang bangunan stasiun radio Malabar sudah hancur, efek dari perang dunia kedua. Nggak hanya itu, perumahan di sekitarnya pun ikut hancur (kecuali 'kolam cinta' yang bentuknya masih kelihatan jelas'). Sekarang yang ada disana tinggal puing-puingnya saja, yang kalau malem-malem malah bikin bulu kuduk merinding.
Nah, sekarang kembali ke "Hallo Bandoeng". Kalau saya bisa interpretasi, setting waktu lagu ini pakai era 1930an. Dan berdasarkan info yang saya baca di beberapa situs tentang lagu ini, ternyata jaman dulu orang untuk bisa nelpon dari Belanda ke Indonesia harus mengeluarkan biaya yang nggak murah. Saya nggak tahu berapa persisnya tapi orang-orang ada yang sampai harus nabung berbulan-bulan, bahkan tahunan untuk bisa nelpon saudaranya yang ada di Belanda, atau sebaliknya. Coba bayangkan kalau biaya semacam itu masih berlaku di jaman sekarang. Bayar wartel sama dengan bayar Samsung Galaxy Ace. Wow!
Ada hal yang menurut saya begitu menyentuh di lagu itu. Tidak hanya si lagu itu menggambarkan suasana dramatis dimana di akhir hayatnya, si nenek masih diijinkan untuk mendengar suara cucunya dan berterima kasih pada Tuhan, tapi juga betapa jaman dulu orang begitu menghargai komunikasi. Bukan berarti bahwa jaman sekarang orang nggak menghargai komunikasi. Maksud saya adalah, betapa jaman dulu orang sampai rela nabung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun untuk bisa berkomunikasi dengan sanak saudaranya di sebrang lautan. Meskipun nggak bisa tatap muka, tapi di lagu ini saya lihat betapa si nenek bersyukur walopun hanya bisa mendengar suara cucunya. Dan titik paling menyentuh di lagu ini sudah jelas, di akhir lagu dimana nampaknya si nenek meninggal dalam damai setelah mendengar suara cucunya dan si cucu berkata "Tabeh" yang jadi ucapan sapa sekaligus salam penghormatan terakhir untuk opoe lief-nya.
Yang saya lihat di jaman sekarang, dengan teknologi semakin canggih dan komunikasi semakin mudah, kadang kita nggak memasukan unsur emosi dalam komunikasi. Mungkin karena sudah saking seringnya berkomunikasi dengan cara apapun, jadi saat bertemu, meskipun melalui telpon, rasanya jadi biasa-biasa saja. Toh kalau ketemu pun jaman sekarang orang lebih sibuk dengan gadgetnya, toh?
Saya ingat waktu ulangtahun oma saya dari darah ayah, dan salah seorang sepupu saya kasih oma kado berupa smartphone. Untuk orang di usia oma, memang udah susah kalau harus berurusan dengan gadget, apalagi sampai harus diajarkan pakai Skype supaya bisa ngobrol dengan sepupu saya yang ada di Jerman sekarang ini. Bukannya saya menyepelekan hadiah dari sepupu saya buat oma saya, tapi yang saya rasa apa yang oma butuhkan justru lebih ke arah komunikasi langsung, face-to-face di tempat. Oma bahkan lebih senang pakai telpon rumah dibandingkan ponselnya (kadang suka minta saya ketikkan pesan singkat atau cari kontak orang untuk ditelpon karena oma taunya sambungan jalan dan tinggal ngomong).
Kalau kasusnya kayak gitu, oma saya yang berharap dari teknologi untuk bisa berkomunikasi malah jadi keder sendiri karena teknologinya terlalu rumit buat dipahami.
Sementara kita orang-orang yang sudah biasa pake Skype, Path, Twitter, Facebook, dan media sosial lainnya untuk mempermudah komunikasi malah kadang menganggap komunikasi itu biasa aja (kecuali untuk yang sedang jatuh cinta). Teknologi bikin segalanya begitu dekat, sampai-sampai saking dekatnya kita malah jadi bosan karena melihat si itu lagi si itu lagi di Timeline. Istilah kangen sekarang seolah perlu dipertanyakan lagi maknanya apa. Saat temu kangen pun kadang orang sibuk dengan gadgetnya, lebih peduli dengan dia yang ada di sebrang sana daripada dia yang ada tepat dihadapan maneh.
Mungkin obrolannya jadi agak ngalor ngidul, tapi yang jelas sih dari lagu ini saya jadi sadar betapa komunikasi itu begitu berharga. Dan saya jadi kangen oma saya..
Puji Tuhan oma saya akan ke Bandung minggu ini. Uyeah!
"Hallo, Bandoeng!"
0 comments:
Post a Comment