Kemarin-kemarin ini saya lagi sering googling informasi tentang salah satu landmark kota Bandung yang lokasinya super duper dekat sama gedung fakultas saya.. Villa Isola! Sebetulnya ini bukan pertama kalinya saya cari informasi tentang Villa Isola. Saya sebelumnya udah pernah baca-baca informasi tentang bangunan yang dulunya punya opa Dominique Willem Berretty (dan saya rasa dari situlah orang-orang nyebut taman belakang Villa Isola yang ada kolam ikan bekas kolam renang itu disebut taman Bareti *grins*) dan setelah tahu informasi tentang Villa Isola saya jadi bangga dengan orangtua saya yang dua-duanya adalah dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, dengan diri saya sendiri karena bisa belajar di kampus yang melingkup juga landmark kota Bandung (jadi kalo mau foto-foto ga perlu keluar kampus hahaha), dengan Universitas Pendidikan Indonesia yang punya gedung Villa Isola, dan juga dengan kota Bandung.
Di bawah ini ada foto-foto Villa Isola tempo doeloe, jaman-jaman anak-anak dari berbagai fakultas dan jurusan nongkrong-nongkrong di tangga teras depannya, dan belum ada mobil pa Rektor parkir di area drop only (hehe). By the way saya pernah main ke Villa Isola--sengaja dititipkan sama ayah sementara si ayah pergi ngajar ke fakultasnya. Disana ada sebuah grand piano merk Steinway & Sons, masih dalam kondisi bagus dan saya dibolehkan untuk main. Memang dasar si virtuoso (idung saya terbang), ditinggal berjam-jam selama ada piano sih saya nggak bosen. Saya just sempat keliling Villa Isola, menjelajahi ruangan-ruangan di dalamnya sama teman masa kecil saya, Rahardan. Nah, dia nemu tangga menuju basement yang rupanya ditutup dan dihalangi oleh satu lemari arsip besar. Karena agak ngeri suasananya kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke aula besar dimana ada piano.
Villa Isola dibangun sekitar tahun 1930an dan didesain oleh arsitek W. Schoemaker yang juga bikin desain untuk hotel Grand Preanger dan Savoy Homann. Bangunan tempat tinggal ini katanya sih disebut-sebut menuai kontroversi karena pas jaman itu ekonomi lagi labil-labilnya, tapi si Berretty justru ngeluarin bergulden-gulden untuk ngebangun tempat tinggalnya yang super mewah ini. Mengusung gaya art-deco, bangunan ini punya banyak fasilitas yang nampaknya sampai sekarang pun jadi atribut rumah-rumah mewah seperti kolam renang, bar, studio, dan ruang rekreasi dan olahraga. Sepintas saya jadi ingat daftar fasilitas-fasilitas yang ada di kapal pesiar RMS Titanic dan kagum karena fasilitas-fasilitas bintang lima itu ada di Villa Isola.
All pictures credit to Sjoerd Meihuizen
Semua foto-foto itu monochrome dan saya sih sampai sekarang penasaran kalau foto-foto itu berwarna, seperti apa sih penampakan interior Villa Isola. Dan sedihnya, sekarang nampaknya akan susah untuk menebak ini atau itu ruang apa dulunya karena Villa Isola telah dialihfungsikan dari sebuah tempat tinggal jadi kantor rektorat :(
Villa Isola sekarang. Itu gedung yang di sisi kirinya adalah gedung fakultas tempat saya belajar hehe |
Nah, karena cari-cari informasi tentang Villa Isola, berarti beberapa hal yang tempo doeloe ikut-ikut masuk ke hasil pencarian. Salah satunya adalah lagu-lagu yang muncul jaman kolonial Belanda dulu. Ada sebuah informasi tentang lagu yang muncul di hasil pencarian. Lagu berjudul "Hallo Bandoeng" yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort itu langsung saya dengarkan. Alunan piano melankolis terdengar cocok dengan warna suara oma Wieteke yang halus dan pelan. Kata "Hallo Bandoeng" yang diulang-ulang semacam bikin saya penasaran lagu ini sebetulnya tentang apa sih.
Saya cari di Youtube dan ternyata ada videonya oma Wieteke menyanyikan lagu ini di show punya si oma yang berjudul The Late Late Tante Lien Show. Di video itu entah si oma ngobrolin apa sebelumnya tapi saya sempat dengar beberapa kata seperti automat, tempo doeloe, Tuti, bahkan cebok. Entahlah itu cebok atau apa tapi kedengarannya seperti cebok. Dan setelah dipikir-pikir lagi ternyata bahasa Belanda itu eksotis ya..
Kembali ke lagunya. Lagu berdurasi sekitar 4 menit itu ternyata menceritakan tentang seorang nenek Belanda yang menelpon anaknya yang tinggal di Indonesia. Nenek itu harus nabung setiap hari demi bisa nelpon anaknya (karena dulu katanya kalau untuk nelpon ke Indonesia itu bisa menghabiskan duit sampai berapa gulden gitu). Nah si nenek ini sudah tua dan kangen banget sama anaknya. Si anaknya lalu bilang ke neneknya kalau si anak dan istrinya selalu ngobrol tentang si nenek, bahkan cucu-cucunya pun selalu berdoa untuk neneknya dan mencium foto neneknya sebelum tidur. Menjelang akhir lagu, diceritakan bahwa anaknya si nenek itu ternyata bawa cucunya ke wartel (halah) dan si cucu bilang "Tabeh!" (semacam hi atau apa lah saya juga nggak ngerti, yang bisa bahasa Belanda itu oma saya). Si nenek menangis terharu dan bersyukur karena masih sempat dengar suara cucunya. Si lagu berakhir dengan sang nenek meninggal dengan bahagia dan lega, sambil tetap telpon terhubung ke Bandung, sementara dari Bandung seseorang berkata "Tabeh!" (salam). Agak merinding waktu baca arti lagunya dan sedih juga. Kebayang deh rasanya dan situasinya seperti apa. Bagian terakhir lagu itu benar-benar jadi titik emosional di lagu itu, dimana situasi dramatis terjadi dan pendengar dikasih gambaran kejadian di dua lokasi yang berbeda. Ucapan "Tabeh" di baris terakhir lirik semacam menjadi kalimat perpisahan yang mungkin saja sebetulnya bukan dimaksudkan untuk itu. Tabeh bisa berarti salam penghormatan, dan di baris terakhir itu maknanya bisa jadi salam perpisahan.
Merupakan hal yang baru buat saya untuk mendengarkan lagu-lagu selawas ini. Tapi terlepas dari terlambat atau nggaknya saya buat dengar lagu-lagu di era itu, saya jadi tersadarkan bahwa betapa banyak hal yang bisa dikagumi dari Indonesia. Terlepas dari korupsinya ataupun isu-isu negatif lainnya, Indonesia punya banyak hal yang patut kita banggakan. Lagu "Hallo Bandoeng" merupakan artefak peninggalan jaman kolonial Belanda yang menggambarkan bahwa dibalik ngerinya peperangan antara Belanda dan Indonesia, ada kisah keluarga yang menyentuh, kerinduan seorang ibu terhadap anaknya, dan keterpikatan seorang Belanda terhadap wanita Indonesia yang membuatnya akhirnya menetap di Indonesia.
Ah.. Ada yang mau klappertaart?
0 comments:
Post a Comment