Wednesday, October 22, 2014

Transportasi Umum dan Kezaliman

Tadi setelah kelas terakhir selesai, saya putuskan untuk langsung pulang saja dan tidak nge-bolang, keluyuran main atau sekedar nongkrong di kampus. Saya langsung saja menuju tempat dimana angkot (angkutan kota) jurusan Ledeng-Cimahi mangkal. Untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Cimahi dan sekitarnya sepertinya sudah sangat kenal dengan angkot jurusan ini. Angkot berwarna hijau ini akan mengangkut penumpang dari Cimahi menuju persimpangan Geger Kalong Girang, dan sebaliknya, dari arah Geger Kalong Girang sampai ke Cimahi (bisa sampai di terminal, ataupun ujung jalan Cihanjuang). 

Naik angkot Ledeng-Cimahi saat pulang memang bisa dibilang menghemat biaya, terutama karena tidak perlu muter sampai depan IP (yang memberikan kesempatan buat saya untuk jajan lagi) dan rute yang dilewati angkot mencakup komplek perumahan tempat saya tinggal. Kendati demikian (eh gile bahasa gue kendati demikian..), ada satu hal yang sampai sekarang tidak pernah saya suka saat naik angkot ke Cimahi. 

Untuk angkot trayek Ledeng-Cimahi, ada seorang koordinator supir yang mengurus angkot mana yang dapat giliran narik penumpang dan ia juga mengatur penumpang-penumpang yang naik. Aturan seating angkot tersebut adalah 7-5, dengan 7 orang duduk di seat yang satu kolom dengan supir, dan 5 orang di kolom yang berlawanan. Tepat di belakang seat terdepan ada sebuah bangku kecil yang ditujukan untuk dua orang penumpang tambahan. Dalam kondisi full-loaded, angkot Ledeng-Cimahi memuat 17 orang termasuk dua penumpang di seat depan di samping supir, dan jumlah ini belum termasuk beberapa penumpang nekat yang nangkel, berdiri di depan pintu mobil. Semisal jumlah maksimal penumpang yang dianjurkan oleh pihak DLLAJR adalah 13 orang, bisa kita bayangkan betapa para koordinator dan supir angkot sangat memaksakan jumlah penumpang untuk dimasukkan ke dalam angkutan mereka. 

Masalah seating itu menjadi hal yang menyebalkan bagi banyak orang, termasuk saya. Betapa tidak, penumpang angkot harus duduk berjejalan layaknya hewan ternak. Ya. Hewan ternak, dan saya berani bilang begitu karena kadang koordinator dan supir angkot tidak mau peduli dengan kondisi di bagian utama angkutan mereka. Bukan sekali dua kali saya jadi penumpang ketujuh yang 'sial' di kolom supir dan hanya mendapat sedikit sekali spot untuk bokong saya. Saya banyak bertumpu pada kaki saya dan pegal rasanya lutut saya untuk menahan beban tubuh saya. Tahu begitu 'kan lebih baik nangkel saja sekalian, atau rela menunggu supaya dapat tempat duduk yang layak. 

Tadi sore saya mendapat kesialan itu, menjadi penumpang ketujuh di seat kolom supir. Sialnya, penumpang yang duduk di kolom itu bertubuh relatif besar sehingga setelah dipaksakan membuat space untuk saya pun, tetap saja saya tidak bisa dengan nyaman duduk karena 3/4 bokong saya mengambang di udara; hanya 1/4 bagian dari bokong saya yang berhasil 'ditempatkan' di space super sempit itu. Kenapa saya bisa mendapat tempat sempit itu? Ya, itu adalah ulah dari si koordinator angkutan umum yang menyuruh--dengan paksa--saya untuk duduk di kolom tersebut, dengan embel-embel bahwa si angkutan akan cepat berangkat. Oh, 15 menit yang menyebalkan karena saya harus menahan rasa pegal di lutut. Kalau berbicara tentang sikap penumpang lain dalam angkot sih, ya, ada yang peduli dan ada juga yang tidak. Dan semoga saja penumpang angkutan umum yang apatis, yang tidak peduli dengan keadaan penumpang lainnya mendapat ganjarannya. Terkututklah mereka. 

Sepanjang perjalanan saya banyak mengutuk dalam hati, dan salah satu objek kutukannya adalah koordinator angkutan umum itu. Kalau kebetulan anda naik angkot dengan trayek Ledeng-Cimahi yang mangkal di Geger Kalong Hilir, mungkin anda akan bertemu koordinator angkot itu. Koordinator itu adalah seorang pria, usianya sudah cukup tua, dengan wajah yang songong dan menyebalkan (dan setiap saya melihat orang itu, rasanya mau saya ludahi), dan biasanya mengenakan topi dan merokok (atau mungkin sedang mengatur seating penumpang dengan cara bicara yang mengesalkan dan kasar). Dan kalau kebetulan anda jadi korban kezaliman koordinator tersebut, saya persilahkan anda untuk mengutuk orang tersebut. Semisal dalam satu hari ada 20 armada angkutan rute Ledeng-Cimahi dan dari satu armada, ada 5 orang yang mengutuk kezaliman koordinator  itu, berarti dalam satu hari koordinator itu dikutuk oleh 100 orang. Ia mendapat 100 kutukan setiap harinya. Saya yakin hidupnya tidak akan dapat banyak berkah. Orang zalim, saya percaya, hidupnya tidak akan banyak berkah, dan saya yakin. karena koordinator itu berbuat zalim pada penumpang angkutan umum, hidup si koordinator tidak akan banyak berkah. 

Mungkin saya terdengar ekstrim untuk mengutuk orang seperti itu, tapi inilah kenyataannya. Seperti yang dosen saya pernah bilang di salah satu sesi matakuliah, bahwa orang yang menghalangi rezeki orang lain akan dihalangi rezekinya. Saya yakin hal itu pun akan sama ceritanya dengan orang yang berbuat zalim. Siapa yang berbuat zalim pasti akan dibalas oleh Tuhan. Masalahnya bukan hanya satu atau dua kali koordinator angkutan itu berbuat seperti itu--sudah berkali-kali dan sangat sering, dan kadang-kadang ucapannya sangat kasar sehingga membuat penumpang tersinggung. 

Saya seharusnya tidak boleh menyumpah serapah tapi untuk hal ini, saya akan menyumpahi koordinator itu supaya merasakan buah dari kezalimannya. Secara singkat, semoga orang itu cepat mati. 

Oh.. Ekstrim. 

0 comments:

Post a Comment