Monday, January 19, 2015

Kembali

Sudah sekitar satu jam aku duduk di atas tempat tidurku sejak aku tiba di rumah. Kutatap layar laptop yang ada di atas meja tepat di seberangku, menunjukkan pola screensaver seperti garis aurora di depan latar hitam. Ada setumpuk buku di samping laptopku yang belum kusentuh selama beberapa hari ini, meskipun seharusnya aku saat ini sudah membaca beberapa buku itu untuk kepentingan tugas akhirku. Kudekap kedua lututku lebih erat dan kubenamkan wajahku. Aku merasa dingin, meskipun tak turun hujan. Rasanya seolah berada di tengah-tengah sebuah ruangan kosong yang sangat besar. Seperti sulit untuk menyentuh dinding kamarku karena kekosongan yang kurasakan. 

Hampir setiap hari selama beberapa minggu terakhir aku seperti ini. Entah harus melampiaskan rasa kesalku pada siapa, aku seolah-olah menelan bulat-bulat kemarahan dan kesedihan yang disebabkan oleh pria itu. Mungkinkah ini waktunya bagiku untuk berfikir kembali siapa sebenarnya ia? Manusiakah? Ataukah hantu.. mungkin? Ia seolah datang lalu pergi begitu saja, dan tak meninggalkan jejak sedikitpun untuk kutelusuri. Bicara tentang menangis, saat ini aku sudah tak sanggup menangis. Aku menangis di beberapa hari setelah kusadar bahwa sosok itu pergi begitu saja, namun lama kelamaan aku lelah menangis meskipun aku tahu menangis adalah salah satu metode terbaik untuk pelampiasan emosi. Aku tak pernah merusak atau melempar barang ketika marah atau sedih, namun jika sosok itu muncul, saat ini juga, di hadapanku, aku benar-benar akan melemparkan laptopku tepat ke wajahnya. 

"Mbak Etha, ada telpon" 

Bi Ana mengetuk pintu kamarku. Ia mengetuknya berkali-kali, seperti halnya berkali-kali memanggil namaku. Aku tak menggubrisnya. Siapa yang menelponku? Maksudku, jika ia yang menghubungiku mengapa ia tak menghubungi lewat ponselku saja? Dan mengapa ia harus menghubungiku lewat telpon? Apa ia tak punya keberanian untuk langsung datang dan menjelaskan semuanya--kepergiannya yang tanpa kabar? Aku benar-benar gamang saat aku sadar sosok itu perlahan menghilang, dan saat aku yakin benar bahwa ia telah menghilang aku tak bisa menggambarkan apa yang kurasakan. 

Bagaimana bisa Abiel meninggalkanku dengan sebuah ketidakjelasan?

Tak jelas kemana Abiel pergi, dan dengan siapa ia pergi. Tak jelas apa yang sekarang ia lakukan. Tak jelas pula kelanjutan hubunganku dengannya. Abiel pergi begitu saja dan sama sekali tak ada pesan atau ucapan apapun tentang hubungan kami. Apa yang harus kulakukan? Apakah ini sudah berakhir? Tapi, bagaimana jika sebenarnya ini belum berakhir? Aku belum siap jika hubungan kami harus berakhir, namun aku pun tak siap dengan segala sesuatu yang buram seperti ini.

Pada hari itu, Abiel tak mengabariku seharian. Aku masih belum memiliki firasat apapun. Mungkin ia kehabisan pulsa, atau memang sedang ada masalah. Keesokan harinya aku menanyakan kabarnya, namun tak kunjung kudapatkan balasan darinya. Aku menghubunginya dengan berbagai cara namun ia tak dapat terjangkau. Beberapa hari kemudian aku mendatangi gerai minimarket tempatnya bekerja dan aku terkejut saat rekan kerjanya memberitahuku bahwa Abiel telah berhenti bekerja sejak beberapa hari yang lalu. Masih belum percaya dengan ucapan rekannya, aku meminta alamat tempat tinggal Abiel karena selama ini aku tak pernah tahu pasti dimana ia tinggal. Abiel tak pernah membiarkanku mengetahui tempat tinggalnya dan saat aku memaksa untuk mengunjungi rumahnya, ia marah padaku. Setelah kudapatkan alamat tempat tinggalnya, aku, ditemani Vinna dan Hanna, pergi menuju rumah Abiel. Setibanya disana, rumah itu telah kosong. Abiel dan keluarganya tak lagi menempati rumah itu dan tetangga yang tinggal di sekitar rumah itu memberitahuku bahwa mereka telah pindah sejak seminggu yang lalu, tanpa memberitahu kemana mereka akan pergi. Aku benar-benar kehilangan jejak Abiel saat kusadari nomor ponsel Abiel tak lagi aktif. Seluruh media sosial yang ia pakai telah ia nonaktifkan dan ia benar-benar membuatku marah sekaligus kecewa.

Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mataku. Aku melepas kacamataku kemudian berbaring di atas tempat tidurku. Kutarik selimutku sampai seluruh tubuhku tertutup. Terisak pelan, aku mengutuknya. Aku mengutuknya untuk semua yang ia lakukan padaku. Jika harus berakhir seperti ini, lebih baik aku tak pernah bertemu dengannya. Aku tak siap dengan perpisahan ini, saat aku masih membutuhkannya. Tapi kepergian Abiel membuatku bertanya-tanya, mungkinkah saat ini ia sudah tak membutuhkanku lagi. Selama ini kukira aku telah mengenalnya dengan baik, seperti halnya ia yang mengenalku dan memahamiku dengan baik. Aku salah. Ada sesuatu yang belum kuketahui tentangnya, dan mungkin bukan hanya satu hal, tapi beberapa hal. Kurasa ada banyak hal yang masih belum kuketahui tentangnya. Sayang sekali ia terlanjur pergi sebelum aku berkesempatan untuk mengetahuinya.

----

Hanna dan Vinna mengajakku untuk bertemu pada hari Minggu. Sudah cukup lama aku tak pergi bersama mereka jadi kuputuskan untuk setuju bertemu dengan mereka. Sepulang misa, aku segera menuju mal dimana kami akan bertemu. Sebetulnya ini masih cukup pagi dan aku tak yakin mal sudah benar-benar buka pada saat ini. Hanna dan Vinna menyambutku dengan riang di kedai kopi dimana kami berjanji untuk bertemu, seolah-olah kami tak bertemu selama bertahun-tahun.

"Etha! Rambutnya ada ponytail!" ujar Hanna takjub.
"Frame baru tuh kacamatanya," sambung Vinna.

Aku tertawa kecil mendengar sambutan mereka. Mereka membawaku ke tempat duduk yang telah mereka tempati. Ada sebuah kue kecil di atas meja, serta sebuah kartu bertuliskan "We Miss You!" disampingnya. Aku mengernyitkan dahiku dan menatap mereka bingung.

"Buat siapa ini?" tanyaku.
"Buat kamu lah!" jawab Hanna.
"Kita kangen banget sama kamu," sambung Vinna.
"Semenjak lulus kita jadi sibuk sama kesibukan masing-masing," tambah Hanna.

Aku memajukan bibirku dengan manja dan menatap mereka penuh haru.

"Ah.. Kalian"

Kami pun mengobrol panjang lebar setelahnya tentang kesibukan masing-masing. Hanna telah mendapatkan pekerjaan menjadi junior designer untuk sebuah majalah arsitektur. Ia kini selalu membawa laptopnya kemanapun ia pergi. Seminggu yang lalu Hanna mendapatkan gaji keduanya dan setelah sesi kopi ini ia berencana mentraktir kami bernyanyi di studio karaoke.

"Iklim kerjanya bagus kok dan senior-senior disana juga baik. Cuma yang bikin lelah itu ya saat kerja. Kadang harus begadang untuk buat layout halaman dan deadline yang dikasih selalu mendesak," ujar Hanna.
"Nggak minta bantuan sama senior?" tanya Vinna.
"Eh, justru itu udah kerja barengan sama senior. Oh ya, senior yang jadi workpartner aku kece banget loh orangnya!" jawab Hanna antusias.
"Terus kalian sudah sejauh apa?" tanyaku.
"Aduh, belum jauh sih. Cuma kadang ya saling lempar pandangan gitu. Biasa lah masih malu-malu," jawab Hanna.
"Harus lebih gencar nih pendekatannya," ujar Vinna.
"Ah, biar dia aja yang mendekati," jawab Hanna manja.

Aku dan Vinna tertawa mendengar jawaban Hanna.

"Oh ya, Tha. Kamu sudah dapat kabar dari Abiel?" tanya Vinna.
"Masih belum ada kabar kah?" sambung Hanna.

Aku menggeleng pelan.

"Belum ada kabar, dan aku sekarang nggak mau terlalu banyak berfikir tentang Abiel. Sudah saja sekarang jalani kesibukanku dulu," jawabku.
"Kamu masih sedih ya pastinya," ujar Hanna iba.
"Harusnya memang kalau ada apa-apa dia kasih kabar, bukan pergi begitu aja," tambah Vinna.
"Kalau dibilang sedih sih, ya, memang masih sedih walaupun nggak seperti dulu. Untuk sekarang ini sih kayaknya aku mulai terbiasa," jawabku.

Hanna mengernyitkan dahinya.

"Jadi keputusannya?" tanya Hanna.
"Maksudnya?" aku menatapnya bingung.
"Hubungan kalian?"
"Oh. Sudah saja. Kalau dia nggak bisa memberi kepastian, aku saja yang buat kepastian"

Kedua sahabatku menatapku iba. Mereka mencoba menghiburku. Sebetulnya aku sudah tak terlalu memikirkan tentang Abiel dan aku tak benar-benar merasa sedih. Tak terasa sudah sekitar dua tahun berlalu sejak Abiel pergi begitu saja dan kenyataan bahwa saat ini aku masih bisa tersenyum dan berkumpul bersama sahabat-sahabatku menunjukkan bahwa aku mampu bertahan setelah kepergiannya. Aku masih mengingat sosoknya namun aku tak lantas membiarkan diriku hanyut dalam melankolia yang sama, yang pernah menjadi sebuah siksaan kasat mata yang hanya dialami olehku dan bukan oleh orang lain. Abiel tak bisa kuusir dari benakku dan aku pun tak pernah sekalipun mencoba untuk menghapus segala memori tentangnya.

"Kamu nggak apa-apa, Tha?" tanya Hanna.
"Maaf kita jadi brought up masalah itu lagi," sambung Vinna.
"Gak apa-apa kok. Santai aja," jawabku.
"Tapi kayaknya kamu tersinggung dan--"
"Hanna, I'm perfectly fine. Seriously," potongku.

Mereka berdua nampaknya masih tak percaya bahwa saat ini aku baik-baik saja. Oh, yang benar saja! Apakah aku harus tetap berada di tempat tidurku dan menyelimuti seluruh tubuhku sambil menangis, meratapi semua yang pernah aku jalani bersama Abiel selama ini? Apakah aku harus tetap menunjukkan pada dunia bahwa aku adalah gadis yang malang, yang ditinggal kekasihnya tanpa alasan apapun? Ayolah! Aku bahkan tak berfikir bahwa aku gadis yang malang, meskipun aku juga tak merasa beruntung karena Abiel meninggalkanku. Jika Abiel meninggalkanku untuk sebuah alasan yang positif bagi kami berdua, maka kurasa itu yang terbaik. Aku tak pernah tahu alur cerita yang Tuhan tuliskan untukku, namun yang kutahu Tuhan selalu memberikan yang terbaik untukku.

"Kalian ini kenapa? Jangan terlalu panik. Betul kok aku nggak apa-apa. Buat apa aku masih harus terus mikirin itu?" ujarku.
"Kita nggak yakin kamu nggak apa-apa," sanggah Hanna.
"Mungkin ini semacam mekanisme pertahanan diri kamu aja dari perasaan--"
"Vin. Please," potongku saat Vinna berkomentar, "Aku harus gimana supaya kalian percaya kalau aku baik-baik aja?"

Hanna dan Vinna tersenyum kecut.

----

Dan pagi ini matahari bersinar begitu terik. Tak seperti biasanya, cuaca pada pukul sembilan pagi terasa begitu panas seperti saat tengah hari. Namun cuaca panas seperti ini tak menghentikan orang-orang yang sedang bertugas menjadi panitia acara festival yang diadakan oleh himpunan mahasiswa jurusanku. Meja penerima tamu nampak ramai oleh anak-anak sekolah yang mendaftar ulang untuk beberapa perlombaan, termasuk penampilan band. Aku melangkah ke arah meja panitia dimana Vinna sedang sibuk mengurus para peserta lomba yang mendaftar ulang. Segera aku duduk di kursi kosong di samping Vinna.

"Talbot mana?" tanyaku.
"Ngilang. Tadi disuruh Ezar bantu di backstage," jawab Vinna.
"Ya udah aku bantu di sini ya," ujarku.

Aku pun ikut mengurus para peserta yang hadir dan jumlah mereka kian bertambah. Melawan rasa gerah, aku mengikat rambutku. Ikat kuda, dan kurasa tatanan rambutku sesuai dengan kacamataku. Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku dan suara itu terdengar semakin nyaring saat sumber suara mendekat.

"Reyhan! Reyhan! Reyhan udah datang?" tanya Ezar terburu-buru.
"Belum? Kenapa emangnya?" tanyaku.
"Dia suka wandering around. Takutnya nyasar," jawab Ezar.
"Astaga Tuhan! Dia 'kan datang sama teman-temannya. Lagian udah besar begitu kalau kesasar 'kan bisa cari tahu jalan sendiri," balas Vinna.
"Adik kamu panjang umur tuh, Zar. Itu Reyhan baru datang," sambungku saat kulihat Reyhan bersama teman-temannya berjalan ke arah meja panitia.

Ezar segera berlari menghampiri adiknya. Ia membisikkan sesuatu pada Reyhan dan Reyhan mengangguk pelan. Apa yang mereka bicarakan? Reyhan bersama teman-temannya lalu datang pada kami untuk mendaftar ulang.

"Perwakilannya aja. Kalau semuanya terlalu ramai," ujarku.
"Ya sudah aku aja," ujar Reyhan mewakili teman-teman bandnya.
"Nama band kamu apa, Rey?" tanya Vinna.
"Downtown Detroit," jawab Reyhan.
"Wah, gak ada nama band itu!" aku berpura-pura mencari-cari nama bandnya di list yang kumiliki.
"Serius?" Reyhan nampak panik.

Aku dan Vinna tertawa kecil.

"Ada kok. Si Etha cuma bercanda aja. Kalian tampil tiga lagu, 'kan?" ujar Vinna.
"Ah, syukurlah. Rey kira betulan nggak ada. Bisa nangis sambil kayang kalau gitu," jawab Reyhan seraya menghela nafas lega.
"Coba nangis sambil kayang sekarang," tantangku.
"Gocap dulu," balas Reyhan.

Aku dan Vinna menyorakinya. Bocah itu tertawa kecil lalu pergi setelah menerima kalung name tag dan booklet yang kuberikan. Aku kembali mengurus para peserta lain dan Vinna kemudian meminta izin untuk membeli minuman kaleng dingin. Aku memintanya membawakanku sebotol air mineral dingin. Sekarang, sendirian aku menangani para peserta yang jumlahnya tak juga berkurang. Sengatan matahari membuatku tak bisa berlama-lama menengadah dan melihat peserta yang datang. Aku lebih banyak berfokus pada menulis daftar hadir, ceklis band yang akan tampil serta memberikan kalung name tag dan booklet. Kuharap hari ini akan berawan tanpa hujan.

"Mau daftar ulang, mbak"
"Nama bandnya apa?"
"Aretha?"

Namaku disebut. Apakah Aretha sebuah nama band, atau orang itu memanggil namaku?

"Etha"

Kali ini aku menengadah dan kulihat sosok yang nampak familiar. Aku mengenalnya dan sudah cukup lama aku tak melihatnya. Ia nampak sedikit canggung, mencoba tersenyum padaku meskipun raut wajahnya nampak dingin. Aku mengernyitkan dahiku. Mengapa ia datang kesini?

"Aku tampil di acara kamu," ujar Abiel.
"Nama bandnya?" tanyaku tegas.

Proses registrasi ulang berjalan datar, dingin, tanpa banyak basa-basi dan aku akhirnya memberikan kalung name tag dan booklet pada Abiel. Ia meninggalkan meja panitia setelahnya, meskipun kulihat ia beberapa kali melihat ke arahku. Ia akhirnya pergi bersama rekan-rekan bandnya dan tak lama kemudian Vinna kembali.

"Kayaknya aku lihat Abiel deh," ujar Vinna setengah berbisik.
"Memang," jawabku.
"Hah? Serius?!"
"Orangnya baru daftar ulang"
"Terus reaksi kamu gimana waktu liat dia?!"
"Biasa aja"
"Etha! Itu orang harusnya kamu marahi! Harusnya kamu bentak-bentak karena udah pergi begitu aja!"
"Vin, ada banyak anak SMA disini. Mendingan urusin dulu daftar ulang baru setelahnya kita gosip"

Dan registrasi ulang pun akhirnya selesai. Talbot datang saat semuanya telah selesai, mendapat sorakan dariku dan Vinna karena menghilang begitu saja sementara tugasnya menjaga meja panitia lepas begitu saja. Kami bertiga lantas pergi makan siang dan obrolan tentang Abiel yang tiba-tiba kembali tak dapat terelakkan lagi.

"Kok dia bisa ada sih?" tanya Vinna kesal.
"Nggak tau. Dia bahkan gak kasih kabar sama sekali. 'Kan udah kubilang dari dulu kalau aku sama dia udah lost contact cukup lama," jawabku.
"Ya tapi 'kan.. Maksud aku, lancang banget dia balik lagi begitu aja. Etha, harusnya kamu bentak-bentak dia atau lakukan apa kek yang bisa bikin dia sadar kalau dia selama ini nggak bertanggung jawab!" Vinna terdengar berapi-api.
"Ga tanggung jawab? Tha, kamu diapain?" tanya Talbot tiba-tiba.

Telapak tanganku menutupi seluruh wajah Talbot dan kudorong agar Talbot menjauh.

"Kamu pikir emang aku ngapain aja selama ini sama dia?" tanyaku pada Talbot.
"Ya habis tadi bilangnya nggak tanggung jawab," Talbot berkilah.
"Ah, itu sih pikiran kamu kemana-mana," jawab Vinna.

Aku dan Vinna kembali melanjutkan perbincangan, membiarkan Talbot menikmati makan siangnya. Vinna mendesakku untuk membalas dendam namun menurutku itu bukan hal yang perlu kulakukan. Kepergian Abiel yang begitu saja sudah cukup menyakitkan dan aku tak perlu lagi menambah kenangan apapun tentang Abiel. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang, tanpa Abiel. Abiel sudah cukup banyak memberikan warna dalam hidupku, warna-warna gelap dan muram dan kini aku perlu warna-warna lain yang lebih cerah dan ceria.

Kami kembali bekerja dan aku kini berada di belakang panggung, membantu teman-teman yang lain bertugas. Vinna mengurus galeri foto dan Talbot masih tetap bersamaku di belakang panggung. Kami mendata band yang akan tampil dan pekerjaan ini sudah jelas mempertemukanku kembali dengan Abiel. Masih ada dua lagu yang dibawakan oleh band yang tampil sebelum Abiel dan momen itu Abiel pergunakan sebagai kesempatan untuk bicara denganku yang kini sendiri karena Talbot kemudian menghilang begitu saja saat ia melihat Abiel.

"Tha, aku bener-bener--"
"Bener-bener apa?" potongku.
"Aku salah. Oke, aku salah. Aku pergi tanpa pamit. Aku pergi begitu aja dan nggak pernah kasih kamu kabar. Aku akui itu kesalahan aku," ujar Abiel.
"Oke. Terus? Apa gunanya penjelasan kamu buat aku sekarang?" tanyaku.
"Aku ingin kita bisa seperti dulu. Aku kembali jauh-jauh supaya aku bisa.. Aku.."

Abiel nampak gugup. Ia tertunduk, namun hal itu tak membuatku luluh.

"Aku ingin bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius," ujarnya gugup.
"Apa?"
"A, aku.."
"Terlambat kalau kamu mau bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Pertama, aku rasa udah nggak ada hubungan apa-apa di antara kita. Kedua, aku udah bisa melupakan semua tentang kamu. Aku nggak perlu lagi kenangan apapun tentang kamu. Maaf, Biel. Aku harus kembali data penampil yang lain"

Aku pun lantas meninggalkan Abiel yang masih berdiri kaku. Tak ada apapun lagi yang harus kubicarakan dengannya. Aku harus kembali bekerja. Dan kemudian kurasakan getaran ponselku di dalam saku vestku dan samar-samar nada dering--sebuah lagu yang kukenal baik dan sudah lama tak kudengar. Alunan piano Dandelion's Promise mengalun jelas saat kuambil ponselku. Nomor Abiel muncul di layar ponsel, beserta fotoku bersama Abiel. Foto itu sudah lama tak kulihat. Lagu itu membuatku terenyuh. Aku terisak pelan. Berbalik, kulihat Abiel masih berdiri di tempatnya, menatapku dengan ponsel yang ia genggam di tangannya. Abiel kemudian mengangkat tangannya; ponselnya berada dekat dengan pipi kanannya. Dengan gugup aku menggeser layar ponselku dan kini aku terhubung dengan Abiel.

"Tha, mungkin kamu nggak perlu lagi kenangan apapun tentang aku. Tapi.. tapi aku butuh lebih banyak kenangan tentang kamu"

Aku meringis pelan.

"Tha, kamu boleh bilang kamu nggak perlu lagi kenangan tentang aku, tapi aku yakin kamu masih perlu kenangan apapun.. tentang kita"

Aku memejamkan mataku untuk sejenak dan air mataku masih bisa keluar, kini pasti menganak sungai di pipiku. Saat kubuka mataku, Abiel tengah berjalan ke arahku dan beberapa detik kemudian aku telah berada dalam pelukannya. Semuanya terjadi begitu cepat dan aku sadar aku masih menyimpan sebuah ruang untuk Abiel. Mungkin aku tak memerlukan lagi semua kenangan tentang Abiel, tapi Abiel benar karena aku membutuhkan kenangan tentang aku dan Abiel--tentang kami. Abiel kemudian melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku erat.

"Kita bisa mulai dari awal," ujarnya.
"Kita perbaiki apa yang kita punya, nggak perlu mulai dari awal," jawabku.

Abiel mengangguk.

"Dan tentang keputusanku untuk bawa hubungan kita lebih lanjut--"
"Nanti saja bicara tentang hal itu kalau kamu sudah selesai tampil," potongku.

Abiel tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Kini waktunya bagi Abiel dan rekan-rekannya untuk tampil. Aku mengantar Abiel sampai ke tangga backstage menuju panggung. Abiel mengalungkan gitarnya dan sebelum ia naik, ia menyentuh pipiku.

"Doakan sukses," ujarnya.

Aku mengangguk pelan.

Dan Abiel pun tampil bersama rekan-rekan bandnya, menampilkan beberapa lagu. Sesekali ia melihat ke arah pintu backstage dan melemparkan senyumnya padaku. Aku berada di dekat pintu backstage, memandangi seorang gitaris yang kuharap, cepat atau lambat, akan menjadi seseorang yang pertama kulihat setiap paginya dan kusapa dengan kecupan selamat pagi. 

0 comments:

Post a Comment