Saya iseng-iseng lihat-lihat foto-foto di Instagram saya (wait a minute.. kata-kata yang dipake di kalimat saya berrepetisi and they sound funny) dan lihat foto hasil tantangan #20FactsAboutMe yang dulu sempat tenar di kalangan pengguna Instagram. Saya baca-baca lagi dan ketawa saat lihat komentar-komentar yang masuk.
Salah satu hal yang bikin saya ketawa (sekaligus takjub) adalah salah satu poin di antara 20 poin yang saya buat, dimana pada poin itu saya bilang bahwa dulu saat saya masih kecil saya sering menabung dan dari hasil tabungan itu saya beli sesuatu yang nggak lazim dibeli untuk anak-anak seumur saya. Buat saya itu nggak lazim ya karena kalau saya bandingkan dengan apa yang teman-teman saya beli, mereka cenderung beli mainan seperti konsol game atau (kalau jaman dulu) CD Playstation. Ada juga temen-temen saya yang nabung untuk beli kaset lagu (karena saat saya beranjak kelas 5, sudah mulai ada tren beli kaset lagu, termasuk VCD karaoke). Tapi saat saya seumur mereka (bahkan lebih muda deh kalau nggak salah), saya justru nabung untuk beli chandelier dan cuckoo clock. Ya! Chandelier! Cuckoo clock! Kalian nggak salah baca kok! Serius! Saya beli dua barang itu, barang-barang yang lebih cocok dibeli sama orang dewasa dan orang yang lagi mikir untuk renovasi rumah.
Untungnya saya nggak sampai kayak gitu setelah ada chandelier di rumah, apalagi seperti ini..
Minat Pada Desain Interior
Saya rasa alasan saya memutuskan untuk nabung beli chandelier adalah salah satunya karena minat saya pada desain interior. Jaman SD dulu saya rela begadang nonton Titanic hanya demi lihat interior kapal yang super megah (sampai saya saking seringnya berhasil gambar kapal Titanic, dua lembar sekaligus di buku gambar ukuran A3, tanpa banyak lihat contoh gambar). Saya suka buat cocok-cocokin barang-barang, semisal chandelier dengan ceiling dan wall covering, atau chandelier dengan furnitur yang lain. Hasil kreasi saya bisa dilihat di Facebook saya, ada beberapa album desain interior dengan menggunakan media The Sims 3 (sayangnya di-uninstall karena alasan habis memori)
Dulu saat saya tinggal di Kuningan, rumah saya sangat dekat dengan rumah kerabat saya yang buka toko peralatan listrik dan lampu. Setiap lewat toko itu saya selalu memperhatikan berbagai jenis chandelier yang ada dan terbayang untuk punya satu di rumah (karena pada saat itu saya ngerasa bahwa parlor rumah jaman Belanda yang saya tempati terasa biasa-biasa aja). Dan setelah ngobrol tentang keinginan yang terdalam itu pada papa dan mama, akhirnya mereka menyarankan saya untuk nabung supaya bisa beli chandelier sendiri.
Dan saya pun nabung..
Jaman dulu harga barang-barang nggak semahal sekarang dan saya masih ingat ada banyak sekali chandelier di toko itu yang harganya cuman 150 ribu atau 200 ribu. Yang paling mahal ada yang seharga 1 juta rupiah dan tingginya sekitar satu meter lebih, dan lebih cocok dipasang di rumah dengan langit-langit yang tinggi atau di langit-langit void. Lewat satu lebaran dan satu imlek, saya berhasil mengumpulkan uang sekitar 200 ribu lebih dan, diantar sama ayah saya, ke toko milik kerabat saya untuk beli chandelier yang sudah saya incar. Desainnya sendiri sebetulnya sederhana dan nggak ribet, karena menurut saya cocok dengan desain parlor rumah saya saat itu yang menurut saya agak 'nanggung' (renovasi ini itu bikin ke-Belanda-an parlor itu jadi berkurang, jadi saya coba untuk cari chandelier yang desainnya sedikit modern). Pada hari itu juga chandelier yang saya beli dipasang dan sore harinya, kerabat saya yang punya toko alat-alat listrik itu berkunjung ke rumah dan terkagum-kagum dengan adanya chandelier di parlor rumah saya. Langit-langit parlor rumah saya dulu bergaya (menurut saya sih) modern atau art-deco, dengan pola rounded square bercat coklat tua. Untuk lantainya sendiri masih asli lantai saat pertama kali rumah dibangun dan jendela-jendelanya sangat besar. Desain interior parlor saya itu semacam transisi dari gaya kolonial ke gaya modern, memadukan unsur-unsur kolonial Belanda dengan unsur-unsur art-deco.
Dan chandelier yang saya beli itu dirasa sifatnya netral untuk kedua gaya interior yang berbeda itu.
Kepindahan saya ke Bandung walhasil membuat pertanyaan tentang chandelier itu. Mama saya tanya tentang nasib chandelier itu, apakah akan dibiarkan saja atau bagaimana. Saya jelas-jelas tidak mau chandelier sebagus itu dibiarkan nggak terurus di rumah kosong. Akhirnya, chandelier itu dilepas dari langit-langit dan dipasang di rumah nenek saya. Sementara itu, beberapa chandelier lain (yang saya beli dan ada juga yang dapat minta dari nenek) dibawa ke Bandung. Sayangnya, usia chandelier yang sudah bisa dibilang tua itu bikin chandelier itu jadi rusak dan bahkan beberapa potong kristalnya sudah patah dan pecah. Sedihnya, sekarang saya nggak punya chandelier di rumah yang saya tempati. Rumah bergaya minimalis ini nampak nggak cocok kalau harus dipasang chandelier bergaya klasik seperti yang saya punya dan.. orangtua saya nampaknya nggak ada pikiran sama sekali untuk beli chandelier bergaya modern.
Cedih :(
Bunyi "Kuk Kuk!"
Selain chandelier, barang lain yang pernah saya beli dengan hasil uang tabungan sendiri adalah jam kukuk. Cuckoo clock. Sayangnya si jam sudah entah kemana, jadi kini hanya tinggal kenangannya saja.
Kalau lihat jam begitu jadi kangen..
Jam kukuk itu buat saya menarik. Burungnya keluar setiap jam (oke saya tau ini ambigu), dan manggut-manggut tergantung jam yang ditunjukkan (ini juga sama ambigunya). Ukiran kayu di jam kukuk itu klasik banget, meskipun yang sekarang biasanya dibuatnya dari bahan plastik, termasuk burungnya juga dari plastik, bukan dari kayu diukir. Saya suka dengan suara kukuk yang khas dan menggemaskan, apalagi dengan penampilan burung (sepertinya sih hummingbird atau lovebird) dengan bulu warna-warni dan mata yang diukir dan dicat sedemikian rupa sehingga nampak realistik.
Saya sempat nabung sampai berapa puluh ribu dan sisanya dibantu sama orangtua saya karena jam kukuk itu harganya bahkan lebih mahal daripada chandelier yang saya beli. Setelah beli, ya saya cukup puas dengan apa yang saya punya. Meskipun jam kukuknya bukan yang seharga jutaan, tapi saya sudah cukup bahagia setiap jam lihat burung keluar masuk (ambigu lagi).
Ingin Beli Grandfather Clock
Siapa sangka saya juga sempat ingin nabung untuk beli grandfather clock. Ya, jam besar yang kalau kamu masih kecil itu sebetulnya bisa masuk ke dalam kotak bandulnya. Entah ya tapi keinginan saya jaman kecil itu memang aneh-aneh, dari mulai ingin grandfather clock, ingin cuckoo clock, ingin chandelier, sampai pernah kepikiran ingin punya lantai marmer di rumah.
Gila ya?
Nah, tentang grandfather clock itu memang sebetulnya saya sudah suka sejak awal. Bentuknya yang besar, kokoh dan mewah selalu bikin saya tertarik. Kadang saya suka sengaja masuk ke masjid dan duduk sebentar disana nunggu sampai waktu menunjukkan waktu tertentu dan mendengarkan dentangan jamnya. Jaman dulu, sekitar tahun 2000an harga grandfather clock masih ada di kisaran jutaan, semisal 3 juta. Yang paling mahal itu dulu saya lihat harganya 18 juta rupiah. Kalau sekarang sih pasti sudah jauh di atas itu. Jam yang ingin saya beli pada waktu itu adalah jam dengan bagian atas yang menyerupai atap rumah, dengan tiga pemberat bandul. Saya lupa harganya berapa tapi kalau nggak salah sekitar 6 atau 8 juta rupiah, pada kurs tahun 2000an.
Nggak ngerti ya sama keinginan saya jaman dulu? Sama. Saya juga gitu.
Oh ya, keinginan untuk beli grandfather clock ini belum juga terrealisasi. Mungkin karena saat itu saya udah punya chandelier dan cuckoo clock jadi saya rasa udah cukup bagi saya dan nggak mau kepikiran untuk punya grandfather clock (meskipun sering muncul lagi keinginan untuk beli grandfather clock). Kesininya keinginan saya lebih ke arah sesuatu yang mendukung minat saya seperti piano akustik dan biola dan.. puji Tuhan, saya punya dua-duanya sekarang :)
Jadi Jarang Menabung
Entah semenjak kapan kebiasaan menabung saya jadi menghilang. Saya jadi konsumtif dan lebih banyak jajan, terutama saat dapat uang. Padahal kalau dipikir-pikir lagi dengan kebiasaan menabung saat saya kecil, sekarang saya udah bisa beli banyak barang yang saya mau dengan uang saya sendiri. Ya ini mungkin salah satunya karena faktor lingkungan yang konsumtif juga, dan faktor diri sendiri juga yang memang gampang kebelet ingin jajan ini itu.
Kalau dilihat jaman dulu, perjuangan saya untuk nggak jajan dan bisa berhasil ngumpulin uang sebanyak itu perlu diapresiasi. Jaman dulu juga mungkin karena nggak ada terlalu banyak hiburan (dan saya dulu nggak begitu tertarik dengan Playstation), jadi uang yang bisa dipake jajan atau main saya alokasikan untuk sesuatu semacam chandelier dan jam kukuk.
Ah jadi ingin nabung lagi..
0 comments:
Post a Comment