My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, August 31, 2014

[Review] Summer Holiday in Black

Hari ini adalah hari terakhir di bulan Agustus, yang juga berarti hari terakhir liburan saya. Yeah, I can say that today is the last day of my summer holiday and tomorrow would be the first day of my seventh semester in my college life. Saya sejujurnya belum benar-benar siap untuk kembali ke dunia perkuliahan karena saya belum secara optimal menikmati liburan saya. Terlepas dari program KKN yang saya ikuti, saya sebetulnya punya waktu libur yang cukup untuk pergi kesana kesini, entah hiking, atau main ke pantai, atau sekedar memanjakan diri berendam air panas. Sayang sekali karena satu dan lain hal, saya nggak bisa memanfaatkan waktu libur saya secara optimal. Walhasil, ya kerjaan saya selama libur kebanyakan diam di rumah, ngemil, nonton TV atau baca majalah, blogging, dan.. tidur. 

Membosankan, bukan? 

Meskipun libur musim panas (oh, harusnya musim kemarau ya kalau di Indonesia) sudah berakhir dan saya sudah harus kuliah besok, tapi vibe dari summer nggak akan berakhir begitu aja. Meskipun Senin udah mulai kuliah, tapi saya rasa sah-sah aja kalau kita masih mencoba untuk tetap menghidupkan atmosfer liburan musim panas--ya setidaknya bukan saat jam kuliah berlangsung. 

Selama liburan, saya percaya kita masih tetap bisa tampil stylish walaupun jadwal mandi bisa molor beberapa jam (atau bahkan nggak mandi seharian). Tapi minimal kalau mau jalan keluar, kita harus mandi dulu biar nggak kelihatan caludih (kalau kata orang Sunda mah). Buat tampil stylish sebetulnya kita nggak harus berlebihan. Asalkan kita pintar mix-and-match, saya rasa kita bisa tetap tampil stylish tanpa harus segala dipakai dan look so ripuh. Untuk musim panas atau halodo--kalau kata orang Sunda--kita cenderung pakai pakaian yang tipis. Kalau saya secara pribadi sih senang pakai T-shirt, celana pendek, dan sneakers untuk bepergian di cuaca panas. Kalau ke pantai, mungkin T-shirt diganti pakai sleeveless shirt dengan konsekuensi kalau banyak bulu ketek ya.. it's showtime. Sengatan matahari yang intens ke area muka juga bisa bikin kulit wajah gosong dan kering (dan ini perih loh kalau kita nggak pakai sunscreen), juga bikin sakit mata. Oleh karena itu, topi bisa jadi media pertahanan yang bagus untuk area muka supaya (terutama) mata lebih terlindung dari sengatan matahari, terutama kalau kita pergi ke open area semacam pantai atau gunung. 

Dan kalau bicara tentang gaya, saya yakin ini juga berkaitan sama warna kesukaan kita. Dari koleksi T-shirt yang saya punya didominasi oleh warna-warna gelap seperti navy blue dan hitam, Entah kenapa saya suka kedua warna itu, meskipun ternyata banyak juga T-shirt saya yang warnanya merah. Untuk summer holiday, sebetulnya kalau kita pakai kaus atau pakaian warna hitam bakalan bikin kita lebih cepat gerah (ingat pelajaran IPA di SD?). Kodratnya warna hitam yang menyerap panas bikin kita lebih cepat keringetan. Meskipun demikian, tetap kok banyak orang yang pakai baju warna hitam saat liburan musim panas. Dan untuk saya secara pribadi, apa salahnya pakai warna hitam saat berlibur musim panas? 

Di post ini, saya mau sharing apa-apa saja sih biasanya yang ada di dalam koper saya kalau saya pergi berlibur. Dan karena sebelumnya saya bicara tentang warna hitam, saya mau coba kasih rekomendasi item dengan dominasi warna hitam atau warna-warna yang cocok dengan shade hitam yang bikin kita tetap tampil stylish dan hot saat liburan.

Atau, instead of recommendation, kira-kira saya semacam nunjukkin inilah tipikal pakaian yang biasa saya pakai kalau pergi berlibur, terutama musim panas. 


T-shirt
T-shirt adalah item wajib yang harus dibawa. Kodratnya T-shirt sebagai pakaian simpel yang tinggal 'leb' masukkin kepala dari bawah kerah dan kedua tangan ke lubang lengan bikin item yang satu ini wajib dibawa. Saya sangat jarang bawa kemeja saat liburan musim panas karena kadang pakai T-shirt aja sudah gerah, apalagi harus double pakai kemeja? 

My President is a Rockstar | IDR 109k

Guardians of the Galaxy | IDR 103k

Karena warna hitam menyerap panas, untuk kaus warna hitam coba pakai kaus yang kainnya tipis. Kain 'kan ada jenis ketebalannya (itu loh kita mungkin pernah dengar istilah cotton combed 20s atau 30s, atau mungkin 40s). Nah, semakin kecil angkanya berarti kainnya semakin tebal. Mungkin sambil beli bisa iseng-iseng tanya ke mbak atau mas di tokonya kausnya pakai kain jenis apa. 

You're Welcome to Judge Me | IDR 109k

Salah satu alasan kenapa T-shirt jadi barang wajib yang harus dibawa saat liburan adalah, karena saya males pakai kaus dalam.. Tau 'kan kaus dalam? Kalau orang Sunda sering bilangnya kaos sangsang

*silence*


Celana pendek
Dari kecil saya sudah biasa jadi turis--tuur tiris (lutut dingin). Yap, saya terbiasa dan nyaman untuk pakai celana pendek, umumnya berbahan jeans. Terutama saat liburan ke daerah yang temperaturnya panas, celana pendek saya rasa ampuh untuk mengurangi rasa gerah, terutama di bagian kaki. 

Siapa bilang kaki nggak bisa berkeringat juga? 

Dip dye shorts | IDR 227k

Chino shorts by Kei & Kori | IDR 211k

Selain untuk mengurangi rasa gerah, saya juga senang pakai celana pendek karena kesannya lebih bebas saja. Kalau untuk loncat tinggi, atau jalan cepat, bahkan lari, celana pendek itu nggak bikin ribet (kecuali kalau pinggangnya sangat ketat, pasti bikin sesak). Intinya sih celana pendek adalah bawaan wajib saya saat liburan musim panas.

PS: Yang dimaksud celana pendek ini termasuk celana pendek katun buat tidur a.k.a celana kolor, dan juga celana pendek lainnya semisal basketball trunk (fyi buat yang belum pernah tidur pakai celana basket, itu adem juga loh brosis jadi area private brosis nggak kegerahan ã…‹ã…‹ã…‹)


Jaket
Meskipun musim panas, tetap aja jaket jadi barang bawaan yang wajib dibawa. Kadang cuaca tiba-tiba berubah, dari cerah jadi hujan, dan saat hujan jaket bisa berguna banget. Selain untuk menghangatkan badan, juga bisa buat jadi payung cadangan (semisal lagi jalan tiba-tiba hujan, jaket bisa jadi tudung buat nutupin badan dan kepala).

Tapi karena masih dalam suasana musim panas, jaket yang saya bawa biasanya bukan tipe jaket tebal apalagi parka. Saya suka bawa jaket yang lebih tipis yang bahannya nylon atau polyester. Pokoknya bukan jaket yang tebal aja. Dan jaket ini juga biasanya saya bawa kalau jalan-jalan malam hari. Takut masuk angin..

Evol jacket by 3Second | IDR 397k


Footwear
Buat saya, ada banyak konsiderasi dalam pemilihan jenis alas kaki yang akan dibawa berlibur. Biasanya saya suka lihat dulu kondisi tempat liburan yang mau saya kunjungi. Kalau tempatnya semacam pantai, biasanya saya bawa sendal jepit atau selop (or what do we call it--sendal yang kakinya langsung masuk itu loh yang nggak ada pillar di antara jempol kaki sama telunjuknya?). Sendal jepit dianggap nyaman terutama kalau kita pergi ke tempat-tempat yang lebih bersifat alam kayak pantai, karena semisal si pasir masuk ke sendal, kita bisa dengan mudah ngebersihin alas kaki kita.

U Era Core Sneakers by Vans

Nike Benassi Jdi Sandals | IDR 262k

Kalau tempatnya seperti pusat kota (downtown), saya prefer pakai sepatu sih, dan biasanya saya pakai sneakers. Buat saya, sneakers itu keren dan berbagai merk menawarkan desain yang beda-beda, jadi bisa dengan gampang di-mix-and-match sama kaus dan celana kita. Salah satu kesalahan saya dulu adalah waktu ke Kuala Lumpur, saya malah bawa sepatu basket, bukan sneakers. Walhasil, kaki rasanya gerah banget sepanjang hari. Masalahnya, sepatu basket yang saya punya itu jenis high-top. Sudah berat, gerah pula. Oh ya, tambahan satu lagi sih kalau untuk dipakai jalan kaki dalam waktu yang cukup lama, saran saya sneakers yang dipakai bukan yang high-top. Efeknya lebih terasa terkekang dan gerah aja (tapi tergantung selera masing-masing sih).


Miscellanous
Selain kaus, celana, dan alas kaki, ada beberapa item yang biasa saya bawa. Salah satunya adalah kamera. Selama liburan pasti banyak momen-momen yang sayang banget kalau tidak diabadikan. Nah, dengan adanya kamera, momen-momen berharga saat liburan bisa diabadikan, dan nantinya diunggah untuk dibagikan ke keluarga dan teman-teman lewat media sosial.

Samsung Galaxy Camera 2

Fujifilm Instax Polaroid Camera Mini 50s - Piano Black

Kalau bicara tentang kamera, sebetulnya saya ingin punya kamera polaroid. Kenapa? Kayaknya seru aja beres foto, eh bisa langsung jadi hasil cetaknya. Mungkin bisa juga selama liburan jadi buka bisnis foto polaroid. Lumayan 'kan nambah-nambah duit jajan.

ã…‹ã…‹ã…‹

Selain kamera, tas juga jadi item penting yang harus dibawa. Kita sudah bawa koper, kenapa harus bawa tas lagi? Nah, kita nggak tahu kan selama jalan-jalan siapa tahu ada sesi belanja. Daripada ribet bawa barang belanjaan di kantung plastik, mendingan dimasukkan ke tas. Tas juga bisa jadi tempat penyimpanan gadget semisal tab, atau juga penyimpanan botol minum kita. Yang jelas kalau selama liburan kita banyak jalan kaki, disarankan bawa backpack, bukan tas slempang samping. Apalagi kalau barang bawaan belanjaan kita banyak, kasihan tuh bahunya sakit sebelah nanti.

Hurley Mission 3.0 Backpack

JanSport City Scout Backpack

Bawa kamera sudah. Bawa tas sudah. Lalu yang berikutnya--yang sebetulnya nggak begitu sering saya bawa sih--adalah jam tangan dan topi. Kalau untuk saya secara pribadi, jam tangan memang nggak begitu sering bawa karena sehari-hari pun jarang pakai jam tangan. Jam tangan dipakai bukan hanya untuk ngasih tau informasi waktu, tapi juga buat mendukung penampilan kita.

Superdry Syg126Um Watches

Casio F-91W-3Dg Watches | IDR 242k

Alasan saya jarang bawa jam tangan adalah karena sebenarnya saya ini jorok orangnya, jadi kalau misalnya lepas jam tangan, kadang sembarangan taruh lalu lupa taruhnya dimana. Hilang deh akhirnya. Nah, tentang topi.. Saya tuh seringkali ngerasa sayang aja sama tatanan rambut yang udah diatur dari awal kalau pakai topi. Karena nantinya ketika topi dilepas.. Tadaa! Rambut saya langsung ngebulet kayak batok kelapa.

Nike Featherlight Cap 2.0 | IDR 260k

Ah, hampir lupa! Satu item yang jangan sampai ketinggalan adalah headphone! Sering kurang afdol rasanya kalau selama perjalanan menuju tempat liburan, kita nggak dengar musik. Terutama di perjalanan jauh, kalau nggak dengar musik itu jenuh sekali rasanya (apalagi kalau naik pesawat).

Beats by Dr. Dre - Solo | IDR 1,517k

Kalau misalnya malas pakai headphone karena alasan berat, alternatifnya bisa pakai earphone atau earbud (cuma kalau saya malas aja pakai earbud karena sakit ke telinga).


Secara keseluruhan, item-item yang saya sebutkan merupakan tipikal item yang biasa saya bawa saat berlibur. Dan karena temanya Summer Holiday in Black, sengaja saya kasih rekomendasi barang-barang dengan warna dominan hitam. Meskipun liburan sudah berakhir, tapi semoga kita masih dapat semangat musim panasnya ya (atau semangat usum halodo deh kalau nggak). Dan juga, kalau misalnya penasaran dengan item-itemnya, saya sudah kasih link di caption di bawah foto, jadi barangkali ingin beli bisa langsung klik aja link-nya. Terus kalau lebih detil lagi, link-nya itu bawa-bawa nama Zocko. Nah apa sih Zocko? Kalau ingin tahu apa itu Zocko, mendingan cek situsnya aja di Zocko.com. Disana kita bisa belanja online dan bisa juga dapat uang. Caranya? Dikasih tahu kok caranya di situsnya.

Anyway, have a great summer holiday! 

Dan yang sudah mulai kuliah..

Good luck dengan semester barunya ^^

Friday, August 29, 2014

Jalan (lebih) santai

Jalan santai.. Jalan lebih santai lagi. 

Bukan, disini saya bukan mau bercerita tentang program kerja jalan santai yang saya dan tim KKN saya canangkan di program KKN yang saya ikuti. Saya sebenarnya mau cerita tentang pace saya dalam dunia perkuliahan yang saya geluti. Kenapa judulnya jalan santai? Kalau semisal temanya tentang perkuliahan, kenapa saya justru nggak pakai kalimat lain yang lebih berbau akademik atau berbau kampus? Memang sengaja saya pilih judul seperti itu karena buat saya, istilah 'jalan santai' sudah menggambarkan seperti apa sih saya dan pergerakan saya di dunia perkuliahan. 

Sejauh ini saya bukan tipe orang yang 'maksa' dalam dunia perkuliahan. Saya sebisa mungkin mencoba untuk dapat kehadiran 100% di kelas, tapi saat saya lagi jenuh saya bisa saja skip kelas. Saat saya merasa sakit dan kondisi tubuh tidak memungkinkan untuk pergi ke kampus, saya akan skip kelas dan istirahat di rumah. Saya nggak pernah ambil matakuliah di semester atas meskipun sebetulnya saya bisa, dan orang lain sah-sah saja untuk ambil matakuliah di semester atas. Buat saya secara pribadi, saya mau menikmati apa yang ada dulu di semester yang saya jalani. Kalau saya ternyata dapat 18 SKS di semester itu, ya saya ambil 18 saja. Walaupun saya bisa ambil lebih, tapi saya merasa ah sudah saja 18 SKS dulu dinikmati. Saya menilai diri saya bukan orang yang sering slack off di kelas, tapi ada kalanya saya nggak memberikan konsentrasi 100% di kelas, apakah karena lelah atau karena sakit. Kalau bicara tentang attitude terhadap perkuliahan, saya rasa saya bisa bilang kalau saya dalam level average; di matakuliah yang saya sukai saya bisa sangat excited dan bersemangat, sementara di beberapa matakuliah lainnya saya ya biasa-biasa saja, nggak terlalu bersemangat tapi tidak juga malas-malasan. 

That's why I said 'jalan santai'. 

Untuk saya, dunia perkuliahan nggak perlu diburu-buru. Dari jatah 7 tahun yang diberikan oleh universitas, saya nggak mau memaksakan diri harus cepat mikirin tentang skripsi, atau harus sudah bikin proposal skripsi di semester 7, atau harus lulus empat tahun. Buat saya, lulus dalam waktu 4,5 atau 5 tahun masih sah-sah saja, selama kita nggak kebablasan. Lima setengah tahun pun sebetulnya masih fine kalau untuk saya, selama memang benar waktunya 5,5 tahun dan nggak bablas jadi enam tahun. Saya nggak suka untuk taruh ekspektasi yang terlalu tinggi dalam dunia perkuliahan saya. Dari mulai nilai sampai waktu kelulusan, saya secara pribadi merasa bahwa selama nggak dapat D atau E, dan selama lulus tepat waktu, everything's fine

Sometimes we put high expectations on things and we're hurt really bad when we can't meet the expectations. 

Saya akan gambarkan nilai saya di semester 3 & 4, dan yang terbaru di semester 6. Dan dengan menunjukkan nilai-nilai ini saya nggak bermaksud untuk menyombongkan diri ya. 

nilai semester 3 & 4

nilai semester 6

IP saya anjlok di semester 6 (kemarin), dan saya tidak mencapai ekspektasi yang saya taruh. Ditambah lagi semester 6 (dan 5) merupakan semester yang menguras banyak tenaga dan bikin saya exhausted lahir batin. Di semester 3 & 4, memang nilai saya bagus dan itu merupakan yang tertinggi dari semua nilai yang ada. Setelah kasus semester 6 kemarin, saya mulai sadar bahwa sepertinya saya kemarin ini memaksakan diri untuk bisa mencapai ekspektasi, dan hasilnya, saat muncul nilai C, saya jadi kecewa sendiri dan marah (meskipun marahnya hanya beberapa hari), Saya terlalu berharap dapat nilai minimal B, tapi memang usaha saya segitu-gitunya, jadi saat dapat C, saya yang kecewa sendiri (padahal 'kan hasil berbanding lurus dengan usaha). Lalu setelah saya pikir-pikir lagi, ya memang usaha saya seperti itu jadi mungkin saya memang deserve nilai segitu, dan itupun sudah syukur saya nggak dapat D, E, BL, atau K (kosong). Orangtua saya pun rupanya nggak mempermasalahkan nilai C itu. Akhirnya, saya rasa mungkin memang harusnya begini dan, ya sudah jalani saja. Yang penting adalah, bagaimana ke depannya saya bisa meningkatkan nilai-niai saya. 

Balik lagi ke topik 'jalan santai'. Hantaman keras yang dikasih semester 6 ke saya membuat saya seolah sadar bahwa mungkin saya memang lelah di semester kemarin ini. Di semester 3 sampai 5 saya bisa bilang saya cukup (atau mungkin terlalu) serius dalam perkuliahan. Mungkin di semester 6 kemarin sebetulnya adalah indikasi bahwa saya mulai jenuh dengan dunia perkuliahan. Saya butuh istirahat, saya butuh liburan. Ya, beristirahat sejenak sampai energi cukup pulih untuk kembali kuliah. I guess I worked my butt off at the last 3 semesters and now I need recess

Tapi kalau saya liburan, itu artinya skip kuliah.. 

Nah, saya rasa cara yang paling tepat untuk pulih dari tekanan semester ber-IP buruk adalah dengan jalan lebih santai. Dengan jalan lebih santai, saya bisa punya waktu lebih untuk istirahat, mengerjakan kegiatan yang sesuai dengan passion saya, tanpa harus melupakan tugas atau fokus di kelas. Saya nggak mau terlalu maksa harus jadi anak yang sangat rajin. Kalau memang saya sedang jenuh, saya akan cari ketenangan dan istirahat sejenak, lalu setelah bugar, langsung kembali fokus ke perkuliahan. Saya nggak mau dulu mikir tentang skripsi ataupun kepancing untuk cepat-cepat mikir tentang skripsi saat yang lain sudah mulai bicara tentang skripsi sementara saya memang belum siap untuk mulai bikin proposal skripsi. Saya percaya skripsi ini bukan tentang ide, tapi juga kesiapan fisik dan mental. Saya juga nggak mau terlalu memikirkan apa kata orang tentang kelulusan. Gak perlu diburu-buru lulus, yang penting lulus tepat waktu dan saat lulus, saya memang benar-benar sudah siap untuk terjun ke masyarakat, baik berkontribusi dalam pekerjaan ataupun membuat lahan pekerjaan baru untuk orang-orang banyak. 

Intinya sih, saya nggak mau diburu-buru. Yang penting saya tetap fokus dan harus bisa juga menikmati hidup di tengah dunia perkuliahan. Saya rasa banyak orang yang berfikir demikian. Toh masa muda 'kan harus jadi masa yang menyenangkan, bukan selalu tentang mikirin kuliah harus dapat A atau skripsi cepat beres. 

Thursday, August 28, 2014

Ring (pt.2)

Matahari Sabtu siang ini bersinar begitu terik. Melalui jendela kedai, aku melihat orang-orang yang berjalan cepat di luar, mungkin ingin segera tiba di tempat tujuannya karena tak kuat dengan sengatan matahari yang begitu ganas. Cuaca yang panas membuatku semakin gundah, meskipun aku berada di dalam ruangan berpendingin udara saat ini. Mataku sedari tadi melirik jam antik yang digantung di dinding kedai kopi ini. Saat ini waktu menunjukkan pukul dua siang dan itu artinya aku masih punya dua setengah jam lagi sebelum aku bertemu dengan Alia. Dua setengah jam, dan aku merasa begitu gugup. Ya, aku takut segalanya tak berjalan dengan baik. Sementara aku gugup, adikku Reyhan dengan santainya menikmati makan siangnya dan meneguk gelas berisi teh limun dinginnya. 

Reyhan begitu santai menikmati santap makan siangnya. Tangan kanannya memegang garpu yang ia gunakan untuk menusuk kentang goreng shoestring dan sosis. Ia mencelupkan kentang dan sosis yang ia tusuk dengan garpunya ke dalam wadah berisi saus mayonnaise, lalu memakannya. Ia begitu menikmatinya, terutama saat ia meneguk teh limun dinginnya. Dari matanya kulihat dunia merupakan tempat yang indah, dan hidup begitu santai tanpa ada kegundahan. Tapi itu untuknya, bukan untukku. Saat ini, aku benar-benar gelisah. Dunia menjadi tempat yang mengerikan. Salah melangkah, bisa-bisa hidupku berakhir. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi aku benar-benar sangat gelisah saat ini. Reyhan bisa bersantai di saat seperti ini, karena ia tak berada di posisiku. Seandainya ia menjadi aku dan akan melamar seorang gadis dua setengah jam lagi, mungkin ia akan merasa gelisah sepertiku. 

"Santai aja, mas. Belum dimakan loh pesanannya dari tadi," tegur Reyhan. 
"Mas Eza nggak selera, Rey. 'Kan kamu tahu sendiri mas Eza gugup saat ini," jelasku. 

Reyhan mengangkat kedua bahunya lalu kembali menikmati makan siangnya.

"Aduh, Rey. Mas Eza harus gimana ya? Takut salah bicara nih," tanyaku ragu.
"Ah, mas Eza terlalu tegang. Santai sedikit kenapa?" jawab Reyhan santai.
"Kamu nggak tahu sih gimana rasanya berada di posisi mas Eza," tukasku.
"Bukannya Rey nggak paham, tapi yang Rey lihat sejak tadi pagi mas Eza itu terlalu tegang. Calm down," jelas Reyhan.

Aku meneguk kopi dinginku.

"Mas Eza udah coba untuk tenang, Rey. Tapi kamu lihat sendiri, mas Eza masih gelisah," ujarku, "Mas Eza harus gimana lagi sekarang?"
"Kalau gitu, berarti persiapan mas Eza berarti belum matang," balas Reyhan.

Tersinggung, aku mengernyitkan dahiku. 

"Apa maksud kamu? Kamu nggak lihat usaha mas Eza selama ini seperti apa?" 

Kesal, aku mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku jaketku dan menaruhnya di atas meja. Telunjukku mengetuk tutup kotak cincin tersebut dua kali. 

"Lihat! Mas Eza udah beli cincin ini sejak dua bulan yang lalu. Mas Eza sudah dapat pekerjaan tetap. Mas Eza juga sekarang tinggal cari rumah. Dan mas Eza juga udah berpakaian seperti yang kamu sarankan. Apa yang kurang? Coba kamu jelasin sama mas Eza, apa persiapan yang kurang?" tanyaku kesal. 
"Secara fisik sih mungkin mas Eza udah siap. Penampilan mas Eza sudah rapi. Baju yang mas Eza pakai juga bagus. Tapi mas Eza belum siap secara mental kalau kayak gini," jelas Reyhan. 
"Kamu harusnya paham dong posisi mas Eza sekarang seperti apa. Coba kamu bayangkan sendiri dua setengah jam lagi mas Eza mau bicara serius sama Alia dan ini menyangkut masa depan hubungan kita berdua. Coba kamu sebelum bicara itu dipikir dulu!" tegurku. 

Reyhan meringis pelan. 

"Terus mau sampai mas Eza nervous begini? Kalau mas Eza terus gamang kayak sekarang, memang nggak bakal memalukan nanti?" 
"Kalau gitu kamu jelasin gimana caranya supaya mas Eza bisa nggak nervous!" 
"Jangan terlalu dipikirkan. Mas Eza bisa mulai dengan fokus ke makanan dan minuman mas Eza" 
"Ah, kamu pikir gampang apa menghilangkan rasa gugup?" 
"Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, ya apapun masukan dari orang akan dianggap negatif" 

Aku menghela nafas sejenak. Ponselku tiba-tiba berdering, Aku segera mengambil ponselku di atas meja lalu menjawab panggilan telpon yang masuk. 

"Halo?" 
"Halo, Za? Lagi dimana?"

Aku mengernyitkan dahiku. Adit, rekan kerja dan sahabat sejak aku SMA, menghubungiku. Ada apa Adit menelponku di Sabtu siang seperti ini? Biasanya ia sangat sibuk di hari Sabtu, entah menghabiskan waktunya bermain game di rumahnya, atau pergi dengan kekasihnya, atau berenang sampai sore, atau bahkan berlibur ke luar kota dan pulang pada Minggu malam.

"Lagi makan siang sama adik. Ada apa, Dit?" tanyaku.
"Temenin gue ke pameran dong," ajak Adit.
"Pameran? Pameran apa?" tanyaku.
"Komputer. Di Landmark," jawab Adit.
"Wah? Dekat dong. Gue di Wiki," balasku.

Aku mengambil gelas kopi dinginku dan meneguk isinya.

"Gue baca di grup katanya hari ini anak-anak regional mau pada kesana. Mungkin pulang dari pameran mau makan bareng," ujar Adit.
"Regional?" tanyaku bingung.
"Dota 2. Anak-anak Bandung semua kok. Ayo ikut," jelas Adit.
"Wah? Serius?" tanyaku kaget.
"Kapan sih gue bohong sama lu, Za? Gue udah mau nyampe nih. Lewat rel kereta terus tinggal belok kanan buat parkir mobil. Lu datang, 'kan? Temenin lah. Gak ada teman nih," bujuk Adit.
"Oke. Gue kesana sekarang. Eh, tapi gue nggak bisa lama ya. Jam empat gue langsung pergi lagi," jawabku.
"Kemana?"
"Ah, mau tahu aja"

Setelah sepakat untuk bertemu, aku dan Adit mengakhiri obrolan kami di telpon. Tiba-tiba saja rasa gugup yang melandaku hilang. Aku tiba-tiba bersemangat. Berkumpul bersama teman-teman gamers pasti akan menyenangkan.

"Mas Eza harus pergi sekarang," ujarku.

Reyhan menatapku kaget. Ia mengernyitkan dahinya.

"Sekarang? Mau kemana?" tanyanya.
"Ke Landmark. Ketemu anak-anak Dota," jawabku.
"Landmark? Katanya mau ketemu sama miss Alia di Saka? Kok malah ke Landmark?" tanya Reyhan bingung.
"Sebentar kok. Nggak akan lama. Hitung-hitung sambil nunggu waktu," jawabku.
"Lha terus aku gimana?"
"Kamu ikut sama mas Eza aja. Kita ketemu teman-teman mas Eza"
"Nggak mau. Nggak kenal ah"
"Lha memang kamu mau sendiri disini?"
"Nggak mau. Reyhan mendingan pulang"
"Mas Eza nggak bisa antar kamu pulang. Adit udah nunggu di Landmark"
"Pokoknya Reyhan nggak mau ikut dan nggak mau diam sendirian"
"Kamu 'kan bisa pulang sendiri pakai kendaraan umum"

Adikku mendengus kesal.

"Mas Eza nggak konsisten. Ganti rencana tiba-tiba dan seenaknya," ujar Reyhan dingin.
"Bukannya mas Eza nggak konsisten. Lagipula ini 'kan ketemu teman-teman grup," bantahku.
"Teman-teman grup lebih penting ya daripada adik dan pacar?" balas Reyhan.

Aku meringis pelan. Segera kuambil tasku dan aku beranjak dari tempat dudukku.

"Maaf deh kalau gitu. Mas Eza benar-benar harus pergi sekarang. Untuk makanan biar mas Eza yang bayar," ujarku.

Aku menaruh selembar uang senilai seratus ribu dan selembar uang senilai lima puluh ribu di atas meja.

"Itu seratus ribu buat bayar makanan. Lima puluh ribu barangkali kamu pulang pakai taksi"

Aku segera pergi setelah memberi adikku uang. Setengah berlari menyusuri trotoar, aku harus segera tiba di Landmark karena Adit telah menungguku. Ponsel di saku jaketku bergetar dan aku melambatkan langkahku untuk memeriksa ponselku. Ada satu pesan singkat yang kuterima dan saat kubaca, aku terkejut. Adikku yang mengirimiku pesan singkat itu.

"Kalau Rey tahu bakal begini rencana mas Eza, Rey dari awal nggak akan ikut. Lebih baik Rey makan siang di rumah sama ayah"

Aku meringis kesal. Dengan cepat jemariku bergerak lincah di atas layar sentuh.

"Kalau kamu masih mempermasalahkan hal ini, nanti di rumah kita selesaikan. Mas Eza nggak mau kita bertengkar di telpon atau SMS. Kamu udah dewasa. Kamu harus coba pahami posisi orang lain" 

Pesan singkat itu segera kukirimkan. Tak mau banyak memikirkan tentang adikku, aku pun segera berlari menyebrangi jalan menuju gedung Landmark, dimana Adit telah berdiri menungguku di depan pintu masuk gedung tersebut.

----

Selepas berkeliling pameran, aku, Adit, dan teman-teman grup yang kuikuti memutuskan untuk mengobrol sembari menikmati cemilan di taman balai kota yang letaknya tak jauh dari gedung Landmark. Sabtu sore yang cerah menghadirkan suasana hangat dan bersahabat. Di bawah naungan sebuah pohon, aku dan teman-temanku duduk sembari berbagi cerita. Tak hanya tentang game yang kami mainkan, tetapi juga tentang kehidupan kami.

"Buat lu," ujar Moses seraya memberiku segelas kopi susu.
"Thanks," jawabku.

Moses lalu duduk dan bergabung bersama kami. Kami saat ini sedang berbicara tentang pekerjaan dan sekolah. Aku tak hanya berteman dengan yang seusia denganku. Ada juga beberapa temanku yang masih bersekolah di tingkat SMA. Perbedaan tingkat pendidikan inilah yang membuat obrolan menjadi menarik karena aku seolah dibawa bernostalgia saat teman-temanku yang masih SMA bercerita tentang kehidupan sekolahnya.

"Koh Reza lulusan mana?" tanya Azka, anggota grup yang masih bersekolah di SMA.
"Maranatha. Gue ambil DKV," jawabku.
"Berarti lu sekampus sama Adit?" tanya Moses.
"Nggak. Kalau gue dari ITB," jawab Adit.
"Kita bersahabat sejak SMA. Dari kelas satu sampai kelas tiga kita selalu sekelas," ujarku.
"Sampai bosan gue liat muka dia di kantor," sambung Adit.

Aku dan teman-temanku tertawa.

"Lu sendiri pas kuliah ambil jurusan apa, Ses?" tanya Adit.
"Gue ambil teknik arsitektur," jawab Moses.
"Dimana? Parahyangan?" tanyaku.
"Bukan. UPI," jawab Moses.
"Kenal Nana?" tanyaku.
"Kenal. Dia teman lu juga?" jawab Moses.
"Teman zaman SMA. Nggak begitu dekat sih," jawabku.

Ponselku bergetar. Aku segera merogoh ponselku dan terkejut saat kulihat waktu telah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Ada pesan singkat yang kuterima dan rupanya pesan itu dikirim oleh Alia.

"Aku sudah sampai dari lima belas menit yang lalu. Kamu udah dimana?" 

Aku segera membalas pesan singkat itu.

"Tunggu ya. Aku berangkat kesana sekarang. Sekitar lima belas menit lagi aku sampai"

Aku segera memasukkan ponselku lalu mengenakan jaketku. Setelah berpamitan pada teman-temanku bahwa aku harus segera pergi, aku setengah berlari menuju area parkir motor. Segera kukenakan helmku dan kutarik zipper jaketku. Tanganku tak sengaja menyentuh saku kanan jaketku dan aku tak merasakan benda itu berada di dalam saku jaketku. Panik, aku menyeluk saku jaketku dan benda itu memang tak ada di dalam saku jaketku. Aku turun dari motorku dan segera memeriksa saku jaketku yang lain dan saku celanaku. Aku bahkan sampai membongkar seluruh isi tasku namun hasilnya nihil. Kotak cincin itu tak ada. Aku kehilangan kotak cincin itu.

"Tadi kutaruh dimana kotaknya?"

Aku segera berlari kembali ke tempat teman-temanku berkumpul dan mereka terkejut oleh kehadiranku yang tiba-tiba.

"Ada apa, Za?" tanya Adit.
"Maaf. Kalian lihat ada kotak nggak? Kecil kotaknya," tanyaku.
"Kotak? Kotak apa?" tanya Moses.

Aku meringis dan tersenyum malu.

"Kotak cincin," jawabku.

Teman-temanku terkejut, tak terkecuali Adit.

"Cincin? Lu bawa cincin?" tanya Adit.

Aku menghela nafas sejenak.

"Sorry, gue baru cerita sekarang. Sebenarnya gue janjian sama pacar gue untuk ketemu jam setengah lima sore. Gue ketemu dia untuk--"
"Lamar?" potong Adit.
"Er.. Ya. Seperti yang lu semua bisa tebak," jawabku malu.

Terdengar riuh teman-temanku menggodaku dan memberiku selamat. Mereka tiba-tiba berdiri dan satu persatu menyalamiku. Aku menyambut jabat tangan mereka sembari tersenyum malu dan gugup. Astaga. Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku kehilangan cincinku dan aku harus bertemu dengan Alia lima belas menit lagi.

"Eh, sebentar! Kita bantu cari kotak cincinnya," ujar Moses, "Za, coba kira-kira dimana tempat yang potensial buat lu hilangkan atau jatuhkan kotak cincinnya?"
"Gue udah cari di sekitar area parkir tapi nggak ada, makanya gue kesini," jawabku.
"Oke. Kita cari di sekitar sini. Apa warna kotaknya?" tanya Moses.
"Ungu. Amethyst"

Selama sekitar sepuluh menit teman-temanku membantuku mencari kotak cincinku, namun tak ada satupun yang melihatnya. Aku semakin takut. Mungkin saja kotak itu jatuh saat aku sedang mengendarai motorku. Atau..

"Za, kalau nggak salah lu tadi makan siang sama si Reyhan, 'kan?" tanya Adit.
"Eh, iya. Jangan-jangan.."
"Kotaknya ketinggalan mungkin di tempat makan?"

Tanpa pikir panjang aku pun segera pamit pada teman-temanku lalu berlari menuju area parkir. Mengendarai motorku, aku memacu cepat motorku agar bisa tiba di kedai tempatku dan adikku menikmati makan siang kami. Setelah memarkirkan kendaraanku, aku segera masuk ke kedai tersebut dan rupanya meja yang aku dan adikku tempat beberapa jam yang lalu telah terisi oleh pengunjung lain. Aku pun lantas berjalan menuju kasir untuk menanyakan apakah para pelayan yang bertugas disini menemukan benda yang tertinggal.

"Mbak, saya tadi makan disini sama adik saya di meja itu, yang dekat jendela," ujarku seraya menunjuk ke meja yang kutempati saat makan siang.
"Ya. Ada apa?" tanya kasir yang bertugas.
"Lihat ada yang tertinggal nggak? Kotak cincin, warna ungu," tanyaku.
"Kotak cincin?"

Kasir itu lantas memanggil semua pelayan yang ada dan tak ada satupun dari pelayan yang melihat kotak cincin tersebut. Masih belum yakin, aku mencari sendiri kotak cincin itu di sekitar meja yang kutempati sebelumnya, bahkan bertanya pada pengunjung yang ada apakah mereka melihat kotak cincin milikku. Kenyataannya, tak ada satupun dari mereka yang melihatnya. Aku mulai putus asa. Keluar dengan langkah gontai, aku berjalan menuju motorku dan duduk sejenak sembari memikirkan kemungkinan yang lain.

Mungkinkah Reyhan melihatnya saat aku tak sengaja meninggalkan kotak cincin itu dan membawanya?

Tanganku segera merogoh ponselku di saku celanaku lalu kuhubungi adikku. Reyhan tak dapat dihubungi dan kucoba sekali lagi untuk menghubunginya. Lagi-lagi operator memberitahuku bahwa Reyhan sedang tidak dapat dihubungi. Sial! Dimana anak itu sekarang? Aku mengirimkan pesan singkat untuknya dan pesan itu tak sampai. Gusar, aku pun menelpon rumahku dan ayah yang menjawab panggilan telponku.

"Halo, yah?"
"Halo? Maaf, ini dengan siapa?"
"Yah, ini aku Reza"
"Oh, ada apa?"
"Yah, Reyhan ada di rumah?"
"Reyhan? Lha bukannya tadi pergi sama kamu?"
"Itu.. Pokoknya ada sesuatu jadi Reyhan pulang sendiri. Jadi dia belum sampai?"
"Belum. Ada apa memangnya? Kok adikmu pulang sendiri?"
"Nanti Reza ceritakan di rumah. Sudah dulu ya, yah. Assalamualaikum"

Aku segera mengakhiri percakapan di telpon dan kulihat waktu sekarang menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Ya Tuhan, sekarang apa yang harus kulakukan? Kotak cincinku hilang dan Alia pasti mulai jenuh menungguku. Sial! Hari ini memang hari sialku!

----

Rasa gugup menyelimutiku. Perasaan yang kurasakan saat aku makan siang ini kembali menguasaiku. Turun dari motorku, rasanya begitu berat untuk berjalan dan menahan beban tubuhku. Tubuhku terasa sangat berat dan rasanya aku ingin menjatuhkan diriku dan langsung berbaring saja di tanah. Melalui jendela, aku dapat melihat sosok Alia sedang duduk dengan wajah lelah, memutar sendok di gelas minumannya. Ah, Alia pasti marah padaku karena aku terlambat. Kupaksakan diriku untuk masuk ke dalam restoran tersebut lalu berjalan menghampiri Alia. Ia melihatku saat aku telah berjarak sekitar lima meter dari tempat duduknya. Ia tersenyum kecil dan tak menyapaku seperti biasanya.

"Boleh aku duduk?" tanyaku.
"Duduk aja," jawabnya cuek.

Ah, Alia memang marah padaku. Aku melihatnya yang nampak dingin padaku. Ia menarik kedua tangannya dari atas meja, lalu melihat keluar jendela, mengacuhkanku yang sudah pasti nampak menyedihkan di hadapannya.

"Alia, aku minta maaf karena terlambat," ujarku.
"Nggak apa-apa. Aku juga kebetulan belum pesan apapun," jawabnya.
"Belum pesan? Padahal kamu bisa pesan duluan," ujarku.
"Ya. Sengaja nggak pesan duluan. Aku nunggu kamu," jawabnya.

Ya Tuhan. Alia pasti sangat kesal padaku. Ah, aku memang bodoh! Seharusnya aku pergi lebih awal dan lebih hati-hati dengan barang bawaanku. Atau.. Atau seharusnya aku mendengarkan apa yang Reyhan katakan padaku. Reyhan, maafkan aku. Aku terlalu egois.

"Alia, sebenarnya aku ajak kamu kesini karena ada sesuatu yang mau obrolkan," ujarku.
"Oh, kebetulan aku juga punya sesuatu buat aku ceritakan," jawab Alia.
"Tapi.. Hal yang mau aku bicarakan dengan kamu ini serius," balasku.
"Sama. Aku juga mau bicara serius sama kamu"

Aku menelan air liurku. Kuharap Alia tak akan mengatakan sesuatu yang dapat membuatku lebih gila hari ini.

"Mau siapa dulu yang ngomong?" tanya Alia.
"Er.. Kamu dulu," jawabku.
"Aku dulu? Oke"

Alia menghela nafas lalu menatapku dalam.

"Za, aku nggak bisa pacaran lagi sama kamu," ujarnya.

Ucapan Alia seketika melumpuhkanku. Aku tercengang karena tak percaya dengan ucapannya. Keringat dingin seketika mengucur deras, dan bisa kurasakan darahku menjadi panas, mengalir ke kepalaku dan membuat kepalaku panas. Tenggorokanku tercekat. Aku mulai gemetaran. Apa ini sungguhan? Apa Alia benar-benar mengatakan hal itu?

"Kita nggak bisa pacaran lagi? Kamu serius?" tanyaku tak percaya.
"Aku serius. Aku benar-benar serius," jawab Alia tegas.
"T-tapi.. Tapi kenapa?"

Aku bisa merasakan air mataku terasa panas mengalir dan menganak sungai di pipiku. Aku tak percaya hubunganku dengan Alia harus berakhir seperti ini, dan aku tahu ini semua salahku.

"Kenapa kamu nangis?" tanya Alia.
"A-aku.. Aku nggak percaya karena kamu bilang kalau kita nggak bisa pacaran lagi," jawabku.
"Kenapa nggak percaya? Ini kenyataannya, Za," tegas Alia.

Aku menghela nafas dan menyeka air mataku.

"Aku udah terima lamaran seseorang, Za. Sekarang aku sudah bertunangan," ujar Alia.
"Kenapa kamu bisa terima orang itu begitu aja?" tanyaku kesal.
"Kenapa? Apa aku harus kasih tahu alasannya?" Alia balik bertanya.
"Harus! Kamu tiba-tiba bertunangan sama orang lain, dan kamu memutuskan hubungan kita begitu aja. Lantas apa artinya dua tahun terakhir ini? Apa artinya semua itu? Percuma aku nunggu kamu untuk pulang dari London kalau akhirnya ternyata seperti ini!"

Alia meringis pelan.

"Aku juga nggak tahu harus bilang apa. Aku minta maaf, Za," ujar Alia.
"Minta maaf? Kamu bilang minta maaf? Ngomong itu mudah!" bantahku.
"Karena memang itu yang bisa aku bilang sama kamu. Maaf karena kita nggak bisa lagi pacaran," tegas Alia.
"Memangnya siapa tunangan kamu? Siapa?" tanyaku.

Alia menggeleng pelan. Ia lalu menunjukkan tangan kirinya padaku. Ada sebuah cincin yang tersemat di jari manis tangan kirinya. Berlian kecil yang menjadi mahkota cincin itu berkilau saat cahaya matahari sore yang menelusup masuk melalui jendela mengenai permukaannya. Aku mengenali cincin itu, dan saat tangan kanan Alia akhirnya terjulur, menaruh sebuah kotak berwarna ungu di atas meja, aku semakin yakin bahwa aku memang mengenali cincin itu.

Alia mengenakan cincin yang seharusnya kupakaikan padanya!

"Tunangan aku ini orangnya kadang ceroboh. Dia ajak aku ketemu sore ini, setengah lima, di tempat ini karena dia mau lamar aku. Sebelum kesini, dia sempat makan siang sama adiknya, tapi dia tiba-tiba pergi untuk ketemu teman-teman sesama gamernya dan ninggalin cincin yang kupakai ini di tempat makan. Untung adiknya lihat dan karena adiknya udah tahu rencana dia, adiknya datang pakai taksi kesini hanya untuk kasih cincin ini ke aku. Adiknya jelaskan semua rencana kakaknya dan karena aku sudah nggak perlu lagi berfikir dua kali, aku terima lamaran kakaknya melalui adiknya dan langsung kupakai cincin ini supaya orang-orang tahu bahwa aku sudah bertunangan sama kakaknya. Orangtuaku juga sejak setahun yang lalu bahkan bilang bahwa mereka setuju kalau aku menikah sama dia, jadi nanti saat aku pulang orangtuaku pasti terkejut waktu aku tunjukkan cincin ini ke mereka"

Aku kembali tercengang dengan ucapannya. Jadi benar cincin itu tertinggal dan Reyhan yang mengambilnya. Tapi ia tak membawanya pulang; ia datang ke tempat ini dan bertemu dengan Alia, menceritakan semua rencanaku dan Alia langsung menerima lamaranku melalui adikku. Aku tak tahu kemana adikku pergi sekarang. Mungkin saja Reyhan sudah pulang, namun yang jelas aku harus bertemu dengannya dan meminta maaf sekaligus berterima kasih padanya.

"Za, bisa aku bayangkan hidupku sama dia nanti. Semoga dia nggak buat aku kesal karena dia terlalu asyik main game. Atau mungkin aku yang jadi ikut main game sama dia? Bayangkan, punya suami gamer mungkin menyenangkan"

Aku tersenyum bahagia.

"Aku janji aku nggak akan sampai keasyikan main game. Aku janji," ujarku.

Alia tersenyum padaku. Kugenggam kedua tangannya. Kami saling menatap lalu tersenyum, dan akhirnya melepas tawa kecil. Aku mulai menangis lagi, bukan karena sedih atau marah, tapi karena aku sangat bahagia. Sementara itu, Alia tak menangis dan ini membuatku terkejut.

"Kamu kok nggak nangis kayak aku?" tanyaku.
"Aku nangis tadi waktu Reyhan cerita. Aku nangis cukup lama," jawab Alia seraya tertawa kecil.
"Jadi air matanya sudah habis ya?"
"Kayaknya begitu. Mau nangis pun susah, tapi aku bahagia sekali hari ini"

Aku mengusap pelan jemarinya.

"Thanks, Alia," ujarku.
"Sama-sama. Terima kasih juga ya, Reza," jawabnya.

Kami kembali saling menatap, lalu tertawa kecil. Sore itu kami habiskan berbincang-bincang tentang rencana kami ke depannya. Aku memberitahu Alia bahwa aku masih mencari rumah untuk kami tinggali bersama dan Alia memberitahuku bahwa ia akan membantuku mencari informasi mengenai rumah untuk kami. Saat waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, hidangan makan malam kami telah datang dan kami menikmati makan malam bersama sebagai pasangan tunangan untuk pertama kalinya. Aku sangat menyukai penampilan Alia malam ini. Entah ia memang berencana mengenakannya atau tidak, yang jelas apa yang Alia kenakan saat ini membuatnya nampak begitu anggun. Blus tanpa lengan berwarna putih dengan motir bunga-bunga kecil berwarna merah hijau dan oranye, kalung perak dengan liontin berbentuk angsa, celana jeans hitam, dan sepatu berhak berwarna merah marun sangat cocok ia kenakan.

Selesai makan malam, aku mengantar Alia pulang. Sepanjang perjalanan, ia terus memelukku. Aku masih tak percaya bahwa mulai saat ini aku telah bertunangan dengannya. Sengaja aku tak mengendarai motorku dalam kecepatan tinggi agar aku dapat menikmati waktu bersama Alia lebih lama. Mendekati komplek kost dimana Alia tinggal, aku memperlambat laju motorku. Kuhentikan motorku di depan pagar komplek kost. Alia turun dari motor dan mengembalikan helmku. Aku melepas helmku. Gadis itu mengacak-acak rambutku.

"Hati-hati cincinnya lepas," ujarku.
"Ya. Tenang aja. Aku cuma gemas aja sama kamu," jawab Alia.
"Besok acaranya apa?" tanyaku.
"Minggu? Nggak ada. Sepertinya mau istirahat di kost," jawabnya.
"Kalau mau pergi, kabari aja ya. Nanti aku yang antar," ujarku.
"Beres. Kamu mendingan cepat pulang dan istirahat," balas Alia.

Aku lalu turun dari motorku dan berdiri berhadapan dengannya. Ia menatapku dalam dan tersenyum. Kucondongkan wajahku ke dekat wajahnya dan kemudian bibirku mengecup bibirnya. Kami berciuman selama beberapa detik sampai akhirnya kudengar ponselku berdering. Kami segera menarik wajah kami dan tersenyum malu.

"Kayaknya kamu sudah ditelpon untuk diminta pulang," ujar Alia.
"Kayaknya begitu," jawabku, "Kalau gitu aku pulang sekarang"
"Hati-hati di jalan," ujar Alia.

Segera kukenakan helmku dan kunaiki motorku. Setelah berpamitan, aku kembali memacu kendaraanku di jalan raya. Rasa bahagia dan lega menyelimutiku. Aku tak bisa menggambarkan seperti apa kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Tak sabar rasanya untuk segera tiba di rumah, memberitahu pada ayah dan Reyhan bahwa aku telah bertunangan, dan ingin rasanya segera kupeluk dan kuacak-acak rambut adikku, mengucapkan maaf untuk pertengkaran kecil kami tadi siang dan berterima kasih padanya. Kukenang beberapa tahun yang lalu saat Reyhan bersikap dingin padaku dan ayah, dan hari ini ia justru membantuku meraih mimpiku untuk hidup bersama orang yang kusayangi. Aku benar-benar bersyukur bahwa tinggal selangkah lagi untuk hidup bersama Alia, dan juga bersyukur memiliki adik seperti Reyhan.

Rasanya air mata bahagiaku kembali mengalir. 

Wednesday, August 27, 2014

Ice Bucket Challenge (?)

Sekarang-sekarang ini sedang ramai orang bicara tentang Ice Bucket Challenge. Nah, tantangan yang satu ini mengharuskan si penantang untuk disiram di kepala pakai seember air es. Kebayang 'kan seperti apa rasanya? Yang jelas sih pasti dingin. Tantangan ini bukan sekedar hiburan semata. Tantangan yang juga dikenal sebagai ALS Ice Bucket Challenge ini merupakan semacam kegiatan peningkatan kesadaran publik terhadap penyakit sklerosis lateral amiotrofik (ALS). Penyakit saraf ini menyerang neuron yang kerjanya untuk menggerakan otot lurik, dan untuk informasi detil penyakitnya seperti apa, silahkan googling sendiri aja ya he he

*sedang malas ngetik banyak* 

Ada banyak video yang beredar di media sosial yang meliput beberapa artis atau public figure ternama yang melakukan tantangan dingin-dinginan ini. Dari mulai John Mayer sampai Bill Gates pun ternyata ikutan tantangan ini. Untuk seleb Indonesia sendiri, setahu saya Vidi Aldiano sudah melakukan tantangan ini (atau coba cek Instagram atau media sosialnya deh buat cross-check takutnya saya salah info).



Tantangan ini booming sekarang-sekarang ini dan orang-orang pun akhirnya mulai tahu apa sih ALS itu. Oh ya, peraturan dari tantangan ini adalah orang yang ditantang (semisal saya disiram es, terus saya nantang beberapa orang) harus melakukan ice bucket challenge itu dalam tempo 1x24 jam (mirip sama plang yang ditempel di depan rumah pak RT "Lapor 1x24 Jam"). Kalau yang ditantang nggak bisa melakukan tantangan itu, dia harus donasi buat penelitian ALS itu. 

Untuk saya sendiri, saya hanya bisa nonton orang ikut tantangan tersebut dengan beberapa alasan. Pertama, mungkin nggak ada yang nantang. Kedua, saya secara pribadi belum merasa ingin mengikuti tantangan ini. Ketiga, saya alergi dingin. Dan khusus untuk post ini, saya akan fokus untuk membahas di alasan kedua dan ketiga. 


Take the Challenge, donate, or do both?
Secara pribadi (berarti ini opini pribadi saya ya..) saya melihat ice bucket challenge ini sebagai tantangan yang unik, tapi saat saya baca aturan mainnya, saya jadi bingung sendiri. Tantangan ini 'kan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai ALS, dan ada penelitian mengenai penyakit ALS itu yang memang butuh dana untuk development dari penelitiannya. Nah, untuk saya secara pribadi sih sebetulnya meningkatkan kesadaran dengan kasih tantangan nyiram air es ke kepala itu memang unik (dan juga bikin menggigil), tapi untuk donasinya.. 

Semisal orang yang habis melakukan tantangan ice bucket itu menantang orang lain, lalu dia merasa bahwa "Oke, aku udah beres nih tantangannya jadi nggak perlu donasi". Then.. how do we participate in donating the research? Memang sih nggak semuanya begitu, in other words, pasti ada orang yang sudah melakukan tantangan emnber es lalu ikut juga menyumbang buat penelitian ALS. Orang-orang yang seperti itu berarti bisa saya katakan menyerukan informasi kepada publik tentang penyakit ALS dengan cara yang unik dan juga ikut menyumbang untuk kepentingan penelitian terhadap penyakit itu. Tapi ingat nggak bisa kita pungkiri bahwa ada yang ditantang lalu merasa bahwa "Oke gue lebih baik ikutan challenge deh daripada harus nyumbang. Basah sama dingin dikit gapapa yang penting ga harus keluar duit banyak"

That's something we can deny. There are always people with such thought

Saya sendiri nggak mau munafik dengan penjelasan saya di atas mengenai donasi. Saya akui bahwa saat ini saya belum bisa kasih donasi untuk penelitian penyakit ALS, dan saya nggak punya banyak informasi mengenai penderita ALS di Indonesia ataupun lembaga yang fokus pada penelitian untuk penyakit ALS di Indonesia. Dan yang saya lihat di berbagai media, kok kesininya banyak orang-orang yang melakukan tantangan ice bucket tapi jatohnya keluar dari purpose utamanya untuk meningkatkan kesadaran orang-orang terhadap penyakit ALS. Ada beberapa yang ikut tantangan ini untuk having fun semata, atau kalaupun bilang bahwa tantangan yang diikuti merupakan campaign untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap penyakit ALS, nggak ada penjelasan yang cukup jelas tentang apa itu ALS, seperti apa penderitanya, dan sebagainya. Dengan kata lain, orang hanya bakal tahu bahwa ALS itu nama satu penyakit, entah seperti apa tapi kedengarannya serius, dan.. ya sudah. Padahal ada bagusnya dijelaskan juga ALS itu seperti apa, penderitanya merasakan apa saja, sejauh ini apakah di Indonesia (terutama) berapa banyak penderitanya dan apakah ada lembaga yang secara khusus menanganinya, dan juga informasi untuk publik yang mau menyumbang untuk penelitian dan (khususnya) penderita ALS.

Intinya sih, sebelum melakukan ice bucket bagusnya ada penjelasan detil mengenai ALS itu sendiri supaya penonton dan yang ditantang lebih paham tentang inti dari campaign yang dilakukan. Saya selalu percaya hal ini: better explanation, better understanding. Sama halnya seperti mendengarkan dengan baik, untuk dapat memahami dengan baik. Saat seseorang melakukan tantangan ice bucket, dia nggak hanya melakukan itu buat rame-ramean aja; dia tahu bahwa dia sedang menyebarkan informasi tentang ALS ke orang-orang dan bersama-sama mengajak orang-orang untuk mendukung penelitian tentang penyakit ALS dan membantu penderitanya (dengan memberikan donasi, of course). 

Tapi saya percaya bahwa terciptanya ide Ice Bucket Challenge ini pasti punya sisi positif. Penyakit ALS adalah penyakit saraf yang menyerang neuron penderitanya sehingga penderitanya jadi otot luriknya nggak bisa bekerja. Dari apa yang saya baca di berbagai sumber di internet, ALS ini melumpuhkan penderitanya perlahan tapi pasti. Dan adanya tantangan ember es ini seperti mencoba membuat kita merasakan bagaimana sih rasanya terlumpuhkan oleh rasa dingin, meskipun dalam waktu yang sebentar. Yeah, at least you know how it feels to be paralyzed

Am I making sense? 


Ice Bucket Challenge vs. Kekurangan Air = Ironi
Saya pernah lihat satu post yang ada di Facebook yang mengatakan bahwa di saat orang-orang sedang ramai melakukan tantangan ember es, ada saudara-saudara kita disana yang mengalami kekurangan air. Dengan kata lain, di saat ada orang-orang yang buang-buang air, ada mereka yang justru menampung air untuk hidup. 


Mungkin bagi kita yang biasa di rumahnya atau di lingkungan tempat tinggalnya tersedia air yang melimpah, 'membuang' air (plus es) satu ember bukan masalah, terutama kalau niatnya untuk beramal dan campaign peningkatan kesadaran untuk penyakit serius seperti ALS. Tapi untuk sebagian orang, air satu ember itu berarti kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, ada orang-orang di belahan dunia tertentu yang untuk dapat air satu ember pun susah. Mungkin karena iklim dan kondisi geografisnya yang tidak memungkinkan untuk adanya mata air, atau memang sulitnya stok air bersih dari pemerintah. Sekarang jangan dulu berfikir jauh-jauh ke negara-negara miskin di Afrika, coba kita ingat di kota Bandung pun ada beberapa daerah yang masyarakatnya kesulitan untuk dapat air bersih. Mereka harus nunggu cukup lama sampai truk tanki yang membawa stok air bersih datang. Mereka harus antri untuk bisa dapat air bersih untuk dipakai minum, memasak, dan mencuci. Dan dulu waktu saya tinggal di Kuningan, saya bahkan lihat mamanya teman saya sampai naruh beberapa ember di depan rumah mereka saat hujan untuk menampung air hujan yang nantinya dipakai untuk keperluan sehari-hari. 

Beruntunglah di Indonesia hujan itu masih bisa turun. Bagaimana di belahan dunia yang turun hujan itu sangat jarang? 

Saya rasa ironi yang muncul dari merebaknya ice bucket challenge dan berita kekeringan dan kekurangan air yang melanda beberapa negara di dunia menjadi hal yang patut dikonsiderasi sebelum kita melakukan ice bucket challenge

I'm not saying that the challenge is stupid but if you can do something else while saving clean water, then why not? 

Saya harap dua iklan campaign dari Molto dibawah tentang penghematan air ini akan lebih membantu dalam memahami secara fundamental baik buruknya tantangan ember es ALS. 




Alergi dingin
Nah, kalau sudah bicara tentang alergi saya nggak bisa menyangkal bahwa sebetulnya saya alergi dingin. Kontak dengan udara dingin dalam jangka waktu yang lama bakalan bikin hidung saya langsung tersumbat, bahkan kasus yang paling parah, asthma saya bisa kumat. 

Sejak saya TK, saya ikut enam bulan proses pengobatan karena penyakit bronkhitis yang saya derita. Dan saat divonis sembuh, dokter bilang bahwa mungkin ke depannya masih ada sisa-sisa dari 'peperangan' yang pernah saya alami. Dan ternyata.. Ya, kadang saya suka bengek (apalagi jaman dulu). Asthma kumat ini ya salah satunya karena udara dingin, dan memang sudah terbukti oleh kata-kata dokter bahwa saya memang alergi dengan udara dingin. Semenjak SMP, saya selalu berangkat ke sekolah pakai jaket. Apakah itu cuaca sedang panas atau mendung, saya selalu bahwa jaket untuk antisipasi udara dingin. Saya bahkan dari jaman SMP sering pinjam jaket ke sahabat saya untuk dipakai dobel dengan jaket saya, karena harus punya perlindungan terhadap udara dingin. 

Jadi kalau ditanya tentang tantangan ini, saya mungkin mikir-mikir lagi. Kalau tantangannya chocolate milk bucket challenge, saya sih sudah pasti ikutan dan tentunya bukan untuk disiramkan ke kepala, tapi untuk diminum satu ember. 


Kalau ditantang? 
Semisal ada yang nantang saya untuk ikutan ice bucket challenge.. Kira-kira respon saya seperti apa ya? 

Stance saya untuk tantangan ember es netral. Saya nggak pro, tapi saya nggak juga kontra karena saya sudah melihat tantangan itu dari kedua sisi, positif dan negatifnya. Mungkin kalau ditanya tentang ikutan tantangan, respon saya akan sangat situasional. Kalau situasinya memungkinkan (dan kondisi tubuh sedang fit) saya bisa aja ikutan dan tentunya, di awal video (karena tantangan ini mengharuskan penantangnya untuk direkam selama tantangan berlangsung) saya akan memberi penjelasan yang singkat, jelas, dan padat tentang ALS, statusnya, dan penderitanya. Setelah itu barulah prosesi siraman berlangsung.. 

Dan kalau kondisi tubuh saya sedang nggak fit, atau saya sedang in the mood of nyuci pakaian, mungkin air untuk tantangannya akan saya pakai buat cuci baju saja. Air satu ember itu kalau buat saya sih cukup untuk bilas satu kali cucian kaus. Lumayan toh, daripada dipakai untuk dingin-dinginan. 


Overall, apa yang saya tulis diatas adalah opini saya secara pribadi. Orang bisa punya pendapat yang lain tentang tantangan ember es ini, tapi ada baiknya kita melihatnya dari berbagai sisi supaya kita bisa punya pemahaman yang jelas tentang apa sih inti dari tantangan ini dan konsekuensinya apa saja. Yang jelas sih, bagusnya kita lebih fokus ke menyumbangnya daripada ikut tantangannya, meskipun sah-sah saja untuk ikut tantangannya, terutama saat kita sudah gerah dan kepanasan, serta butuh kesegaran :)

Tuesday, August 26, 2014

Ring (pt.1)

Ponselku berdering, memecah keheningan ruangan yang kutempati saat ini. Kulihat namanya muncul di layar ponselku, dengan ikon gagang telpon berwarna hijau yang muncul di sisi kanan namanya. Kutaruh cangkir kopi yang kupegang dan segera kuambil ponselku, lalu kujawab panggilan yang masuk untukku. 

"Halo?" 
"Halo? Ezar lagi dimana?" 

Aku tertegun sejenak. Sudah lama aku tak mendapatkan panggilan telpon darinya. Rasanya aku rindu dengan momen seperti ini--momen aku berbicara dengannya melalui telpon. Tiga tahun terakhir ini kami saling berhubungan melalui Skype, jadi saat ini agak aneh rasanya saat ia menelponku. 

"Zar?" 
"Eh, ya. Halo? Err.. Aku masih di kantor. Kamu udah sampai?" 
"Ini aku udah turun dari pesawat" 
"Hmm.. Ke Bandung naik apa?" 
"Ada shuttle van yang pergi ke Bandung setiap satu jam sekali. Aku ambil jadwal yang tercepat. Mungkin sampai Bandung sekitar jam empat sore" 
"Oke. Nanti kujemput dimana?" 
"Aku turun di BTC. Kalau mau kamu jemput di BTC aja
"Oke. Nanti aku jemput kamu disana. Aku selesai kerja jam setengah empat dan nanti langsung kesana" 
"Ya. Aku tunggu. Oh ya, ajak Reyhan juga ya. Aku kangen adik kamu" 
"Beres. Aku nanti suruh dia ke BTC" 
"Loh, memangnya kamu nggak jemput dia dari sekolahnya?" 
"Kalau aku jemput dulu dia, nanti lama di perjalanannya. Lagian jaraknya lumayan jauh dari tempat kerjaku ke sekolah Reyhan" 
"Ya sudah kalau begitu. Nanti ketemu disana ya" 
"Ya. Hati-hati di jalan" 
"Thanks, dear. I love you
"I love you, too

Percakapan di ponsel pun berakhir. Aku tersenyum senang dan begitu tak sabar untuk segera bertemu dengannya. Tiga tahun bukanlah waktu yang terasa sebentar, dan penantianku membuat tiga tahun terasa begitu lama. Namun penantianku akan terbayar sudah hari ini karena aku akan bertemu dengannya. Kuharap ia tak banyak berubah. Kuharap ia tak memotong pendek rambutnya. Aku benar-benar tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Jantungku berdegup kencang karena aku sangat bahagia--sangat bahagia sampai-sampai aku bisa mati karena kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Aku pun tak sabar ingin segera membaca novel yang ia tulis, yang telah diterbitkan di London. 

"Kelihatannya senang banget, Zar," ujar Adit yang mengintipku dari atas tembok kubikelku. 
"Alia udah pulang," jawabku, "Nanti kita mau ketemu sekitar jam 4" 
"Seneng banget ya yang calon istrinya udah balik dari luar negeri," ujar Adit iri. 
"Makanya Dit, cepat cari calon dong," balasku seraya tersenyum jahil. 
"Bantuin cari kek. Capek nih tiga tahun sendiri mulu," ujarnya memelas. 

Aku dan Adit tertawa kecil, lalu ia kembali ke kubikelnya. Kembali aku berkutat dengan pekerjaanku sembari mataku sesekali menatap jam yang ada di sisi kanan bawah desktop komputerku. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat agar aku bisa segera bertemu dengannya. 

----

Sudah hampir pukul empat tapi belum ada kabar apapun dari Alia. Aku mulai gugup. Sedari tadi aku terus melihat ke arah pintu masuk, berharap shuttle van itu akan segera tiba. Bahuku dicolek dari belakang, membuatku terkejut. Aku segera berbalik dan kulihat adikku telah berdiri di belakangku, dengan memegang dua gelas minuman di masing-masing tangannya. 

"Belum dateng?" tanya Reyhan. 
"Belum. Eh, thanks ya minumannya," jawabku seraya mengambil segelas frappe dari genggaman tangan kirinya. 
"Eh, sembarangan! Itu minuman Rey beli buat miss Alia!" tegur Reyhan. 
"Ah, kirain buat mas Eza," jawabku kecewa. 
"Hehehe.. Rey bercanda kok, mas. Itu buat mas Eza," balas adikku seraya tertawa kecil. 

Aku mencicipi minumanku sambil menunggu kedatangan Alia bersama adikku. Tak berapa lama kemudian, nampak sebuah shuttle van memasuki pintu masuk. Ponselku berdering dan aku segera merogoh ponselku dari saku jaketku. 

"Aku lihat kamu sama Reyhan. Kamu lagi minum tadi. Haus ya, mas?" 

Aku tersenyum kecil. 

"Cepat turun. Aku udah kangen

Setelah van itu terparkir, semua penumpangnya turun, termasuk Alia. Ia mengambil kopernya yang berukuran sangat besar, dan mencoba mendorongnya. Aku berlari menghampirinya dan langsung membantunya menarik kopernya. Alia tiba-tiba menampar bahuku. Aku terpaksa berhenti sejenak. 

"Kamu lebih pikirin koper aku daripada aku?" tanya Alia pura-pura kesal. 
"Hehehe.. 'Kan lebih baik amankan dulu barang bawaan," jawabku. 
"Katanya kangen sama aku?" 

Aku dan Alia saling melempar senyum. Kami tertawa kecil dan akhirnya kami berpelukan. 

"I've missed you so bad," ujarku. 
"I've missed you, too, dear," jawabnya. 

Setelah membawa dan memasukkan koper Alia ke dalam mobilku, aku membawa Alia dan adikku ke sebuah kedai kopi di jalan Sumatra, yang letaknya tak begitu jauh dari sekolah adikku. Kami segera masuk ke dalam kedai tersebut dan membuat pesanan. Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol tentang banyak hal. Adikku banyak bertanya mengenai kehidupan Alia selama ia berada di London, dan ia nampak sangat tertarik dengan cerita-cerita Alia. 

"Selama di Inggris, miss Alia pernah nonton pertandingan sepakbola?" tanya Reyhan. 
"Aduh.. Aku nggak suka sepakbola, Rey," jawab Alia. 
"Ah, kayak kamu suka main sepakbola aja, Rey," sindirku. 
"Ih, Rey cuma nanya aja kok. Barangkali aja nonton pertandingan sepakbola," Reyhan membela diri. 
"Kenapa? Masih penasaran sama jersey Arsenal? Mau beli?" tanyaku. 
"Ah, nggak ada uang," jawab Reyhan. 
"Nanti mas Eza beliin pas kamu ulang tahun," ujarku. 
"Ah, masih lama," jawab Reyhan sedikit kesal. 

Kami kembali mengobrol, namun agak sulit bagi aku dan Alia secara khusus untuk mengobrol lebih dekat dan membicarakan berbagai hal tentang kami saja karena kehadiran adikku di antara kami. Meskipun begitu, aku tetap merasa bahagia karena Alia akhirnya kembali. Reyhan tiba-tiba mengeluarkan laptop dari dalam tasnya dan menunjukkan sesuatu pada kami. 

"Aku sempat kopi file keluarga ini dari laptop miss Alia, terus aku mainkan sampai udah sebesar ini," ujar Reyhan seraya menunjukkan permainan The Sims 3 di laptop-nya pada kami. 
"Ah, udah besar anaknya!" seru Alia takjub. 
"Tuh, mas Eza udah tua tuh," ujar Reyhan seraya menunjuk karakterku di layar laptopnya. 
"Udah tua tapi masih ganteng ya. Hebat," ujarku. 
"Dasar kamu!" balas Alia seraya mencubit pipiku. 

Aku tersenyum. Reyhan menjelaskan apa-apa saja yang telah ia lakukan. Sang ayah bekerja sebagai ilmuwan dan sang ibu menjadi penulis novel. Gemas, kurangkul adikku dan kuacak-acak rambutnya. Aku tak menyangka rupanya selama ini Reyhan melanjutkan permainan The Sims 3 yang pernah Alia mainkan. Ia mengkopi file keluarga yang Alia buat dari laptop Alia, lalu memainkannya di laptopnya sendiri. Keluarga yang beranggotakan tiga orang itu--aku, Alia, dan anak kami--hidup bahagia, dengan sang anak yang mulai beranjak dewasa. Aku menatap Alia yang juga sedang menatapku dan kami saling melempar senyum. Apa yang Reyhan tunjukkan pada aku dan Alia--apakah ini pertanda bahwa tak lama lagi kami akan hidup bersama? Kotak kecil yang kusimpan di saku kanan celanaku terasa berat. Aku sengaja membawanya hari ini, meskipun aku tak tahu kapan akan kukeluarkan kotak itu. Aku tak yakin jika hari ini adalah hari yang tepat.

----

Reyhan duduk di atas tempat tidurnya, melipat kedua tangannya di depan dadanya. Ia menatapku serius, menantikan kata-kata untuk keluar dari mulutku. Senyumnya nampak kecut.

"Kenapa mas Eza nggak bilang ke Rey?"

Aku menghela nafas sejenak.

"Mas bingung bilangnya gimana, Rey. Kamu sama Alia tadi asyik banget main The Sims," jawabku.
"Harusnya mas bilang, jadi Rey bisa kasih waktu khusus buat mas Eza sama miss Alia berdua," balas Reyhan.
"Lagipula tadi bukan waktu yang pas. Masa sih mas Eza harus tunjukkan di tempat ramai seperti tadi?" tukasku.
"Memang mas Eza mau tunjukkan kapan? Mas Eza mau kapan bicara sama miss Alia?" tanya Reyhan.

Aku meringis pelan, lalu berputar di kursi belajar adikku.

"Mas Eza juga belum tahu kapan"

Kursi itu berhenti, dan aku kembali berhadapan dengan adikku.

"Harus cepat loh, mas. Keburu direbut orang lain," ujar adikku.
"Yaah.. Jangan dong," jawabku enggan, "Tiga tahun nih penantian, masa sia-sia?"
"Ya sudah, tentukan waktunya secepatnya. Sudah bilang sama ayah?" tegas Reyhan.
"Kamu mau temani mas bicara sama ayah?" tanyaku.
"Sekarang pun mau," jawab Reyhan.

Aku dan adikku akhirnya keluar dari kamar adikku, lalu menemui ayah yang sedang bekerja di ruang keluarga. Matanya menatap layar laptopnya dan saat kami tiba, ia menjeda pekerjaannya. Aku dan adikku duduk berhadapan dengan ayah. Ia melepaskan kacamatanya lalu menaruhnya di atas meja.

"Ada apa?" tanya ayah.

Aku menyikut lengan adikku, dan adikku balas menyikutku.

"Mas Eza lah yang ngomong. Yang mau nikah siapa?" tegas adikku setengah berbisik.
"Ada apa? Siapa yang mau nikah?" tanya ayah.
"Mas Eza, yah," jawab Reyhan.
"Rey!" tegurku.

Ayah mengernyitkan dahinya.

"Benar, Za?" tanya ayah.
"Er.. Kayaknya sih gitu, yah," jawabku.
"Kayaknya? Kamu ini mau nikah tapi kok ragu-ragu?" tanya ayah bingung.
"Reza takut ayah nggak setuju," jawabku gugup.

Ayah tersenyum kecil.

"Sudah punya persiapan apa saja kamu?" tanya ayah.
"Hmm.. Pekerjaan sudah ada. Gaji minimal yang Reza dapat dirasa cukup untuk menghidupi Reza sama Alia," jawabku.
"Memangnya berapa gaji mas Eza setiap bulan?" tanya Reyhan.
"Nggak begitu besar sih. Mas Eza 'kan baru dua tahun kerja di konsultan. Eh tapi.. Masa harus mas sebutin sih jumlahnya?" jawabku ragu.
"Gaji sebulan itu cukup kamu pakai apa saja?" tanya ayah.

Aku berfikir sejenak.

"Apa aja ya? Pokoknya kalau dipakai untuk biaya makan, ngopi, sama bensin buat mobil sih Reza masih dapat sisa banyak. Selama ini Reza kalau dapat gaji pasti langsung masukkan setengahnya ke tabungan. Setengah laginya Reza pakai buat kebutuhan sehari-hari, dan itupun biasanya masih dapat sisa," jelasku, "Kalau sarapan atau makan malam, Reza masih bisa makan di rumah. Kalau untuk makan siang, paling Reza titip beli makan yang nggak mahal semacam nasi Padang ke office boy" 

Ayah mengangguk pelan.

"Kalau untuk anak, bagaimana? Sudah pikirkan keuangannya?" tanya ayah.
"Reza sempat bikin gambaran kasar sih. Dan dari gambaran itu, Reza rasa uang di tabungan cukup," jawabku, "Reza juga sambil cari-cari proyek untuk tambah-tambah pemasukkan. Kalau ada proyek, Reza dapat pemasukkan tambahan yang nilainya cukup besar"
"Terus, tentang rumah? Bagaimana?" tanya ayah.

Aku tertegun. Rumah. Ah, rumah. Desain rumah untukku dan Alia sudah kubuat, dan Alia sudah melihatnya. Kami berdua sudah setuju dengan desain itu. Hanya saja dengan kondisi keuanganku saat ini.. Ah, yang benar saja? Membangun rumah pasti membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Kalau untuk rumah, jujur saja uangnya belum ada," jawabku pelan.

Ayah menggeleng pelan.

"Kamu harus pikirkan juga tentang hal itu. Keinginan untuk berkeluarga itu harus sejalan dengan usaha dan persiapannya," ujar ayah seraya bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke kamarnya.

Aku tertunduk pelan. Ah, seandainya saja gaji bulananku jumlahnya besar. Seandainya saja aku telah mencapai posisi yang tinggi. Dan seandainya saja uang tabunganku banyak.. Ucapan ayah memang benar. Setelah menikah nanti, bagaimana aku dan Alia akan hidup jika kondisi keuangan kami masih belum mapan? Dimana kami akan tinggal? Belum lagi jika kami telah memiliki anak. Bagaimana aku, sebagai seorang ayah, akan menghidupi Alia dan anakku nanti?

"Mas Eza, mungkin mas Eza sekarang ini harus tingkatkan lagi persiapannya," ujar Reyhan pelan.
"Rey, mas Eza sudah nabung dua tahun, bahkan lebih dari dua tahun. Ternyata itu masih belum cukup," jawabku.
"Tapi tadi mas Eza bilang gaji mas Eza setiap bulannya masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari," tukas Reyhan.
"Lantas gimana dengan rumah? Mas Eza belum bisa bangun rumah buat Alia," balasku.

Aku mengeluarkan kotak cincin dari saku celanaku dan memperlihatkannya pada adikku. Ia membuka kotak itu lalu tertegun saat berliannya berkilau memantulkan cahaya lampu.

"Kapan sebetulnya mas Eza beli cincin ini?" tanya Reyhan.
"Dua bulan yang lalu," jawabku.

Ayah tiba-tiba kembali dan terkejut saat melihat kotak cincin yang kupegang. Ia mengernyitkan dahinya lalu kembali duduk di kursinya.

"Kamu sudah beli cincin?" tanya ayah.
"Sudah. Dari dua bulan yang lalu," jawabku.
"Dan kamu baru bilang tentang rencana menikah kamu sekarang?" tanya ayah lagi.
"Aku baru siap sekarang untuk bilang," jawabku.

Ayah mengangguk pelan.

"Reza, ayah paham keinginan kamu untuk berkeluarga. Ayah juga tahu hubungan kamu dan Alia sudah sejauh apa. Tapi, ayah ingin kamu paham bahwa persiapan sebelum kehidupan pernikahan sangat penting. Ayah nggak mau nanti setelah kalian menikah, kalian banyak bertengkar karena urusan ini itu, terutama yang berkaitan dengan uang. Kamu sebagai calon kepala keluarga akan merasakan bagaimana susahnya mengurus keluarga," ujar ayah.

Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin ayah benar. Aku harus menunda keinginanku untuk saat ini.

"Tapi, Za, yang namanya orang tua pasti menyiapkan bekal untuk anak-anaknya. Ayah sebetulnya kaget waktu kamu bilang kamu mau menikah, dan ayah sadar bahwa mungkin sudah waktunya ayah memberikan bekal terakhir untuk kamu. Sejak kalian berdua masih kecil, ayah dan ibu menabung buat kalian berdua. Masing-masing punya tabungan tersendiri. Sekarang, tabungan untuk kamu harus ayah berikan sama kamu sebagai bekal terakhir untuk kamu. Setelah nanti kamu berkeluarga, tanggung jawab keuangan sepenuhnya ada di tangan kamu, meskipun untuk beberapa hal ayah tetap akan bantu kamu"

Ayah merogoh saku sweaternya dan mengeluarkan sebuah buku tabungan bank. Ia menaruhnya di atas meja lalu mendorongnya ke arahku. Aku dan Reyhan terkejut. Kami saling bertatapan, melempar pandangan tak percaya.

"Ini buat kamu, Reza. Ambil," ujar ayah.

Aku ragu-ragu mengambil buku tabungan itu dan saat kubuka, kulihat ada namaku di buku tabungan itu. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Kubuka lembaran-lembaran lainnya dan kudapati jumlah tabungan yang nilainya tak bisa dianggap sedikit. Banyak. Sangat banyak. Ini terlalu besar untukku.

"Kalau untuk membangun rumah yang sebesar rumah ini, mungkin belum cukup. Tapi untuk keluarga kecil, kamu bisa beli rumah tipe 45 dulu. Nanti saat uangnya sudah terkumpul, kamu bisa beli rumah atau tanah untuk bangun rumah yang lebih besar lagi. Untuk saat ini, ayah hanya bisa membekalkan kamu segitu"

Jumlah uang yang ada di buku tabungan itu dan ucapan ayah membuatku menangis. Aku pun terisak. Tak kusangka rupanya selama ini ayah dan ibu menabung untuk bekalku, dan hari ini aku mendapatkan hasil dari jerih payah menabung mereka bertahun-tahun. Reyhan merangkul bahuku dan menepuk pundakku.

"Ini.. Ini lebih dari cukup, yah," ujarku terbata-bata.
"Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bahagia?" tanya ayah.

Aku segera bangun dan memeluk ayah. Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku menangis dalam pelukan ayah. Teringat ucapan ayah, aku sadar bahwa setelah menikah aku mungkin akan meninggalkan rumah ini, meninggalkan ayah dan Reyhan. Aku akan merindukan mereka berdua. Aku akan merindukan semuanya tentang rumah ini.

"Pokoknya sebelum kamu dapat rumah, kamu sama Alia bisa tinggal disini dulu," ujar ayah.
"Terima kasih banyak, ayah. Terima kasih," jawabku sambil terisak.
"Sudah, ah, jangan nangis begini. Katanya mau lamar anak orang, kok nangis begini," tegur ayah.
"Reza sedih, yah. Reza nanti harus ninggalin ayah dan Reyhan disini," jawabku.

Ayah melepaskan pelukanku dan menepuk bahuku. Saat aku berbalik, kulihat Reyhan telah berdiri menatapku dan ayah, dengan tangan yang dilipat di depan dadanya dan ekspresi kesal.

"Reyhan juga ingin pelukan," ujarnya.
"Aduh.. Si bungsu mulai manja," ujar ayah.

Reyhan pun akhirnya datang dan kami bertiga berpelukan.

"Yah, Rey belum mau nikah cepat-cepat," ujar adikku tiba-tiba.

Aku dan ayah tertawa mendengar ucapan konyol adikku.

"Aduh.. Kamu ini UAS saja belum sudah mikir pernikahan," jawab ayah seraya mengusap rambut adikku.

-- 1 --