My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, January 30, 2015

Ruang Tunggu Rumah Sakit

Langkah-langkah itu terdengar semakin mengesalkan. Mas Eza terus berjalan, bolak-balik di depan pintu besar berwarna hijau itu. Di ruangan ini, hanya suara langkah kakinya yang mendominasi, membuat ritme dengan kecepatan tetap seperti ketukan bebas pada tempo moderato. Pria paruh baya yang duduk di bangku di pojok ruangan tak menghiraukan mas Eza yang sedang panik, nampak membaca koran dengan santainya. Seorang ibu dan anaknya yang duduk tak jauh dariku juga nampak mengacuhkan mas Eza yang sejak tadi entah sudah berapa kali mondar-mandir di hadapan mereka. Ibu dan anak itu sedang asyik mengobrol sembari menikmati kudapan kecil yang ada dalam lunch box berwarna biru muda.

“Mau, dek?” ibu tersebut tiba-tiba menawarkan sepotong kue gulung coklat padaku.

“Oh. Nggak apa-apa, bu. Saya udah makan,” jawabku.

“Eh nggak apa-apa! Ambil aja, dek. Anak saya nggak suka kue coklat soalnya,” ujar ibu itu setengah memaksa.

Aku mengangguk pelan dan ragu-ragu menerima kue pemberian ibu tersebut. Setelah berterima kasih, aku memutuskan untuk memakan kue coklat itu. Rasanya lezat dan krim coklat yang berada di antara layer kue terasa begitu manis. Sayang sekali kakakku terlalu panik saat ini sehingga tak menyadari bahwa kue yang lezat ini ada di tanganku.

“Anak pertama ya, dek?” tanya ibu itu lagi.

“Eh?” aku terkejut.

“Ya, ini si mas lagi nunggu kelahiran anak pertamanya ya?” jelas ibu itu.

“Oh. Ya, bu,” jawabku pelan.

Pantesan panik begitu. Beda sama saya,” balasnya.

“Memang ibu nunggu siapa?”

“Adik saya.. melahirkan anak kelima”

“K-kelima?”

Aku terkejut mendengar ucapan ibu tersebut. Pantas saja ibu itu nampak tenang sementara kakakku saat ini keadaannya sedang uring-uringan. Kali ini mas Eza mencoba untuk duduk tenang, meskipun pada akhirnya tetap saja ia menggerutu, berbicara sendiri dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan cepat. Ia tak bisa duduk tenang lebih dari dua menit dan akan kembali berdiri, berjalan mondar-mandir di depan pintu menuju ruang bersalin dan sesekali mencoba mengintip melalui jendela kecil yang ada di pintu tersebut yang, sayangnya, tertutupi oleh tirai berwarna biru tua.

Kok lama banget sih!” gerutunya seraya mondar-mandir, kali ini, di hadapanku.

“Melahirkan ‘kan nggak bisa cepat begitu aja, mas,” jawabku.

“Ya, tapi ini bikin aku jadi was-was! Kalau terjadi apa-apa sama Alia, nanti gimana?” balasnya.

Mbak Alia ‘kan nggak melahirkan sendiri. Dia dibantu sama bidan,” jawabku.

Mas Eza meringis kesal. Ia lalu menghentikan langkahnya dan mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan ketegangan dalam dirinya, namun tetap saja cara itu tak berhasil membuatnya merasa lebih tenang. Ia kembali duduk di sampingku dan tetap menggerutu sembari sesekali menepuk-nepuk telapak kakinya ke lantai. Peraduan sol sepatu dan ubin membuat suara yang, meskipun tak begitu berisik, membuatku merasa terganggu. Tak bisakah ia bersikap jauh lebih tenang? Aku tahu proses kelahiran merupakan proses yang menegangkan, tapi jika disikapi dengan cara seperti ini kurasa hanya akan menghabiskan energi saja.

Mas Eza mau minum? Biar Rey belikan mi—“

Udah kamu duduk disini!” bentak mas Eza.

Aku meringis pelan. Mas Eza kembali mondar-mandir di depan pintu ruang bersalin dan aku masih dapat mendengar gerutuannya. Monolog-monolog kecil seperti “Ya Allah, kapan beresnya ini?”, “Ya Allah, gimana ini?” atau “Aduh! Alia cepat beres dong!” terdengar cukup jelas olehku. Aku memperhatikan kembali sekelilingku. Para penunggu pasien nampak tak sepanik kakakku dan mereka nampak tenang, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing tanpa menunjukkan ekspresi panik atau gugup. Ada empat orang ibu yang melahirkan malam ini—satu diantaranya adalah kakak iparku, mbak Alia.

Mas, melahirkan itu proses yang butuh waktu nggak sebentar,” tegasku seraya bangkit dari tempat dudukku dan menghampiri kakakku.

Mas juga tahu, Rey! Makanya mas panik!” jawab kakakku tak sabar.

Mas Eza panik seperti ini juga nggak akan bantu banyak dalam proses persalinan mbak Alia,” balasku.

“Kamu nggak lihat mas masih pakai kemeja kerja? Mas bahkan nggak sempat ganti baju!” ujarnya.

Lha terus? Setidaknya mas pakai baju ke rumah sakit, ‘kan?” balasku.

“T-tapi ini.. Ah! Kamu nggak paham juga, Rey? Alia ada di dalam sana dan lagi melahirkan! Dia ada di antara hidup dan mati! Coba kamu bayangin situasi seperti itu dan posisikan diri kamu di posisi mas saat ini!”

“Rey tahu situasinya seperti apa, tapi kalau panik berlebihan seperti ini juga nggak baik”

Mas Eza menatapku tajam.

“Coba deh mas Eza lihat penunggu pasien yang lain. Mereka juga menghadapi situasi sama seperti yang mas Eza hadapi tapi mereka nggak panik kayak mas Eza,” jelasku.

“Terus kamu mau mas bisa tenang seperti mereka? Kamu nggak bisa minta semua orang buat punya pola pikir dan perasaan yang sama, Rey! Mereka lebih tenang mungkin karena mereka udah pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi mas baru pertama kali mengalami ini!” balasnya.

“Rey tahu, mas. Maksud Rey itu mas coba lebih tenang lagi. Jangan mondar-mandir dan menggerutu terus”

“Kalau kamu di posisi mas saat ini, emang kamu nggak akan panik seperti mas? Apa kamu bakalan santai sementara istri kamu lagi berjuang di dalam sana, antara hidup dan mati?!”

Aku menghela nafas sejenak.

“Aku nggak akan panik seperti mas,” jawabku tegas.

“Bohong kamu. Mas yakin kamu juga bakalan panik seperti mas sekarang,” sanggahnya.

“Rey nggak akan seperti itu. Panik berlebihan itu karena mas nggak siap secara mental. Harusnya sejak awal saat tahu bakalan jadi ayah, mas udah siap mental bahkan untuk di saat-saat seperti ini, tapi ternyata mas panik berlebihan. Mas nggak siap mental buat jadi ayah,” balasku.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku dan kali ini, semua orang yang ada di ruang tunggu melihatnya. Sial! Mengapa di saat aku ditampar, semua orang mengalihkan perhatiannya, namun tidak saat kakakku mondar-mandir di depan pintu? Aku harus menahan rasa sakit dan rasa malu secara bersamaan dan ini benar-benar bukan hal yang mudah bagiku. Kepalaku masih tertunduk namun aku bisa merasakan tatapan marah kakakku tertuju padaku. Kedua tanganku tiba-tiba gemetaran dan nafasku mulai kacau. Perlahan kuangkat wajahku dan kulihat wajah kakakku. Meneguk ludahnya sendiri, ia nampak pucat dan terkejut. Ia pasti terkejut oleh perbuatannya sendiri.

“Kamu harusnya nggak bicara seperti itu sama mas,” ujar mas Eza.

Aku segera pergi meninggalkan mas Eza, mengacuhkan tatapan orang-orang yang ada di ruang tunggu, berjalan entah kemana. Aku harus pergi dari tempat itu. Ya setidaknya sampai aku punya cukup keberanian untuk kembali lagi dan menahan malu. Pintu lift terbuka dan refleks aku segera melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol menuju lantai dasar. Lift bergerak pelan dan kaki kananku menghentak lantai lift begitu saja, seolah-olah hentakkan kakiku dapat mempercepat laju kapsul lift. Pintu itu terbuka dan aku segera keluar dari lift, berjalan menuju lobi utama rumah sakit. Masih ada banyak orang disini, duduk sembari menonton televisi atau sibuk dengan ponselnya masing-masing. Aku segera mencari tempat duduk kosong lalu duduk, mengatur nafasku dan menyandarkan punggungku. Pipiku masih terasa perih setelah tamparan keras tadi. Sudut bibirku pun terasa perih. Ada titik darah saat kusentuh ujung bibirku dengan telunjukku.

“Brengsek!” umpatku pelan.

Aku menyeka darah di sudut bibirku dengan punggung tanganku. Kurasa luka di sudut bibirku tak begitu buruk dan kuharap luka itu cepat kering. Sekali lagi aku menghela nafas panjang lalu kupejamkan mataku. Apa aku salah? Kurasa aku salah. Ucapanku pasti sangat menyinggung perasaan kakakku. Aku seharusnya tak mengatakan hal itu dan memaklumi sikap kakakku yang saat ini sedang panik menunggu proses persalinan istrinya. Tapi mas Eza pun salah karena telah menamparkan di depan banyak orang. Ia telah membuatku sangat malu. Belum lagi pipiku terasa perih dan ada luka di sudut bibirku. Mengapa ia harus menamparku? Apa teguran atau bentakkan saja tak cukup? Dibentak di depan banyak orang pun sudah cukup membuatku malu.

“Kak, sudut bibirnya berdarah loh”

Aku membuka kedua mataku, menegakkan tubuhku dan menoleh ke sumber suara. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun duduk tak jauh dari sisi kiriku. Ia menunjuk ke arah sudut bibirku.

“Berdarah,” ujarnya.

“Oh”

Aku kembali menyeka sudut bibirku dengan punggung tanganku. Bocah itu meringis pelan.

“Pasti sakit,” ujarnya.

“Lumayan,” jawabku.

Bocah itu mengangguk pelan. Wajahnya nampak pucat dan sorot matanya begitu sayu. Anak ini pasti salah satu pasien di rumah sakit ini, tapi mengapa di malam hari seperti ini ia berkeliaran di luar kamarnya? Kemana orang tuanya?

Dek, kok malah keluar kamar?” tanyaku.

“Bosan ah kak di kamar,” jawabnya polos, “Kalau disini ‘kan rame. Banyak orang”

Nggak dicari mama papa emangnya?” tanyaku lagi.

“Mereka lagi tidur, kak,” jawabnya.

“Wah, nakal ya kamu. Kabur pas mama papa kamu tidur”

“Ya habisnya mau gimana lagi”

Aku tersenyum kecil. Sejak dulu aku memang tak pernah ingin untuk dirawat di rumah sakit, meskipun sakitku cukup parah. Aku sering menolak saat dokter merujukku untuk dirawat di rumah sakit dan sebisa mungkin berusaha agar dokter mengijinkanku menjalani perawatan di rumah. Penemuan tubuhku di dalam lemari pakaian setelah melakukan percobaan bunuh diri beberapa tahun yang lalu membuatku harus menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari dan hari-hari itu adalah saat-saat yang begitu membosankan. Aku harus memakan makanan yang serupa setiap harinya dan tak bisa banyak melakukan hal-hal yang kuinginkan. Tak ada biola. Tak ada gitar akustik. Aku benar-benar merasa sangat jenuh.

“Kamu sakit apa emangnya?” pertanyaan itu terlontar begitu saja.

“Kata papa aku kena demam berdarah,” jawabnya santai.

“Harusnya kamu istirahat. Jangan keluar kamar malam-malam begini,” balasku, “Kalau kondisi kamu memburuk gimana? Belum lagi nanti papa mama kamu bangun lalu lihat kamu tiba-tiba hilang, mereka nanti jadi panik”

Bocah itu hanya tersenyum kecil.

“Kakak lagi nunggu siapa disini?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.

“Hmm.. Istrinya kakakku melahirkan,” jawabku.

“Harusnya kakak seneng, dong! Kenapa kakak keliatan lesu? ‘Kan nanti kakak bakalan punya keponakan. Bibir kakak juga berdarah,” tanyanya.

“Aku tadi sempat bertengkar sama kakakku,” jawabku, “Tapi nggak apa-apa kok. Kamu nggak perlu khawatir. Sekarang justru aku yang khawatir sama kamu”

“Kenapa harus khawatir sama aku? Kakak tenang aja. Kok kakak bisa bertengkar sama kakaknya kakak?”

“Kalaupun aku ceritakan kamu mungkin gak bakalan ngerti. Begitulah. Kakakku nggak tenang banget selama nunggu proses kelahiran istrinya, bolak-balik di depan pintu, duduknya nggak tenang dan menggerutu terus. Aku terus bilang ke kakakku kalau dia harus bersikap lebih tenang, tapi dia bilang kalau aku nggak paham situasi yang dia hadapi. Aku paham situasinya, makanya aku bisa suruh dia untuk tenang. Sikap dia yang kayak begitu justru menunjukkan kalau dia belum siap secara mental untuk jadi ayah. Setelah aku bilang gitu, aku ditampar keras di hadapan orang-orang banyak. Aku malu banget dan setelahnya aku langsung pergi”

Bocah itu menatapku bingung. Ah, sudah kuduga ia tak akan memahami keadaanku.

Tuh, pasti kamu nggak paham. Aduh. Padahal sebetulnya aku cuma coba buat jujur aja supaya kakakku tahu kalau dia harusnya lebih mempersiapkan diri. Mungkin caraku salah, tapi aku emang harus jujur. Toh dia juga salah karena bikin aku malu di depan banyak orang. Ditampar itu sakitnya dua kali, sakit di pipi dan sakit hati. Dipermalukan depan umum begitu emangnya nggak mengesalkan?”

Aku menghela nafas pendek lalu menoleh ke arahnya.

“Kamu berapa tahun sih?” tanyaku.

“Sepuluh,” jawabnya.

Ah, tepat dugaanku. Ia berusia sepuluh tahun.

Kayaknya kakak egois deh kalau kayak gitu,” ujarnya tiba-tiba.

“Eh?”

“Kalau menurut aku, kakak harusnya lebih memahami situasi yang kakaknya kakak hadapi. Nggak semua orang bisa seperti kakak, bisa bersikap lebih tenang dalam menghadapi sesuatu. Seandainya kakak ada di posisi dia, bisa jadi ‘kan kakak juga bakalan panik? Kakak nggak bisa paksa orang-orang untuk bisa bersikap seperti kakak, atau bisa satu pikiran sama kakak. Aku tahu perasaan kakaknya kakak saat ini. Istrinya lagi melahirkan dan kakaknya kakak pasti takut banget saat ini. Kakak ‘kan tahu melahirkan itu perjuangan antara hidup dan mati. Siapa sih yang mau kehilangan orang yang disayangi?”

“Ya sih.. Tapi—“

“Aku nggak berniat bikin kakak merasa bersalah tapi kalau menurut aku, bagusnya kakak emang nggak bicara seperti itu. Kata-kata kakak bikin kakaknya kakak tambah panik”

Aku menggigit bibir bawahku. Kurasa bocah ini benar. Ya, mungkin aku terlalu egois. Mungkin aku tak seharusnya mengatakan hal seperti itu. Aku tak sepantasnya membuat kakakku semakin panik dengan ucapanku yang menyudutkannya, memandangnya belum siap untuk menjadi seorang ayah tanpa aku tahu ketakutan besar yang ia rasakan dan perjuangan yang telah ia lakukan sejauh ini. Saat ini mas Eza pasti sedang berada dalam ketakutan yang besar dan ia tahu ia tak bisa berbuat apapun untuk membantu mbak Alia dalam proses persalinannya kecuali berdoa. Berdoa, agar proses persalinan itu berjalan dengan lancar dan baik mbak Alia dan bayinya dapat selamat.

“Kakak kenapa? Kenapa diem aja?”

“Eh?”

“Maaf ya kak kalo kata-kata aku bikin kakak tersinggung”

“Oh. Nggak kok. Aku malah jadi tersadarkan sama kata-kata kamu. Makasih ya”

Bocah itu mengangguk pelan. Ia lalu bangun dari tempat duduknya, mengenakan sandalnya dan menaikkan zipper sweater biru tuanya.

“Aku harus pergi sekarang,” ujarnya.

“Kamu harus ke kamar sekarang. Nanti mama papamu cari loh,” jawabku.

“Ya. Kakak jangan sedih lagi, ya. Cepat baikan sama kakaknya,” balasnya.

Aku tersenyum kecil.

“Eh, sebentar!” tahanku.

“Ya?”

“Nama kamu siapa?”

“Niko, kak”

Bocah itu tersenyum, menampakkan deretan giginya yang putih. Aku membalas senyumnya. Ia kemudian berlari dan menghilang di ujung koridor. Aku meringis pelan. Kurasa memang ini salahku. Aku harus bertemu mas Eza. Kurasa perasaan malu itu memang layak kudapatkan. Aku pernah membuat mas Eza sakit hati sebelumnya dan aku tak ingin hal itu terjadi lagi. Aku harus segera meminta maaf padanya. Dan sebelum aku benar-benar bangun dari tempat dudukku, kulihat mas Eza muncul di ujung koridor, setengah berlari menghampiriku. Sosoknya yang tinggi kini berdiri di hadapanku. Ia terengah-engah, namun mencoba tersenyum, dengan mata yang berkaca-kaca dan bekas air mata di kedua pipinya.

“Perempuan,” ujarnya seraya tersenyum bahagia.

Seketika kakakku memelukku dan kudengar ia menangis. Aku menepuk punggungnya pelan. Dalam pelukannya aku juga mendengar kakakku mengucap syukur. Penantian yang melelahkan itu telah berakhir dan kini, kakakku secara resmi telah menjadi seorang ayah. Anak perempuan, dan itu artinya aku memiliki seorang keponakan perempuan yang, kuharap saat ia beranjak dewasa nanti, akan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik seperti ibunya. Mas Eza melepaskan pelukannya. Ia lalu menyeka air matanya dan tersenyum lega.

Mas sekarang jadi ayah, Rey,” ujarnya.

Mas, Rey mau minta maaf buat—“

“Kamu harus lihat bayinya, Rey! Dia cantik”

“Tapi mas, tadi Rey udah bicara—“

Mas nggak peduli, Rey. Mas senang banget saat ini”

Mas Eza lalu menarik lenganku dan membawaku menuju lift. Ia menekan tombol lift dan sambil menunggu, aku masih dapat mendengar ia mengucap syukur atas kelahiran anak pertamanya. Aku turut bahagia atas kelahiran anak pertama kakakku. Tanpa kakakku beritahu, aku yakin pasti bahwa bayi itu sangat cantik dan kelak akan tumbuh menjadi gadis yang cantik.

Mas, Rey minta maaf buat yang tadi,” tegasku.

“Itu nggak jadi masalah, Rey. Mas juga minta maaf karena tadi sempat tampar kamu di depan banyak orang,” jawabnya.

“Rey pantas kok ditampar kayak gitu. Memang Rey yang salah. Rey minta maaf, mas,” balasku.

Mas Eza mengusap rambutku. Pintu lift terbuka dan keluarlah tiga orang perawat yang mendorong sebuah ranjang, dengan satu sosok yang sekujur tubuhnya tertutupi oleh kain berwarna biru muda. Menyusul di belakangnya, sepasang suami istri nampak sedang berduka. Sang suami merangkul erat istrinya yang menangis tersedu-sedu. Ranjang itu lewat tepat dihadapanku dan saat kain biru muda itu tersingkap, aku melihat sweater biru tua yang dikenakan sosok yang terbujur kaku itu. Aku tak dapat melihat wajahnya namun aku rasa tanpa perlu membuka kain itu, aku akan mengenal wajah yang ada dibaliknya.

“Kenapa harus sekarang, pa? Kenapa harus Niko?”

Tangisan sang istri terdengar jelas di telingaku dan seketika menusuk perasaanku. Mas Eza merangkul bahuku dengan erat. Kami masih terpaku di tempat, memandang pasangan yang berduka itu mengantar anaknya sampai akhirnya mereka hilang dari pandangan kami setelah berbelok ke sebuah koridor.

Innalillahi,” ujar mas Eza.

Pintu lift mulai menutup dan dengan segera mas Eza menekan tombol lift untuk menahan pintunya. Ia masih merangkulku dan membawaku masuk ke dalam lift. Tombol lantai nomor delapan ditekannya dan pintu lift pun mulai menutup.

Perasaanku begitu kacau. Tenggorokanku terasa begitu panas dan air mata pun mengalir dari kedua mataku. Aku tak dapat mempercayai apa yang baru saja kulihat. Semuanya terjadi begitu cepat. Sesaat yang lalu bocah itu masih tersenyum bahagia, berbicara padaku dengan kepolosan seorang anak berusia sepuluh tahun. Sweater biru muda dan Crocs merah marun. Ia bahkan sempat memberiku saran yang membuatku sadar akan keegoisanku pada kakakku. Bocah sepuluh tahun itu datang dan pergi begitu saja, lalu kusadari bahwa aku tak akan pernah melihatnya lagi. Ini tak adil. Hidup memang tak adil. Mengapa harus anak itu? Mengapa harus Niko? Mengapa harus secepat ini, di saat kedua orangtuanya masih ingin bersamanya dan melihatnya tumbuh dewasa? Mengapa harus secepat ini, di saat aku baru mengenalnya dan aku tak sempat berterima kasih karena telah mengajarkanku sebuah pelajaran kecil yang begitu berharga? Dan ditengah-tengah perasaan yang menyayat itu, sebuah pertanyaan tentang anak itu terlintas di benakku. Apakah itu benar Niko, yang duduk di sampingku dan berbicara padaku? Semuanya terjadi benar-benar sangat cepat dan aku mulai meragukan siapakah ia sebenarnya, bocah kecil yang berbicara denganku beberapa saat yang lalu.

Dan tangisku pun akhirnya meledak. Suara tangisanku memecah keheningan di dalam lift. Mas Eza kembali memelukku dan mencoba menenangkanku. Ia mengusap rambutku dan menepuk bahuku, memintaku untuk tenang dan membuatku percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Udah, Rey. Mas nggak marah sama kamu. Kamu nggak perlu kayak gini. Mas benar-benar nggak marah kok. Percaya deh. Mas maafin Rey untuk kejadian yang tadi,” ujarnya.

Sayangnya, kakakku tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ya. Ia tak tahu.

Monday, January 26, 2015

Kebiasaan Menabung Semasa Kecil

Saya iseng-iseng lihat-lihat foto-foto di Instagram saya (wait a minute.. kata-kata yang dipake di kalimat saya berrepetisi and they sound funny) dan lihat foto hasil tantangan #20FactsAboutMe yang dulu sempat tenar di kalangan pengguna Instagram. Saya baca-baca lagi dan ketawa saat lihat komentar-komentar yang masuk. 

Salah satu hal yang bikin saya ketawa (sekaligus takjub) adalah salah satu poin di antara 20 poin yang saya buat, dimana pada poin itu saya bilang bahwa dulu saat saya masih kecil saya sering menabung dan dari hasil tabungan itu saya beli sesuatu yang nggak lazim dibeli untuk anak-anak seumur saya. Buat saya itu nggak lazim ya karena kalau saya bandingkan dengan apa yang teman-teman saya beli, mereka cenderung beli mainan seperti konsol game atau (kalau jaman dulu) CD Playstation. Ada juga temen-temen saya yang nabung untuk beli kaset lagu (karena saat saya beranjak kelas 5, sudah mulai ada tren beli kaset lagu, termasuk VCD karaoke). Tapi saat saya seumur mereka (bahkan lebih muda deh kalau nggak salah), saya justru nabung untuk beli chandelier dan cuckoo clock. Ya! Chandelier! Cuckoo clock! Kalian nggak salah baca kok! Serius! Saya beli dua barang itu, barang-barang yang lebih cocok dibeli sama orang dewasa dan orang yang lagi mikir untuk renovasi rumah. 



Untungnya saya nggak sampai kayak gitu setelah ada chandelier di rumah, apalagi seperti ini.. 



Minat Pada Desain Interior
Saya rasa alasan saya memutuskan untuk nabung beli chandelier adalah salah satunya karena minat saya pada desain interior. Jaman SD dulu saya rela begadang nonton Titanic hanya demi lihat interior kapal yang super megah (sampai saya saking seringnya berhasil gambar kapal Titanic, dua lembar sekaligus di buku gambar ukuran A3, tanpa banyak lihat contoh gambar). Saya suka buat cocok-cocokin barang-barang, semisal chandelier dengan ceiling dan wall covering, atau chandelier dengan furnitur yang lain. Hasil kreasi saya bisa dilihat di Facebook saya, ada beberapa album desain interior dengan menggunakan media The Sims 3 (sayangnya di-uninstall karena alasan habis memori)

Dulu saat saya tinggal di Kuningan, rumah saya sangat dekat dengan rumah kerabat saya yang buka toko peralatan listrik dan lampu. Setiap lewat toko itu saya selalu memperhatikan berbagai jenis chandelier yang ada dan terbayang untuk punya satu di rumah (karena pada saat itu saya ngerasa bahwa parlor rumah jaman Belanda yang saya tempati terasa biasa-biasa aja). Dan setelah ngobrol tentang keinginan yang terdalam itu pada papa dan mama, akhirnya mereka menyarankan saya untuk nabung supaya bisa beli chandelier sendiri. 

Dan saya pun nabung.. 

Jaman dulu harga barang-barang nggak semahal sekarang dan saya masih ingat ada banyak sekali chandelier di toko itu yang harganya cuman 150 ribu atau 200 ribu. Yang paling mahal ada yang seharga 1 juta rupiah dan tingginya sekitar satu meter lebih, dan lebih cocok dipasang di rumah dengan langit-langit yang tinggi atau di langit-langit void. Lewat satu lebaran dan satu imlek, saya berhasil mengumpulkan uang sekitar 200 ribu lebih dan, diantar sama ayah saya, ke toko milik kerabat saya untuk beli chandelier yang sudah saya incar. Desainnya sendiri sebetulnya sederhana dan nggak ribet, karena menurut saya cocok dengan desain parlor rumah saya saat itu yang menurut saya agak 'nanggung' (renovasi ini itu bikin ke-Belanda-an parlor itu jadi berkurang, jadi saya coba untuk cari chandelier yang desainnya sedikit modern). Pada hari itu juga chandelier yang saya beli dipasang dan sore harinya, kerabat saya yang punya toko alat-alat listrik itu berkunjung ke rumah dan terkagum-kagum dengan adanya chandelier di parlor rumah saya. Langit-langit parlor rumah saya dulu bergaya (menurut saya sih) modern atau art-deco, dengan pola rounded square bercat coklat tua. Untuk lantainya sendiri masih asli lantai saat pertama kali rumah dibangun dan jendela-jendelanya sangat besar. Desain interior parlor saya itu semacam transisi dari gaya kolonial ke gaya modern, memadukan unsur-unsur kolonial Belanda dengan unsur-unsur art-deco

Dan chandelier yang saya beli itu dirasa sifatnya netral untuk kedua gaya interior yang berbeda itu. 

Kepindahan saya ke Bandung walhasil membuat pertanyaan tentang chandelier itu. Mama saya tanya tentang nasib chandelier itu, apakah akan dibiarkan saja atau bagaimana. Saya jelas-jelas tidak mau chandelier sebagus itu dibiarkan nggak terurus di rumah kosong. Akhirnya, chandelier itu dilepas dari langit-langit dan dipasang di rumah nenek saya. Sementara itu, beberapa chandelier lain (yang saya beli dan ada juga yang dapat minta dari nenek) dibawa ke Bandung. Sayangnya, usia chandelier yang sudah bisa dibilang tua itu bikin chandelier itu jadi rusak dan bahkan beberapa potong kristalnya sudah patah dan pecah. Sedihnya, sekarang saya nggak punya chandelier di rumah yang saya tempati. Rumah bergaya minimalis ini nampak nggak cocok kalau harus dipasang chandelier bergaya klasik seperti yang saya punya dan.. orangtua saya nampaknya nggak ada pikiran sama sekali untuk beli chandelier bergaya modern. 

Cedih :(



Bunyi "Kuk Kuk!"
Selain chandelier, barang lain yang pernah saya beli dengan hasil uang tabungan sendiri adalah jam kukuk. Cuckoo clock. Sayangnya si jam sudah entah kemana, jadi kini hanya tinggal kenangannya saja. 


Kalau lihat jam begitu jadi kangen.. 

Jam kukuk itu buat saya menarik. Burungnya keluar setiap jam (oke saya tau ini ambigu), dan manggut-manggut tergantung jam yang ditunjukkan (ini juga sama ambigunya). Ukiran kayu di jam kukuk itu klasik banget, meskipun yang sekarang biasanya dibuatnya dari bahan plastik, termasuk burungnya juga dari plastik, bukan dari kayu diukir. Saya suka dengan suara kukuk yang khas dan menggemaskan, apalagi dengan penampilan burung (sepertinya sih hummingbird atau lovebird) dengan bulu warna-warni dan mata yang diukir dan dicat sedemikian rupa sehingga nampak realistik. 

Saya sempat nabung sampai berapa puluh ribu dan sisanya dibantu sama orangtua saya karena jam kukuk itu harganya bahkan lebih mahal daripada chandelier yang saya beli. Setelah beli, ya saya cukup puas dengan apa yang saya punya. Meskipun jam kukuknya bukan yang seharga jutaan, tapi saya sudah cukup bahagia setiap jam lihat burung keluar masuk (ambigu lagi). 


Ingin Beli Grandfather Clock
Siapa sangka saya juga sempat ingin nabung untuk beli grandfather clock. Ya, jam besar yang kalau kamu masih kecil itu sebetulnya bisa masuk ke dalam kotak bandulnya. Entah ya tapi keinginan saya jaman kecil itu memang aneh-aneh, dari mulai ingin grandfather clock, ingin cuckoo clock, ingin chandelier, sampai pernah kepikiran ingin punya lantai marmer di rumah. 

Gila ya? 

Nah, tentang grandfather clock itu memang sebetulnya saya sudah suka sejak awal. Bentuknya yang besar, kokoh dan mewah selalu bikin saya tertarik. Kadang saya suka sengaja masuk ke masjid dan duduk sebentar disana nunggu sampai waktu menunjukkan waktu tertentu dan mendengarkan dentangan jamnya. Jaman dulu, sekitar tahun 2000an harga grandfather clock masih ada di kisaran jutaan, semisal 3 juta. Yang paling mahal itu dulu saya lihat harganya 18 juta rupiah. Kalau sekarang sih pasti sudah jauh di atas itu. Jam yang ingin saya beli pada waktu itu adalah jam dengan bagian atas yang menyerupai atap rumah, dengan tiga pemberat bandul. Saya lupa harganya berapa tapi kalau nggak salah sekitar 6 atau 8 juta rupiah, pada kurs tahun 2000an. 

Nggak ngerti ya sama keinginan saya jaman dulu? Sama. Saya juga gitu. 

Oh ya, keinginan untuk beli grandfather clock ini belum juga terrealisasi. Mungkin karena saat itu saya udah punya chandelier dan cuckoo clock jadi saya rasa udah cukup bagi saya dan nggak mau kepikiran untuk punya grandfather clock (meskipun sering muncul lagi keinginan untuk beli grandfather clock). Kesininya keinginan saya lebih ke arah sesuatu yang mendukung minat saya seperti piano akustik dan biola dan.. puji Tuhan, saya punya dua-duanya sekarang :)


Jadi Jarang Menabung
Entah semenjak kapan kebiasaan menabung saya jadi menghilang. Saya jadi konsumtif dan lebih banyak jajan, terutama saat dapat uang. Padahal kalau dipikir-pikir lagi dengan kebiasaan menabung saat saya kecil, sekarang saya udah bisa beli banyak barang yang saya mau dengan uang saya sendiri. Ya ini mungkin salah satunya karena faktor lingkungan yang konsumtif juga, dan faktor diri sendiri juga yang memang gampang kebelet ingin jajan ini itu. 

Kalau dilihat jaman dulu, perjuangan saya untuk nggak jajan dan bisa berhasil ngumpulin uang sebanyak itu perlu diapresiasi. Jaman dulu juga mungkin karena nggak ada terlalu banyak hiburan (dan saya dulu nggak begitu tertarik dengan Playstation), jadi uang yang bisa dipake jajan atau main saya alokasikan untuk sesuatu semacam chandelier dan jam kukuk. 


Ah jadi ingin nabung lagi.. 

Monday, January 19, 2015

Kembali

Sudah sekitar satu jam aku duduk di atas tempat tidurku sejak aku tiba di rumah. Kutatap layar laptop yang ada di atas meja tepat di seberangku, menunjukkan pola screensaver seperti garis aurora di depan latar hitam. Ada setumpuk buku di samping laptopku yang belum kusentuh selama beberapa hari ini, meskipun seharusnya aku saat ini sudah membaca beberapa buku itu untuk kepentingan tugas akhirku. Kudekap kedua lututku lebih erat dan kubenamkan wajahku. Aku merasa dingin, meskipun tak turun hujan. Rasanya seolah berada di tengah-tengah sebuah ruangan kosong yang sangat besar. Seperti sulit untuk menyentuh dinding kamarku karena kekosongan yang kurasakan. 

Hampir setiap hari selama beberapa minggu terakhir aku seperti ini. Entah harus melampiaskan rasa kesalku pada siapa, aku seolah-olah menelan bulat-bulat kemarahan dan kesedihan yang disebabkan oleh pria itu. Mungkinkah ini waktunya bagiku untuk berfikir kembali siapa sebenarnya ia? Manusiakah? Ataukah hantu.. mungkin? Ia seolah datang lalu pergi begitu saja, dan tak meninggalkan jejak sedikitpun untuk kutelusuri. Bicara tentang menangis, saat ini aku sudah tak sanggup menangis. Aku menangis di beberapa hari setelah kusadar bahwa sosok itu pergi begitu saja, namun lama kelamaan aku lelah menangis meskipun aku tahu menangis adalah salah satu metode terbaik untuk pelampiasan emosi. Aku tak pernah merusak atau melempar barang ketika marah atau sedih, namun jika sosok itu muncul, saat ini juga, di hadapanku, aku benar-benar akan melemparkan laptopku tepat ke wajahnya. 

"Mbak Etha, ada telpon" 

Bi Ana mengetuk pintu kamarku. Ia mengetuknya berkali-kali, seperti halnya berkali-kali memanggil namaku. Aku tak menggubrisnya. Siapa yang menelponku? Maksudku, jika ia yang menghubungiku mengapa ia tak menghubungi lewat ponselku saja? Dan mengapa ia harus menghubungiku lewat telpon? Apa ia tak punya keberanian untuk langsung datang dan menjelaskan semuanya--kepergiannya yang tanpa kabar? Aku benar-benar gamang saat aku sadar sosok itu perlahan menghilang, dan saat aku yakin benar bahwa ia telah menghilang aku tak bisa menggambarkan apa yang kurasakan. 

Bagaimana bisa Abiel meninggalkanku dengan sebuah ketidakjelasan?

Tak jelas kemana Abiel pergi, dan dengan siapa ia pergi. Tak jelas apa yang sekarang ia lakukan. Tak jelas pula kelanjutan hubunganku dengannya. Abiel pergi begitu saja dan sama sekali tak ada pesan atau ucapan apapun tentang hubungan kami. Apa yang harus kulakukan? Apakah ini sudah berakhir? Tapi, bagaimana jika sebenarnya ini belum berakhir? Aku belum siap jika hubungan kami harus berakhir, namun aku pun tak siap dengan segala sesuatu yang buram seperti ini.

Pada hari itu, Abiel tak mengabariku seharian. Aku masih belum memiliki firasat apapun. Mungkin ia kehabisan pulsa, atau memang sedang ada masalah. Keesokan harinya aku menanyakan kabarnya, namun tak kunjung kudapatkan balasan darinya. Aku menghubunginya dengan berbagai cara namun ia tak dapat terjangkau. Beberapa hari kemudian aku mendatangi gerai minimarket tempatnya bekerja dan aku terkejut saat rekan kerjanya memberitahuku bahwa Abiel telah berhenti bekerja sejak beberapa hari yang lalu. Masih belum percaya dengan ucapan rekannya, aku meminta alamat tempat tinggal Abiel karena selama ini aku tak pernah tahu pasti dimana ia tinggal. Abiel tak pernah membiarkanku mengetahui tempat tinggalnya dan saat aku memaksa untuk mengunjungi rumahnya, ia marah padaku. Setelah kudapatkan alamat tempat tinggalnya, aku, ditemani Vinna dan Hanna, pergi menuju rumah Abiel. Setibanya disana, rumah itu telah kosong. Abiel dan keluarganya tak lagi menempati rumah itu dan tetangga yang tinggal di sekitar rumah itu memberitahuku bahwa mereka telah pindah sejak seminggu yang lalu, tanpa memberitahu kemana mereka akan pergi. Aku benar-benar kehilangan jejak Abiel saat kusadari nomor ponsel Abiel tak lagi aktif. Seluruh media sosial yang ia pakai telah ia nonaktifkan dan ia benar-benar membuatku marah sekaligus kecewa.

Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mataku. Aku melepas kacamataku kemudian berbaring di atas tempat tidurku. Kutarik selimutku sampai seluruh tubuhku tertutup. Terisak pelan, aku mengutuknya. Aku mengutuknya untuk semua yang ia lakukan padaku. Jika harus berakhir seperti ini, lebih baik aku tak pernah bertemu dengannya. Aku tak siap dengan perpisahan ini, saat aku masih membutuhkannya. Tapi kepergian Abiel membuatku bertanya-tanya, mungkinkah saat ini ia sudah tak membutuhkanku lagi. Selama ini kukira aku telah mengenalnya dengan baik, seperti halnya ia yang mengenalku dan memahamiku dengan baik. Aku salah. Ada sesuatu yang belum kuketahui tentangnya, dan mungkin bukan hanya satu hal, tapi beberapa hal. Kurasa ada banyak hal yang masih belum kuketahui tentangnya. Sayang sekali ia terlanjur pergi sebelum aku berkesempatan untuk mengetahuinya.

----

Hanna dan Vinna mengajakku untuk bertemu pada hari Minggu. Sudah cukup lama aku tak pergi bersama mereka jadi kuputuskan untuk setuju bertemu dengan mereka. Sepulang misa, aku segera menuju mal dimana kami akan bertemu. Sebetulnya ini masih cukup pagi dan aku tak yakin mal sudah benar-benar buka pada saat ini. Hanna dan Vinna menyambutku dengan riang di kedai kopi dimana kami berjanji untuk bertemu, seolah-olah kami tak bertemu selama bertahun-tahun.

"Etha! Rambutnya ada ponytail!" ujar Hanna takjub.
"Frame baru tuh kacamatanya," sambung Vinna.

Aku tertawa kecil mendengar sambutan mereka. Mereka membawaku ke tempat duduk yang telah mereka tempati. Ada sebuah kue kecil di atas meja, serta sebuah kartu bertuliskan "We Miss You!" disampingnya. Aku mengernyitkan dahiku dan menatap mereka bingung.

"Buat siapa ini?" tanyaku.
"Buat kamu lah!" jawab Hanna.
"Kita kangen banget sama kamu," sambung Vinna.
"Semenjak lulus kita jadi sibuk sama kesibukan masing-masing," tambah Hanna.

Aku memajukan bibirku dengan manja dan menatap mereka penuh haru.

"Ah.. Kalian"

Kami pun mengobrol panjang lebar setelahnya tentang kesibukan masing-masing. Hanna telah mendapatkan pekerjaan menjadi junior designer untuk sebuah majalah arsitektur. Ia kini selalu membawa laptopnya kemanapun ia pergi. Seminggu yang lalu Hanna mendapatkan gaji keduanya dan setelah sesi kopi ini ia berencana mentraktir kami bernyanyi di studio karaoke.

"Iklim kerjanya bagus kok dan senior-senior disana juga baik. Cuma yang bikin lelah itu ya saat kerja. Kadang harus begadang untuk buat layout halaman dan deadline yang dikasih selalu mendesak," ujar Hanna.
"Nggak minta bantuan sama senior?" tanya Vinna.
"Eh, justru itu udah kerja barengan sama senior. Oh ya, senior yang jadi workpartner aku kece banget loh orangnya!" jawab Hanna antusias.
"Terus kalian sudah sejauh apa?" tanyaku.
"Aduh, belum jauh sih. Cuma kadang ya saling lempar pandangan gitu. Biasa lah masih malu-malu," jawab Hanna.
"Harus lebih gencar nih pendekatannya," ujar Vinna.
"Ah, biar dia aja yang mendekati," jawab Hanna manja.

Aku dan Vinna tertawa mendengar jawaban Hanna.

"Oh ya, Tha. Kamu sudah dapat kabar dari Abiel?" tanya Vinna.
"Masih belum ada kabar kah?" sambung Hanna.

Aku menggeleng pelan.

"Belum ada kabar, dan aku sekarang nggak mau terlalu banyak berfikir tentang Abiel. Sudah saja sekarang jalani kesibukanku dulu," jawabku.
"Kamu masih sedih ya pastinya," ujar Hanna iba.
"Harusnya memang kalau ada apa-apa dia kasih kabar, bukan pergi begitu aja," tambah Vinna.
"Kalau dibilang sedih sih, ya, memang masih sedih walaupun nggak seperti dulu. Untuk sekarang ini sih kayaknya aku mulai terbiasa," jawabku.

Hanna mengernyitkan dahinya.

"Jadi keputusannya?" tanya Hanna.
"Maksudnya?" aku menatapnya bingung.
"Hubungan kalian?"
"Oh. Sudah saja. Kalau dia nggak bisa memberi kepastian, aku saja yang buat kepastian"

Kedua sahabatku menatapku iba. Mereka mencoba menghiburku. Sebetulnya aku sudah tak terlalu memikirkan tentang Abiel dan aku tak benar-benar merasa sedih. Tak terasa sudah sekitar dua tahun berlalu sejak Abiel pergi begitu saja dan kenyataan bahwa saat ini aku masih bisa tersenyum dan berkumpul bersama sahabat-sahabatku menunjukkan bahwa aku mampu bertahan setelah kepergiannya. Aku masih mengingat sosoknya namun aku tak lantas membiarkan diriku hanyut dalam melankolia yang sama, yang pernah menjadi sebuah siksaan kasat mata yang hanya dialami olehku dan bukan oleh orang lain. Abiel tak bisa kuusir dari benakku dan aku pun tak pernah sekalipun mencoba untuk menghapus segala memori tentangnya.

"Kamu nggak apa-apa, Tha?" tanya Hanna.
"Maaf kita jadi brought up masalah itu lagi," sambung Vinna.
"Gak apa-apa kok. Santai aja," jawabku.
"Tapi kayaknya kamu tersinggung dan--"
"Hanna, I'm perfectly fine. Seriously," potongku.

Mereka berdua nampaknya masih tak percaya bahwa saat ini aku baik-baik saja. Oh, yang benar saja! Apakah aku harus tetap berada di tempat tidurku dan menyelimuti seluruh tubuhku sambil menangis, meratapi semua yang pernah aku jalani bersama Abiel selama ini? Apakah aku harus tetap menunjukkan pada dunia bahwa aku adalah gadis yang malang, yang ditinggal kekasihnya tanpa alasan apapun? Ayolah! Aku bahkan tak berfikir bahwa aku gadis yang malang, meskipun aku juga tak merasa beruntung karena Abiel meninggalkanku. Jika Abiel meninggalkanku untuk sebuah alasan yang positif bagi kami berdua, maka kurasa itu yang terbaik. Aku tak pernah tahu alur cerita yang Tuhan tuliskan untukku, namun yang kutahu Tuhan selalu memberikan yang terbaik untukku.

"Kalian ini kenapa? Jangan terlalu panik. Betul kok aku nggak apa-apa. Buat apa aku masih harus terus mikirin itu?" ujarku.
"Kita nggak yakin kamu nggak apa-apa," sanggah Hanna.
"Mungkin ini semacam mekanisme pertahanan diri kamu aja dari perasaan--"
"Vin. Please," potongku saat Vinna berkomentar, "Aku harus gimana supaya kalian percaya kalau aku baik-baik aja?"

Hanna dan Vinna tersenyum kecut.

----

Dan pagi ini matahari bersinar begitu terik. Tak seperti biasanya, cuaca pada pukul sembilan pagi terasa begitu panas seperti saat tengah hari. Namun cuaca panas seperti ini tak menghentikan orang-orang yang sedang bertugas menjadi panitia acara festival yang diadakan oleh himpunan mahasiswa jurusanku. Meja penerima tamu nampak ramai oleh anak-anak sekolah yang mendaftar ulang untuk beberapa perlombaan, termasuk penampilan band. Aku melangkah ke arah meja panitia dimana Vinna sedang sibuk mengurus para peserta lomba yang mendaftar ulang. Segera aku duduk di kursi kosong di samping Vinna.

"Talbot mana?" tanyaku.
"Ngilang. Tadi disuruh Ezar bantu di backstage," jawab Vinna.
"Ya udah aku bantu di sini ya," ujarku.

Aku pun ikut mengurus para peserta yang hadir dan jumlah mereka kian bertambah. Melawan rasa gerah, aku mengikat rambutku. Ikat kuda, dan kurasa tatanan rambutku sesuai dengan kacamataku. Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku dan suara itu terdengar semakin nyaring saat sumber suara mendekat.

"Reyhan! Reyhan! Reyhan udah datang?" tanya Ezar terburu-buru.
"Belum? Kenapa emangnya?" tanyaku.
"Dia suka wandering around. Takutnya nyasar," jawab Ezar.
"Astaga Tuhan! Dia 'kan datang sama teman-temannya. Lagian udah besar begitu kalau kesasar 'kan bisa cari tahu jalan sendiri," balas Vinna.
"Adik kamu panjang umur tuh, Zar. Itu Reyhan baru datang," sambungku saat kulihat Reyhan bersama teman-temannya berjalan ke arah meja panitia.

Ezar segera berlari menghampiri adiknya. Ia membisikkan sesuatu pada Reyhan dan Reyhan mengangguk pelan. Apa yang mereka bicarakan? Reyhan bersama teman-temannya lalu datang pada kami untuk mendaftar ulang.

"Perwakilannya aja. Kalau semuanya terlalu ramai," ujarku.
"Ya sudah aku aja," ujar Reyhan mewakili teman-teman bandnya.
"Nama band kamu apa, Rey?" tanya Vinna.
"Downtown Detroit," jawab Reyhan.
"Wah, gak ada nama band itu!" aku berpura-pura mencari-cari nama bandnya di list yang kumiliki.
"Serius?" Reyhan nampak panik.

Aku dan Vinna tertawa kecil.

"Ada kok. Si Etha cuma bercanda aja. Kalian tampil tiga lagu, 'kan?" ujar Vinna.
"Ah, syukurlah. Rey kira betulan nggak ada. Bisa nangis sambil kayang kalau gitu," jawab Reyhan seraya menghela nafas lega.
"Coba nangis sambil kayang sekarang," tantangku.
"Gocap dulu," balas Reyhan.

Aku dan Vinna menyorakinya. Bocah itu tertawa kecil lalu pergi setelah menerima kalung name tag dan booklet yang kuberikan. Aku kembali mengurus para peserta lain dan Vinna kemudian meminta izin untuk membeli minuman kaleng dingin. Aku memintanya membawakanku sebotol air mineral dingin. Sekarang, sendirian aku menangani para peserta yang jumlahnya tak juga berkurang. Sengatan matahari membuatku tak bisa berlama-lama menengadah dan melihat peserta yang datang. Aku lebih banyak berfokus pada menulis daftar hadir, ceklis band yang akan tampil serta memberikan kalung name tag dan booklet. Kuharap hari ini akan berawan tanpa hujan.

"Mau daftar ulang, mbak"
"Nama bandnya apa?"
"Aretha?"

Namaku disebut. Apakah Aretha sebuah nama band, atau orang itu memanggil namaku?

"Etha"

Kali ini aku menengadah dan kulihat sosok yang nampak familiar. Aku mengenalnya dan sudah cukup lama aku tak melihatnya. Ia nampak sedikit canggung, mencoba tersenyum padaku meskipun raut wajahnya nampak dingin. Aku mengernyitkan dahiku. Mengapa ia datang kesini?

"Aku tampil di acara kamu," ujar Abiel.
"Nama bandnya?" tanyaku tegas.

Proses registrasi ulang berjalan datar, dingin, tanpa banyak basa-basi dan aku akhirnya memberikan kalung name tag dan booklet pada Abiel. Ia meninggalkan meja panitia setelahnya, meskipun kulihat ia beberapa kali melihat ke arahku. Ia akhirnya pergi bersama rekan-rekan bandnya dan tak lama kemudian Vinna kembali.

"Kayaknya aku lihat Abiel deh," ujar Vinna setengah berbisik.
"Memang," jawabku.
"Hah? Serius?!"
"Orangnya baru daftar ulang"
"Terus reaksi kamu gimana waktu liat dia?!"
"Biasa aja"
"Etha! Itu orang harusnya kamu marahi! Harusnya kamu bentak-bentak karena udah pergi begitu aja!"
"Vin, ada banyak anak SMA disini. Mendingan urusin dulu daftar ulang baru setelahnya kita gosip"

Dan registrasi ulang pun akhirnya selesai. Talbot datang saat semuanya telah selesai, mendapat sorakan dariku dan Vinna karena menghilang begitu saja sementara tugasnya menjaga meja panitia lepas begitu saja. Kami bertiga lantas pergi makan siang dan obrolan tentang Abiel yang tiba-tiba kembali tak dapat terelakkan lagi.

"Kok dia bisa ada sih?" tanya Vinna kesal.
"Nggak tau. Dia bahkan gak kasih kabar sama sekali. 'Kan udah kubilang dari dulu kalau aku sama dia udah lost contact cukup lama," jawabku.
"Ya tapi 'kan.. Maksud aku, lancang banget dia balik lagi begitu aja. Etha, harusnya kamu bentak-bentak dia atau lakukan apa kek yang bisa bikin dia sadar kalau dia selama ini nggak bertanggung jawab!" Vinna terdengar berapi-api.
"Ga tanggung jawab? Tha, kamu diapain?" tanya Talbot tiba-tiba.

Telapak tanganku menutupi seluruh wajah Talbot dan kudorong agar Talbot menjauh.

"Kamu pikir emang aku ngapain aja selama ini sama dia?" tanyaku pada Talbot.
"Ya habis tadi bilangnya nggak tanggung jawab," Talbot berkilah.
"Ah, itu sih pikiran kamu kemana-mana," jawab Vinna.

Aku dan Vinna kembali melanjutkan perbincangan, membiarkan Talbot menikmati makan siangnya. Vinna mendesakku untuk membalas dendam namun menurutku itu bukan hal yang perlu kulakukan. Kepergian Abiel yang begitu saja sudah cukup menyakitkan dan aku tak perlu lagi menambah kenangan apapun tentang Abiel. Aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang, tanpa Abiel. Abiel sudah cukup banyak memberikan warna dalam hidupku, warna-warna gelap dan muram dan kini aku perlu warna-warna lain yang lebih cerah dan ceria.

Kami kembali bekerja dan aku kini berada di belakang panggung, membantu teman-teman yang lain bertugas. Vinna mengurus galeri foto dan Talbot masih tetap bersamaku di belakang panggung. Kami mendata band yang akan tampil dan pekerjaan ini sudah jelas mempertemukanku kembali dengan Abiel. Masih ada dua lagu yang dibawakan oleh band yang tampil sebelum Abiel dan momen itu Abiel pergunakan sebagai kesempatan untuk bicara denganku yang kini sendiri karena Talbot kemudian menghilang begitu saja saat ia melihat Abiel.

"Tha, aku bener-bener--"
"Bener-bener apa?" potongku.
"Aku salah. Oke, aku salah. Aku pergi tanpa pamit. Aku pergi begitu aja dan nggak pernah kasih kamu kabar. Aku akui itu kesalahan aku," ujar Abiel.
"Oke. Terus? Apa gunanya penjelasan kamu buat aku sekarang?" tanyaku.
"Aku ingin kita bisa seperti dulu. Aku kembali jauh-jauh supaya aku bisa.. Aku.."

Abiel nampak gugup. Ia tertunduk, namun hal itu tak membuatku luluh.

"Aku ingin bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius," ujarnya gugup.
"Apa?"
"A, aku.."
"Terlambat kalau kamu mau bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Pertama, aku rasa udah nggak ada hubungan apa-apa di antara kita. Kedua, aku udah bisa melupakan semua tentang kamu. Aku nggak perlu lagi kenangan apapun tentang kamu. Maaf, Biel. Aku harus kembali data penampil yang lain"

Aku pun lantas meninggalkan Abiel yang masih berdiri kaku. Tak ada apapun lagi yang harus kubicarakan dengannya. Aku harus kembali bekerja. Dan kemudian kurasakan getaran ponselku di dalam saku vestku dan samar-samar nada dering--sebuah lagu yang kukenal baik dan sudah lama tak kudengar. Alunan piano Dandelion's Promise mengalun jelas saat kuambil ponselku. Nomor Abiel muncul di layar ponsel, beserta fotoku bersama Abiel. Foto itu sudah lama tak kulihat. Lagu itu membuatku terenyuh. Aku terisak pelan. Berbalik, kulihat Abiel masih berdiri di tempatnya, menatapku dengan ponsel yang ia genggam di tangannya. Abiel kemudian mengangkat tangannya; ponselnya berada dekat dengan pipi kanannya. Dengan gugup aku menggeser layar ponselku dan kini aku terhubung dengan Abiel.

"Tha, mungkin kamu nggak perlu lagi kenangan apapun tentang aku. Tapi.. tapi aku butuh lebih banyak kenangan tentang kamu"

Aku meringis pelan.

"Tha, kamu boleh bilang kamu nggak perlu lagi kenangan tentang aku, tapi aku yakin kamu masih perlu kenangan apapun.. tentang kita"

Aku memejamkan mataku untuk sejenak dan air mataku masih bisa keluar, kini pasti menganak sungai di pipiku. Saat kubuka mataku, Abiel tengah berjalan ke arahku dan beberapa detik kemudian aku telah berada dalam pelukannya. Semuanya terjadi begitu cepat dan aku sadar aku masih menyimpan sebuah ruang untuk Abiel. Mungkin aku tak memerlukan lagi semua kenangan tentang Abiel, tapi Abiel benar karena aku membutuhkan kenangan tentang aku dan Abiel--tentang kami. Abiel kemudian melepaskan pelukannya dan menggenggam tanganku erat.

"Kita bisa mulai dari awal," ujarnya.
"Kita perbaiki apa yang kita punya, nggak perlu mulai dari awal," jawabku.

Abiel mengangguk.

"Dan tentang keputusanku untuk bawa hubungan kita lebih lanjut--"
"Nanti saja bicara tentang hal itu kalau kamu sudah selesai tampil," potongku.

Abiel tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya. Kini waktunya bagi Abiel dan rekan-rekannya untuk tampil. Aku mengantar Abiel sampai ke tangga backstage menuju panggung. Abiel mengalungkan gitarnya dan sebelum ia naik, ia menyentuh pipiku.

"Doakan sukses," ujarnya.

Aku mengangguk pelan.

Dan Abiel pun tampil bersama rekan-rekan bandnya, menampilkan beberapa lagu. Sesekali ia melihat ke arah pintu backstage dan melemparkan senyumnya padaku. Aku berada di dekat pintu backstage, memandangi seorang gitaris yang kuharap, cepat atau lambat, akan menjadi seseorang yang pertama kulihat setiap paginya dan kusapa dengan kecupan selamat pagi. 

Wednesday, January 7, 2015

What do you expect?

Saya, sebagai manusia biasa, nggak hanya mendengarkan cerita dan permasalahan orang lain. Saya nggak hanya datang untuk menenangkan dan menghibur orang lain yang sedang dalam masalah. Saya juga nggak hanya meluangkan waktu saya untuk orang-orang lain. Sebagai manusia biasa, saya juga punya masalah dan kehidupan saya sendiri yang harus saya selesaikan. Saya punya hal-hal yang harus saya lakukan untuk kebaikan saya sendiri. 

Mungkin beberapa orang lupa bahwa setiap orang punya kehidupannya masing-masing. 

Apa yang mereka harapkan? Mau berapa lama mereka selalu bergantung pada orang lain dan berharap bahwa orang lain akan selalu ada untuk mereka, meluangkan waktu untuk mereka, mendengarkan cerita-cerita mereka dan mau memberi saran atau sekedar menghibur mereka? Apa mereka nggak sadar bahwa dengan membiarkan ketergantungan mereka pada orang lain, mereka juga secara nggak langsung telah bersikap begitu posessif? Sejujurnya ini yang saya rasakan selama ini. Ada beberapa orang yang nampaknya terlalu memikirkan dirinya sendiri dan kebutuhan sosialnya, sampai lupa bahwa saya juga adalah individu yang bebas, yang punya kehidupan dan masalahnya sendiri. Beberapa orang nampaknya mengharapkan saya untuk selalu ada dan membantu mereka, selalu meluangkan waktu saya untuk mereka dan selalu melibatkan mereka bahkan dalam hal-hal yang menurut saya tidak mesti juga mereka ikut terlibat. Saat ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka dan saya nggak bisa berbuat apa-apa, mereka jadi marah dan kecewa, dan melampiaskan dalam bentuk apapun dan saya tahu itu. Saya terpaksa berada dalam posisi yang bersalah, meskipun saya sadar memangnya apa salah saya? Semisal, saat saya pergi dengan seorang teman lalu seseorang yang lain tiba-tiba menyindir saya dan bilang bahwa ketidakterlibatannya dia dalam acara saya bersama teman saya membuat dia sangat kecewa. Memangnya saya harus selalu melibatkan dia? Terus, saya harus gimana? Maunya dia apa? 


Lantas kalau saya pergi dan nggak ajak dia, itu salah saya? 

Bukannya saya juga punya acara sendiri, permasalahan sendiri dan hal-hal lain yang bisa saya lakukan dengan siapapun dan kapanpun yang saya inginkan? Kenapa harus marah saat saya tidak ajak? Kenapa harus marah saat saya nggak bisa mendengarkan masalah-masalah orang lain sementara saya sendiri sedang berkutat dengan masalah saya sendiri? Kenapa saya harus selalu berusaha keras membantu orang lain sementara saya sendiri perlu ditolong? Bukan tentang saya dan keegoisan saya, tapi ini tentang bagaimana saya mencoba menyeimbangkan kebutuhan saya dan bagaimana saya ingin mencoba membantu orang lain. 

Saya punya masalah yang harus saya selesaikan dan jangan pernah menganggap bahwa masalah saya selalu ringan. Jangan pernah memaksa saya untuk selalu membantu dan mendengarkan masalah-masalah anda dan kalau anda rasa tidak akan pernah bisa menerima saran-saran saya, berhenti meminta saran dan menceritakan permasalahan saya pada anda kalau anda mengharapkan saya untuk memberi saran. 

Saya punya perasaan dan saya harus menangani perasaan saya sendiri, jadi jangan pernah memaksa saya untuk selalu bisa tampil layaknya orang yang sedang bahagia di depan anda karena saya juga bisa merasa sedih dan marah. Jangan juga selalu menganggap bahwa saat saya sedang sedih atau marah, itu semua disebabkan oleh anda karena anda tidak tahu apa-apa. 

Saya punya kerabat-kerabat dan sahabat-sahabat dan saya berhak untuk berbicara, berteman dan meluangkan waktu saya dengan mereka. Saya juga berhak untuk memutuskan dengan siapa saya ingin pergi, kemana saya ingin pergi dan kapan. Jangan paksa saya untuk selalu harus mengajak anda untuk ikut dalam acara saya dan berhenti memaksa saya untuk menemani anda kapanpun anda mau dan jangan langsung begitu saja marah saat saya tidak bisa meluangkan waktu dengan anda. 

Saya secara pribadi tidak akan memaksa orang untuk berteman dengan saya. Dengan kata lain, saat ada yang ingin berteman dengan saya, ya saya terbuka untuk pertemanan (meskipun awalnya saya sedikit dingin karena nature saya yang seperti itu terhadap orang-orang baru). Saat ada yang tidak ingin berteman dengan saya, ya saya pun terima karena saya sendiri punya pilihan dengan siapa saya ingin berteman dan siapa saja yang tidak ingin saya anggap sebagai teman. Orang-orang bisa punya ekspektasi mereka terhadap saya, tapi saat saya tidak bisa memenuhi ekspektasi itu jangan langsung menilai saya buruk karena saya sendiri punya ekspektasi terhadap orang lain dan diri saya sendiri. Kalau masih menuntut bahwa saya harus memenuhi ekspektasi mereka, saya sangat terbuka untuk orang-orang meninggalkan saya daripada mereka harus terus dikecewakan oleh saya yang mereka anggap selalu gagal memenuhi ekspektasi mereka. 

Mereka harusnya tahu bahwa saya juga punya ekspektasi tersendiri. 

Tuesday, January 6, 2015

Family Farm

Setelah sekitar tiga bulan kemarin mengalami tekanan fisik dan mental yang cukup berat (baca: tugas dan proposal skripsi), akhirnya semester 7 berakhir dan saya bisa bernafas lega.. setidaknya untuk sejenak. Berakhirnya semester 7 tidak lantas menandai kebebasan saya karena setelah ini saya masih ada internship program selama kurang lebih satu semester (syukur-syukur kalau bisa lebih cepat sih). Tapi sebelum masuk semester 8, nampaknya saya punya waktu libur sekitar 3 minggu yang sampai sekarang masih bingung mau dipakai untuk apa saja. 

Lepasnya diri dari tugas bikin saya, somehow, merasa aneh. Rasanya seperti gigi yang ompong dan kita selama beberapa hari kedepan akan sering mainin lidah untuk menyentuh tempat dimana biasanya ada gigi yang akhirnya ompong itu; saya jadi bingung karena nggak ada tugas untuk dikerjakan. Sekarang saat nyalakan komputer saya nggak lagi buka software penyunting kata karena sudah nggak ada lagi tugas untuk diketik. Senang sih karena akhirnya bisa blogging lagi (dan ini ternyata post pertama di tahun 2015.. Yay!), dan juga bisa browsing yang lain-lain.. 

Browsing apa hayoh.. 

Saat saya buka Facebook, saya iseng-iseng buka section permainan dan akhirnya mencoba beberapa games di Facebook. Yay! Akhirnya saya main game di Facebook lagi! Sebetulnya sejak jaman SMA (karena saya salah satu pengguna pertama Facebook di kalangan teman-teman saya) saya sudah mulai main game yang ada di Facebook. Tapi karena faktor kesibukan, lama kelamaan saya jadi jarang main dan pada akhirnya tidak main sama sekali. Sekarang ini berhubung kesibukannya sudah mulai berkurang, saya jadi bisa kembali main game yang ada di Facebook

Dan saya pilih permainan bercocok tanam.. 


Game yang di atas namanya Family Farm. Permainan ini semacam Farmville (kalau yang sudah pernah main Farmville sepertinya tahu seperti apa game rules-nya). Saya juga coba main lagi Farmville tapi entah kenapa achievement yang dulu pernah saya raih seperti hilang, dan otomatis harus mulai lagi dari awal (kecewa). Akhirnya karena kekecewaan itu saya putuskan untuk fokus di Family Farm saja. Family Farm punya interface yang menurut saya lebih ringan dibandingkan Farmville jadi loading pun lebih cepat. Untuk grafis sendiri sih lebih mirip Farmville 2, lengkap dengan animasi-animasi seperti gerakan ayam atau putaran Dutch mill


Seperti permainan bercocok tanam lainnya, Family Farm punya banyak varian sayur-mayur dan buah-buahan untuk ditanam seperti tomat, mentimun, apel, ceri, anggur, dan lain-lain. Ada juga pilihan untuk bertanam gandum yang nantinya dikirim ke Dutch mill untuk diproses jadi tepung. Saya sendiri rencananya ingin mengubah peternakan Animikins (nama peternakan saya) menjadi perkebunan anggur. Karena ternyata, hasil jual dari wine (setelah anggur dimasukkan ke wine processor) itu tinggi. Biasalah.. biar tidak amsiong. Tidak hanya sayur-mayur dan buah-buahan biasa, sayur dan buah spesial pun ada. Memang ya namanya game kemungkinan untuk adanya unsur-unsur magis itu.. ya ada lah pokoknya. Ada bibit-bibit tanaman yang bisa menghasilkan produk yang nantinya bisa diubah menjadi batu safir oleh sapphire unicorn. Ada juga bibit labu Halloween yang kalau sudah jadi, keluarlah labu-labu Halloween lengkap dengan mata dan mulutnya dari tanah. 


Main bercocok tanam tanpa kehadiran hewan-hewan ternak rasanya kurang greget. Di Family Farm kita bisa pilih mau beternak hewan apa, dari mulai unggas seperti ayam sampai sapi pun ada. Sapi-sapi pun ada yang dijadikan untuk ternak susu dan ternak daging. Oh ya, hewan magis seperti unicorn juga ada, hanya saja saya sih tidak kepikiran untuk ternak unicorn. Kalaupun ada ternak putri duyung, saya mau kembalikan saja ke laut. Kebayang kalau nangis keluar mutiara.. 

Tapi jadi tajir sih kalau gitu. 

In-ta-na... 

Yang lucu adalah di Family Farm ada ternak lebah dimana lebah-lebah ini bisa menghasilkan madu setelah mereka membantu penyerbukan beberapa tanaman seperti bunga atau semanggi. 


Lebah-lebah yang keluar dari sarangnya itu berjumlah tiga ekor dan akan langsung mendatangi bunga atau tanaman yang mekar (semisal semanggi). Setelah membantu penyerbukan, tiga ekor lebah itu akan kembali ke sarangnya dan membuat madu (hasilnya langsung dalam bentuk botolan loh!). Satu botol madu dijual sekitar 5 koin dan tanaman-tanaman yang telah diserbuki biasanya akan ditandai pollinated. Berhubung sapi ternak susu itu makannya semanggi dan semanggi itu tanaman untuk diserbuki lebah, jadi saat kita panen semanggi dan punya ternak lebah, biarkan dulu lebah-lebahnya menyerbuki semanggi. Nanti beres mereka menyerbuki semanggi, barulah kita panen semangginya. Lumayan loh nanti bisa dapat susu dari si sapi dan madu dari lebahnya. 

So far sih permainan ini mengasyikkan dan tentu saja kita perlu kesabaran karena tanaman-tanaman yang ada biasanya perlu waktu untuk bisa panen, dari mulai 15 menit sampai berhari-hari. Permainan ini juga menawarkan kenangan masa lalu (ciye bahasanya) karena dulu semasa SMA saya senang sekali main permainan di Facebook, terutama yang berbau bercocok tanam dan pembangunan kota. Grafis yang bagus dan animasi yang menggemaskan bikin kita bisa tahan bercocok tanam. Walaupun nggak panen betulan, ya setidaknya kita merasakan bercocok tanam secara virtual dan menjadi pemilik peternakan (atau perkebunan) milik kita sendiri.