My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, September 28, 2014

The Basketball Player

He was so tall and I was so short
Daiki shot perfectly; he was a good player
Three points, dunks, and high jumps; infinite was his energy
Then something hurt him inside; in silence he cried

The court got smaller and he was taller than the sky
Eyes like panther’s; his opponents were within his observation
Perfect strategy he had. The black-red team conquered the war
But something hurt him inside; in silence he cried

I remembered he had once told me
"The one who can only beat me is me" 
But the pain hurt him and it was inside of him
Daiki beat himself; in silence he cried

Brontë in a figure of basketball player
A teacher had once told me that Brontë lost her sisters almost at the same time
Daiki’s mom passed away two weeks ago and his grandpa’s turn was last week
It hurt him inside; in silence he cried

I condoled with him on his mom’s demise
“Thank you, Tetsuya,” replied he
Then a smile on his face—the thorn lies beneath his blanket
I knew he was breaking inside; in silence he cried

Daiki was so tall; he was a good player
Infinite his energy was. He got the eyes of a panther
But the pain brought him on his knee
and I could hear that; in silence he cried

Aku yang ketiga

  • Ada yang senang bermain di luar saat hujan turun, berlarian menerjang rintik hujan, melompat riang di atas genangan air, atau berbaring di rumput hijau dan membiarkan setiap tetes air yang jatuh mengecup wajah. 
  • Ada yang senang untuk tinggal di dalam rumah, bernaung dan berselimut sambil membaca buku dan mendengarkan alunan petikan gitar yang melankolis, dan berteman dengan secangkir coklat panas. 
  • Ada yang terpaksa tinggal di dalam rumah, menikmati hari hujan dengan secangkir coklat panas dan alunan musik melankolis. Terpaksa berselimut tebal meskipun ingin sekali rasanya menelanjangi diri lalu berlari keluar dan menikmati setiap tetes air hujan yang jatuh dari langit. 
Aku yang ketiga. 

  • Ada yang senang berpetualang, mendaki gunung, menjelajahi rimba, dan berkawan dengan alam. Mencicipi segarnya mata air, menghirup udara pagi yang sejuk, menyapa matahari saat ia tiba dan berkesempatan untuk mengantarnya pulang kembali ke peraduannya. Membuat jejak di atas pasir hangat, bermain layang-layang, dan mencium aroma garam. 
  • Ada yang senang berpetualang, mendaki dari satu lantai ke lantai lainnya dengan eskalator, menjelajahi hutan beton, dan berkawan dengan hingar bingar si metropolitan. Mencicipi makanan berkolestrol tinggi, menghirup udara pagi yang menyesakkan, sebisa mungkin menyapa matahari meskipun terhalangi oleh gedung-gedung tinggi dan tak sempat mengantarnya pulang karena berada di dalam ruangan berpendingin udara. Membuat jejak di media sosial, bermain dengan uang dan mencium baunya. 
  • Ada yang ingin berpetualang, mendaki gunung, menjelajahi rimba, atau sekedar membuat jejak kaki di atas pasir yang hangat, mengejar ombak dan menghitung bintang di malam hari, namun terpaksa harus berada di dalam ruangan berpendingin udara, menoleh ke arah jendela dan melihat pemandangan yang sama setiap hari--hutan beton, sekawanan kuda besi, dan bintang-bintang palsu--mereka menyebutnya neon atau LED. Menikmati lukisan Tuhan yang agung melalui foto dan merasakan sejuknya udara pagi melalui cerita-cerita mereka--yang telah berpetualang sebelumnya, yang merupakan petualang sesungguhnya. 
Aku juga yang ketiga. 

Thursday, September 25, 2014

Malam yang berbeda

Tak ada yang berbeda sore ini. Jam menunjukkan pukul empat sore dan akhirnya aku dapat pulang dari kantorku. Kurapikan meja kerjaku. Alat-alat tulis kukembalikan pada tempatnya. Berkas-berkas dan sketsa-sketsa kasar kumasukkan ke dalam folder. Kumatikan komputerku. Kubuat catatan penting mengenai surel yang harus kukirimkan besok dan kutempelkan lembar post-it berwarna hijau muda itu di layar komputer. Kukenakan jaketku dan ranselku, lalu keluar dari kubikelku. Adit, rekan kerjaku, pun sedang bersiap-siap untuk pulang. Ia merapikan meja kerjanya dan setelah itu, bergegas keluar dari kubikelnya. Tak ada yang berbeda sore ini; aku selalu mengalami hal seperti ini. 

Tak ada yang berbeda sore ini. Aku terjebak bersama kendaraan-kendaraan lain dalam kemacetan ini. Suara klakson dan deru mesin kendaraan membuat telingaku sakit. Asap yang keluar dari knalpot bis begitu hitam dan pekat. Setiap kali aku terjebak dan berhenti di belakang bis yang kebetulan menyemburkan asap dari knalpotnya, aku akan menutup mulut dan hidungku dengan tanganku meskipun aku sudah mengenakan masker. Tak ada yang berbeda sore ini; aku berada dalam kepadatan lalu lintas yang sama dan hal ini biasa terjadi. 

Tak ada yang berbeda malam ini. Hampir seluruh saluran di televisi menyiarkan acara yang serupa, dan aku--pada akhirnya--akan tetap memilih saluran yang sama untuk kutonton; saluran itu menyiarkan film-film kartun berturut-turut selama lima jam. Aku minum dari mug yang sama--mug berwarna coklat tua kesukaanku--dan menikmati minuman yang sama--moka instan dengan tambahan es krim vanilla di atasnya. Tak ada yang berbeda malam ini. Aku menikmati minumanku dan tertawa saat menonton kartun seperti biasanya. 

Tak ada yang berbeda malam ini. Aku menyalakan laptopku dan kembali berkutat dengan pekerjaanku. Biasanya selalu ada pekerjaan yang belum selesai kukerjakan di kantor dan aku terpaksa menyelesaikannya di rumah. Aku mendengarkan beberapa musik akustik untuk menemaniku bekerja dan sesekali membuka akun media sosialku melalui ponselku untuk mengetahui kabar tentang adikku dan teman-teman terdekatku. Tak ada yang berbeda malam ini. Aku sudah terbiasa tidur larut malam karena harus mengerjakan tugasku. 

Namun ada yang berbeda saat aku mematikan laptop dan beranjak menuju tempat tidurku. Aku tak sendirian di kamarku; ada sosok wanita yang duduk di atas tempat tidurku dan bersandar pada kepala tempat tidur, membaca buku novel sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya. Aku naik ke atas tempat tidurku lalu duduk tepat di samping wanita itu. Ia melirikku lalu memberiku sebuah senyuman kecil. Kucondongkan wajahku ke arah wajahnya dan kukecup bibir mungilnya. Ia mencubit pipiku dengan gemas setelah aku menciumnya. 

"Sudah selesai?" tanyanya. 
"Sudah," jawabku, 

Aku mengintip bacaannya. Ia sedang berada di halaman dua ratus enam belas. 

"Belum tamatkah ceritanya?" tanyaku. 
"Masih panjang," jawabnya. 
"Mengantuk?" 
"Ya. Begitulah," 

Ia kemudian melipat ujung halaman yang sedang ia baca untuk menandai bacaannya lalu menutup bukunya. Wanita itu pun melepas kacamatanya. Novel dan kacamatanya kemudian ia taruh di meja samping tempat tidur. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menarik selimut sampai dadanya. Aku ikut merebahkan tubuhku dan menarik selimut sampai ke dadaku. Kumiringkan tubuhku ke sisinya agar aku dapat menatap wajahnya. Ia kembali menyunggingkan sebuah senyuman untukku. Kusentuh pipinya dengan jemariku. Tak ada sepatah katapun yang kami ucapkan, namun kami telah berada sangat dekat dan kini hembus nafasnya terasa hangat di pipiku. Kedua bibir kami saling bertemu dan kami membiarkannya untuk beberapa saat. Tanganku bergerak untuk mendekapnya dan kemudian ia sudah berada dalam dekapanku. Ia milikku. Wanita ini milikku dan ia aman dalam dekapanku. Sebuah bisikkan sampai di telingaku. Suara lembutnya mengucapkan selamat malam untukku. Kubelai rambutnya dan kemudian ia mulai tertidur. Aku tersenyum atas kebahagiaan sederhana yang kurasakan. Sebelum kupejamkan mataku untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah, kuucapkan terima kasih pada Tuhan untuk kebahagiaan yang ia berikan padaku. Tuhan mengirimkan dua wanita hebat dalam hidupku: ibuku, dan wanita yang kucintai ini--ia yang ada dalam dekapanku saat ini. Kepergian ibuku membuat hidupku berbeda, dan kehadiran wanita ini kemudian mengubah kembali hidupku. Ia memberikan warna baru dalam hidupku, membuatnya terasa berbeda--tentunya secara positif. Kegiatanku masih sama. Aku masih melakukan pekerjaan yang sama, bergelut dengan tugas-tugas yang serupa, dan bertemu dengan orang-orang yang sama, tapi wanita ini membuat perbedaan untukku, dan aku menyukai perbedaan itu. Memiliki kedua wanita itu dalam hidupku merupakan sebuah anugrah yang seringkali membuatku meneteskan air mata haru dan bahagia. Saat ini saja aku bahkan dapat merasakan air mata mulai memenuhi pelupuk mataku. 

Aku tak dapat benar-benar tidur meskipun mataku terpejam. Sesekali kubuka mataku dan kupastikan bahwa ia masih berada dalam dekapanku; ia memang masih ada dalam dekapanku. Alia tersenyum dalam tidurnya. Aku tahu saat ini ia sedang nyenyak beristirahat dan itu membuatku lega. Aku akan mendekapnya dan menjaganya. Seperti yang telah kukatakan, ia aman bersamaku. 

Selamat malam. 

Sunday, September 21, 2014

The fault is (not) in Monday

Some of us hate Monday. Some of us love Monday. I can't tell whether or not I hate Monday but sometimes it takes me a long time to decide whether or not I'll enjoy the day after Sunday. In other words, often times I think fundamentally about what will I do tomorrow--on Monday and predict what would happen then. Is there any surprise going to happen on Monday? Would I get scolded by the lecturer tomorrow? Is it going to be a boring day? 

"There's 104 days of summer vacation and school comes along just to end it"

I admit being frequently unprepared for Monday--the activities I do every Monday. Often times I complain that I need more holiday and it's not once, twice, or thrice happened in my lifetime that.. yeah.. I've ever wished such Thriday or Fraturday or Saturnday does exist. Can we have more days for our weekend? Friday, Saturday, and then Sunday, and then I lie awake at Sunday night, realizing that "Oh geez! I'll have class at 7 tomorrow morning and ich hab' mein Geist im wheresoevercalled-La Isla Bonita verloren!

Sorry for my German. I just love doing code-switching. 

Just now I mused on the reasons why I dislike Monday. It confuses me--the fact that I find myself among those who dislike Monday. Do I really dislike Monday? What's wrong with Monday? I remember back in high school I didn't hate Monday because my favorite subjects were scheduled on Monday. The fact that I didn't hate Monday back then struck me. How come I liked Monday back then, but not today? 

So here I'd like to tell you how my Monday is for this semester: 

I have two classes; the first one is scheduled on 7--in the morning--which leads me to a realization that I have to wake up earlier in the morning. I don't really like the first subject--the 7-in-the-morning class due to some reasons (I'm sorry I can't tell the reasons). The next class is scheduled on 10.50 which means that I have free time from 8.40 (as the first class ends at 8.40) to 10.40 and I don't know how I should spend that free time. I have no classes after 12 and since the distance between my house and the campus is quite far, often times I find myself being so lazy to go home--I mean--I just don't want to wait for and halt a cab. I want to be home within a blink. Moreover, Monday means I-realize-that-I've-got-a-bunch-of-assignments-to-do but the problem is I-don't-want-to-do-them and I need me-time which I barely have during the fifth and sixth semester. 

I can say that I have such a boring and monotonous Monday. Every week such things happen over and over again and I just need something new; probably a new lecturer for the first class--the 7-in-the-morning class--would be a good idea (oops I just mention that damn clue). But it doesn't imply that Monday is boring, I mean, in general. As I've told you that back then I liked Monday since my favorite subjects were scheduled on Monday. The fact that back then I liked Monday implies that I--actually--don't dislike Monday in general. I just dislike one specific kind of Monday--the Monday I dislike, of course. But making generalization that Monday is the most terrible day in a week sounds unfair. 

Sometimes the problem is not in the day--Monday; the problem lies in us, in me. Whether I like it or not, Monday is Monday and it will always be. Whether or not I like it, the 7-in-the-morning class does exist and it is there, written in the schedule. Traffic is heavy on Monday and that will never change until people start to drive wisely (or at least use public transportation instead of riding motorcycle or driving car), or at least God blows a special miracle which widens all major roads in the city twice or thrice the normal width, allowing another or two other fast lines. As long as I don't try to explore new places and meet new people, I meet the same people over and over again on Monday (and the rest of the weekdays) and I'll always do. I deal with the typical Monday assignments and I'll always deal. 

In a simple way, the fault is not in Monday. Monday won't really change. The problem lies in us, in me. We're just not prepared to face it. 

Saturday, September 20, 2014

Peperenian

Di dalam tubuh saya mengalir dua darah, darah Sunda dan darah Tionghoa. Meskipun saya sering ribut tentang betapa pentingnya menerima dan memberi angbao, saya sadar akan pentingnya mengetahui undak usuk basa Sunda, terlepas dari sulitnya menghapal satu persatu kosa kata yang ada (sebetulnya dua klausa di atas nggak begitu relevan sih, tapi.. ah ya sudahlah). Intinya sih, walaupun mata saya sipit, tapi saya masih pakai kain iket. Nggak relevan ya? Ya sudah. 

Beberapa hari yang lalu, mama saya pulang membawa beberapa buah buku yang tebalnya mirip tebal textbook untuk matakuliah discourse analysis (oh tidak! Untuk saat ini saya belum siap mendengar nama matakuliah itu!). Buku-buku itu adalah buku Peperenian yang dicetak ulang untuk mama saya bagikan dengan sanak saudara. Saya masih ingat dulu waktu saya SD, saya punya buku Peperenian dengan sampul asli (karena beli), dan nggak ngerti dengan konten buku tersebut. Waktu saya SD, saya diekspos dengan dua bahasa, Indonesia dan Sunda, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama saya (ralat! Terkadang dengar juga sih kosakata Hokkien, meskipun jarang dipakai dan pada akhirnya jadi nggak fasih). Nah, karena nggak begitu paham dengan bahasa Sunda, maka setiap ada orang bicara pakai bahasa Sunda saya hanya akan mendengarkan dan kalau bisa jawab, saya akan jawab sebisanya. Dulu saya merasa tidak begitu perlu untuk memahami bahasa Sunda, sampai suatu hari saat saya SMA dan kembali ke SD saya untuk bernostalgia, saya ngobrol dengan salah satu guru yang bilang bahwa anak-anak Parahyangan zaman sekarang banyak yang 'diperkosa' oleh zaman, yang menyebabkan mereka semakin jauh dengan artefak budaya Sunda (salah satunya bahasa Sunda). 

Astaga! Kieu-kieu ge pan urang teh turunan Sunda oge.. 

Sejak saat itu saya jadi mulai mendekatkan diri dengan bahasa Sunda, meskipun pada prakteknya masih sering gugup saat bicara dalam bahasa Sunda yang mengikuti kaidah sesuai undak usuk basa Sunda. Oh ya, kalau bicara soal kerumitan bahasa, salah satu bahasa yang rumit untuk dipelajari itu--buat saya--adalah bahasa Sunda. Meskipun bahasa Sunda menjadi bahasa sekunder saya (setelah bahasa Inggris), tetap saja saya masih harus banyak belajar bahasa Sunda karena.. the words you use when talking to elderly people are different to the ones you use when talking to people in your age. Dan itu bukan hanya salah satu masalahnya. Bahasa Sunda itu jauh lebih kompleks daripada bahasa Inggris (menurut saya). Dan kompleksitas bahasa Sunda itulah yang membuat saya bangga bahwa ada darah Sunda yang mengalir dalam diri saya. Bahasa Sunda itu kaya dan saat kita memiliki kekayaan itu--atau menjadi bagian dari budaya yang kaya--then I guess that should be something I could be proud of.

*immediately wearing iket headband*

Jadi, apa itu buku Peperenian

Peperenian itu semacam grammar textbook (kalau saya bisa bilang), tapi lebih dari sekedar itu. Memang sih di buku itu nggak ada rumus untuk membentuk kalimat semacam S + V1 + blablabla and so on and so forth karena secara struktur, urutan item leksikal dalam kalimat bahasa Sunda itu sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia. Contohnya: 

  • ID: Saya (S) akan pergi (V) ke sekolah (Prep.)
  • SN: Abdi (S) bade mios (V) ka sakola (Prep.) 

Meskipun begitu, Peperenian memuat banyak informasi yang pasti bakalan berguna buat penutur bahasa Sunda. Dari mulai undak usuk yang menerangkan kosakata berdasarkan tingkat formalitas dan hierarki sosial, kecap panganteur--kata-kata yang muncul sebelum kata kerja atau kata sifat yang fungsinya untuk memperkuat gambaran kejadian, istilah-istilah waktu, istilah-istilah hierarki keluarga, sampai panyaraman--larangan-larangan melakukan beberapa hal (dan section ini berhasil bikin mama saya ketawa sampai nangis saking lucunya). 

Undak usuk itu apa? Yang itu tadi, seperti yang saya jelaskan, undak usuk itu semacam peraturan (atau lebih tepatnya sih tabel ya) yang menjelaskan tentang kosakata-kosakata yang digunakan dalam percakapan, tapi dengan melihat lawan bicaranya. Misalnya nih, kalau di bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kita cenderung menggunakan kosakata yang sama saat bicara kepada orang yang lebih tua (misalnya kakek) atau orang yang hierarki sosialnya lebih tinggi, dan kepada orang yang seusia dengan kita atau hierarkinya setara (misalnya kakak atau sahabat). Perbedaannya mungkin lebih di nada bicara dan penggunaan kosakata semacam 'permisi' atau 'maaf'. 

  • To grandpa: "Grandpa, have you heard about the accident?" (Kek, sudah dengar tentang kecelakaannya?) 

  • To Jane: "Hey, Jane! Have you heard about that damn accident?" (Hey, Jane! Kamu udah dengar tentang kecelakaan itu?) 

Secara umum, kosakata yang dipakai saat bicara dengan kakek dan Jane itu sama. Verba (dengar) dan penanda tense (sudah) sama-sama digunakan baik dalam percakapan dengan kakek maupun Jane. Tapi kalau bicara dalam bahasa Sunda, kita akan menggunakan vocabulary khusus yang disesuaikan dengan lawan bicara kita. 

Semisal saya bicara dengan kakak saya (yang saya sudah sangat akrab sekali), menanyakan apakah dia sudah makan atau belum, saya akan bilang seperti ini: 

  • "Eh, maneh geus dahar acan?" (Eh, udah makan nggak?)
Kasusnya berbeda saat saya bicara dengan mertua saya. 

  • "Pa, punten upami bapa tos tuang?" (Pak, maaf apakah bapak sudah makan?) 
Kalau untuk bicara dengan orang yang lebih tua atau hierarkinya lebih tinggi, menurut undak usuk basa Sunda kita akan menggunakan basa lemes keur ka batur (bahasa halus/sopan untuk orang lain). Kalau kita bicara dengan orang tua dan menceritakan tentang diri sendiri, kita menggunakan basa lemes keur ka sorangan (bahasa halus/sopan untuk diri sendiri). Sementara saat ngobrol dengan sahabat-sahabat atau orang yang sudah dekat dengan kita, kita bisa menggunakan basa loma (bahasa akrab) atau kalau di bahasa Korea istilahnya banmal (반말). Di buku Peperenian dijabarkan beberapa kosakata yang dikategorikan menurut kelasnya. Sebagai contoh, penggunaan kata budak (anak) dalam bahasa Sunda akan berbeda menurut lawan bicaranya. Sebagai gambaran, kurang lebih undak usuk basa Sunda itu seperti ini: 

  • budak (anak) = budak (LO) | budak (LS) | murangkalih (LB)
  • carita, nyarita, omong (bicara/bercerita) = carita (LO) | nyanggem (LS) | nyarios (LB)
  • meuli (beli) = meuli (LO) | meser (LS) | ngagaleuh (LB)
  • baju (baju/pakaian) = baju (LO) | baju (LS) | raksukan/anggoan (LB)
  • abus/asup (masuk) = abus (LO) | lebet (LS) | lebet (LB)
  • poho (lupa) = poho (LO) | hilap (LS) | lali (LB)
*LO = basa loma (akrab); LS = lemes ka sorangan (halus u/ diri sendiri); LB = lemes ka batur (halus u/ orang lain)

Selain undak usuk, ada juga kecap panganteur. Kecap panganteur itu kata-kata yang diletakan sebelum satu verba atau kata sifat untuk memberikan gambaran yang lebih kuat tentang satu kejadian. Kalimat "Budak eta lumpat ka imahna" (Anak itu lari ke rumahnya) bisa dibilang secara gambaran tidak begitu spesial; kalimat itu sangat deskriptif. Tapi kalau verba lumpat ditambahkan kecap panganteur sebelumnya, pendengar akan mempunyai gambaran yang lebih spesifik tentang kejadian tertentu (terutama proses terjadinya sesuatu). Saya akan coba gambarkan seperti apa ya fungsinya. Kurang lebih begini: 

  • Budak eta lumpat ka imahna = Saya sebagai pendengar hanya punya gambaran bahwa ada seorang anak yang berlari ke rumahnya dan.. nothing's special about it
  • Budak eta berebet lumpat ka imahna = Saya sebagai pendengar akan punya gambaran tentang detik-detik sejak anak itu mulai ambil ancang-ancang sampai akhirnya berlari secepat kilat ke rumahnya, entah karena dikejar anjing atau karena kebelet ingin buang air. 
Atau gambaran lainnya seperti ini: 

  • Tehna teh Ita bahe kana laptopna = Kalimat deskriptif ini ditangkap oleh saya sebagai pendengar sebagai informasi bahwa teh punya teh Ita tumpah ke laptopnya. Kalimat ini fungsinya mungkin lebih ke semacam memberitahu saja tentang insiden yang bersangkutan. 
  • Blok we bahe tehna teh Ita kana laptopna = Sebagai pendengar saya seolah dibawa untuk melihat sendiri detik-detik proses tumpahnya teh punya teh Ita ke laptopnya. Oleh karenanya, saya akan punya gambaran yang lebih 'hidup' tentang kejadian tersebut sehingga kesedihan yang dialami teh Ita akan lebih mudah saya hayati. 
Sampai segini.. Have you realized how rich Sundanese language is? Masih belum? Oke, saya akan kasih tahu lagi konten dari buku Peperenian yang--semoga saja--bisa membuat kita sadar betapa kayanya budaya Sunda ini (budaya-budaya etnis lain pun kaya kok, hanya saja disini kan saya bicara sebagai seorang berdarah Sunda). 

Orang-orang Sunda punya istilah-istilah yang lebih spesifik tentang waktu. Kalau di bahasa Inggris kita mungkin mengenal istilah morning, noon, afternoon, evening, dawn, dusk, atau semacamnya yang menjelaskan tentang satu waktu yang spesifik. Kalau di bahasa Indonesia, kita mengenal istilah pagi, siang, sore, petang, malam, tengah malam, atau fajar. Guess what? Sundanese people have a bunch of terms referring to much more specific times! Contohnya: 

  • Wanci (waktu) janari gede = waktu sekitar pukul 1 sampai 3 malam
  • Wanci janari leutik = waktu sekitar pukul 3 sampai 4.30 (mendekati fajar)
  • Wanci balebat = waktu fajar sudah mulai muncul di ufuk timur (kurang lebih jam setengah 5 pagi)
  • Wanci carangcang tihang = waktu lewat fajar, tapi mata kita masih belum bisa melihat jelas karena terangnya langit masih remang-remang, sekitar pukul 4.30 sampai pukul 5)
  • Wanci haneut moyan = waktu saat sinar matahari terasa hangat dan cocok untuk dimanfaatkan berjemur (terutama jemur bayi), sekitar pukul 7 sampai 8.30 pagi
  • Wanci sareupna = waktu saat langit mulai gelap (sekitar pukul 6 atau 6.30 sore)
  • Wanci sareureuh budak = waktu anak-anak sudah mulai cape karena main dengan kakak-adiknya dan sudah mulai diajak tidur, sekitar jam 8 malam
Those, really. are specific, aren't they? Dan perhatikan penjelasan tentang wanci sareureuh budak. Dari penjelasan itu, saya sadar betapa istilah dalam bahasa Sunda benar-benar menggambarkan budaya dalam bentuk aktivitas (performatif) seperti bermain bersama kakak-adik. Do you know what term in English referring to the moment children getting tired after playing with their siblings? Dan juga, dari istilah itu saya menangkap bahwa dalam keluarga Sunda, sudah biasa bagi kakak adik untuk bermain bersama di malam hari sambil menunggu waktu tidur. Dan hal-hal seperti itu diabadikan dalam istilah waktu di bahasa Sunda. 

Ngerti nggak maksudnya? Bingung ya? Ya sudahlah. 

Tidak hanya penjelasan mengenai waktu, tapi dalam bahasa Sunda pun ada istilah-istilah khusus yang menjelaskan durasi, momen dalam linimasa, serta musim-musim. Kalau di bahasa Inggris kita bisa mengatakan within a blink untuk menerangkan kejadian yang terjadi dalam durasi yang sangat cepat. Kalau di bahasa Sunda kita bisa katakan sakedet netra untuk menjelaskan hal yang sama--satu kejadian yang terjadi sangat cepat. Contoh lainnya: 

  • Sapangejoan = durasi yang lamanya kurang lebih sama seperti durasi orang saat sedang ngejo (masak nasi secara tradisional)
  • Saumur jagong = istilah ini sepadan dengan istilah seumur jagung
  • Sataun landung = durasi satu tahun lebih (entah lebih berapa hari atau bulan)
Bicara tentang linimasa, kita akrab dengan istilah hari ini, sekarang, baru tadi, besok, lusa, kemarin, dan lain-lain. Kalau di bahasa Inggris kita akrab dengan istilah today, tomorrow, the day after tomorrow, yesterday, last week, dan semacamnya. Bahasa Sunda pun punya istilah-istilah seperti itu yang--saya rasa--jauh lebih 'ekstrim' dalam kaitannya dengan spesifikasi waktu. 

  • Ayeuna = hari ini (semisal hari ini hari Sabtu, tanggal 20)
  • Kamari = kemarin (hari Jumat, tanggal 19)
  • Mangkukna = satu hari sebelum kemarin (hari Kamis, tanggal 18)
  • Isukan = besok (hari Minggu, tanggal 21)
  • Pageto = lusa (hari Senin, tanggal 22)
  • Pageto amat = sehari setelah lusa (hari Selasa dan kesananya)
  • Bieu = baru saja (beberapa detik yang lalu terjadi)
  • Tadi = tadi (lebih lama dari beberapa detik terjadi)
  • Bareto = sudah lama terjadi
  • Baheula = jauh lebih lama terjadi sebelum bareto
  • Engke = nanti
  • Jaga, isuk jaganing pageto = waktu yang akan datang tapi masih lama sekali
Saya nggak bisa menghapal satu-satu istilah itu dan dipakai dalam percakapan sehari-hari. 

Di buku Peperenian ada banyak informasi mengenai istilah-istilah yang berhubungan dengan aktivitas tradisional seperti bercocok tanam dan mencari ikan. Dilengkapi dengan ilustrasi, kita dikenalkan dengan benda-benda yang mungkin kita sering lihat sehari-hari tapi nggak tahu namanya. Dan satu hal yang paling saya suka dari Peperenian adalah section panyaraman. Panyaraman itu semacam larangan-larangan yang berkaitan dengan mitos. Kita mungkin familiar dengan mitos jangan duduk di depan pintu karena nanti nongtot jodo (susah dapat jodoh), atau mitos jangan pelihara kucing hitam karena katanya bawa sial. Nah, di budaya Sunda pun ada mitos-mitos semacam itu. Beberapa yang saya cantumkan di bawah adalah yang menurut saya paling lucu (dan paling bikin mama saya ketawa ngakak). 

  • Ulah heheotan bisi leungiteun beas/uyah = jangan bersiul, takut hilang beras/garam (maksudnya?)
  • Ulah heheotan tipeuting bisi disampeurkeun urang leuweung = jangan bersiul malam-malam, takutnya didatangi orang hutan (orang dari hutan, mungkin semacam buta ijo kah?)
  • Ulah nyiduh sisi hawu bisi loba anak = jangan meludah di sisi hawu (peralatan memasak tradisional Sunda, semacam tungku), takut banyak anak (anybody got any scientific reason for that?)
  • Ulah diuk dina meja bisi loba hutang = jangan duduk di atas meja, takut banyak hutang (jaman saya SD saya suka ditakut-takuti sama mitos ini dan faktanya.. justru orang lain banyak yang ngutang ke saya zz)
  • Ulah dahar pipindahan bisi boga salaki loba = jangan makan pindah-pindah tempat, takut punya suami banyak (tuh, hati-hati buat para wanita jangan sampai makan pindah-pindah tempat hahahaha)
  • Ulah nyeungseurikeun hitut bisi ompong = jangan menertawakan kentut, takutnya ompong (SERIOUSLY?!!)
Kalau mama saya sih bilangnya, panyaraman itu dibuat untuk satu tujuan juga. Misalnya, jangan bersiul saat malam-malam supaya tidak mengganggu orang lain. Hanya saja, si 'supaya' itu diganti oleh hal lain yang sifatnya menakutkan buat anak-anak. Walaupun begitu, menakutkan sih menakutkan tapi kan.. I just don't get it. How come I become ompong immediately after laughing at someone's fart? 

Lucu? Nggak lucu? The fact is.. that I'm laughing right now. 

Buku Peperenian ini memang tidak tebal, tapi ilmu yang ada di dalamnya (termasuk something I find funny like panyaraman) sangat banyak dan saya rasa berguna untuk kita, terutama kita yang memang punya darah Sunda. Peperenian ini menjadi semacam buku sakti yang menjaga budaya-budaya Sunda dari kepunahan. Saya setuju jika orang-orang membaca buku ini karena dengan membaca buku ini, mereka akan lebih memperkaya pengetahuan mereka tentang budaya Sunda yang mungkin belum mereka pahami dengan baik. Saya sadar anak-anak dan remaja jaman sekarang lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau teknologi yang datangnya dari dunia barat. Padahal seharusnya mereka juga mau mencoba untuk mencintai budayanya sendiri. Nah, oleh karena itu, saya rekomendasikan buku Peperenian untuk dibaca oleh anak-anak dan remaja, terutama yang keturunan Sunda atau tinggal di tatar Parahyangan. Nggak rugi kok buat mengenal budaya sendiri. Justru akan ada hal-hal positif yang didapat. 

Tah, jadi we urang ayeuna teu boga ide keur nutup post ieu. Bae we kitu geusan ieu teh? Bae we lah nya. Nu penting mah I'm proud of being a Sundanese descent. Kitu we lah nya. Ces heula atuh! 

*nobody doing hi-5 with me*

Nya geus we lah bae. 

Friday, September 19, 2014

#20FactsAboutMe

Social media timelines have been flooded with photos hashtagged #20FactsAboutMe. The photos--which are usually selfies--are not spam; people who uploaded the photos are the one who have been challenged to do the #20FactsAboutMe challenge, which is, a challenge to post a selfie (the most gorgeous one would be preferable, of course) and twenty points of facts about the person challenged. I personally find it quite entertaining, and thanks to #20FactsAboutMe photos of my friends, now I know some facts about them (if they consider the points as facts) which I've never known and expected before. I found out that my dad was a mischievous one back then when he was a highschool student.  Koh Zen was.. well.. is actually a tsundere (ke ke ke). Teresa is a DOTA player (and I hardly believed it at first!). Well yeah I got to know my friends better through the challenge and I think it's good and exciting thing to do; it's kind of unique way to know more about a friend. 

My classmate Agistya tagged me in her #20FactsAboutMe selfie and challenged me to do so. I was surprised, but then so excited to do the challenge. I posted a photo of me (with my sister together drinking at J.Co) and mentioned twenty facts about me. So here I'd like to repost the photo and probably, I'll explain something more from each points. 


#20FactsAboutMe

1. I was born into a Sundanese-Chinese family. I got the 'emperor' blood in my vein from my mom since my dad is purely Sundanese. Purely. And oh, hey! I'm closer to my mom than to my dad. Probably it's because my dad is often times busier than my mom and he goes here and there working with his research team so when he comes home my dad and I often times fight over lots of things. 

2. The Chinese surname I got--which, unfortunately, is not inscribed in my birth certificate--is Ng. 

3. I often times complain about my complexion. Since I'm a Chinese descent, I think the issue of skin complexion is quite important for me. Often times I compare my complexion to my Chinese relatives and the result would drive me crazy. My complexion is darker than theirs and sometimes people don't recognize me as a Chinese (yeah and it's happened lots of times). 

4. I watch The Amazing World of Gumball and Phineas and Ferb every night. Well, almost every night. I really am into cartoon shows, especially children cartoon shows like Phineas and Ferb, Adventure Time, and even, Malaysian cartoon Upin & Ipin. It's always a fancy thing to watch cartoon while eating something fanciful like ice cream or bonbons. 

5. I love doing code-switching like hell! I speak some kinds of English: standard English, American English, British English, and Singaporean English. I also speak some languages after my mother-tongue language, Indonesian: Malay, Sundanese, simple daily Hokkien phrases, and some basic Korean, as well as little Japanese and French (and German). Sometimes when I'm talking, I can't find a proper word in the language being used at the time to explain something so I use code-switching in order to mention the proper word for what I'm talking about. Also, I like doing code-switching because.. it's just a fun thing to do. For example:

  • "Why is she so angkaribung?" 
  • "Make it two bucks je la. Wo mei you qian. Okay?" 
6. I'm a chocolate lover. YES! CHOCOLATE! It is, and would always be, a good idea to give me chocolate bars and chocolate cakes for my birthday gift. I love chocolate drinks and usually order it whenever I visit my favorite coffee shops. I'm not an expert in analyzing the taste of chocolate drink but I can tell whether a cup of hot chocolate is good or not, in terms of taste and quality. 

7. I was a masochist. I've posted something about it in the blog a few months ago. It's a fact that most people haven't known--and the fact got them shocked. I used to have a cutter in my pencil case and cut (or let's call it 'slice', since I always felt like slicing chocolate bars when doing it) my arm whenever I felt down and depressed. 

8. I have some alter-egos in me and often times they appear in such a wrong time. 

9. I hate: cheese, bread, vanilla milk, and SNAKES! 

10. I love doing impersonations, especially those of comedians and cartoon charas, either mimicking their expression or imitating their voices. I'm currently impersonating the Indonesian version of Darwin from The Amazing World of Gumball. 

11. I'm an introvert--melancholic one and I get hurt easily. I overthink things and I think I'm a fool--I've been a fool and sometimes I'm so easy to be fooled. Some people say I've been too kind to people but.. is that true? 

12. I write short stories. Whenever I have free time I try to write one or some short stories. Well, they're not cheesy I think. 

13. I play piano, violin, and guitar (a bit). I want to learn flute, drum, and cello anyway. 

14. This is one surprising story of mine: Back then when I was a little kid, my parents told me to save some money so I could buy things I wanted. At that time, I was fond of classic interior designs and I always wanted to have some classic and rich items to place at my home. So I saved some money and with the money I had, I could afford a chandelier and a cuckooclock, and I, really, bought them. My family moved to Bandung in 2006 and my grandma decided to uninstall the chandelier from the parlor of my former house and installed it at her parlor instead. 

15. Wanderlust.. wanderlust.. I always want to go somewhere I've never been. My mind is so full of thoughts of taking vacation, and still, money and time are the main problem. 

16. I'm superstitious. Yes. Have you ever feel like someone is walking right behind you? Wait? Someone? Or.. something? I've heard my piano played by itself in my former house and about five years ago, I heard someone was singing in my living room and I was home alone. Always remember to burn a joss-stick when it's raining. Yea! 

17. This one problem would be quite important: I treat people coldly when I feel like they're not in my small circle of close companions, or when I don't feel like treating him/her warmly. Basically I treat strangers coldly and it's always difficult for me to start a conversation with strangers, for I'm an introvert. But trust me. TRUST ME. Once you're in my circle, you'll find out that I'm a crazy person; I can do crazy things you might have never expected before! 

18. I love plushies. They're mementos from my childhood. I keep Curious George plushie with me. 

19. I love cats.. and dogs as well. They're my furry friend. You may see me playing with cats (even in parking lots). Sometimes I bring a stray cat to the classroom and I've once cried seeing a stray black cat trapped in the third floor balcony of my faculty building. 

20. I'm in love with... Peranakan cuisine! Well I love Singaporean cuisine as well like.. Chicken with lemon sauce, eh?

So that's all the #20FactsAboutMe written by me, based on the facts about me, of course. Now I dare whoever reading this post to do the same.

Have a good evening, everyone!

Sunday, September 14, 2014

Merindu Sendiri

Aku tak menceritakannya pada mereka. Aku ingin, tapi aku tak bisa. Mungkin lebih tepatnya aku takut. Aku takut mereka tak akan peduli, atau mungkin tak mau peduli. Tapi aku terlanjur tenggelam dalam melankolia yang membabi buta--sudah cukup lama--dan ini cukup menyiksa. Serangan melankolia itu terasa seperti berada di atas sebuah perahu cadik yang tiba-tiba tergulung oleh ombak mematikan setinggi sepuluh kaki, membalikkanmu, membuat kepalamu berada di bawah permukaan. Apa yang bisa kulakukan saat melankolia itu membuatku merasa seperti itu? Di bawah permukaan, tanpa udara, dan tanpa pertolongan; aku harus berusaha agar aku dapat tetap bernafas tapi kau tahu tak mungkin manusia bernafas tanpa udara, dan aku tak punya perlengkapan; aku tak punya persiapan untuk menghadapi melankolia semacam itu. 

Ia. Mereka. Mereka mungkin tak tahu--atau tak mau tahu--tentang apa yang selama ini menghantuiku. Ada sesuatu yang mengikutiku, lalu memelukku dari belakang, membuatku sesak dan menginfusi rasa gamang yang akan mengenyahkan rasa nyaman dalam diriku. Ada hantu yang selama ini membuntutiku, mencoba menggodaku, menguji seberapa kuat mentalku, seperti kumpulan kumulonimbus yang menggelitik tubuh pesawat, mengajak kepala-kepala yang berada di dalam kabin untuk berkawan dengan turbulensi. Tapi turbulensi bukanlah kawan yang sebenarnya, dan aku lelah dengan apa yang selama ini mengekor di belakangku. 

Ia datang dan pergi tiba-tiba; tanpa kabar ia menyisipkan kegelisahan pada satu momen dalam hidupku, lalu menghilang sebelum aku benar-benar dapat menemukan dan membunuhnya. Ia selalu mengingatkanku tentang satu--mungkin beberapa--masa yang ada dalam linimasa hidupku, yang mungkin tak bisa kusalin-tempel pada satu titik di masa depan di linimasa hidupku. Dalam masa-masa itu, ada wajah-wajah yang sampai saat ini masih kuingat baik; ekspresi bahagia yang terukir saat makan siang dan sorot mata lelah yang nampak saat matahari mulai bergerak kembali ke peraduannya. Dalam masa-masa itu, ada tangan-tangan yang kotor berlumpur, wajah-wajah dengan noda cat warna-warni, dan poni rambut dengan air yang menetes dari ujung helainya pada satu hari hujan itu. 

Apa yang selama ini mendekapku, naik ke punggungku dan memaksaku untuk menggendongnya benar-benar jahat. Masa-masa itu--kau tahu memori-memori itu--disuntikkan dan muncul dalam benakku pada waktu-waktu yang tak kuduga. Apa yang ia inginkan dariku? Menyiksaku dengan menembakkan momen-momen indah itu saat aku tak berdaya dan tak punya apapun untuk menghidupkan kembali momen-momen itu? 

Dan aku takut untuk berteriak, meminta pertolongan pada mereka. Mereka bilang itu biasa. Mereka bilang sangat wajar untuk merasakan hal seperti itu. Tapi "Itu biasa" dan "Semua akan baik-baik saja" tak serta merta membuatku merasa lebih baik. Aku seringkali merasa seperti ini dan kali ini--saat aku takut untuk memberitahu mereka apa yang kurasakan--aku menelan bulat-bulat rasa pahit dari apa yang orang-orang sebut 'kerinduan'. Oh, mereka tak tahu betapa pahit dan menyebalkannya perasaan ini, yang sering tiba-tiba menikamku dari belakang dan membuatku tak berdaya. 

Aku takut mereka menganggapku gila, atau terlalu perasa; tapi ini sungguhan. 

Aku tak bisa berbuat apapun saat apa yang orang-orang sebut sebagai 'rasa rindu' menyerangku, mendekapku sangat erat, dan membuatku ingin berteriak kencang, melepas belenggu yang menyesakkan itu. Wajah-wajah itu, dan suara tawa menggelegar, dan isak tangis pelan, dan aroma dedaunan di kebun, dan bau tajam cat minyak.. Ayolah, apa lagi? Semua hal-hal itu adalah apa yang pernah terjadi pada suatu masa di linimasa hidupku yang kini berevolusi menjadi peluru-peluru mematikan yang berhasil menembus pertahananku. Apa aku berlebihan jika kukatakan bahwa air mataku adalah darahku, dan kini aku kehabisan darahku, namun peluru-peluru itu masih tetap menghujam dan rasa sakit itu masih tetap terasa? 

Mereka tak tahu. Mereka mungkin tak tahu. 

Oh! Betapa aku merindu sendiri, merasakan kesakitan itu sendiri karena aku tak berbagi rasa sakit itu dengan mereka. Mungkin mereka akan menolaknya jika kuminta mereka mengambil sedikit rasa sakit itu, atau mereka punya pertahanan yang lebih baik--dan seharusnya aku memiliki pertahanan yang lebih baik. Merindu sendiri; karena "Semua akan baik-baik saja" tak selalu membuat segalanya terasa lebih baik. 

Aku memang sedang merindu, jadi mohon maafkan. 

Saturday, September 13, 2014

"Koko kenapa nggak like foto IG aku?"

Post ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan dari satu, dua, bahkan beberapa orang yang bertanya sama saya kenapa saya jarang memberi like di foto yang diunggah di akun Instagram yang bersangkutan. Bahkan ada juga pertanyaan semacam "Koko kenapa nggak follow Instagram aku?" dan "Koko, mana followback nya?" 

Sejujurnya, saya paling malas kalau sudah berhadapan dengan orang yang melontarkan pertanyaan seperti itu. Konyol saja. Masa sih harus 'memaksa' untuk memberi like atau follow akun Instagram dengan pertanyaan yang menyudutkan seperti itu? Apakah ada kewajiban untuk memberi like atau follow akun tertentu? Kalau misalnya ada satu matakuliah yang mengharuskan mahasiswanya memberi like pada foto-foto di akun tertentu supaya dapat nilai A, mau seratus foto pun saya kasih like deh. Tapi ini.. kan saya nggak dapat apa-apa :( 

Jatohnya isu Marxisme ya, mencari-cari keuntungan materi (ha ha ha)

Saya secara pribadi memberi like di beberapa foto di linimasa Instagram saya karena salah satu atau beberapa faktor, baik subjektif maupun objektif. Tapi kalau saya jabarkan, kurang lebih faktor-faktor utamanya seperti berikut: 


Visually attractive
Alasan ini sih sepertinya semua orang juga paham. Kalau ada foto yang dianggap atraktif atau unik, kemungkinan besar kita kasih like. Ya, itu kan bentuk apresiasi bagi pengunggah foto yang telah berusaha untuk mengabadikan momen-momen wow yang mereka temukan. Keatraktifan hasil jepretan kamera--saya yakin--selalu memberikan kesan yang baik, yang mendorong jari kita (entah jempol atau telunjuk, atau mungkin jari kelingking) untuk menekan tombol like di layar. 

Tapi gimana kalau ternyata foto itu bukan hasil jepretan foto pemilik akun yang bersangkutan? Gimana kalau itu foto nemu dari Google atau Flickr? 

Ya.. Minimal kita memberikan apresiasi atas berhasilnya yang bersangkutan menemukan foto atraktif.. meskipun kalau buat saya, pemberian like itu jadi semacam sindiran buat yang bersangkutan (maaf kalau ada yang kesindir). Bagusnya, kalau mau mengunggah hasil jepretan punya orang lain, kasih credit dan link ke sumbernya. Nggak enak loh kalau tiba-tiba yang punyanya ngeliat dan langsung nuntut gara-gara dianggap karyanya dicolong orang lain. 


Physically attractive
Kalau yang ini lebih subjektif lagi. Ada saja foto-foto yang muncul di linimasa yang menampakkan sosok yang atraktif, yang bikin kita malah jadi penasaran siapa dia sebenarnya. Kalau ada tag ke orang yang bersangkutan, sampai bisa kita masuk ke profilnya dan melihat lebih banyak foto-foto yang bersangkutan. Ini saya anggap manusiawi dan reasonable, karena tak bisa kita sangkal bahwa keatraktifan fisik seseorang punya kemungkinan besar untuk menarik perhatian orang lain. Ya, namanya juga atraktif. 

Kalaupun misalnya secara fisik tidak atraktif, biasanya pose-pose atau ekspresi wajah yang lucu yang bikin saya memberi like di foto-foto yang muncul di linimasa Instagram. Keatraktifan itu kan bukan selalu tentang kecantikan atau ketampanan. Ya kalau buat saya sih keatraktifan itu mencakup juga ability buat bikin saya terhibur dan terkagum-kagum. 


Memorable
Foto-foto yang membuat saya terkenang akan satu momen berharga dalam hidup saya biasanya saya kasih like. Foto-foto ini biasanya bikin saya rindu akan seseorang, atau suatu tempat, atau suatu momen. Foto-foto saat kumpul KKN, atau foto saat saya kesasar di Serangoon Rd. (meskipun pada akhirnya nyampe juga Mustafa Centre), atau video "Aku Mau Cantik" berisi kumpulan foto-foto ekspresi konyol teman-teman saya itu memorable buat saya dan layak saya apresiasi dengan like


Verbally attractive
Foto-foto di Instagram ini nggak hanya tentang apa yang bisa dilihat, tapi juga apa yang bisa dibaca. Ya, dibaca. Verbal. Ada beberapa foto yang muncul sebagai tulisan-tulisan yang kalau dibaca bisa bikin kita terenyuh, terkagum-kagum, bahkan tertawa puas. Nah, foto-foto seperti itulah yang saya anggap secara verbal atraktif dan biasanya saya apresiasi dengan like

Dan biasanya foto-foto itu saya kasih lihat ke teman-teman saya secara langsung lewat ponsel saya, karena saya nggak bisa (dan males untuk cari tahu) cara re-gram foto di Instagram (karena memang foto-foto di Instagram nggak bisa secara langsung di re-post, seperti Tumblr atau Path). 


Terus gimana dengan foto-foto yang jarang saya kasih like? Ada beberapa oknum yang memang minta saya untuk kasih like di foto mereka yang--kebanyakan--selfie dengan pose dan ekspresi muka yang sama; perbedaannya di tempat dan waktu saja, dan pakaian yang mereka pakai. Gini loh, mbak, mas, kalau untuk sebatas foto-foto selfie yang secara visual pada mirip, masa harus selalu saya kasih like sih? Kalau satu atau dua dan kadang-kadang sih mungkin saya kasih, tapi kalau setiap unggah saya kasih like kan.. Well, saya juga memang biasanya cenderung acuh dengan foto-foto semacam itu (kecuali kalau ada satu atau beberapa faktor yang saya sebutkan di atas muncul). 

Atau, foto-foto yang.. buat saya sih sangat umum dan.. ya nggak semua foto makan siang harus saya kasih like juga, kan? 

Dan tentang followback, saya nggak memaksa orang untuk follow akun saya, jadi tolong jangan paksa saya untuk follow akun tertentu. Kalau saya follow, berarti saya memang tertarik dengan follow akun itu. Kalau saya nggak follow, jangan marah :) Kalau saya follow tapi jarang like, jangan juga marah. Kan bisa saja pas saya cek linimasa Instagram, foto anda ketutup dengan post dari orang-orang lain. Masa saya harus kepo akun orang satu persatu dan like foto? Nanti saya dibilang kepo-er.. 

Satu lagi. Pertanyaan-pertanyaan seperti kenapa aku nggak di like atau kenapa aku nggak di follow bagusnya jangan ditanyakan. Saya suka ilang feeling jadinya kalau ditanya seperti itu. Dan kadang, yang tadinya saya mau follow, karena ditanya seperti itu oleh yang bersangkutan, malah jadi nggak jadi. Tenang saja kok. Saya juga nggak menuntut aneh-aneh kalau follow orang :) 

I hope y'all understand ya :)

Thursday, September 11, 2014

Hai, Kamu--Yang Dulu Pernah Bersamaku

Sebetulnya ini post isinya curhatan, jadi maaf saja kalau tiba-tiba aneh karena saya bicarakan hal-hal yang begini. Dan sudah jelas ini post ada di bawah kategori personal, jadi jangan aneh kalau isinya curhat begini. Post ini juga bisa dikatakan post balasan buat dia, maksudku, kamu, maksudku, kakak, yang sebelumnya sudah menulis tentang satu hal--tentang kita. Sebelumnya harus digarisbawahi dulu bahwa kita dulu pernah bersama, beberapa tahun yang lalu dan kebersamaan kita berakhir dalam waktu beberapa bulan saja. Dan sekarang, saya sejujurnya merasa nyaman dengan hubungan kita yang nampaknya lebih-baik-seperti-ini. 

----

Hey, kamu, yang dulu pernah bersamaku. Maaf aku belum pernah sama sekali ngajak kamu jalan bareng. Kamu pasti bingung dan kesal, kenapa aku nggak pernah ajak kamu jalan bareng; makan bareng; nonton bareng; basically all the stuffs young couples usually do. Kamu juga pasti kesal karena aku jarang kirim pesan singkat dan telpon, sampai harus kamu yang telpon aku di malam itu. Maaf. Maaf sekali lagi. Maaf juga aku nggak pernah sekalipun antar atau jemput ke dan dari sekolah. 

But I got the reasons. 

Sebelum pacaran dengan kamu, aku pacaran dengan satu cewek yang.. well.. dia itu cuek dan nggak begitu concerned tentang hal-hal yang biasa dilakukan orang pacaran pada umumnya. Kita jarang kirim pesan singkat atau telpon-telponan, karena menurut kita nggak harus setiap hari kirim pesan atau telpon dan ribet aja kesannya. Meskipun begitu, setidaknya satu sama lain saling tahu kondisi masing-masing. Mungkin karena masing-masing dari aku dan dia juga sudah saling paham aktivitas keseharian masing-masing dan dengan siapa biasanya beraktivitas, jadi kami nggak perlu terlalu khawatir tentang ini itu, apalagi sampai khawatir selingkuh. Kecuali kalau salah satu dari kami sakit atau ada masalah yang cukup serius, langsung biasanya berhubungan lewat telpon. 

Saat aku pacaran dengan kamu, masing-masing dari kita pasti terkejut. Kamu terkejut dengan dinginnya aku, dan aku terkejut dengan kamu yang menginginkan komunikasi yang sangat intens setiap harinya. Saat itu aku merasa seperti diberikan tugas harian tambahan: mengirim pesan singkat atau menelpon kamu, untuk entah memberi kabar aku dimana atau apapun yang semacamnya. Aku nggak terbiasa sebelumnya dengan mengirim pesan semacam itu setiap hari. Ya, aku nggak terbiasa. Sampai akhirnya aku tanya sama teman-temanku dan jawaban mereka bervariasi; ada yang setuju bahwa pasangan pacaran harus selalu kirim kabar setiap hari, dan ada yang bilang bahwa ideku tentang memberi kabar seperlunya itu lebih fair. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, meskipun pada akhirnya aku mencoba untuk kasih kamu kabar setiap harinya dan berujung dengan aku yang lupa kasih kamu kabar dan kamu marah. 

Masalah utama yang terjadi di hubungan kita saat itu sebetulnya kekurangpahaman kita tentang kebiasaan dalam berpacaran. Mungkin kamu terbiasa dengan pacaran yang seperti A, dan aku terbiasa dengan pacaran yang seperti B. Aku terbiasa dengan pacaran yang nggak harus ketemuan, dan kamu mungkin lebih senang jika kita ketemuan. Salahku juga, karena harusnya aku ajak kamu ketemu, satu atau dua kali, dan bukan bersama-sama orang lain--just like what we did on my birthday. Aku yakin kamu ingin waktu berdua untuk kita; makan atau nonton bareng. Aku sempat terpikir untuk pergi bareng tapi terkadang aku berfikir apakah harus seperti itu? Dan juga jam sekolahku yang padat bikin aku sulit untuk atur jadwal. Ya, sebetulnya bisa sih di akhir pekan tapi entahlah, kadang ada satu dan dua hal yang bikin aku membatalkan rencanaku untuk kirim kamu pesan untuk ajak kamu pergi bareng. Aku minta maaf. 

Sampai sekarang perasaan bersalah itu masih sering muncul. 

Saat kamu terluka karena sikap cuek aku, aku terluka karena perasaan bersalah aku. Ada semacam perang batin di dalam diriku yang membagi dua sisi: cuek dan perhatian penuh. Saat aku berfikir untuk "Ya sudahlah nggak perlu makan bareng, toh masing-masing sedang sibuk", sisi lain berkata bahwa "Kamu tega memangnya bersikap cuek begitu sama pacarmu?"

Bodohnya, aku pada akhirnya nggak melakukan apa-apa karena kebingungan itu. Dengan kata lain, I should have decided something.

Secara keseluruhan, hubungan kita hancur karena itu--perbedaan pandangan tentang pacaran. Aku biasa pacaran seperti ini, dan kamu punya proposisi tersendiri tentang bagaimana pacaran itu. Proposisi kita berlainan dan kita nggak pernah bertemu untuk diskusi seperti apa pacaran seharusnya, yang hasilnya jadi win-win solution buat kita. Kamu semakin terluka dengan dinginnya aku, dan aku semakin terluka--oleh rasa bersalah dan kekesalan karena nggak paham dengan inginnya kamu yang bertentangan dengan proposisi aku. Kita sama-sama terluka dan nggak paham satu sama lain. Dan munculnya dukungan-dukungan dari teman kamu yang semakin menyudutkan posisi aku semakin bikin aku kesal dan marah, yang berfikir bahwa kamu kenapa nggak mau coba untuk memahami posisi aku seperti apa.

Dan akhirnya kita berpisah, tidak dengan baik-baik.

Dan waktu berjalan dan, hey, kamu--yang dulu pernah bersamaku, kita kembali berteman, menyandang kembali predikat kakak adik yang pernah kita sematkan satu sama lain sebelumnya. Aku merasa nyaman dengan hubungan seperti ini. Aku merasa aku bisa lebih banyak cerita tentang ini itu, meskipun kadang-kadang ada satu momen dimana kita merasa kaku; kita mungkin teringat dulu kita pernah bersama dengan status sebagai pasangan pacaran.

Tapi apa kita akan terus kaku seperti ini? Di saat aku benar-benar nyaman dengan hubungan seperti ini, aku harap kita nggak akan sekaku dulu. Aku harap kita--dan terutama aku yang saat ini sudah bisa lebih mobile--masih bisa tetap bertemu untuk berbagi cerita, over nice coffee and jazzy tunes.

Dan kalau tentang perasaan, aku masih sayang kamu, tentunya sayang dari adik ke kakaknya. Atau, sayang dalam konteks persahabatan. Dan aku rasa ini yang (mungkin kata Tuhan) terbaik.

----

Pengakuan saya cheesy nggak sih? Saya grogi sendiri jadinya. 

[Review] Gerobak Kopi Jenggo

Kesukaan saya terhadap minuman coklat telah mengenalkan saya pada budaya ngopi, meskipun secara logika harusnya disebut sebagai nyoklat, instead of ngopi. Naluri saya sebagai penggila coklat (dan minuman kopi) membawa saya ke kedai-kedai kopi dimana minuman coklat disediakan (memang saya kadang pesan menu minuman kopi juga sih). Saya pun terbiasa untuk datang ke kedai kopi, memesan minuman, lalu diam disana menikmati minuman saya sambil mendengarkan musik, baca buku, atau ikut berselancar di dunia maya cari-cari informasi ini itu. 

Terkadang keinginan untuk ngopi ini datangnya tiba-tiba. Yang paling repot itu saat saya sedang berada cukup jauh dari kedai kopi dan tiba-tiba saya ingin kopi. Saya nggak suka membuat kopi sendiri di rumah, kecuali minuman coklat. Tapi kadang-kadang ada rasa malas untuk meracik sendiri minuman coklat, meskipun bahan-bahannya ada dan bisa saya bilang lengkap. Saya punya stok coklat bubuk, brown sugar, krimer, bubuk jahe, sampai batang kayumanis. Sayangnya, mood meracik ini tidak selalu ada. Kemarin-kemarin ini memang saya sempat rajin sekali meracik minuman coklat, sampai-sampai bisa saya bilang setiap hari saya bikin minuman coklat. Namun entah kenapa setelah beres program KKN dan mulai kembali kuliah, saya mulai malas meracik sendiri minuman coklat. Bawaannya ingin 'dibikinin'. 

*dan itu bukan kode*

#happysingle

Kesukaan saya akan jalan-jalan juga mengenalkan saya pada tempat-tempat (khususnya kedai kopi) baru. Saya mulai tahu ada kafe ini, kafe itu, atau tempat-tempat semacamnya yang sebelumnya belum pernah saya kunjungi. Rasa penasaran saya mendorong saya untuk datang ke tempat-tempat tersebut dan mencicipi minuman yang ditawarkan, khususnya minuman coklat dan kopi. Puji Tuhan saya nemu beberapa kedai kopi dengan beberapa aspek yang sesuai dengan kriteria tongkrongan favorit ala saya (aspeknya antara lain rasa, tempat, dan harga--khususnya harga). Ya maklum lah.. Dengan status sebagai mahasiswa dan belum punya pekerjaan tetap, suka sensitif cyiin kalo ngomongin duit.. 

Di tengah kebingungan dan kefrustrasian akan memenuhi hasrat ngopi yang terhalang kondisi 'labil ekonomi' (seperti kata si Vicky '21 My Age'), Tuhan mengulurkan tangannya, memapah saya menuju tempat-tempat yang menawarkan minuman kopi (dan coklat) dengan harga yang terjangkau. Salah satu dari tempat-tempat 'heavenly' yang Tuhan tunjukkan pada saya adalah Gerobak Kopi Jenggo


Gara-gara mama beli seblak
Awal perkenalan saya dengan Gerobak Kopi Jenggo ini bisa dibilang unik. Saya nggak tahu menahu tentang Jenggo dari koran ataupun media sebelumnya. Dan meskipun saya punya beberapa teman yang hobi ngopi (dan lebih expert dalam urusan perkopian, termasuk fotokopi silabus), mereka nggak pernah cerita tentang kopi Jenggo (atau mungkin saya aja yang nggak pernah nanya-nanya ke mereka). Suatu hari ceritanya saya sekeluarga mau berkunjung ke rumah tante di Cipageran. Melewati kompleks jajanan Pemkot Cimahi, tiba-tiba mama saya minta supaya kami berhenti sejenak. Rupanya si mama mau beli seblak sebagai cemilan nanti saat tiba di rumah tante. Sambil menunggu mama saya beli seblak, mata saya menangkap sosok gerobak Jenggo yang unik (karena di kiri kanannya kagak ada gerobak kayak begitu). Dan saat melihat tulisan 'Gerobak Kopi Jenggo', saya terpanggil untuk datang dan beli satu menu minuman. 

And that was the first time I met Jenggo

Saya pesan menu Es Coklat Chai, menu minuman coklat dingin yang dipadukan dengan teh melati. Di menu card, setiap menu diberi caption tentang deskripsi menu tersebut. Penasaran dengan perpaduan antara ice chocolate dengan teh melati, saya pun pesan minuman itu. Sebagai penggemar minuman coklat yang sudah bertahun-tahun bergulat dengan dunia minuman coklat, pada pertemuan pertama saya dengan Jenggo, saya bisa menilai menu Es Coklat Chai itu.. well.. 8 out of 10. Or let's say.. 4 out of 5

Ya. 4 dari 5. Skor saya buat Es Coklat Chai, and good impression does long-last. Semenjak itu saya jadi tahu bahwa di daerah Pemkot Cimahi ada Gerobak Kopi Jenggo, and I fell in love with Es Coklat Chai. 


Tinggal 'nyikreuh'
Gerobak Kopi Jenggo ini sudah buka cabang dimana-mana, bahkan di Garut dan Cirebon pun ada. Untuk di Bandung sendiri cabang Jenggo ada di Gatsu, Maranatha, Cicalengka, dan ada lagi yang saya lupa-lupa inget tempatnya (DU juga ada ya kalo gak salah?). Buat yang kuliah di UNPAD Jatinangor pun bisa ikutan #angkatcangkir di Jenggo Nangor. Di Cimahi pun ada dan kalau untuk saat ini--the moment this post is published--lokasinya ada di Jl. Cihanjuang, di pusat jajanan yang ada di dekat Masjid Besar Cimahi Utara, dekat dengan gerbang komplek Nata Endah. 

Kok yang cabang Cimahi pindah? Bukannya di Pemkot? 

Yap, sudah pindah. Awalnya saya dan mas Ezar--kakak saya--kaget waktu datang ke Pemkot dan tiba-tiba gerobak Jenggo sudah nggak ada di tempat yang semestinya. Where has it gone? Dan kami berdua pun merasa kehilangan.. 

Sampai akhirnya saya berangkat les piano dan melihat Jenggo sudah nangkring di lokasi barunya. 

That's awesome! Lokasi barunya sangat dekat dengan kompleks tempat saya tinggal. Dengan kata lain, saya nggak perlu pakai motor untuk main ke Jenggo. Cukup jalan kaki sedikit--nyikreuh kalau kata orang Sunda--dan saya pun bisa menikmati segelas Es Coklat Chai kesukaan saya.


Kopi dan Kisah
Gerobak Kopi Jenggo menawarkan pilihan menu yang cukup beragam, dengan andalan menu minuman berbahan dasar kopi. Ada juga menu minuman coklat dan teh, baik disajikan panas maupun dingin. Pengunjung yang datang bisa memilih untuk duduk di bar, di depan gerobak dengan counter berkursi yang memungkinkan pengunjung untuk menikmati minuman sambil melihat barista menyiapkan kopinya--seperti di warung-warung kopi. Ada juga beberapa meja kursi untuk pengunjung sebagai antisipasi kalau-kalau mini barnya penuh.

Pilihan menu dengan nama yang Indonesia banget dan bahan baku yang menggunakan produk-produk lokal menjadi poin plus buat Jenggo. Di saat orang-orang merasa bangga ketika membeli produk-produk yang luar negeri banget (termasuk mengunjungi kedai kopi keluaran US seperti SB), Jenggo justru dengan bangga menjelaskan di caption menu bahwa mereka menggunakan bahan baku lokal. Hal ini juga bagus karena bisa mendukung usaha lokal untuk bahan-bahan baku yang digunakan, semisal gula, atau coklat bubuk. Untuk rasa, Jenggo pantas untuk dilirik. Bahan baku dengan kualitas baik dan proses pembuatan yang bukan-seperti-nyeduh-kopi-instan-di-rumah tentunya menghasilkan minuman kopi yang punya citarasa baik. Dan dengan kualitas minuman yang baik, pengunjung tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam. Dengan harga di kisaran 3 ribu sampai 10 ribu rupiah saja, pengunjung bisa menikmati secangkir kopi, sambil ngobrol bersama teman-teman, atau sekedar menikmati suasana malam.


Barista yang ramah serta pilihan musik yang dimainkan (biasanya di kisaran musik-musik yang nyaman didengar seperti classic rock, jazz, bahkan akustik) akan memanjakan pengunjung Jenggo. Dan untuk kasus saya, mengejutkan karena para barista yang bekerja di Jenggo Cimahi rupanya masih mengingat saya sebagai 'yang dulu pernah datang sama kakak dan teman-temannya waktu Jenggo masih di Pemkot'. Pemandangan yang umum ditemukan di Jenggo adalah Jenggoer--sebutan untuk regular customer Jenggo--yang asyik ngobrol dengan barista, sambil ketawa dan bercanda. Dan meskipun bukan regular customer, pelanggan tetap bisa merasakan atmosfer ramah di Jenggo. Saya secara pribadi pada suatu malam pernah ngobrol dengan barista Jenggo dan seorang Jenggoer, dan saya bilang bahwa Jenggo is a place where people can meet, sip some coffee, and laugh together, though they have never met each other before. Ya. Sangat menyenangkan saat saya pulang les piano dan singgah sejenak di Jenggo, memesan minuman favorit saya, dan bisa mengobrol dan tertawa bersama pengunjung yang lain, meskipun saya nggak pernah mengenal mereka sebelumnya.

Such a friendliness I can't find at major high-end coffee shops in the city.


Dengan seating area yang memungkinkan pengunjung lainnya untuk bisa berinteraksi satu sama lain, Jenggo jadi semacam forum berteman bagi siapa saja--tidak hanya bagi penikmat kopi. Mungkin ada yang tidak terbiasa dengan suasana ngopi ditemani dengan asap rokok, tapi untuk saya sih tidak begitu jadi masalah selama ekspos ke asap rokoknya tidak dalam intensitas yang sangat besar. Dua malam terakhir ini saya datang ke Jenggo dan menikmati malam saya disana. Bersama seorang sahabat, saya datang ke Jenggo tidak hanya untuk bertemu, tapi juga diskusi, baik tentang dunia perkuliahan maupun dunia sastra. And you know it's always fancy to talk and discuss lots of things with your friends over nice coffee. Dengan atmosfer santai yang ditawarkan Jenggo, ritual ngopi sambil ngobrol dan diskusi pun terasa lebih menyenangkan. Still it's kind of surprising for me that I spent less than 2 bucks for two glass of iced chocolate--special iced chocolate, as I used to spend 5 bucks for a glass of iced chocolate--with hazelnut syrup added, tall glass size. And as I realize that Jenggo offers coffee for everyone, why, yes it does. Everyone can drink coffee and everyone deserves nice coffee--with affordable price. Jenggo enables people to sip some coffee with affordable price in such a friendly atmosphere. 

Maaf. Terlalu banyak code-switching saya rasa. Di antara alunan musik cadas klasik dan semilir angin malam, terselip obrolan-obrolan hangat bersahabat, dan aroma kopi yang kuat, dan kepulan tipis asap rokok dengan aromanya yang khas. That's what Jenggo offers; that's what Jenggo has--something which SB or CB doesn't have. Jenggo ini bukan tentang apa yang kamu bawa dan apa yang kamu kenakan. It's neither about what car you own nor what cellphone you have; it's about how people befriend each other, maintaining good relationship through nice talk over coffee. 

Semakin kesini, kok saya jadi lebih puitis ya? Ah, sudahlah.


More information on Jenggo
Gerobak Kopi Jenggo ini buka dari mulai pukul 5 sore sampai pukul 12 malam. Menu-menunya berada di kisaran harga tiga ribu rupiah sampai 10 ribu rupiah. Intinya sih it won't cost you more than 3 bucks kalau ngopi berdua. Untuk rekomendasi menu, kalau menu kopi saya rekomendasikan Es Cokocindo, menu espresso dengan coklat dan susu yang disajikan dingin. Kalau menu coklat, saya rekomendasikan Es Coklat Chai, paduan coklat, susu, dan teh yang disajikan dingin.

Untuk informasi lebih lanjut tentang Gerobak Kopi Jenggo, silahkan cek linismasa Twitternya di @GerobakJenggo

Kita mungkin sering mendengar frase 'secangkir kisah', dan percayalah, frase itu benar-benar ada. Karena secangkir kopi bukan hanya tentang menikmati minuman panas, tapi juga tentang bertemu dan berkumpul dengan orang-orang terdekat dan berbagi kisah.

Mari kita #AngkatCangkir !

Wednesday, September 3, 2014

Waas

Sebelumnya, saya mau mengakui satu hal. Saya mengakui bahwa penggunaan beberapa istilah bahasa Sunda itu dirasa lebih praktis saat saya mencoba menggambarkan sesuatu. Dan pengakuan ini didasari oleh sebuah post di Facebook yang mengatakan hal demikian, serta mencantumkan alasannya. Dan kurang lebih dari beberapa gambar yang beredar mengenai isu tersebut penampakannya seperti ini: 

credit: Itateanese

Nah, dari penjelasan di gambar di atas bisa kita ketahui bahwa ada beberapa istilah dalam bahasa Sunda yang menjelaskan suatu keadaan yang kalau digambarkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris akan sangat loba omong. Semisal istilah 'angkaribung' di bahasa Sunda bisa berarti carrying a great number of things, looking so ripuh. Sementara itu, istilah 'ripuh' bisa berarti being bothered tapi lebih ke.. Ya, gitu lah. Saya juga bingung jelasinnya kudu kumaha

Dari berbagai istilah bahasa Sunda yang menggambarkan situasi-situasi yang kompleks itu, ada satu istilah yang baru saya pahami maknanya akhir-akhir ini dan saya sadar bahwa saya sedang dalam keadaan tersebut. Parahnya, saya bukan sekali dua kali mengalami itu tapi sering, dan saya nggak tahu apa istilahnya untuk menggambarkan situasi seperti itu. 

I've been so waas

Kalau menurut auntie saya, waas adalah situasi dimana kita melihat atau mendengar sesuatu yang mengingatkan kita pada sebuah memori dan kemudian kita tersentuh hati dan rasa dan terharu karena di memori itu terekam satu momen yang berkesan. Sebagai contoh, saya dulu pernah ikut les melukis waktu saya kelas 4 SD, dan walhasil setiap saya main ke art gallery, saya suka merasa waas saat melihat lukisan, ingat dulu waktu kelas 4 SD pernah melukis cukup banyak lukisan. Kalau saya mudik saat lebaran, saya sering mengunjungi rumah peninggalan oma opa dari garis mama saya yang dulu pernah saya tempati selama beberapa tahun. Setiap kali masuk ke rumah kosong itu, saya pasti merasa waas, ingat dulu pernah tinggal disana beberapa tahun dan menikmati masa kecil saya disana. Saya pasti mencoba mengingat letak-letak benda seperti sofa, radio tua jaman beuheul, meja makan antik, sampai lemari baju besar peninggalan jaman Daendels. Pokoknya, kunjungan ke rumah itu pasti bikin saya waas

Melihat dari definisi kata waas, saya yakin kita semua pernah merasakan hal yang sama. Selalu ada satu tempat, atau satu barang khusus, atau satu lagu, atau objek apapun yang menyimpan kenangan tertentu untuk kita. Mungkin kita punya satu mainan yang sangat spesial buat kita karena ada banyak kenangan yang disimpan di mainan tersebut, misalnya kenangan saat main bersama teman-teman masa kecil kita. Kalau saya sendiri sih untuk mainan, saya sampai sekarang masih menyimpan boneka George si monyet karena kenangan tentang masa kecil saya sangat banyak tersimpan. Saya sampai pernah rela hujan-hujanan, mengeluarkan tangga portable untuk naik ke atap demi menyelamatkan hiasan di mobil (itu loh boneka atau figur apalah yang tangannya atau kepalanya bisa gerak-gerak sendiri karena ada panel suryanya) berbentuk Spiderman. Sebetulnya mainan itu biasa-biasa saja, tapi karena saya tahu itu hadiah dari mama saya buat saya dan belinya jauh, saya rela basah kuyup demi menyelamatkan kenangan itu. 

Dan saya yakin, nggak hanya saya saja yang rela berkorban dan melakukan ini itu demi menyelamatkan sebuah 'kenangan indah'. 

Waas, buat saya, adalah momen dimana saya merasa terharu saat teringat satu kenangan tertentu, merasa ingin merasakan dan mengulang kembali kenangan tersebut, yet I'm so helpless, doing nothing but letting the memory bring me to my tears. Ya, beberapa kenangan memang--karena saking berharga dan berkesannya--bisa bikin kita menangis terharu. Terutama kenangan tentang orang-orang yang biasanya ada bersama kita lalu tiba-tiba menghilang (entah pergi jauh atau pergi dan tak kembali lagi), pasti kenangan itu yang membuat kita lebih mudah tersentuh. 

Sejujurnya akhir-akhir ini saya sedang gampang merasa waas. Di jalan pulang melihat sesuatu, saya waas. Saat beli makan siang dan melihat sesuatu, saya waas. Mendengar satu lagu, saya waas. Ada banyak hal yang membuat saya waas, terkenang teman-teman KKN saya dan satu yang paling penting adalah kenangan tentang kakak saya. Bisa dibayangkan biasa (hampir) setiap harinya bertemu dan berinteraksi secara intens, lalu tiba-tiba saat perkuliahan dimulai saya kehilangan sosok kakak saya. 

Saya dan mas Ezar (karena kalau saya sebut koh justru saya yang merasa awkward) bisa dibilang sangat intens berinteraksi, dan itu yang berefek pada kedekatan kami. Seusai bubar anak-anak dari posko KKN, saya makan baso sama mas Ezar dan beberapa teman KKN yang masih bertahan di posko. Kalau pulang dan kebetulan mas Ezar menginap, saya biasanya kabur lagi sama mas Ezar untuk makan seafood lalu ngopi di gerobak kopi Jenggo yang lokasinya nggak jauh dari warung seafood yang penjualnya ternyata orang Korea (asli loh!). Biasanya lewat tengah malam, saya sudah mulai ngantuk dan mas Ezar sih masih santai dengan laptopnya, entah main DOTA 2 atau buka-buka apa lah (seringnya sih dia main DOTA 2 dan saya nggak ngerti jadi tidur saja). Saya dan mas Ezar sering berkunjung ke satu warung pempek dan makan siang disana, sampai ibu penjualnya hapal pesanan kesukaan saya. Mas Ezar kadang suka ceplos ngomong apa dan itu bikin saya ketawa puas. Kadang-kadang ada juga kelakuan mas Ezar yang konyol, tapi ya kembali bisa bikin saya ketawa puas. 

Sekarang saat KKN berakhir dan kuliah dimulai kembali, saya jadi nggak sering bertemu sama mas Ezar karena kesibukan masing-masing. Saya rindu kakak saya dan banyak hal yang terkait dengan kakak saya yang bikin saya merasa waas. Kalau main ke gerobak kopi Jenggo, si bartender akan nanya tentang mas Ezar dan saya cuma bisa bilang kalau saya datang sendiri karena kakak saya sibuk. Saat makan di warung pempek langganan, ibu penjaganya nanya kemana mas Ezar dan saya cuma bisa bilang kalau mas Ezar sibuk. Saat saya dengar lagu dan nggak sengaja terputar satu lagu soundtrack dari film Architecture 101, saya jadi ingat mas Ezar pernah berkomentar tentang film ini dan kembali, saya merasa waas. Apalagi film itu punya ending yang sebetulnya miris dan soundtrack-nya begitu menyentuh, perasaan waas saya pun semakin menjadi. 

Waas. I've got a lot of things reminding me of my alter Bruder

Perasaan waas yang saya alami ini membuat saya pada akhirnya benar-benar merindukan sosok kakak saya. Mas Ezar yang biasanya pergi kesana kesini dengan saya, baik naik mobil ataupun naik motor, sekarang sudah tidak lagi di rumah. Sebelum tidur saya nggak punya teman ngobrol karena mas Ezar tidak di rumah lagi. Ngopi Jenggo sendiri, makan pempek sendiri, nonton Sule sendiri.. karena kakak saya sudah mulai kembali dengan dunia perkuliahannya. Saya rasa empat puluh hari belum cukup. It's kinda useless when I told my big brother that "my piano is your piano, too", karena pada kenyataannya yang pakai piano cuma saya aja. Mas Ezar sudah mulai sibuk dengan matakuliah desain lansekap atau apalah saya nggak ngerti. Dan yang membuat saya tersiksa adalah, I can't even cry. Nggak seperti waktu saya kangen sama auntie, Andra, Gea, Dilla, dan teman-teman KKN lainnya, kerinduan saya terhadap kakak saya ini.. Ya, saya rasa sama besarnya dengan mereka tapi karena kedekatan kami dan hubungan adik-kakak yang erat ini membuat saya memberi nilai lebih terhadap kakak saya. My alter Bruder ist so special. Dan kenyataannya meskipun saya rindu sekali, saya nggak bisa menangis, though I want to cry it out. Waas. Mungkin waas se-waas waas-nya. 

Rasa rindu yang tidak bisa terungkapkan, dan hanya bisa dipendam. You know how it hurts. Dan saat saya bilang sama mas Ezar kalau saya sering waas taraf ekstrim akhir-akhir ini, dia--yang seorang plegmatis--dengan santai bilang bahwa saya terlalu berlebihan. Melancholic vs. Phlegmatic. Me vs. my big brother. Yeah, that's us. Di posko pun kami begitu. Di rumah pun kami begitu. 

L to R: auntie, mas Ezar, me

Pasti kalau mas Ezar tahu saya bikin post ini, dia bakal bilang: 

"Euh naon meni kitu ah kamu mah" 

Oh, saya harap mas Ezar paham bahwa orang melankolis itu ya.. begini. 

Monday, September 1, 2014

[Review] Favorite Video Apps for iOS

Kalau bicara tentang aplikasi favorit untuk iOS, saya pasti akan sebut beberapa aplikasi yang masuk dalam kategori fotografi. Kita sepertinya sudah familiar dengan media sosial berbasis fotografi Instagram (dan ada juga EyeEm yang menurut saya nggak kalah kece dengan Instagram). Pertama hadir untuk pengguna iOS, Instagram jadi media sosial yang memungkinkan penggunanya berbagi momen dengan pengguna lain secara visual--foto. Saya sudah jadi pengguna Instagram sebelum Instagram muncul di dunia Android, dan dulu dengan berbekal kamera iPod Touch yang seadanya (karena saya belum punya iPad), saya seperti berubah bak Power Ranger jadi fotografer amatir yang hobinya sharing foto-foto momen yang menurut saya menarik dan menyenangkan. 


Kemunculan Instagram di dunia Android menarik lebih banyak pengguna seiring meledaknya pengguna ponsel dengan sistem operasi Android. Berbagai aplikasi pihak ketiga pun bermunculan untuk meningkatkan hasil unggahan para pengguna Instagram. Dari mulai aplikasi photo effector seperti Pixlr-o-matic dan VSCOCam sampai touch-up semacam Camera360 yang termahsyur dan Cymera sekarang tersedia baik di App Store ataupun Google PlayStore. Dengan aplikasi-aplikasi tersebut, seperti yang kita lihat, foto-foto dengan berbagai efek visual dan rasio menghiasi linimasa akun Instagram kita.

Di pembaruan Instagram yang ke 4.1, muncul fitur baru bahwa pengguna Instagram nggak hanya bisa mengunggah foto, tapi juga video. Sayangnya fitur unggah video ini hanya bisa dinikmati buat pengguna iOS dan Android 4.0 (Ice Cream Sandwich) ke atas. Dulu, ponsel saya pakai sistem operasi Gingerbread. Walhasil saya nggak bisa unggah video lewat ponsel ke Instagram (meskipun kalau untuk menonton video sih bisa). Saya unggah video pertama saya ke Instagram melalui iPod Touch dan berhubung kameranya pas-pasan, maka hasil videonya pun pas-pasan. Beruntung kemudian saya punya iPad yang membayar semua penantian saya akan mengunggah video berkualitas lebih baik ke Instagram. Untuk unggahan sendiri, Instagram hanya memberi kita jatah durasi video maksimal 15 detik. Untuk video yang lokasinya dari direktori gallery dan berdurasi lebih dari 15 menit, Instagram menawarkan fitur trimming. Nggak hanya trimming, ada juga beberapa efek untuk bikin video unggahan kita lebih cetar.

Semenjak punya iPad, saya jadi mulai sering unggah video ke Instagram. Dan karena akhirnya saya gatel dengan hasil video saya yang menurut saya kurang greget, saya iseng-iseng cari di App Store aplikasi video editing. Saya nemu beberapa aplikasi video editing tapi dari hasil penemuan saya, yang sampai sekarang saya pertahankan dan sering saya gunakan cuman beberapa. Dan aplikasi-aplikasi itulah yang jadi favorit dan jagoan saya dalam membuat video untuk unggahan Instagram.


Lumify Video Editor
Pokoknya semenjak saya nemu aplikasi ini dan saya coba, saya seperti jatuh cinta pada percobaan video pertama sama aplikasi ini. Aplikasi yang mirip dengan Windows Movie Maker ini menawarkan paket plus-plus buat penggunanya dimana pengguna bisa membuat film mini dari cuplikan-cuplikan video pendek yang digabungkan dalam satu timeline, dikasih efek visual, musik latar, bahkan narasi.

Lumify Video Editor di iTunes App Store

Lumify menawarkan user interface yang nggak rumit, jadi mudah buat dipelajari. Video yang dimasukkan ke timeline bisa diimpor dari gallery atau juga bisa kita shoot langsung. Nah, kalau kita shoot langsung, selama kita ambil video akan ada semacam guide yang memberitahu kita apakah misalnya video yang kita ambil berdurasi terlalu panjang, atau ingin kita rekam lebih lama lagi. Oh ya, Lumify ini memang ditujukan untuk pembuatan film pendek jadi kalau yang hobi bikin film pendek pakai iPhone, iPod, atau iPad, saya rasa cocok banget pakai aplikasi ini.




Saat tiba di papan editor, kita bisa menambahkan musik latar. Lumify sendiri sudah menawarkan beberapa musik, tapi semisal kita ingin pakai musik pilihan kita sendiri, kita bisa pilih musik yang ada di iTunes (harus beli) atau musik yang ada di library kita.


Seperti yang saya bilang sebelumnya, di Lumify kita juga bisa memberi efek visual ke video kita, menambahkan scene judul (tambahkan di timeline), dan narasi untuk video kita. Setelah beres dengan proses editing, kita dikasih pilihan untuk menyimpan video kita di gallery (dengan resolusi yang bagus), ataukah kita mau unggah langsung ke Youtube, atau ke Instagram. Ada juga pilihan seperti unggah ke Lumify atau kirim lewat e-mail.


Nah, saya sudah unggah beberapa video hasil editing dengan menggunakan Lumify di Instagram dan Alhamdulillah respon dari orang-orang bisa dibilang positif. Tips dari saya sih, pemilihan lagu yang sesuai dengan tema video kita akan memunculkan atmosfer yang pas. Semisal, kalau kita mencoba bikin film pendek tentang hujan, pakai musik-musik yang melankolis (kalau saya sih contohnya pakai musik-musik karya Yiruma). Efek visual juga bisa memperkuat atmosfer yang dimunculkan oleh video yang kita buat.

Contoh video yang saya buat dan edit dengan Lumify:







Squaready for Video
Aplikasi ini cocok untuk pengguna Instagram yang jenuh dengan rasio 1:1. Terutama untuk unggah video, rasio 1:1 dirasa nggak nyaman karena ada bagian dari video yang terpotong. Nah, Squaready for Video ini merupakan versi video dari aplikasi Squaready yang membantu kita untuk mempertahankan rasio foto saat diunggah ke Instagram. Foto atau video yang diunggah akan dikasih tambahan pad di sisi atas dan bawah, sehingga foto atau video kita bisa bertahan dengan rasio aslinya tanpa harus terpotong.  



Squaready ini benar-benar simpel. Kita tinggal pilih video yang mau kita pertahankan rasionya dari library, lalu saat dimasukkan ke aplikasi kita bisa buat editing lagi semisal warna background (pad) dan bisa juga kita trim ulang video kita untuk mendapatkan durasi yang pas dengan peraturan unggah video Instagram. Setelah beres kita bisa simpan video kita untuk nantinya diunggah ke Instagram





Stop Motion
Kalau bosan dengan video yang itu-itu saja, kenapa nggak coba unggah stop motion video ke Instagram? Aplikasi jebolan Cateater ini siap membantu kita membuat video stop motion dalam resolusi yang tinggi dan dengan cara yang simpel. 


Pengguna Stop Motion tinggal menekan tombol merah yang berfungsi sebagai shutter kamera. Setiap beres satu frame (foto), kita (semisal mau buat video stop motion menggerakkan boneka) tinggal menggeser si boneka itu sedikit lalu foto lagi, lalu geser lagi dan foto lagi. 



Di papan editor, ada juga pilihan untuk mengatur kecepatan gerak frame. Tidak hanya itu, seperti halnya Lumify, Stop Motion juga menyediakan fitur impor dari library, menambah musik latar, dan sebagainya, yang mana fitur-fitur tersebut bisa kita dapat kalau kita beli fiturnya (tersedia sebagai in-app purchase). 

Kalau saya biasanya buat video stop motion dulu, lalu untuk menambahkan musik latar, video yang sudah saya buat saya impor ke Lumify lalu saya tambahkan musik latar. Oh ya, keluaran video Stop Motion ini resolusinya besar, sesuai dengan resolusi kamera. Makanya, ukuran videonya pun bisa dibilang besar, terutama kalau kita banyak take gambar. 

Ini contoh video stop motion yang saya buat dengan aplikasi ini, yang juga sudah saya tambahkan musik latar melalui Lumify




Hyperlapse
Ini aplikasi video terbaru yang saya unduh. Aplikasi yang juga saudaranya Instagram ini menawarkan pembuatan video dramatis yang berfokus pada hyperlapsing. Dengan kecepatan gerak yang tinggi, pengguna Hyperlapse bisa membuat video kece di perangkatnya semacam ini:


Hyperlapse tampil dengan interface yang sangat sederhana. Di menu utamanya kita akan disuguhi viewfinder kamera dan tombol shutter. Saat proses perekaman video berlangsung, di kanan bawah ada indikator durasi video dan di sampingnya adalah prediksi durasi video setelah proses hyperlapsing.



Setelah rekaman selesai, kita langsung masuk ke papan editing dimana kita bisa milih mau seberapa cepat video kita berjalan. Setelah beres, tinggal klik tombol check lalu video pun secara otomatis tersimpan di library kita.

Salah satu contoh video hyperlapse yang saya buat sudah ada di Instagram, dan merupakan video hyperlapse pertama saya:



Nah, untuk contoh yang di atas saya pakai aplikasi Hyperlapse untuk pembuatan video, dan Lumify untuk penambahan visual effect dan musik latar. Pada prakteknya, saya sering menggunakan beberapa aplikasi supaya saya bisa dapat hasil video sesuai dengan yang saya inginkan. Tinggal kita sering-sering mencoba dan bereksperimen dan kita pun bisa membuat video yang nggak kalah menakjubkan dengan yang orang-orang buat dengan peralatan yang lebih canggih, meskipun kita hanya punya bekal iPhone atau iPad.







Selamat berkreasi!