My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, April 19, 2015

Mimpi buruk

Jarum speedometer telah melewati angka 80 kilometer per jam. Aku membawa mobilku melesat cepat di jembatan flyover yang menghubungkan wilayah Pasteur dengan Surapati ini. Di sampingku, Alia memegang erat sabuk pengamannya dan beberapa kali meringis. Aku mendengus kesal. Toh aku mengebut juga demi ia dan Dira. Aku tak ingin Dira sampai terbangun dan menangis di mobil, jadi lebih baik aku segera membawa mereka ke rumah. Aku juga harus kembali ke rumah ayah setelah mengantar Alia dan Dira pulang. Kondisi Reyhan membuatku harus menemani ayah menjaganya. Mengapa adikku harus sampai sakit segala? Akhir-akhir ini ia jadi sakit-sakitan dan itu membuatku kesal. Harusnya ia bisa lebih menjaga dirinya sendiri.

Nggak usah ngebut, Reza,” tegur Alia.

“Biar cepat sampai rumah. Aku ‘kan harus balik lagi,” jawabku.

Alia kini mendengus kesal. Aku sedang tak ingin berdebat atau bertengkar. Sudah cukup banyak aku bertengkar hari ini. Reyhan membuatku kesal. Setelah permasalahan tentang kunci rumah, ia kembali membuat onar karena ingin menikmati es krim, sementara demamnya masih belum turun betul. Rasanya aku ingin melemparkan es krim ke wajahnya. Biar ia tahu rasanya sekalian!

“Baju buat besok udah ada?” tanya Alia.

“Belum. Aku nggak akan parkir ke dalam, jadi nanti tolong ambilkan kemeja satu, celana panjang satu, sama kaus kaki dan sepatuku,” jawabku, “Pakaian dalam sih aku masih punya disana. Aku harus cepat balik lagi. Kasihan ayah”

Kami tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Aku membukakan pintu untuk Alia. Ia menggendong si kecil Dira dan segera membawanya masuk ke rumah. Kutunggu Alia di samping mobilku sambil memperhatikan fasad rumah yang baru kami tinggali selama satu setengah tahun. Warna coklat kremnya kini nampak aneh. Apakah ini sudah waktunya untuk mencat ulang dinding depan?

“Ini baju, Za,” ujar Alia seraya memberiku kemeja dan celana kerjaku yang telah dilipat rapi.

“Sepatu sama kaus kaki?” tanyaku.

“Oh ya. Lupa,” jawab Alia seraya kembali masuk ke dalam rumah.

“Tunggu! Sama jaketku sekalian!” tahanku.

“Yang mana?”

“Jaket angkatanku pas jaman kuliah, yang abu-abu”

Alia segera masuk ke dalam rumah dan kemudian kembali, membawakanku sepatu, kaus kaki, dan jaketku. Aku memasukkan pakaianku ke dalam mobil, kemudian berpamitan pada Alia. Ia mencium tanganku dan aku mencium dahinya setelahnya.

“Baik-baik di rumah. Titip Dira. Kalau ada apa-apa langsung telpon,” ujarku.

“Ya. Salam buat ayah dan Reyhan,” jawab Alia.

Aku segera masuk ke dalam mobil dan mengemudi secepat mungkin agar aku bisa tiba di rumah ayah sebelum pukul sepuluh malam. Syukurlah jalanan tidak macet di malam hari, hanya saja jarak dari Pasteur ke Tamansari tidaklah sedekat yang dibayangkan. Kuputar musik-musik keras dengan volume yang kencang untuk menemaniku berkendara. Rasanya aku ingin berteriak, melepas penatku. Ah! Aku bahkan harus sambil menyelesaikan laporan proyek iklan itu malam ini! Kapan aku bisa beristirahat? Ponselku berdering. Aku mengecilkan volume musik dan menggunakan handsfree untuk menjawab panggilan telpon yang masuk.

“Halo?”

Mas Eza, dimana?”

“Reyhan?”

Mas, titip martabak”

“Ah, udah malam. Mas males kalau harus muter-muter lagi”

Aku memutuskan panggilan telpon itu begitu saja. Sudah malam begini harusnya adikku beristirahat, bukannya justru memintaku membelikannya martabak. Lagipula aku sudah membelikannya banyak cemilan. Ia bahkan belum menghabiskan biskuit yang kubelikan beberapa hari yang lalu. Terlalu banyak makanan yang tersisa jatuhnya hanya membuang-buang makanan. Lagipula tak biasanya Reyhan meminta martabak.
Aku tiba di rumah sekitar sepuluh menit setelah adikku menghubungiku. Kuparkir mobilku di depan pintu garasi. Sengaja kuparkir di luar agar jika terjadi sesuatu yang buruk dan adikku harus dibawa ke rumah sakit, tak perlu berlama-lama membuka pintu garasi. Cukup membuka pintu pagar depan dan kami bisa segera pergi. Ayah membukakan pintu untukku lalu segera masuk.

“Alia bagaimana di rumah?” tanya ayah.

Insya Allah nggak ada apa-apa, yah,” jawabku.

“Adikmu tiba-tiba ingin martabak, jadi ayah suruh dia telpon kamu,” ujar ayah lagi.

“Sengaja nggak Reza belikan,” jawabku, “Lagian udah malam begini, malas muter-muter lagi”

Reyhan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Kulihat ia hanya mengenakan kaus dan celana katun pendek. Yang benar saja! Katanya ia terkena demam, tapi kenapa pakaiannya serba pendek begitu? Bagaimana jika ia masuk angin dan kondisinya justru memburuk? Aku meringis kesal.

“Rey! Katanya sakit! Kenapa pake celana pendek?” tanyaku kesal.

“Gerah, mas. Reyhan ‘kan mandi cuman pas pagi aja. Mas ‘kan yang larang Reyhan mandi dua kali sehari pas sakit,” jawabnya.

Ayah menepuk pundakku.

“Reza, jangan marah-marah terus. Dari tadi siang kamu banyak marah-marah,” tegur ayah.

“Habisnya si Rey—“

“Kalau kesal dengan urusan kerjaan, jangan lampiaskan ke adikmu. Ayah juga tahu kamu marah karena peduli sama adikmu, tapi kalau marah-marah sejak tadi siang dan sampai sekarang masih seperti ini, apalagi kalau bukan pelampiasan?”

Ayah meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Kulangkahkan kakiku menuju ruang keluarga. Kutaruh pakaian kerja dan jaketku di atas kursi. Astaga! Aku bahkan masih harus mengerjakan sesuatu malam ini. Benar-benar hari yang melelahkan. Rasanya aku perlu beristirahat sejenak, mungkin satu hari atau satu minggu. Aku ingin menghilang, pergi ke tempat yang tenang dan beristirahat sejenak dari kegilaan yang menyiksaku setiap hari.

“Reyhan! Kamu ngapain malah minum soda malam-malam!” tegurku saat kupergoki adikku menuangkan Sprite ke dalam gelas.

Hnnggg... obat,” ujarnya tak jelas seraya menunjuk ke arah mulutnya yang terbuka.

“Minum obat sih minum obat, tapi nggak usah pakai soda juga!”

Reyhan terlanjur meneguk soda itu. Ia menghabiskan satu gelas soda. Aku benar-benar kesal dengan adikku. Ia jadi susah diatur. Aku menghampirinya dan menegurnya habis-habisan. Anak ini benar-benar keterlaluan. Orang lain susah payah mengurusnya dan menjaganya agar ia cepat sembuh, tapi ia sendiri justru tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Bodo kamu! Udah tahu sakit malah minum soda!” bentakku.

“Air di kamar habis,” jawabnya.

“Tapi ‘kan bisa minum air putih biasa, bukan soda!” tegasku.

“Ya udah. Maaf,” jawabnya.

“Itu kenapa juga pakai celana pendek dan kaus oblong? Kemarin bilang sakit kepala dan sesak nafas. Kamu mau tambah sakit?”

“Gerah, mas. Gerah. Lagipula udah bau keringat baju yang tadi siang Reyhan pake

“Terserah kamu aja lah!”

Reyhan meringis. Ia menaruh gelasnya di bak cuci kemudian mencuci tangannya. Setelah itu ia mengambil beberapa lembar tisu dan mengeringkan tangannya.

“Telpon Rey aja tadi diputus. Sekarang Rey dimarahin,” ujarnya dengan ekspresi kesal.

“Habis kamu susah diatur!” tegasku.

Mas kenapa sih dari tadi siang marahin Reyhan mulu? Rey salah apa?” tanya Reyhan kesal, “Mulai dari urusan kunci rumah, Pringles yang dibawain Evan, martabak, soda, sampai celana pendek. Semua yang Rey lakukan salah terus. Mas pengennya Rey gimana kalau sakit? Tiduran terus di atas kasur dari pagi sampai malam?”

Tau lah, Rey. Bodo amat,” jawabku ketus.

Rey mendengus kesal. Ia lalu berjalan menuju kamarnya sembari menggerutu. Aku mendengar apa yang ia ucapkan. Aku mendengarnya. Ia pikir aku tuli, apa?

Nggak ikhlas nemenin mah, nggak usah datang sekalian”

Reyhan baru tiba di ambang pintu kamarnya saat aku menahannya.

Ngomong apa kamu barusan?” tanyaku.

“Apa?” Reyhan balik bertanya.

Ngomong apa?!” bentakku.

Nggak ikhlas jaga Rey mah nggak usah datang sekalian! Sana tinggal aja di rumah sama mbak Alia! Nggak usah ngurusin Rey! Rey juga bisa ngurus diri sendiri!” jawab Reyhan kesal.

Pintu kamar ayah terbuka. Kali ini ayah menatapku dan Reyhan tajam. Ia menutup pintu kamarnya dan kulihat ada kunci mobil di genggaman tangannya. Ayah menghampiri kami dan melihat dari raut wajahnya, aku dan Reyhan sama-sama tahu bahwa ayah marah pada kami berdua.

“Ayah mau tidur di mobil saja malam ini. Pusing dengar kalian berdua bertengkar. Adik kakak kok nggak rukun?” ujar ayah.

Aku dan Reyhan tidak sempat menjawab, bahkan menahan ayah untuk tidak tidur di mobil. Ayah keluar melalui pintu depan dan membawa kuncinya, sehingga kami tak bisa keluar lewat pintu depan. Ia benar-benar tidur di dalam mobil. Terdengar suara mobil saat kuncinya dibuka secara otomatis melalui remote control kecil. Ah, sial! Kenapa jadi seperti ini?

“Makanya jangan marah-marah aja,” sindir Reyhan.

“Kamu tuh penyebab masalahnya!” jawabku.

Nyalahin orang lain. Sendiri yang marah-marah dari tadi siang,” balas Reyhan.

“Terserah kamu!”

“Ya udah! Bukan aing ya yang marah-marah”

Kumaha sia! Tah inum tah soda nepi ka paeh!”

Akhir-akhir ini aku sering marah-marah menggunakan bahasa Sunda dan, entahlah, rasanya lebih lega ketika aku menggunakan bahasa ibuku. Reyhan terkejut dengan ucapanku. Ia menatapku tajam, kemudian matanya berkaca-kaca. Ia tak mengatakan apapun lagi, namun segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya tepat di depanku. Aku mengumpat, menyebutnya ‘anjing’ karena telah dengan lancang bersikap tidak sopan. Dengan kesal aku kembali ke ruang keluarga dan duduk disana, mencoba menenangkan diri. Persetan dengan laporan! Aku tak peduli! Kuraih remote control televisi dan kumatikan televisi. Suasana yang tenang seperti ini lebih baik. Aku dapat menurunkan emosiku dengan cepat. Ah, marah-marah seperti tadi membuatku lelah. Aku kecewa pada adikku. Ia tak seharusnya bersikap seperti itu. Aku ingin ia dapat menghormatiku sebagai kakaknya dan menghargai usahaku untuk menjaganya saat ia sakit. Harusnya ia sadar bahwa apa yang kulakukan untuknya adalah demi kebaikannya. Jika aku tak sayang padanya, saat ini aku pasti sedang tertidur nyenyak di rumahku. Aku tak perlu jauh-jauh berkendara ke Tamansari di malam hari hanya untuk menjaga adikku yang mungkin terbangun di tengah malam hanya karena ingin buang air kecil atau membutuhkan air minum.

Kusingkap tirai yang menutup jendela dan kulihat ke arah mobil. Lampu mobil tak menyala, namun jendelanya terbuka sedikit. Ayah benar-benar tidur di mobil malam ini. Aku merasa sangat bersalah pada ayah. Ia pasti sangat marah pada aku dan Reyhan. Besok pagi aku harus meminta maaf pada ayah dan membuatkannya teh serta sarapan. Ini semua gara-gara adikku yang keras kepala dan tak mau mendengarkanku. Jika ia tak melawanku, ayah pasti saat ini sedang beristirahat di kamarnya dan aku, mungkin, sedang mengerjakan laporanku. Kukenakan jaketku dan kutumpuk dua buah bantal yang kuletakkan di ujung sofa, lalu kubaringkan tubuhku. Hari ini aku merasa begitu lelah. Seharusnya adikku tak membuat masalah yang membuatku semakin lelah. Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Kupejamkan mataku dan mulai beristirahat. Semoga saja aku masih sempat bangun lebih awal untuk mengerjakan laporanku, walaupun sebetulnya aku bisa mengerjakannya besok di kantor.

Baru sebentar rasanya aku tertidur dan suara Reyhan kemudian membangunkanku. Aku masih sangat mengantuk dan mataku terasa sangat berat untuk kubuka. Rengekan itu terdengar dari arah kamar adikku. Apalagi yang ia inginkan? Sudah ada air minum dan obat-obatan di kamarnya. Lagipula ia sudah sangat membuatku kesal. Aku harus memberinya pelajaran.

Mas Eza,” panggil Reyhan.

“Berisik!” seruku kesal.

Mas Eza. Bangun,” panggil Reyhan sekali lagi.

“Diam ah Rey!” aku memiringkan tubuhku, menghadap ke sandaran sofa.

Kudengar suara pintu kamar yang terbuka. Aku tak mendengar suara apapun lagi setelahnya. Aku tak peduli apa yang ingin Reyhan lakukan. Jika ia ingin minum, ia harus mengambilnya sendiri. Jika ia ingin ke kamar mandi, ia harus melakukannya sendiri. Toh kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Ia bahkan bisa minum soda. Rasa lelahku membawaku kembali ke alam bawah sadarku, namun suara berdebum yang tiba-tiba terdengar seketika membuatku membuka mataku lebar-lebar. Reyhan! Apa yang terjadi dengan adikku?

“Rey?” panggilku.

Tak ada jawaban. Saat aku bangun, yang pertama kali kulihat adalah pintu kamar adikku yang terbuka. Aku bangun dan bergegas menuju kamar adikku. Ia tak ada di dalam kamarnya. Gelas minumnya tergeletak di atas meja samping tempat tidurnya dan airnya tumpah ke lantai. Selimut tebalnya menjuntai dari tempat tidurnya ke lantai, seolah-olah ia menyeret tubuhnya sampai sisi tempat tidur lalu terjatuh dan, mungkin, tangannya mengenai gelas minumnya sampai gelas itu tak sengaja ia jatuhkan. Saat kudengar suara keran dari arah kamar mandi, aku segera berlari menuju kamar mandi. Pintunya tertutup. Aku mencoba membukanya namun rupanya pintu itu terkunci dari dalam. Apa adikku ada di dalam? Apakah ia baik-baik saja?

“Rey! Reyhan! Kamu di dalam?” seruku.

Tak ada jawaban. Aku menggedor pintu kamar mandi lebih keras dan memanggil namanya. Kudekatkan telingaku ke pintu kamar mandi dan kudengar suara adikku, terbata-bata memanggil namaku.

Mas Eza,” ujar Reyhan pelan.

“Rey. Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik.

In.. Inhaller,” ujarnya terbata-bata.

Inhaller? Reyhan mencari inhallernya? Bukankah selama ia sakit, ia biasa membawanya kemana-mana, bahkan ke kamar mandi sekalipun? Perasaanku menjadi sangat tidak enak. Aku berlari ke kamar adikku dan kutemukan inhaller adikku tergeletak di samping laptopnya. Segera aku mengambilnya dan kembali menuju kamar mandi. Kali ini aku mencoba mendobrak pintu yang berat itu, namun dorongan keras dari tubuhku tidak bisa membuka pintu tebal itu. Reyhan pasti mengunci ganda pintunya.

“Rey, kamu bisa coba buka pintunya nggak?!” tanyaku.

Suara keran yang mengalir membuatku takut. Apa yang sebenarnya terjadi? Saat kudengarkan lebih seksama, kudengar Reyhan meringis, diikuti oleh suara air saat berkecipak. Apakah adikku berada di daam bath tub yang sedang diisi? Apa yang ia lakukan malam-malam begini?

“Rey mau pipis. Tapi..”

“Kamu lagi apa, Reyhan?! Buka pintunya!” tegasku.

“Rey kepeleset. Masuk ke bath tub,” jawabnya pelan.

Kali ini suara Reyhan terdengar lebih jelas. Ia meringis dan kurasa aku mendengar nafasnya yang tersengal-sengal. Adikku membutuhkan bantuanku. Ia membutuhkan inhallernya. Kurasa aku tahu kenapa keran itu bisa terbuka. Reyhan mungkin mencoba bangun saat ia terjatuh ke dalam bath tub dan mungkin tidak sengaja mengangkat kerannya sehingga bath tub itu terisi. Yang kuharapkan saat ini adalah adikku bisa bangun dan bath tub itu tidak disumbat.

Mas Eza. Tolong Rey,” adikku kini terdengar seperti menangis.

Ketakutanku semakin menjadi. Aku kembali mencoba mendobrak pintu kamar mandi yang berat itu. Aku mendobraknya lebih kuat. Bahuku bahkan terasa sangat sakit. Sial! Pintu kayu sialan ini tak mau juga terbuka! Bunyi kecipak air semakin sering terdengar dan adikku terus menerus memanggilku. Aku membutuhkan bantuan lain. Saat aku berbalik hendak membangunkan ayah di dalam mobil, kudengar Reyhan memanggil namaku dan menahanku.

Mas Eza,” ujarnya.

“Reyhan, kamu bisa bangun?” tanyaku, “Pegangan ke pinggir bath tub, terus coba bangun”

Suara adikku hilang muncul dan ini membuatku semakin takut. Sumbat pada bath tub itu pasti terpasang. Airnya pasti menggenang. Aku juga tak tahu bagaimana Reyhan bisa terjatuh ke dalam bath tub. Namun jika kepalanya menghantam dinding atau lantai bath tub, ada kemungkinan ia mengalami cedera. Melalui celah kecil di bawah pintu, aku merasakan aliran uap hangat mengenai kakiku. Air panas. Keran air panas itu pasti terbuka.

“R-Reyhan minta maaf,” ujar Reyhan terbata-bata.

Tidak! Kumohon jangan katakan hal itu. Kumohon. Kumohon, Reyhan! Jangan ucapkan permohonan maaf itu sekarang. Mataku sudah sembab dan inhaller adikku masih berada dalam genggaman tanganku. Kali ini aku harus bisa membuka pintu ini. Sekali lagi aku mendobrak pintu itu. Aku yakin kali ini aku melakukannya dengan sangat kuat. Pintu itu akhirnya terbuka dan seketika uap panas menyeruak. Saat uap panas mulai menghilang, kulihat wajah adikku mulai terbenam. Air itu berwarna kemerahan, dan aku tahu mengapa air itu berwarna kemerahan. Segera kumatikan keran air dan kuangkat tubuh adikku dari dalam bath tub. Kubaringkan ia di lantai kamar mandi. Tanganku gemetaran mencoba membangunkannya, namun tubuhnya terasa panas. Wajahnya sangat merah dan tangannya begitu kaku. Reyhan, kumohon bangunlah. Kumohon. Harusnya aku yang memohon maaf padamu. Aku mengangkat tubuhnya dan mendekapnya. Aku tak dapat menahannya lagi. Reyhan tak mau bergerak sama sekali. Ia juga tak mau mengatakan apapun. Tangannya kaku. Tak ada nafas yang keluar dari kedua lubang hidungnya. Aku benar-benar hancur. Sangat hancur. Aku mendekapnya semakin erat. Tak boleh ada yang mengambil adikku dariku. Siapapun tak boleh ada yang melakukannya.

Mas Eza..”

Dan tiba-tiba aku mendengar suara adikku. Mataku kembali terbuka dan kemudian kusadari aku tak sedang berada di dalam kamar mandi. Yang pertama kali kulihat adalah wajah adikku yang menatapku bingung.

“Kenapa tidur di lantai? Bodo ih! Kalau masuk angin gimana?”

Kusadari bahwa aku tergeletak di lantai. Aku pasti terjatuh dari sofa saat tidur dan... aku telah bermimpi buruk. Aku segera bangun dan duduk di sofa. Kututup wajahku dengan kedua tanganku sambil kuatur nafasku yang terengah-engah. Ya Tuhan, mimpi buruk itu terasa begitu nyata dan aku sangat takut.

Mas Eza kenapa sih?”

Kulihat Reyhan yang sekarang berlutut di sampingku. Ia masih mengenakan kaus dan celana pendek. Ia tak nampak pucat. Ia baik-baik saja. Reyhan lantas mengernyitkan dahinya. Ia mengambil beberapa lembar tisu dari atas meja dan memberikannya padaku.

Mas keringetan banyak. Matanya juga basah. Kenapa sih? Habis nangis?” tanya Reyhan.

Nggak tahu, Rey,” jawabku pelan seraya menerima tisu yang adikku berikan.

Kuseka keringat di dahi dan leherku, lalu kuhapus air mata yang nampaknya masih menjejak di pipiku. Adikku kemudian berdiri.

“Rey mau ke kamar mandi,” ujarnya.

Sebelum adikku pergi, aku bangkit dari tempat dudukku lalu memeluknya erat. Aku tak peduli jika adikku menganggapku aneh karena aku tiba-tiba memeluknya dan menangis. Aku tak peduli. Mimpi buruk itu membuatku sangat takut. Aku tak akan memarahinya lagi karena mengenakan celana pendek dan kaus oblong saat ia sakit. Aku juga akan membelikannya martabak. Aku tak ingin kehilangan adikku. Aku pernah hampir kehilangannya, dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi lagi.

Maafin mas Eza, Rey,” ujarku pelan.

“Rey mah emang anjing, dikasih tahu susah,” jawab adikku, dengan nada kesal.

“Maaf. Mas Eza minta maaf,” ujarku lagi.

Aku melepaskan pelukanku. Adikku menatapku, lalu tersenyum kecil. Ia memamerkan sederetan giginya yang putih. Nampaknya ia tahu bahwa aku sudah mendapatkan pelajaranku.

“Pasti mimpi buruk ya tadi? Mimpi apa? Mimpi Rey tenggelam di bath tub?” tanyanya.

“Ya. Persis kayak gitu,” jawabku.

Istigfar,” ujarnya.

Kuhela nafas panjang. Adikku kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Refleks aku mengikutinya dan Reyhan, yang menyadari bahwa aku mengikutinya, menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi.

“Mau ngapain? Jangan ngintip,” tanyanya.

“Pintunya jangan dikunci ya,” ujarku.

 “Ya. Nggak akan dikunci kok,” jawabnya.


Kali ini Reyhan masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Aku merasa lega, bersandar pada dinding dan kedua kakiku yang lemas membuatku terduduk. Sekali lagi kuhela nafas lega. Syukurlah itu hanya mimpi buruk. Kukira aku akan kehilangan adikku lagi. Aku tak mau itu sampai terjadi lagi. 

Wednesday, April 15, 2015

Kebahagiaan dan Gaji Pertama

Setelah sebelumnya saya bercerita tentang pekerjaan baru yang saya punya, akhirnya setelah menunggu beberapa minggu saya mendapatkan gaji pertama saya yang bisa saya gunakan. Sebetulnya saya gajian setiap dua minggu, dan setiap dua minggu pula uang mengalir ke akun Paypal saya. Akan tetapi, karena status akunnya masih belum terverifikasi, si uang yang terkumpul itu belum bisa dikirim ke rekening bank saya. Otomatis, nganggurlah dollar di Paypal saya dan bokek lah saya di dunia nyata. 

Tapi kini tidak lagi! 

*SFX: Orchestral Hit



Saya akhirnya merelakan 65 ribu rupiah saja untuk beli virtual credit card, dan keikhlasan itu berbuah manis karena saya akhirnya bisa memindahkan 360 ribu rupiah ke rekening bank saya. Saya putuskan untuk tarik 360 ribu saja karena nggak mau boros. Biasanya kalau ada banyak uang, saya malah jadi suka boros. Sekalian belajar berhemat. Maklum, saya masih suka kalap kalau tahu ada uang banyak di rekening dan diajak main sama teman-teman. Lihat T-shirt bagus, langsung beli. Lihat jaket bagus, langsung beli. Tahu-tahu di rekening sisa sedikit dan bahkan, buat ongkos pun ngap-ngapan. 

Berbicara tentang gaji pertama, saya selalu bahagia dan terharu kalau mendengar gaji pertama. Akhirnya, kerja keras kita membuahkan hasil. Gaji pertama ini terdengar seperti ranking 1 yang kita dapat saat kita masih kelas 1. Kayak gitu sih kalau buat saya. Rasanya senang karena akhirnya ada uang yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari. Terharu, karena kerja keras kita dibayar dan kita dihargai. Juga, terharu karena mengingat usaha keras kita untuk mendapatkan uang. Hey, jaman sekarang nyari duit itu nggak gampang. Kamu bisa nemu lima ratus perak di jalanan, tapi jaman sekarang lima ratus perak bisa buat makan apa? Bahkan Chitato bungkus kecil aja sekarang dibanderol seharga 2 ribu. Gila banget ini jaman. 

Kebahagiaan saat dapat gaji pertama itu susah untuk didefinisikan. Bukan kebahagiaan yang bikin saya bersorak sorak bergembira, tapi semacam kebahagiaan yang cukup bikin saya tersenyum aja, tapi sangat lega di dalam hati. Rasanya kayak ada kembang api di dalam diri ini yang meledak dan membuat tulisan "C-O-N-G-R-A-T-U-L-A-T-I-O-N" di langit. Saat lihat jumlah uang di akun Paypal bertambah, rasanya greget jadi ingin menambahkan lagi, lagi, dan lagi. Gaji pertama jadi semacam penyemangat bahwa saya harus bekerja lebih giat dan lebih keras supaya bisa menghasilkan uang lebih banyak. Apalagi saya tipe orang yang banyak keinginannya. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Keinginan yang banyak itu bisa terpenuhi salah satunya ya dengan mendapatkan uang. Duh jaman sekarang semuanya pake price tag. Lagunya Jessie J yang judulnya Price Tag, yang menceritakan tentang kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan price tag, sebenernya ujung-ujungnya pake tag harga juga. Tuh buktinya di iTunes ada harganya, satu lagu 8 ribu. Jadi, dengan adanya sumber dana saya bisa membeli barang-barang yang saya impikan. 


Menikmati kebahagiaan ini kayaknya nggak enak kalau sendiri aja. Bukannya mau jadi sombong, tapi saya cenderung seneng bagi-bagi kebahagiaan sama orang lain. Orang-orang lain juga saya rasa begitu. Gaji pertama biasanya dipakai buat beli sesuatu buat keluarganya. Kalau saya sendiri sih, gaji pertamanya saya pakai buat belikan pizza buat keluarga saya. Memang sih cuma pizza, tapi kan yang penting niat baiknya. Lagian pizza juga nggak murah. Yang terpenting adalah bagaimana kita mencoba berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Salah satu kebahagiaan yang bisa didapat adalah dengan melihat orang-orang yang kita sayangi bahagia. Begitu kan? 

Dan setelah mendapat gaji pertama, saya diingatkan saya mama saya buat bersedekah. Katanya, kalau bersedekah nanti rezekinya jadi semakin berkah dan bisa dilipat gandakan. Saya selalu percaya dengan hal itu. Memang sih bagusnya kalau bersedekah jangan minta imbalan, tapi toh memang ada janjinya bahwa bersedekah bisa melipatgandakan rezeki (dan pahala juga kan), jadi ya kenapa tidak? Toh kita dapat rezeki juga ada campur tangan Tuhan. Saya yakin bersedekah adalah salah satu cara saya bersyukur sama Tuhan untuk berkat yang diberikan untuk saya. Bersedekah juga semacam pengingat bahwa dengan rezeki yang kita dapat, kita nggak boleh sombong. 

Semoga saya bisa bekerja dengan lebih giat, mendapatkan lebih banyak uang dan bisa terus bersedekah dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar saya. Amin. 

Monday, April 13, 2015

Virus

Adikku berjalan di sampingku dan mengusap pelan bahuku. Ia telah melakukannya beberapa kali hari ini. Mungkin ini sudah ke-sembilan puluh sembilan kalinya Tania mengusap bahuku. Satu kali lagi ia mengusap bahuku, aku akan mentraktirnya sesuatu. Aku bersumpah akan mentraktirnya sesuatu! Tapi hanya jika benar itu adalah usapan ke-seratus yang Tania lakukan.

“Tiga?” tanya Tania saat aku mengambil tiga buah lilin devosi.

“Ya,” jawabku.

“Tumben banyak,” ujarnya.

“Masing-masing satu doa khusus,” jelasku seraya memasukkan uang ke dalam kotak donasi.

Aku masuk ke ruang Pieta dan menyalakan ketiga lilin yang kuambil. Setelah membuat salib, aku duduk di bangku dan mengucapkan doaku dalam hati. Baiklah. Ini untuk lilin yang pertama. Tuhan, tolong bantu aku agar aku bisa menghilangkan rasa tak nyaman atas kebencianku terhadap pria itu. Tunjukkan kebenaran pada pria itu dan buatlah agar pria itu sadar akan perbuatannya. Tolong aku agar aku dapat berbesar hati menerima ujian yang kuterima dan tolong aku agar aku dapat segera melupakan kejadian itu. Buatlah agar aku dapat merasa lebih tenang dan jauhkan aku dari segala kesedihan. Lindungi aku dari orang-orang yang berhati busuk dan bermuka dua. Berikan aku, keluargaku, dan semua sahabat-sahabatku perlindungan dan berkatMu.

“Tuhan, berikan kami semua bantuan dan kemudahan agar kami dapat melanjutkan ke universitas yang kami pilih”

Sial! Doa adikku memecah konsentrasiku. Aku menghela nafas panjang lalu memulai doaku untuk lilin yang kedua. Tuhan, kumohon berikan pria itu petunjuk yang menyadarkannya bahwa apa yang ia lakukan selama ini adalah salah. Berikan ia pelajaran agar ia memahami bagaimana rasanya disakiti dan dikhianati. Buatlah ia merasakan penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang ia sakiti, termasuk aku.

“Tuhan, jika sastra Inggris bukanlah pilihan yang tepat, kumohon selalu tuntun aku agar aku dapat mendapatkan pilihan yang tepat. Tuntun juga sahabat-sahabatku agar mereka mendapatkan pilihan yang tepat. Berikan kemudahan di masa mendatang nanti”

Tania berdoa terlalu keras dan itu benar-benar menghancurkan konsentrasiku. Sekarang aku lupa doa ketiga yang ingin kupanjatkan. Ah! Satu lilin lagi. Apa yang ingin kumohon? Uang? Kesehatan? Bukankah aku selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesanku setiap hari? Baiklah. Untuk lilin ketiga, aku akan berdoa untuk adikku dan teman-temannya.

Dan sesi berdoa pun selesai. Aku dan Tania keluar dari ruang Pieta dan berjalan menghampiri Reyhan dan Ezra yang nampak tengah membicarakan tentang organ pipa tua yang terletak di lantai dua.

“Jadi itu bunyinya gimana?” tanya Ezra.

“Ya pokoknya kalau tutsnya ditekan, nanti ada udara dipompa ke pipa. Bunyi deh,” jelas Reyhan.

Nggak ngerti. Kok bisa dipompa gitu gimana caranya ya?” Ezra nampak bingung.

“Pakai jet pump,” tukas Tania.

Emangnya sumur?” jawab Ezra kesal, diikuti oleh tawaku dan yang lain.

Kami pun meninggalkan bangunan utama gereja dan berjalan menuju mobilku yang diparkir tak jauh dari gedung pastoran. Kubuka pintu mobil melalui remote kecil yang kugenggam. Reyhan dan Ezra seperti biasa duduk di belakang, sementara adikku duduk di depan, di sampingku menjadi co-pilot. Mesin mobil dinyalakan dan pemutar musik pun menyala secara otomatis. Aku segera memindahkan lagu saat We Were in Love secara otomatis diputar. Aku muak dengan malam-malam penuh tangisan dan rasa sesak yang membuatku merasa seperti dihukum mati di kamar gas. Aku juga muak dengan lagu-lagu sendu yang secara otomatis diputar di pemutar musikku. Apa maksudnya ini semua? iPodku sedang berkonspirasi dengan alam? Yang benar saja! Mozart’s House mulai mengalun dari speaker mobil. Lagu ini jelas lebih baik daripada lagu sebelumnya yang seolah-olah mengajakku untuk kembali merasakan luka itu.

Mbak Tara masih bete pasti,” ujar Tania.

Udah nggak parah seperti kemarin-kemarin,” jawabku, “Toh tadi ‘kan sudah berdoa”

“Orang jahat nanti dibalas sama Tuhan, mbak,” tukas Ezra.

“Ya. Setuju. Supir angkot yang turunkan Rey di tengah jalan juga nanti biar dibalas sama Tuhan,” sambung Reyhan.

Entah mengapa tiba-tiba aku ingin tertawa mendengar ucapan Reyhan. Anak itu seringkali tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku ingin tertawa. Dulu kami sempat mengunjungi sebuah gerai minimarket untuk membeli cemilan dan Reyhan melihat Fisherman’s Friend yang dijual di atas meja kasir. Ia lantas bertanya apakah permen itu benar-benar terbuat dari ikan.

Mbak sabar aja sekarang,” ujar Tania seraya mengusap bahuku. Lagi.

Mbak udah lebih tenang. Kamu jangan khawatir,” jawabku.

Mbak, aku udah usap bahu mbak seratus kali. Traktir dong,” ujar Tania tiba-tiba.

"Oh ya, traktir dong mbak!" sambung Ezra, "Sekarang 'kan novelnya udah terbit dan jadi best-seller"

Rasanya aku ingin mencabut paksa pemutar musik mobil dan melemparnya tepat di wajah Tania. Atau jika tidak, rasanya ingin kutancap gas dalam-dalam lalu melesat melewati seratus kilometer per jam dan menabrak apapun yang menghalangi jalanku. Bagaimana ia bisa tahu tentang sumpah yang kuucapkan asal-asalan saat aku berada di gereja tadi?! Aku bahkan tidak memberi tahunya tentang sumpah itu, namun adikku seolah-olah mengetahuinya. Anehnya lagi, aku tak menghitung berapa kali ia telah mengusap bahuku seharian ini. Lain kali aku tak boleh mengucapkan sumpah yang aneh-aneh di dalam gereja. Mungkin ini teguran dari Tuhan. Oh Tuhan, ampuni aku.

Gimana kalau kita ke Two Hands Full?” usul Ezra.

“Kemarin udah. Cari tempat lain,” jawab Tania.

“Ke Doppio, yuk!” usul Reyhan.

Aku tertegun sejenak. Doppio adalah kedai yang saat itu kukunjungi, tepat di sore hari setelah aku menyadari semua kebusukan pria itu—pria yang sempat kuberi simpati. Aku merasa begitu hancur saat itu dan aku harus pergi ke suatu tempat dimana aku dapat menenangkan diri. Hujan deras turun dan pikiranku semakin kacau. Saat aku melihat kedai itu dari kejauhan, kuputuskan untuk singgah di tempat itu. Keputusanku tidak salah, karena aku benar-benar menemukan jawaban atas apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan perasaan yang menyesakkan itu. Dan barista itu... Demi Tuhan, aku menyukai kedua matanya!

Dan akhirnya aku memarkirkan mobilku di pelataran parkir Doppio. Gerimis sudah turun sejak kami masih dalam perjalanan. Reyhan segera mengenakan hoodie Pull & Bear biru tuanya dan Ezra mengancingkan jaket bisbolnya. Tania mencari-cari sesuatu di bawah jok mobil. Jika ia mencari payung kecil, aku sudah tak menyimpannya lagi di bawah jok mobil.

“Payungnya di bagasi,” ujarku.

“Aduh! Kalau ditaro bagasi, pas hujan sih keburu kehujanan sebelum pakai payung!” gerutu Tania.

“Masih gerimis kecil kok. Reyhan saja yang ambil,” ujar Reyhan seraya membuka pintu mobil dan begitu saja keluar untuk mengambil payung di bagasi.

“Anak baik,” celetuk Ezra, yang tak sempat terdengar oleh Reyhan.

Gerimis kecil ini dapat kami tembus tanpa perlindungan payung, namun payung yang diambil Reyhan tetap kami bawa masuk ke dalam kedai sebagai persiapan jika hujan besar turun dan kami harus kembali ke mobil. Tania sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela agar ia bisa menikmati suasana hujan di luar. Aku melihat ke arah bar dan kulihat pria itu kali ini sedang mengurus pembayaran di kasir.

“Terima kasih. Datang lagi ya,” ujarnya kepada pengunjung pria berusia paruh baya yang kini melangkah menuju pintu keluar.

Apakah ia melihatku? Semoga ia tidak melihatku. Tapi ia melihatku dan.. Ya Tuhan! Ia tersenyum padaku! Ya, senyuman itu ia tujukan padaku! Jelas-jelas ia tersenyum padaku! Ayolah, Tara! Apa yang kau pikirkan? Kau sedang bersama adikmu dan dua orang temannya! Jangan sampai mereka curiga padamu! Seorang pelayan mendatangi meja kami dan memberikan kami buku menu. Ini aneh. Ya, ini tidak biasa. Tanpa adikku dan kedua temannya, aku bisa saja langsung berjalan menuju bar lalu duduk disana dan memesan minuman. Biasanya orang yang duduk di bar memesan minuman beralkohol, tapi aku tidak seperti itu. Aku memesan kopi. Kopi pahit. Namun semenjak pria itu mengenalkanku pada café miel, aku jadi menyukainya. Aku menyukai café miel dan mata pria itu—barista itu.

Mbak Tara mau pesan apa?” tanya Tania.

Aku terkejut dan baru menyadari bahwa ada seorang pelayan yang telah datang ke meja kami. Benar-benar mata yang menyesatkan. Terlalu lama membayangkan matanya, aku bisa benar-benar tersesat dalam imajinasiku sendiri.

Café miel. Kalau makanannya mbak mau pesan pasta e fagioli,” jawabku, “Reyhan mau makan apa? Dibayarin kok tenang aja

Bocah kecil itu menarik perhatianku. Ia membaca buku menu dengan seksama, sembari sesekali melihat ke arah kami dengan tatapan bingung. Ia membaca lagi buku menunya, lalu nampak dari raut wajahnya bahwa ia telah menentukan pilihan. Namun sebelum ia menyebutkan pesanannya, ia kembali kebingungan dan membaca lagi buku menu yang ia pegang.

“Rey?” tegur Ezra.

“Sebentar,” jawab Reyhan.

“Orang lain udah beres pilih menu loh,” ujar Ezra.

“P-p-puttanesca. Spaghetti alla Puttanesca,” jawab Reyhan gugup.

“Kenapa Rey?” tanya Tania, “Kamu jangan kumat disini”

“Kumat? Dia sakit apa?” tanyaku kaget.

“Reyhan ‘kan punya asma,” jawab Tania.

Aku terkejut mendengar jawaban adikku, namun pikiran tentang pria itu mendominasi isi kepalaku. Pria itu menghilang dari pandanganku saat aku kembali melihat ke arah bar. Kurasa aku tahu dimana ia berada. Setelah semua orang memesan makanannya, aku memutuskan untuk pergi menuju bar dan berpura-pura memesan sesuatu. Kuharap dua dosis kopi tidak akan sampai membuatku sakit. Lagipula jika aku harus sakit karena kopi, setidaknya rasa sakit itu terbayar oleh pertemuanku dengan barista itu yang dulu sempat menyelamatkan hidupku, layaknya Jack Dawson yang menarik kembali Rose DeWitt Bukater ke dek sebelum ia benar-benar melompat dari buritan Titanic. Ah, aku terlalu berlebihan. Sejak kapan aku menjadi dramatis seperti ini?

“Permisi”

Pria itu akhirnya muncul dari bawah meja bar. Aku membalas senyumnya saat ia menyapaku dengan sebuah senyuman. Tangannya nampak menjatuhkan sesuatu, seperti sebuah buku. Ah, tadi pasti ia sedang membaca buku. Aku ingin tahu buku apa yang ia baca tadi.

“Eh, mbak yang waktu itu, ‘kan?” tanyanya.

“Ya. Nggak apa-apa ‘kan datang lagi?” jawabku.

Pria itu tertawa kecil.

“Mau pesan apa? Kopi, coklat, atau teh?” tanyanya.

“Kopi. Saya mau café miel. Boleh?” jawabku.

“Boleh. Disini atau dibawa ke meja?” tanyanya lagi.

“Dibawa ke meja,” jawabku.

Apa benar aku mengatakan hal itu? Astaga! Aku baru saja melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol dengan pria ini! Ia tersenyum dan kemudian berbalik, membuatkan pesananku. Aku menghela nafas panjang. Jika aku minum disini, sudah jelas adikku dan kedua temannya akan mencurigaiku. Tapi jika aku kembali ke mejaku, aku melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol lagi dengannya. Aku menyayangkan tidak adanya name tag untuk para barista yang bekerja di kafe ini. Bagaimana aku bisa mengetahui namanya jika ia tak memiliki name tag? Setidaknya jika aku mengetahui namanya, sudah pasti mengobrol akan menjadi lebih nyaman karena aku dapat memanggilnya dengan namanya langsung.

Saat aku kembali, adikku dan kedua sahabatnya sedang berdiskusi. Mereka nampak serius dengan diskusinya dan, saat aku mendengar kata ‘biologi’, rasanya aku ingin berbalik dan menikmati minumanku di bar saja. Ah, tidak! Apa itu biologi? Sudah hampir sekitar lima tahun dan aku tak pernah mendengar lagi kata ‘mitokondria’ dan ‘ribosom’, serta obrolan tentang kromosom. Keinginanku untuk kembali ke bar semakin menggebu-gebu saat Ezra tiba-tiba mengeluarkan buku teks biologi dari dalam tasnya. Tidak! Singkirkan benda itu! Aku sengaja memilih jurusan bahasa Perancis agar aku tak perlu banyak berkutat dengan hal-hal yang berbau matematika dan sains dan kini, buku teks biologi untuk SMA kelas tiga itu ada di hadapanku dan aku merasa seperti Sarah Whittle yang kembali melihat papan Jumanji setelah bertahun-tahun melupakan permainan mengerikan itu.

“Baca ini aja nih, tentang virus,” ujar Ezra.

“Supaya tidak terserang penyakit, harus ada antivirus,” tukas Reyhan.

“Jadi orangnya ditempelin DVD Bitdefender gitu biar nggak sakit?” tanya Tania usil.

“Pakai Kaspersky dong,” jawab Ezra, mengikuti alur percakapan bodoh mereka.

“Aku sih Kowalski,” tukas Reyhan, menyebutkan satu di antara empat pinguin dari Penguins of Madagascar.

“Ya udah aku Kawasaki aja,” jawab Tania, diikuti gelak tawa kedua bocah SMA itu.

Aku meringis pelan dan tak dapat berkomentar apa-apa. Berbicara tentang virus, yang kupikirkan adalah penyakit. Yang kuketahui tentang virus adalah virus membawa penyakit untuk manusia, hewan, dan tanaman. Penyakit. Rasa sakit. Ah, berarti bajingan itu memang seperti sebuah virus. Tidak. Bajingan itu adalah virus itu sendiri. Ia membuatku merasa sakit. Ia menyebabkan penyakit yang membuatku merasa begitu sakit, sampai aku benar-benar merasa seperti lumpuh. Mungkin semua laki-laki adalah virus. Mungkin saja. Pasti tidak adil jika aku mengatakan hal seperti itu. Yang jelas, pria itu adalah virus yang mematikan, yang sempat membuatku benar-benar sakit dan lumpuh. Pria itu pasti mencari mangsa lain dimana ia dapat menempel pada mangsanya lalu membunuhnya.

“Virus bisa digunakan sebagai obat. Kalimat kedua paragraf satu,” ujar Reyhan.

“Oh ya, aku juga udah baca,” tukas Tania, “Jadi katanya, untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu, bisa menggunakan virus juga”

“Maksudnya, semacam virus versus virus?” tanya Ezra.

“Ya. Misalnya nih, virus flu dimatikan dengan cara memasukkan virus anti-flu,” jelas Tania, “Eh, emang ada ya?”

“Aku tahunya virus cinta,” jawab Reyhan.

“Dikalahkannya pakai virus apa?” tanya Ezra.

“Virus.. virus apa ya?” Reyhan nampak kebingungan.

Ah, mungkin ada benarnya jika aku berkata bahwa semua pria adalah virus. Jika aku mengamati obrolan adikku dan kedua temannya, mungkin yang dapat kutangkap adalah ada virus yang baik dan ada virus yang berbahaya. Virus yang baik dapat menjadi obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus berbahaya. Kurasa ini masuk akal. Jika virus berbahaya bisa dilumpuhkan oleh virus baik, maka luka yang disebabkan oleh seorang pria dapat disembuhkan oleh..

Café miel

Minuman pesananku terhidang di atas meja dan pelayan yang melayani kami terkejut saat melihat telah ada secangkir café miel di atas meja kami.

Mbak pesan dua?” tanyanya.

“Ya. Tadi saya ke bar, pesan lagi,” jawabku.

Billnya disatukan saja?” tanyanya.

“Ya. Satukan,” jawabku.

Kurasa aku adalah seseorang yang saat ini sedang sakit dan perlu segera diobati. Aku mengalami rasa sakit yang disebabkan oleh sebuah virus ganas, virus yang berbahaya yang telah menggerogotiku dan mencoba melumpuhkanku. Namun aku harus bisa berjuang dan bertahan hidup. Aku harus mencari obatnya. Jika aku terkena racun, maka sebelum meminta tolong pada orang lain dan selama aku masih bisa melakukannya sendiri, aku yang akan mencari penawarnya. Aku harus menemukan virus baik yang dapat melawan virus jahat yang menyerangku, dan kurasa aku melihatnya. Aku masih belum tahu apakah ia virus yang baik atau justru virus yang jahat, tapi firasatku mengatakan bahwa ia adalah virus yang baik karena tatapan matanya berkata demikian. Semoga saja firasatku benar. Maafkan aku, Tania, Reyhan, dan Ezra. Aku harus mengobati luka ini.

Mbak mau kemana?” tanya Tania saat aku berdiri sambil membawa dua cangkir kopiku.

“Mau ke bar,” jawabku, “Mau minum disana aja

Loh kok? Nanti makanannya gimana?” tanya Tania kaget.

Mbak nggak suka kita ngobrol biologi ya?” tanya Reyhan murung.

“Bukan gitu. Mbak memang pengen minum disana. Kalian nggak usah kaget begitu. Nanti suruh aja masnya supaya makanan mbak dibawakan ke bar,” jawabku seraya tersenyum kecil.

Tara Valeria pun berjalan menuju bar, meninggalkan adiknya dan kedua sahabatnya. Pria itu rupanya ada disana, duduk sembari membaca buku. Kukira ia akan bersembunyi di bawah bar, namun ternyata ia duduk dan, saat ia melihatku, ia menaruh bukunya dan tersenyum padaku.

“Jadi minum disini?” tanyanya.

“Ya. Nggak apa-apa, ‘kan?” jawabku.

“Boleh kok. Bebas”

Ini gila. Aku tahu apa yang kurasakan mungkin tak nyata, tapi aku benar-benar menyukai senyumnya dan kedua matanya. Bolehkah kubilang bahwa aku merindukan matanya? Ya! Aku merindukan matanya! Ia mengambil sesuatu dari bawah bar dan kemudian muncul, menaruh satu toples biskuit kecil di samping cangkir kopiku. Aku membukanya dan mencicipi biskuit kecil itu. Apakah ini miniatur Oreo dengan krim Nutella? Mengapa rasanya begitu lezat? Dimana ia membelinya?

“Saya udah baca novelnya,” ujarnya tiba-tiba.

“N-novel?” aku terkejut.

“Ya. Novelnya. Saya suka,” jawabnya.

Aku tersipu. Tanpa perlu melihat cermin, aku berani bertaruh bahwa pipiku memerah saat ini. Pria itu pun nampak gugup. Ia pasti membaca prolognya. Ia pasti membaca bagian itu. Ah, ia sudah mengetahuinya. Semoga saja ia tak marah. Dan memang benar ia tak marah padaku. Ia menjulurkan tangannya padaku, mengajakku bersalaman. Sekarang aku tahu nama virus yang mungkin bisa menyembuhkan rasa sakitku.

“Aldi,” ujarnya.

“Tara,” jawabku.


Dan kami pun berkenalan.