My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, December 31, 2015

Klappermelk met Suiker

Semenjak memiliki laptop baru, saya belum sempat memindahkan semua data di komputer lama saya. Maklum lah, sekalinya menyalakan laptop biasanya saya langsung berkutat dengan skripsi atau kerjaan. Lagipula, data saya di komputer lama ada banyak dan saya agak malas untuk menunggu proses pemindahan data. Walhasil, saya harus cukup puas dengan koleksi lagu yang seadanya di laptop baru. 

Tapi saya bukan mau bercerita tentang laptop baru saya. 

Berhubung perpustakaan lagu di laptop saya belum lengkap, saya mulai melengkapinya dengan mengunduh atau membeli lagu-lagu. Salah satu koleksi yang saya unduh adalah koleksi lagu-lagu Belanda lawas yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort, seorang aktris, komedian, dan penyanyi Belanda yang dilahirkan di Indonesia. Wieteke van Dort sebelumnya tinggal di Indonesia, tapi terpaksa kembali ke kampung halamannya, Belanda, saat perjuangan bangsa Indonesia membuahkan hasil dan berbagai aset Belanda yang ada di Indonesia berhasil jatuh ke tangan bangsa Indonesia, termasuk rumah milik keluarga Wieteke van Dort saat itu. 

Di Belanda sendiri, Wieteke van Dort pernah menjadi host sebuah acara televisi yang cukup terkenal di tahun 1960-an, The Late Late Lien Show. Dalam acara itu, Wieteke van Dort berperan menjadi karakter tante Lien, seorang Indo (keturunan Belanda-Indonesia) yang sering mengadakan koempoelan dengan teman-temannya di rumahnya.


Bicara tentang acaranya, saya kagum dengan konsep acara tersebut dan cara Wieteke (mulai sekarang, saya akan memanggilnya tante Lien saja) membawakan acara. Dengan logat Indo yang kentara, reality show ini dibawakan dalam konsep koempoelan, sehingga penonton yang datang ke studio ikut 'berdrama' menjadi tamu koempoelan tante Lien. Rumah tante Lien cukup besar, dengan ruang kumpul yang dilengkapi kursi ottoman besar dengan pohon palem di tengahnya, area yang cukup luas untuk band keroncong, taman belakang yang terkadang digunakan untuk bintang tamu yang tampil, dan, tentu saja, kursi rotan milik tante Lien. Tante Lien tidak sendirian dalam membawakan acara ini. Ia ditemani oleh tante Toeti, kakaknya, dan The Sate Babi Boys, band keroncong yang setia mengiringi tante Lien saat ia mulai bernyanyi.


Saat The Kilima Hawaiians menjadi bintang tamu di episode 's Avonds bij candlelight

Setelah ngubek-ngubek Google dan iTunes, akhirnya saya menemukan album kumpulan lagu-lagu yang dibawakan oleh tante Lien. Dalam album 25 Jaar  Als Tante Lien, ada 36 lagu-lagu lawas yang dibawakan oleh tante Lien alias Wieteke van Dort. Beberapa lagu dibawakan dalam bahasa Belanda, tapi ada juga lagu-lagu yang dibawakan dalam bahasa Indo-Melayu. Selain itu, ada beberapa lagu yang dibawakan secara dwi-bahasa.



Di antara lagu-lagu tersebut, ada beberapa lagu yang menjadi kesukaan saya. Sebut saja lagu Boelang Pake Pajong yang ternyata cukup terkenal di Manado. Lagu Hallo Bandoeng merupakan piano ballad melankolis yang menceritakan tentang percakapan seorang ibu tua dan anaknya di Indonesia melalui telepon. Terang Boelan juga merupakan salah satu lagu kesukaan saya. Selain itu, ada satu lagu yang menarik perhatian saya. Berjudul Klappermelk met Suiker, awalnya saya kira lagu ini menceritakan tentang proses memasak kue. Namun saat saya membaca liriknya dan mencoba menerjemahkannya (thanks to Google translate, meskipun hasil terjemahannya agak aneh), saya jadi tertawa sendiri karena ternyata lagu ini bukan menceritakan tentang apa yang saya bayangkan. Terlebih lagi setelah mengingat aransemen musiknya yang ringan dan santai, saya bisa memahami titik lucu dari lagu ini.  


Op Ambon woont een meisje waar iedereen van zingt
Omdat ze heel erg mooi is en ook om wat ze drinkt
Reeds toen ze nog geen drie was en mama vroeg aan haar
"Wat wil jij nu eens drinken?", had zij haar antwoord klaar

Ik wil klappermelk met suiker
Want iets anders lust ik niet
Ik wil klappermelk met suiker
Want iets anders lust ik niet
Ik wil geen appelsap of limonade
Thee en koffie laat ik staan
En chocolademelk of orangeade
Smaken mij als levertraan
Ik wil klappermelk met suiker
Want iets anders lust ik niet

En dat is zo gebleven. Ze is nu achttien jaar
Een jongen is gekomen en hij houdt veel van haar
Maar als hij met haar uitgaat, is hij niet erg content
Steeds als hij om een kus vraagt, zegt zij op dat moment


Dari hasil penerjemahan dan interpretasi, lagu ini menceritakan tentang seorang anak perempuan di Ambon yang--katanya--sangat cantik. Saat itu ibunya bertanya kepada anak itu, "Mau minum apa?" Sang anak pun menjawab bahwa dia ingin minum klappermelk (santan) yang dicampur dengan gula, karena si anak tidak menyukai minuman yang lain. Ditawari jus apel, jus limau, kopi, teh, cokelat, dan jus jeruk, si anak tetap tidak mau (bahkan katanya jus jeruk itu rasanya seperti minyak hati ikan kod). Si anak hanya ingin minum santan yang dicampur dengan gula. Saat si anak perempuan tersebut beranjak dewasa, si anak bertemu dengan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut jatuh cinta pada si anak perempuan, namun sering merasa tidak puas atau gregetan setiap kali si anak laki-laki mengajak di anak perempuan kencan. Pasalnya, setiap kali diajak berciuman, si anak perempuan selalu menolak dan menjawab "Ik wil klappermelk met suiker." Dengan kata lain, si anak perempuan itu tidak mau ciuman; dia hanya mau minuman santan yang dicampur dengan gula. 

Sejujurnya, saya tidak paham apakah benar klappermelk di lagu itu mengacu pada santan. Setahu saya, yang biasa dijadikan minuman adalah sari kelapa (ditambah gula jika memang mau). Tapi, terlepas dari apakah yang diminum oleh anak perempuan di lagu itu adalah santan atau sari kelapa, lagu ini merupakan lagu lawas yang menyenangkan. Kalau saya pulang ke rumah oma saya, sepertinya saya akan senang mendengarkan lagu ini sambil menemani oma saya memasak. Ada semacam hawa nostalgia tersendiri saat mendengarkan lagu ini. 

Jadi, ada yang mau klappertaart?

Tuesday, December 22, 2015

100 Years of Beauty Series [Review]

Di sela-sela pengerjaan skripsi dan kerjaan terjemahan yang menumpuk, saya rasa cukup adil kalau saya rehat sebentar sambil menulis. Toh saat rehat pun saya masih bisa produktif dengan menuangkan ide saya ke dalam bentuk tulisan. Kali ini, saya ingin bicara tentang YouTube dan beberapa channel langganan saya. Salah satu channel langganan saya di YouTube adalah WatchCut Video. Channel ini mengunggah video dengan topik yang beragam, dari mulai dunia fesyen dan gaya sampai makanan. Secara umum, ini adalah channel gaya hidup yang menawarkan beberapa informasi menarik dan menghibur. 

Salah satu video yang mereka unggah adalah video bertema fesyen dan gaya bertajuk 100 Years of Beauty. Rupanya, mereka menjadikan ini semacam serial dan video-video baru biasanya diunggah setiap beberapa minggu sekali. Sejauh ini, sudah ada 15 video dalam serial 100 Years of Beauty, dengan 2 episode spesial yang menunjukkan tren tato selama satu abad dan tren penampilan pria (khususnya gaya rambut) di Amerika Serikat dalam satu abad. Video-video dalam serial ini menunjukkan perubahan tren fesyen dan gaya dalam satu abad, dimulai dari tahun 1910 sampai tahun 2010. Salah satu video dalam serial ini yang cukup viral adalah 100 Years of Beauty - Korea yang menampilkan perubahan tren gaya di negara Korea yang, menariknya, ikut ditampilkan perbedaan pergerakan tren di Korea Utara dan Korea Selatan. Videonya dapat dilihat di bawah ini.

100 Years of Beauty - Episode 4 - Korea (Tiffany Lee)

Saya tertarik melihat perubahan tren selama satu abad di negara-negara yang berbeda. Bahkan, dalam satu negara pun tren fesyen bisa berbeda, tergantung pada etnisnya. Seperti yang ditampilkan di video 100 Years of  Beauty episode 1 dan 2, tren fesyen dan gaya pada wanita kulit putih dan wanita kulit hitam di Amerika Serikat cukup berbeda. Hal tersebut tentunya menjadi hal menarik yang bisa didiskusikan, terutama oleh penggemar fesyen. 

100 Years of Beauty - Episode 1 - USA (Nina)

100 Years of Beauty - Episode 2 - USA (Marshay)

Saya tertarik saat menonton setiap video dalam serial itu. Perubahan tren fesyen dan gaya di setiap negara dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di antaranya pergerakan politik. Bisa dikatakan perubahan tren fesyen berkaitan cukup erat dengan sejarah. Selain itu, ada banyak faktor lain yang mendorong perubahan tren, termasuk di antaranya adalah pengaruh budaya populer dari negara lain. Meskipun tidak ada dialog dalam video-video timelapse berdurasi 1 hingga 2 menit tersebut, serial 100 Years of Beauty juga mencakup video-video riset behind the looks yang akan memberi kita lebih banyak informasi mengenai tren fesyen yang ada di setiap tahun di video yang ditampilkan. 

100 Years of Beauty - Episode 10 - German (Brooke Williams)

100 Years of Beauty - Episode 9 - Russia (Anya Zaytseva)

100 Years of Beauty - Episode 13 - USA (Samuel)

Saat menjelajah forum komentar di video-video pada serial tersebut, saya banyak menemukan beberapa pengguna yang meminta WatchCut untuk membuat video 100 Years of Beauty versi negaranya. Sejauh ini, saya agak jarang menemukan pengguna yang meminta pihak WatchCut untuk membuat versi Indonesia dari serial ini. Padahal, menurut saya perubahan dan perkembangan tren fesyen dan gaya di Indonesia cukup menarik untuk dilihat. Indonesia kaya akan sejarah dan, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, sejarah memiliki kaitan yang cukup erat dengan perubahan tren. 

Kalau kita googling foto-foto Indonesia di era sebelum kemerdekaan (kira-kira di tahun 1910 sampai awal 1940-an), kita akan banyak menemukan foto-foto orang Indonesia yang penampilannya masih banyak dipengaruhi oleh pakaian-pakaian tradisional. Foto-foto tersebut kebanyakan dalam warna hitam putih, jadi kerasa sekali 'jadul'-nya. 

Perayaan oranje dag di Malang, circa 1910 | source: gahetna.nl  dari Indonesia Zaman Doeloe

Kelompok tunil atau grup sandiwara, circa 1910 | source: gahetna.nl dari Indonesia Zaman Doeloe

Wajah keluarga dokter di Jawa, circa 1920 | source: Indonesia Zaman Doeloe

Kalau dibandingkan dengan tren fesyen di Indonesia sekarang ini, jelas kita bisa melihat perubahan yang sangat signifikan. Di era 70 atau 80-an, kita bisa melihat tren fesyen dan gaya menjadi lebih modern dan berkiblat ke dunia barat. 

Iklan sepeda motor Honda C70 | source: Djejakmasa

Iklan sepeda motor Honda C70, 1979

Popular culture di Indonesia di era itu cukup banyak dipengaruhi oleh popular culture dunia barat, seperti yang saya bilang. Kalau dilihat di iklan, kita bisa melihat ada beberapa orang pria dan wanita yang penampilannya mengingatkan saya dengan beberapa drama Jepang lawas di awal tahun 1990-an. 

Sayang sekali karena saya bukan ahli dalam bidang perkembangan fesyen, saya jadi nggak bisa bicara banyak. Padahal sebetulnya, kalau didalami lagi perkembangannya, banyak hal menarik yang bisa kita pelajari dari perkembangan fesyen di Indonesia. Dan, kembali ke topik utama, serial 100 Years of Beauty yang diunggah WatchCut bagi saya worth watching. Meskipun saya juga bukan penggila fesyen, tapi video-video pada serial itu cukup menarik buat ditonton. Semoga saja ke depannya, WatchCut mau membuat video khusus Indonesia. 

Thursday, December 17, 2015

Mendengarkan 'Sore' di Sore Hari

Sepertinya saya cukup 'terlambat' untuk menjadi penikmati musik-musik karya band yang satu ini. Meskipun terbilang terlambat, saya sebetulnya dari dulu sudah pernah mendengar salah satu karyanya. Bagi yang pernah melihat iklan Coca Cola edisi Live Positively, kemungkinan pernah mendengar musiknya yang mengiringi alur cerita iklan tersebut. Kalau misalnya lupa-lupa ingat, mungkin bisa menonton video ini terlebih dulu: 


Sore adalah band indie asal Indonesia yang terbentuk pada tahun 2002. Band beranggotakan empat orang ini sepertinya cukup banyak dikenal oleh penggemar film Indonesia karena karya-karya mereka yang banyak menghiasi beberapa film seperti Berbagi Suami, Kala, dan film psychological thriller kesukaan saya, Pintu Terlarang. Di beberapa situs, nama Sore biasanya muncul dalam artikel-artikel tentang musik indie Indonesia, atau sebagai recommended artists yang muncul setelah Payung Teduh, Pure Saturday, atau Banda Neira. 

Beberapa bulan yang lalu, saya sedang cukup gencar mengunduh beberapa album khusus musik indie Indonesia. Salah satu yang masuk dalam daftar unduhan saya adalah Sore. Berhubung sudah jarang ke toko musik, akhirnya iTunes menjadi tujuan saya untuk mendapatkan album-album tersebut. Salah satu album yang saya unduh adalah Sorealist, album kompilasi Sore yang menghadirkan beberapa lagu dari album-album mereka sebelumnya, dan juga tiga buah lagu baru dan beberapa lagu yang menjadi soundtrack beberapa film. 


Sorealist berisikan 13 buah lagu; tiga di antaranya adalah lagu baru. Dirilis pada tahun 2013, album ini menghadirkan kembali beberapa lagu dari album Centralismo, Ports of Lima, serta lagu-lagu yang menjadi soundtrack film seperti Kala, Berbagi Suami, Janji Joni, dan Pintu Terlarang. Kalau penasaran dengan tracklist-nya, silahkan dilihat daftarnya di bawah ini: 
  1. Musim Ujan*
  2. Sssst...*
  3. Bantal Keras*
  4. Somos Libres
  5. No Fruits for Today
  6. Mata Berdebu
  7. Karolina
  8. Funk the Hole
  9. Nancy Bird
  10. Merintih Perih
  11. Setengah Lima
  12. Ada Musik di Dalam
  13. Pergi Tanpa Pesan
* lagu baru

Dalam album ini, secara umum Sore membawakan lagu-lagu bergenre pop, jazz, dan alternative. Di antara lagu-lagu tersebut, ada beberapa lagu yang jadi favorit saya. Sebut saja lagu No Fruits for Today yang diambil dari album Centralismo (2005). Dengan tempo yang sedang, lagu bergenre pop ini memberikan saya kejutan yang--pertama kali saya mendengarnya--membuat saya cukup merinding dengan suara teriakkan di tengah-tengah lagu. Musim Ujan menawarkan nuansa retro yang cukup kental. Lagu bernada dasar D mayor ini dihiasi oleh iringan paduan suara dan aransemen bertempo sedang; cocok untuk mereka yang senang berkendara di bawah hujan berkeliling kota. Nancy Bird merupakan karya jazz ringan membawa pikiran saya ke sebuah galeri seni besar, latar tempat pertama yang dimunculkan di film Pintu Terlarang. Dalam scene pameran seni, kita bisa mendengar lagu ini diputar dan, menurut saya, lagunya sesuai dengan suasana pameran seni mewah yang dihadiri oleh para penggemar karya seni dengan penampilan yang berkelas. Aransemen Nancy Bird didominasi oleh iringan piano yang melodi woodwind section, serta melodi gitar jazz pada bagian interlude yang cukup panjang.

Ada Musik di Dalam bisa dikatakan sebagai versi yang lebih lambat dan lebih santai dari Nancy Bird. Dengan aransemen yang cukup mirip, Ada Musik di Dalam menawarkan citarasa Nancy Bird, tentunya dalam atmosfer yang lebih santai (ditambah iringan paduan suara dan mandolin pada bagian chorus). Bahkan, saat saya mendengar Ada Musik di Dalam, saya seperti mendengar lagu-lagu Frank Sinatra atau Louis Armstrong. Funk the Hole adalah lagu bergenre pop-rock yang membawa sentuhan rock jadul, seperti beberapa lagu yang dibawakan oleh band seperti The Adams dan The Upstairs. Mata Berdebu memiliki aransemen yang ringan, dengan iringan tabla dan melodi yang diambil dari GymnopĂ©die No. 1 karya komposer Perancis Erik Satie.

Merintih Perih adalah lagu pop dengan vokal yang powerful dan tempo yang lebih lambat, namun tetap mempertahankan unsur-unsur woodwind instruments yang menjadikannya cukup unik. Lagu terakhir, Pergi Tanpa Pesan, merupakan lagu re-make dari sebuah lagu yang cukup populer di tahun 50an. Awalnya dipopulerkan oleh Nina Kirana, lagu ini diaransemen ulang oleh Sore dan dibawakan dalam aransemen midnight jazz yang mengingatkan saya pada lagu Gloomy Sunday versi Sarah Brightman. Sentuhan French jazz yang direpresentasikan dengan melodi akordion, progresi akord yang 'menipu', serta warna suara Ade yang lembut dan misterius membuat lagu ini cukup haunting

Meskipun 'baru' menjadi pendengar karya-karya Sore, namun saya berani mengatakan bahwa Sore berhasil memikat saya dengan karya-karyanya. Album Sorealist bisa saya definisikan sebagai teman perjalanan yang misterius, namun menyenangkan. Beberapa lagu dalam album ini menawarkan nuansa yang ceria, ada pula yang menawarkan semangat, dan ada pula yang justru membuat saya cukup merinding (bukan dalam konteks hal metafisika tentunya). Dengan harga Rp 49 ribu (di iTunes, atau Rp 5 ribu per lagu), saya rasa album ini layak untuk bersanding di library iTunes komputer, atau setidaknya perpustakaan musik di komputer. 


Tautan iTunes: Sorealist by Sore
Penilaian personal: 4,5 out of 5 (highly recommended)