My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, August 19, 2015

Takhayul

Lima belas tahun yang lalu, saat saya masih duduk di kelas satu sekolah dasar, saya masih ingat jelas betapa teman-teman saya menertawakan dan 'memojokkan' saya yang, saat itu, duduk di atas meja. Engké manéh loba hutang (nanti kamu banyak hutang), kata mereka. Saya, yang saat itu tidak paham apa yang terjadi, langsung menepis pernyataan mereka, menegaskan bahwa saya tidak suka berhutang di kantin sekolah dan tidak mau sampai berhutang. Tawa mereka saat itu menghantui saya dan membuat saya, akhirnya, tidak mau duduk di atas meja lagi. Meskipun demikian, dalam hati saya menanyakan hubungan antara duduk di atas meja dengan banyaknya hutang yang dimiliki. Apa hubungannya? 


Superstition, atau takhayul dalam bahasa Indonesia, merupakan salah satu artefak budaya yang, mungkin, paling kita kenal di masyarakat. Berbeda budaya, berbeda juga takhayulnya (meskipun beberapa budaya memiliki takhayul yang kurang lebih sama). Mengenai duduk di atas meja, saat itu saya belum paham bahwa duduk di atas meja dapat membawa banyak hutang merupakan salah satu takhayul. Di keluarga, saya tidak banyak dikenalkan dengan takhayul (mungkin karena kedua orang tua saya juga bisa dikatakan tidak percaya dengan takhayul). Jadi, saat saya tiba-tiba dikatai "banyak hutang" karena duduk di atas meja, saya tidak percaya dan tidak memahami hubungan antara duduk di atas meja dengan banyak hutang. Setelah beberapa lama, akhirnya saya diberi tahu oleh guru saya bahwa teman-teman saya rupanya percaya dengan takhayul tersebut. Guru saya, untungnya, memberi saya "pilihan" untuk ikut percaya atau tidak. Saya memutuskan untuk tidak percaya dan mencari sendiri penjelasan yang lebih masuk akal daripada sekedar ditakut-takuti "banyak hutang." Takhayul merupakan kepercayaan yang, pada dasarnya, dibuat demi kebaikan. Larangan mengenai duduk di atas meja karena nantinya dapat membawa banyak hutang, misalnya, ternyata dibuat karena alasan kesopanan. Terlebih lagi, meja bukan tempat untuk duduk. Toh sudah ada kursi, jadi kenapa masih duduk di atas meja? 

Sayangnya saat itu teman-teman saya tidak tahu alasan sebenarnya mengapa duduk di atas meja dilarang. 

Mungkin kita tahu tentang larangan berdiri atau duduk di depan pintu. Katanya, kalau seseorang duduk atau berdiri di depan pintu, dia akan nongtot jodoh (susah mendapatkan jodoh). Faktanya, larangan tersebut dibuat karena jika seseorang duduk di depan pintu, orang tersebut menghalangi jalan keluar masuk orang lain. Jujur saja, saat tidak pergi ke kampus dan bisa menikmati siang atau sore di rumah, saya senang duduk di depan pintu samping yang menghadap ke taman di depan rumah. Suasana yang tenang serta angin segar yang berhembus membuat saya betah duduk di depan pintu. Ditambah lagi, kucing-kucing komplek yang bertandang membuat saya semakin senang duduk di sana. Depan pintu menjadi spot yang nyaman untuk sekedar bersantai menikmati angin sambil mendengarkan lagu, atau membaca buku sambil bersandar pada frame pintu. Seandainya saya percaya dengan takhayul tersebut, mungkin saya pernah bisa merasakan 'sensasi' nyaman saat duduk sambil membaca buku dan bermain dengan kucing-kucing yang sering mampir ke rumah saya. 

Saya juga ingat saat itu saya sedang pergi tamasya bersama keluarga. Saya ikut mengajak seorang teman sekelas. Saat makan siang di semacam pendopo kecil, teman saya melihat ke arah langit dan tiba-tiba meringis ketakutan. Rupanya ia melihat seekor burung elang yang terbang berputar-putar di langit. Katanya, jika ada burung elang yang terbang berputar-putar di langit, ada seseorang yang meninggal tak jauh dari tempat elang tersebut terlihat. Saya, yang pada saat itu tiba-tiba percaya begitu saja, menebak-nebak bahwa di perjalanan pulang nanti, kami akan melewati rumah yang di depannya terdapat bendera kuning. Pada kenyataannya, sepanjang perjalanan saya tak melihat bendera kuning sama sekali. Teman saya bersikeras bahwa ada seseorang yang meninggal saat saya (akhirnya) memojokkannya dengan berkata bahwa yang ia katakan hanyalah omong kosong. Teman saya tetap percaya dengan apa yang ia percaya, sementara saya akhirnya tidak mempercayai apa yang ia percaya, tapi hal tersebut tidak lantas membuat kami tidak berteman lagi. Kalau boleh saya tebak, sepertinya sampai sekarang ia masih mempercayai hal tersebut. Mungkin juga hal tersebut yang membuatnya cukup takut terhadap burung elang. 

Mengingat burung elang adalah karnivora, saya juga harus waspada terhadap burung tersebut. 

Dunia tanpa takhayul sepertinya kurang seru. Kurang greget. Takhayul menyuguhkan semacam larangan yang, menurut saya, unik. Saat mengetahui satu takhayul, saya biasanya langsung mencari tahu alasan yang logis untuk takhayul tersebut. Larangan membuka payung di dalam ruangan, misalnya, ternyata dibuat demi alasan keselamatan. Ujung-ujung payung yang tajam dapat membahayakan orang jika payung dibuka di dalam ruangan; oleh karenanya larangan mengenai membuka payung di dalam ruangan pun dibuat. Di sisi lain, ada saat-saat dimana takhayul justru, menurut saya, merepotkan. Kepercayaan bahwa membakar kemenyan dapat menangkal hujan, misalnya, justru bagi saya merepotkan dan menyusahkan diri sendiri. Saya ingat betul saat itu adalah hari pernikahan paman saya. Pernikahan diadakan di rumah nenek dari ayah saya. Tetangga-tetangga nenek saya rupanya sangat percaya akan takhayul dan, demi 'menyelamatkan' hari pernikahan paman saya, di pagi hari sebelum resepsi dimulai para ibu memasak di dapur di tengah kepulan asap kemenyan yang menyesakkan. Saat saya melangkah ke dapur untuk mencari kudapan yang bisa saya makan, saya terkejut dengan bau menusuk yang berasal dari sebuah wadah tanah liat kecil. Bau tersebut benar-benar menusuk hidung dan membuat saya cukup trauma sampai sekarang. Pada kenyataannya, hujan tetap turun di sore harinya, meskipun memang tidak sampai begitu mengganggu resepsi pernikahan. 

Ada beberapa hal yang saya 'kecam' dari aksi pembakaran kemenyan di pagi itu: 
  • Asap kemenyan yang begitu banyak dapat berbahaya bagi pernafasan
  • Di pagi hari ada baiknya kita banyak menghirup udara segar yang tak berbau, bukan asap dengan bau yang menusuk
  • Mereka membakar kemenyan sambil memasak di dapur untuk tamu-tamu resepsi. Bukankah asap kemenyan itu bisa menempel pada makanan yang dibuat? Bagaimana jika racun yang terbawa oleh asap itu menempel di makanan? 
Mempercayai takhayul merupakan pilihan. Tapi, jika takhayul yang dipercaya dapat 'menjauhkan' seseorang dari bahaya justru menjadi bahaya tersendiri, mengapa masih dipercaya? Sebagai bagian dari budaya, mungkin mempercayai takhayul sama artinya dengan menjaga budaya itu sendiri. Jika saya tidak percaya pada takhayul, apakah itu artinya saya tidak menghargai budaya saya? Saya rasa ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghargai dan menjaga budaya sendiri, selain mempercayai takhayul. Saya tidak bermaksud untuk menjadi sompral atau sombong, tapi saya menginginkan adanya penjelasan yang logis mengenai kepercayaan-kepercayaan tersebut. Mungkin, kepercayaan bahwa saat ada tiga orang berfoto bersama, orang yang berdiri di tengah akan mati muncul karena ada seseorang yang merasa iri tidak bisa berfoto bersama dan, untuk mengungkapkan kekesalannya, membuat kepercayaan tersebut. Bisa jadi, 'kan? Apakah posisi kita saat berfoto bersama menentukan jatah usia kita? Kalau seperti itu sih, bisa-bisa semua orang tidak mau berfoto bersama. 

Sebagai (setengah) keturunan Tionghoa, saya sangat mengenal takhayul yang satu ini: angka 4. Saat naik lift di mal atau bangunan-bangunan bertingkat, tidak jarang saya melihat tombol lantai 4 digantikan oleh tombol lantai 3A. Selain itu, tombol lantai 13 juga kadang-kadang digantikan dengan tombol lantai 12A. Mengapa bisa seperti itu? 

Bahasa Mandarin merupakan tonal language. Ini artinya, perbedaan nada mempengaruhi makna kata. Dalam bahasa Mandarin terdapat 5 nada yang berbeda untuk setiap kata. Jika diucapkan dengan nada yang berbeda, satu kata yang secara bunyi terdengar sama dapat memiliki makna yang berbeda. Kembali ke masalah tombol lantai lift, angka 4 dalam bahasa Mandarin adalah "Sì" (四). Sayangnya, verba mati dalam bahasa Mandarin adalah "Sǐ" (死). Memiliki bunyi yang sama, mencantumkan angka 4 dapat dianggap membawa kesialan karena angka 4 dalam bahasa Mandarin, jika dibaca dalam nada yang berbeda, dapat memiliki arti yang lain (dalam hal ini, mati). Oleh karena itulah, pada lift dan bangunan seringkali sebutan lantai 4 digantikan dengan sebutan lantai 3A (bahkan ada juga yang melewati angka empat begitu saja, sehingga setelah lantai 3 adalah lantai 5). 


Di gedung fakultas saya, pada lift tidak terdapat tombol lantai 3A; kami menyebut lantai 4 sebagai lantai 4, sebagaimana mestinya. Apakah hal tersebut lantas memberikan kesialan bagi semua pengguna gedung fakultas? Entahlah, tapi (puji Tuhan) selama ini tidak ada hal-hal yang benar-benar buruk menimpa kami sebagai pengguna gedung. Terlepas dari adanya kejadian-kejadian metafisika yang, konon, sering terjadi di lantai 4, penggunaan 'lantai 4' dan adanya tombol lantai 4 di lift tidak sampai membuat gedung fakultas saya mendapatkan kesialan. Mungkin karena mayoritas pengguna gedung fakultas (dosen dan mahasiswa) bukan merupakan keturunan Tionghoa? Entahlah, namun saya, selaku (setengah) keturunan Tionghoa pun tidak percaya dengan takhayul tersebut. Atau mungkin, takhayul hanya 'bekerja' pada orang-orang yang memang percaya pada takhayul tersebut? Katanya, kekuatan pikiran itu sangat besar. 

Katanya. 

Saturday, August 15, 2015

Lemantun dan Rahim Ibu

Setelah cukup lama vakum dari dunia Soundcloud, hari ini saya mengunggah piano cover dari lagu Jepang berjudul Nada Sousou. Bagi saya, lagu tersebut begitu menyentuh, terutama dari segi lirik. Lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengenang sosok tercinta yang telah pergi mendahuluinya itu ditulis oleh Ryoko Moriyama dan BEGIN, band asal Jepang, namun popularitasnya melejit saat lagu itu dipopulerkan kembali oleh Rimi Natsukawa di tahun 2001. 

Setelah selesai mengunggah lagu, saya sempat melihat-lihat koleksi karya-karya yang saya sukai. Salah satunya adalah lagu berjudul Lagu Ibu, yang merupakan soundtrack dari sebuah film pendek berjudul Lemantun. Lagu tersebut ditulis oleh Gardika Gigih. Diaransemen dengan sederhana, Lagu Ibu berhasil menyajikan nuansa teduh dan menyentuh. Dentingan piano yang melankolis berhasil membuat saya teringat akan masa kecil saya yang, notabene, banyak dihabiskan bersama ibu saya karena ayah saya pada saat itu bekerja di luar kota.



Film Lemantun sendiri belum pernah saya tonton. Film yang disutradarai Wregas Bhanuteja ini menjadi salah satu nominator di ajang XXI Short Film Festival 2015 dan, menurut beberapa sumber, berhasil memenangkan festival tersebut. Salah satu sumber yang saya baca adalah sebuah artikel dari majalah Provoke yang mengupas filosofi lemari dari film tersebut. Lemantun, dalam bahasa Jawa, berarti lemari, dan dalam film ini, lemari menjadi key item yang mengantarkan makna untuk para penonton. Saat membacanya, tiba-tiba saya teringat dengan materi psikoanalisa yang sempat saya pelajari di semester 5 dan 6 kemarin. 


Sinopsis
Lemantun menceritakan tentang seorang ibu yang meminta kelima anaknya berkumpul untuk membagikan warisan kepada masing-masing anak. Tri, anak ketiga, merupakan anak yang bisa dikatakan tidak sesukses kakak dan adiknya. Saudara-saudaranya memiliki kehidupan yang bisa dikatakan mapan. Ada yang bekerja menjadi kontraktor, ada yang bekerja menjadi dokter, ada yang mendalami dunia fotografi, dan lain-lain. Dibandingkan empat saudaranya, Tri hanyalah seorang penjual bensin yang membuka usahanya di depan rumah orang tuanya. Tri bahkan masih tinggal bersama sang ibu dan belum berkeluarga. 

credit: http://jaff-filmfest.org/open-air-cinema-lemantun/

Sang ibu pun mewariskan lemari, satu untuk masing-masing anaknya. Lemari-lemari warisan tersebut merupakan lemari yang dibeli untuk masing-masing anaknya saat mereka lahir. Setiap anak diharuskan untuk membawa lemari tersebut di hari yang sama karena, jika tidak, si ibu mengancam akan memberi denda. Anak-anaknya pun mencari berbagai cara untuk bisa membawa lemari tersebut, tapi berbeda dengan Tri yang, notabene, belum mempunyai rumah sendiri.
credit: http://jaff-filmfest.org/open-air-cinema-lemantun/

Lemari-lemari warisan tersebut memiliki akhir yang, bisa dikatakan, agak ironis. Lemari yang seharusnya menjadi kapsul waktu tersebut ada yang dibiarkan saja tak dipakai. Ada juga yang dijual. Berbeda dengan lemari yang lain, lemari milik Tri justru disimpan dan dirawat. Lemari yang didapat oleh Tri merupakan lemari yang biasa digunakan Tri saat masih kecil dulu untuk bersembunyi. Tri bahkan sempat masuk ke dalam lemari dan diam di sana--sebuah scene yang melankolis. Pada akhirnya, lemari yang diwariskan untuk Tri digunakan untuk berjualan bensin. 


State of Jouissance
Seperti yang saya katakan sebelumnya, artikel yang diterbitkan oleh Provoke tersebut mengingatkan saya dengan materi psikoanalisa yang saya dapatkan di semester 5 dan 6. Psikoanalisa sendiri, seperti yang bisa ditebak dari namanya, merupakan cabang ilmu psikologi, namun juga bisa dijadikan sebagai pendekatan untuk menelaah karya-karya sastra. Menurut Bressler (2007:149), dengan menerapkan teknik-teknik psikoanalisa pada karya sastra, sebuah karya dianggap sebagai mimpi-mimpi si penulis karya yang, di dalamnya, terdapat keinginan dan dorongan-dorongan yang selama ini disembunyikan. Akan tetapi, Tyson (2006:35) berpendapat bahwa pendekatan psikoanalisa tidak dapat efektif membongkar keinginan tersembunyi si penulis karya melalui analisa karakter dalam karya tersebut karena karakter-karakter tersebut bukanlah sosok nyata dan, oleh karena itu, tidak memiliki jiwa nyata yang dapat dianalisa. Meskipun demikian, untuk mempelajari penerapan teori psikoanalisa, kita dapat mencoba menganalisa perilaku karakter dalam karya sastra dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa. 

Dalam Lemantun, ada satu scene yang menggambarkan karakter Tri masuk kembali ke dalam lemari. Seperti yang dikutip oleh Provoke, Wregas mengatakan bahwa lemari merupakan gambaran dari rahim. Sejalan dengan ini, di salah satu sesi perkuliahan dosen saya mengatakan bahwa dalam psikoanalisa terdapat sebuah konsep yang disebut sebagai Lustprinzip, atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai pleasure principle. Konsep ini berkaitan dengan keinginan yang ada dalam setiap diri manusia untuk mencapai state of jouissance, keadaan di mana manusia selalu merasa puas dan nyaman. Kepuasan dan kenyamanan tanpa batas tersebut didapat manusia saat ia masih berada di dalam rahim ibunya. Bayangkan bayi yang masih berada di dalam rahim ibunya. Saat ia lapar, ia tak perlu bersusah payah mengambil piring, menyendok nasi, atau bahkan mencari uang untuk bisa mendapatkan makanan; makanan bisa ia dapat dari ibunya. Si bayi tidak akan merasa kedinginan karena rahim ibu memberikan kehangatan yang membuatnya merasa nyaman. Tidak ada rasa takut atau ketidaknyamanan yang mengancam; rahim ibu pun menjadi semacam surga kecil. Kelahiran si bayi menandakan akhir dari kenyamanan dan kepuasan tanpa batas yang sebelumnya ia dapatkan. Si bayi kini masuk ke dunia, sebuah tempat baru yang berbeda. Bayi yang baru lahir untuk pertama kalinya merasakan udara luar yang mungkin dingin, tidak sehangat saat ia berada di dalam rahim. Saat ia lapar, ia harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan (kita tahu bayi kalau lapar biasanya menangis). Segala sesuatunya menjadi berbeda. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka muncullah apa yang disebut sebagai kecemasan atau anxiety

Kecemasan itu sendiri merupakan 'peringatan' yang menandakan adanya ancaman yang dapat mengakibatkan perasaan tidak nyaman, dan ancaman tersebut dapat datang dari luar (lingkungan sekitar dan orang lain) atau dari dalam (Emanuel, n.d.). Kembali ke Lemantun, sosok Tri mengalami kecemasan yang datang, tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Dari luar, karena ia merasakan sentimen saudara-saudaranya yang telah bekerja dan memiliki kehidupan yang mapan terhadap dirinya yang hanyalah penjual bensin dan belum berrumah tangga. Tri juga mengalami konflik batin yang disebabkan oleh perasaan 'minder' karena kondisinya yang belum mapan dan kenyataan bahwa ibunya semakin tua. Pewarisan sesuatu, mau tidak mau, mengingatkan kita akan sebuah kenyataan pahit bahwa setiap manusia akan meninggal. Bagi Tri, pewarisan lemari tersebut bisa saja memicu kecemasan dan ketakutan akan kehilangan sosok sang ibu yang selama ini tinggal bersamanya. Perlu diingat bahwa Tri, sampai usianya yang dewasa itu, masih tinggal bersama sang ibu dan merawatnya. Kita bisa membayangkan sendiri kedekatan antara Tri dan sang ibu. Oleh karena itu, pewarisan lemari tersebut sudah tentu bukanlah sekedar pemberian barang peninggalan bagi Tri; ada peringatan awal terhadap ancaman 'kehilangan sosok yang dicintai' di balik pewarisan tersebut.

Kehidupan yang kurang mapan, belum berkeluarga, serta ketakutan akan kehilangan sang ibu yang sangat disayanginya menjadi ancaman besar yang memberikan Tri kecemasan. Saat kecemasan muncul, secara alamiah seseorang akan menunjukkan apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan diri atau defense mechanism. Mekanisme pertahanan diri merupakan dorongan yang dapat mencegah munculnya pikiran-pikiran atau perasaan yang tidak menyenangkan (McLeod, 2009). Mekanisme tersebut muncul secara otomatis dan bekerja tanpa disadari, seperti halnya sistem imun pada manusia (Vaillant, 1994 dalam Bowins, 2004). Pada tahun 1977, seorang psikiater bernama George Eman Vaillant mengatakan bahwa mekanisme-mekanisme pertahanan diri dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelas, yaitu pathological (primitif), immature (belum matang), neurotic (menengah), dan mature (matang/dewasa). Masing-masing kelas memiliki beberapa jenis mekanisme. Salah satu mekanismenya adalah regresi, yang diklasifikasikan ke dalam mekanisme kelas menengah. Saat seseorang mengalami regresi, ia akan menangani atau menghadapi masalahnya dengan cara yang dilakukannya saat ia masih berada di tahap perkembangan awal (semisal, anak-anak). Masuknya Tri ke dalam lemari seperti memutar kembali waktu saat Tri masih anak-anak dan sering masuk ke dalam lemari untuk bersembunyi. Hal ini semacam menggambarkan regresi yang ditunjukkan oleh sosok Tri sebagai mekanisme pertahanan dirinya dalam menghadapi kecemasannya. Di sisi lain, analogi lemari sebagai rahim ibu juga menyiratkan keinginan Tri untuk bisa kembali ke state of jouissance. Karena tidak mungkin bagi Tri untuk kembali masuk ke dalam rahim ibunya, lemari warisan ibunya-lah yang akhirnya berperan sebagai 'rahim' bagi Tri. 


Cinta Ibu
Membaca artikel-artikel mengenai film Lemantun membuat saya secara pribadi tersadar akan kenyataan bahwa, terlepas usia saya yang tak lagi bisa disebut anak-anak, saya masih menginginkan dan (akan terus mencari) suasana tenang dan hangat yang diberikan oleh sosok ibu. Lemari warisan yang dimiliki oleh Tri dari ibunya seperti menjadi simbol akan cinta dan kasih sayang seorang ibu yang tak ada akhirnya. Dari Lemantun, saya menangkap pesan bahwa, meskipun suatu hari si ibu akan pergi meninggalkan Tri, ia tidak akan begitu saja meninggalkan Tri. Lemari warisan itu seolah menjadi simbol cinta sang ibu yang tidak akan ada habisnya, serta menjadi 'rahim' di mana Tri dapat menenangkan diri dari kehidupan nyata yang mungkin tidak seindah yang dibayangkan. Singkatnya, jika Tri tidak bisa kembali ke dalam rahim ibunya, ia masih bisa mendapatkan pelukan dari sang ibu. Dan nanti, saat Tri tak bisa lagi mendapatkan pelukan dari ibunya, ada 'rahim' ibunya yang dapat ia kunjungi untuk menenangkan diri. 

Secara pribadi, saya pernah bersembunyi di dalam lemari saat saya masih kecil. Kalau tidak salah, saat itu usia saya sekitar 6 atau 7 tahun. Dulu saya tinggal di rumah peninggalan nenek saya. Rumah antik itu memiliki cukup banyak kamar dan di salah satu kamar terdapat sebuah lemari kayu raksasa. Lemari dua pintu itu memiliki sebuah cermin kaca besar berbentuk oval di salah satu pintunya. Saat pintu bercermin itu dibuka, ada sebuah ruang yang cukup besar yang digunakan untuk menggantung jas atau gaun. Saya dulu sering bersembunyi di dalam lemari itu, biasanya saat takut mendengar suara petir atau dentuman lodong atau meriam bambu yang diarak saat pawai menjelang Hari Kemerdekaan. Setiap saya menutup telinga, ibu saya selalu memarahi saya, memaksa saya agar mau berani menghadapi ketakutan saya. Namun, ada masa di mana saya benar-benar tidak tahan lagi mendengar suara-suara itu. Di saat itu-lah saya biasanya akan bersembunyi di dalam lemari itu dan, setelah beberapa saat, ibu saya akan menemukan saya di dalam lemari itu dan menenangkan saya. 

credit: thankx4stayin

Saya memang belum setua Tri. Saya bahkan belum menonton filmnya. Namun dari pembahasan film Lemantun, saya dapat merasakan apa yang Tri rasakan. Saya rasa kita semua bisa merasakannya, ketakutan akan kehilangan sosok yang disayangi, yang memberikan kita kenyamanan dan ketenangan. Sayangnya, semua manusia akan mati, termasuk ibu kita. Dan pada akhirnya, pembicaraan mengenai kerinduan akan kasih sayang ibu tidaklah melihat berapa usia kita. Terlepas dari kehidupan kita sebagai orang dewasa dan seberapa mapannya hidup yang kita jalani, kita tak bisa mengelak bahwa tidak ada ketenangan dan kehangatan yang dapat mengalahkan ketenangan dan kehangatan yang kita dapat di dalam pelukan seorang ibu. 


Referensi
  • Bowins, B. (2004, Maret). Psychological Defense Mechanisms: A New Perspective. The American Journal of Psychoanalysis, 64(1). Diambil dari http://bowins.com/downloads/psychological_defense_mechanisms.pdf pada tanggal 21 Desember 2014.
  • Bressler, C. E. (2007). Literary Criticism (4th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
  • Emanuel, R. (n.d.). Anxiety. Diambil dari http://www.freud.org.uk/education/topic/10575/subtopic/40014/ pada tanggal 15 Agustus 2015
  • McLeod, S. A. (2009). Defense Mechanisms. Diambil dari Simply Psychology: http://www.simplypsychology.org/defense-mechanisms.html pada tanggal 5 Desember 2014.
  • Tyson, L. (2006). Critical Theory Today (2nd ed.). New York: Routledge.
  • Vaillant, G. E. (1977). Adaptation to life. Boston: Little, Brown [artikel didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Defence_mechanisms]

Tuesday, August 4, 2015

[Review] Bloemen

Minggu lalu saya dan ayah pergi makan siang. Sebetulnya bukan makan siang sih karena jatuhnya jadi sebatas ngemil, tapi ngemil agak berat (loh?). Rencana awalnya memang mau sebatas ngopi sambil ngobrol (mungkin tentang skripsi saya atau hal-hal semacamnya), tapi terus saya bilang ke ayah ada restoran unik bergaya kolonial Belanda dulu di Cipaganti. Walhasil, kami jadi pergi ke restoran itu. 

Bloemen. Nama restorannya adalah Bloemen. Berlokasi di jalan Bosscha no. 45 (pas persimpangan SPBU Cipaganti langsung belok kiri dan belok kiri lagi), Bloemen mencoba menghidupkan kembali suasana jaman kolonial Belanda dulu, Dari mulai desain interior ruangan sampai menu makanan dan minuman yang ditawarkan, makan di Bloemen ini serasa turn back time beberapa puluh tahun yang lalu saat para meneer dan mevrouw sore-sore menikmati teh sambil ngemil kue-kue. 

©2015 Klaus R Dewanto

Teduh
Kesan pertama yang saya dapat pas tiba di Bloemen adalah teduh. Berlokasi di jalan Bosscha yang banyak pohon-pohon besar, serta adanya awning merah marun yang menghiasi teras depan membuat restoran ini terkesan teduh. Meskipun demikian, jarak antara teras dengan tempat parkir yang menurut saya terlalu dekat membuat fasadnya terkesan riweuh, meskipun sebetulnya kalau di area parkir tidak ada banyak kendaraan sih kita bisa melihat dan menikmati keindahan fasad depannya dengan lebih baik. 

Bloemen sendiri dalam bahasa Belanda berarti bunga (or at least something floral). Di bagian depan restoran memang tidak banyak tanaman bunga, tapi di taman belakang dan sampingnya ada, jadi nama tidak menipu. Di teras depan ditanami semacam tumbuhan paku setinggi perut orang dewasa yang menjadi pembatas alami antara teras depan dengan area parkir. Awalnya saya dan ayah mau makan di teras depan, tapi berhubung saat itu cuaca sedang cukup panas, jadi kami memutuskan untuk makan di dalam. Area makan di teras depan dan teras samping menggunakan kursi-kursi rotan warna putih yang mengingatkan saya dengan Café Parisien di kapal pesiar mewah RMS Titanic. 

"Titanic Cafe Parisien" by Robert John Welch (1859-1936), official photographer for Harland & Wolff


Rumah Oma
Bagian dalam restoran didominasi oleh dinding berwarna gading, meskipun pada salah satu sudut ruangan temboknya dicat merah terang (dan jadi focal point yang unik). Lantainya pakai ubin abu-abu tua dan ubin bermotif khas rumah-rumah peninggalan jaman kolonial (dan katanya sekarang susah loh cari ubin itu). Ubin abu-abu tua itu biasa saya lihat di rumah oma saya, jadi ada semacam feeling seperti berkunjung ke rumah oma saat kami masuk ke dalam ruangan. 

©2015 Klaus R Dewanto

Berbeda dengan seating area di teras, di bagian dalam furnitur yang digunakan sedikit lebih modern karena menggunakan kursi-kursi makan kayu yang desainnya cukup kontemporer. Ada juga sofa di beberapa sudut ruangan yang menambah kesan kontemporer pada ruangan, meskipun sebetulnya saya expect something more classic. Lampu-lampu gantung dengan kaca patri menambah sentuhan bohemian tersendiri, kalau kata ayah saya. Foto-foto jaman dulu dipajang di hampir semua sudut ruangan. Ada juga semacam lemari kaca besar yang menyimpan fine china. Selain foto, ada juga beberapa barang antik seperti radio tua dan pesawat telpon yang memperkuat kesan seolah-olah saya benar-benar ada di rumah oma. 

Di teras belakang, di dekat pintu menuju seating area teras belakang, ada sebuah piano upright. Meskipun pianonya tidak nampak jadul (Yamaha tipe-tipe yang cukup baru, mungkin keluaran tahun 2000an awal), tapi keberadaan piano dan foto-foto yang dipajang di atasnya menjadi focal point tersendiri di seating area teras belakang. Piano ini bisa dimainkan. Kebetulan sambil nunggu makanan datang, saya main piano. Keasyikan main piano, saya sampai dipanggil sama ayah karena katanya makanannya sudah datang. Jadi seperti anak kecil yang keasyikan main sampai harus dipanggil ibu atau ayahnya buat makan. 

©2015 Klaus R Dewanto


Mixed fries dan chocolade mint
Karena niat awalnya hanya sekedar ngopi dan ngobrol dengan ayah, kami tidak pesan makanan yang berat (toh di rumah juga sudah makan). Like father like son, saya pesan chocolade mint seperti ayah saya. Untuk light meal, saya pesan mixed fries dan ayah saya pesan risoles (saya lupa isinya apa). Chocolade mint adalah minuman coklat dingin dengan daun mint yang ikut di-blend bersama coklat. Biasanya kalau pesan minuman chocolate mint, yang digunakan itu kan sirup mint atau ekstraknya, kalau ini justru daunnya langsung dan ikut di-blend dengan minumannya. Walhasil, minumannya terasa seperti ada rasa daunnya (kebayang kan seperti apa rasa daun?), tapi tetap enak kok. Kata ayah saya, rasa mintnya jauh lebih authentic daripada kalau pakai sirup mint. 

Mixed fries dan chocolade mint©2015 Klaus R Dewanto

Restoran ini menjual juga steak, tapi berhubung sudah makan ya terpaksa tidak pesan steak. Mungkin lain kali kalau ke sana coba pesan steak deh, and I'll tell you what I think of it, okay? Nah, untuk mixed fries sendiri menurut saya dari segi kandungan gizi, saya dapat karbohidrat dan protein. Karbohidrat saya dapatkan dari dua jenis kentang goreng, shoestring dan potato wedges. Potato wedges-nya sudah berbumbu. Rasanya lumayan, sedikit spicy tapi tidak sampai pedas banget. Untuk level cemilan, porsinya cukup banyak jadi bisa saya bagi dua dengan ayah. Nah, selain goreng-gorengan kentang, ada dua jenis gorengan lain yang turut disajikan bersama gorengan kentang. Yang bentuknya lebih pipih itu ternyata jamur yang digoreng tepung. Tapi jangan bayangkan jamur crispy yang biasa dijual di stan-stan. Saya nggak yakin jenis jamurnya apa, antara jamur merang atau shiitake. tapi yang jelas sensasinya mengejutkan. Dari luar memang renyah, tapi saat digigit ternyata jamurnya masih basah dan sensasi juicy-nya jadi semacam taste twist buat saya. Untuk yang bola-bola itu, ternyata isinya daging sapi yang dihaluskan. Teksturnya lembut dan rasanya cukup lezat. 


Untuk ayah saya, ada risoles yang cukup besar dan, ternyata, meskipun berhasil dihabiskan tapi ayah saya cukup kekenyangan. Saya lupa isiannya apa tapi seingat saya sih looks creamy and cheesy (dan itulah sebabnya saya nggak mau nyoba). Risoles disajikan dengan sambal Bangkok. Kata ayah sih lumayan rasanya. Mungkin kapan-kapan saya harus coba juga. 

Bicara tentang harga, range-nya dari mulai belasan ribu sampai puluhan ribu (atau mungkin ratusan ribu ya, saya lupa karena nggak banyak memperhatikan harga-harganya dan lebih fokus ke desain interior restoran). Untuk steak sih harganya di kisaran puluhan sampai ratusan ribu. Yang jelas sih, seingat saya untuk light meal kisaran harganya dari mulai 20 ribu sampai sekitar 30 ribuan. Kalau dibandingkan dengan porsi dan rasa, menurut saya sih cukup worthy harga segitu. Saya lupa harga risoles yang dipesan ayah berapa tapi kalau tidak salah sih di kisaran 20 ribuan juga. Harga minumannya dari mulai belasan ribu hingga 30 ribuan. Range-nya di kisaran standar restoran kalau menurut saya dan kalau dilihat dari kenyamanan tempat, restoran ini worth visiting loh. Sayangnya, saat berkunjung musik yang diputar itu nggak begitu pas dengan suasana. I was expecting something like Nederlands-Oost-Indië songs (semisal lagu-lagunya Wieteke van Dort atau Ben Snijders), tapi ternyata lagu yang diputar genre-nya lebih kontemporer, dari mulai dance sampai brit rock. Mungkin kalau saya berkunjung lagi, saya coba bilang ke pelayan atau manajernya buat lebih menyesuaikan musik yang diputar dengan suasana restoran. 


Overall commentary
Bloemen menyajikan tidak hanya masakan dan minuman ala Indo-Belanda, tetapi juga suasana yang membuat kita seolah dibawa kembali ke era penjajahan Belanda (tapi bukan berarti disiksa ya). Suasana restoran yang tenang dan teduh, serta desain interior yang sangat mencerminkan konsep Indo-Belanda bikin pengunjung nyaman buat berlama-lama disana. Secara keseluruhan harga makanan dan minuman yang ditawarkan juga nggak mencekik. Anak kuliahan boleh lah sesekali makan di sini, karena nggak akan sampai bikin bangkrut juga kok (kecuali kalau sekali pesan langsung habis ratusan ribu). Jaringan wi-fi tersedia di sini, jadi buat ngopi atau ngemil sambil ngerjain skripsi di sini bakalan nyaman banget. 


By the way, itu foto saya dan ayah saat di sana. Maafkan muka kami ya. Saya yang di kiri, ayah yang di kanan. Awas salah orang (loh?). 


Nyam-marking
Ambiance: ★★★★★★★★☆☆ (8/10)
Taste: ★★★★★★★✬☆☆ (7.5/10)
Price: $$$--



Bloemen
Jalan Bosscha no. 45
Ph: 022-2032035