My Fellas!

Now it's time to have healthy snack and fresh premium milk tea. My Fellas will be your next best friend. Check the products out!

Cat Valentine's Anti-Gambling Poem

It's one of my favorite scenes from all Sam and Cat episodes. This one is taken from episode #ToddlerClimbing. I wish you guys would stop gambling and.. stop laughing at the poem as well!

Short-stories by Klaus

Check some short stories written by me!

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, October 22, 2014

Transportasi Umum dan Kezaliman

Tadi setelah kelas terakhir selesai, saya putuskan untuk langsung pulang saja dan tidak nge-bolang, keluyuran main atau sekedar nongkrong di kampus. Saya langsung saja menuju tempat dimana angkot (angkutan kota) jurusan Ledeng-Cimahi mangkal. Untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Cimahi dan sekitarnya sepertinya sudah sangat kenal dengan angkot jurusan ini. Angkot berwarna hijau ini akan mengangkut penumpang dari Cimahi menuju persimpangan Geger Kalong Girang, dan sebaliknya, dari arah Geger Kalong Girang sampai ke Cimahi (bisa sampai di terminal, ataupun ujung jalan Cihanjuang). 

Naik angkot Ledeng-Cimahi saat pulang memang bisa dibilang menghemat biaya, terutama karena tidak perlu muter sampai depan IP (yang memberikan kesempatan buat saya untuk jajan lagi) dan rute yang dilewati angkot mencakup komplek perumahan tempat saya tinggal. Kendati demikian (eh gile bahasa gue kendati demikian..), ada satu hal yang sampai sekarang tidak pernah saya suka saat naik angkot ke Cimahi. 

Untuk angkot trayek Ledeng-Cimahi, ada seorang koordinator supir yang mengurus angkot mana yang dapat giliran narik penumpang dan ia juga mengatur penumpang-penumpang yang naik. Aturan seating angkot tersebut adalah 7-5, dengan 7 orang duduk di seat yang satu kolom dengan supir, dan 5 orang di kolom yang berlawanan. Tepat di belakang seat terdepan ada sebuah bangku kecil yang ditujukan untuk dua orang penumpang tambahan. Dalam kondisi full-loaded, angkot Ledeng-Cimahi memuat 17 orang termasuk dua penumpang di seat depan di samping supir, dan jumlah ini belum termasuk beberapa penumpang nekat yang nangkel, berdiri di depan pintu mobil. Semisal jumlah maksimal penumpang yang dianjurkan oleh pihak DLLAJR adalah 13 orang, bisa kita bayangkan betapa para koordinator dan supir angkot sangat memaksakan jumlah penumpang untuk dimasukkan ke dalam angkutan mereka. 

Masalah seating itu menjadi hal yang menyebalkan bagi banyak orang, termasuk saya. Betapa tidak, penumpang angkot harus duduk berjejalan layaknya hewan ternak. Ya. Hewan ternak, dan saya berani bilang begitu karena kadang koordinator dan supir angkot tidak mau peduli dengan kondisi di bagian utama angkutan mereka. Bukan sekali dua kali saya jadi penumpang ketujuh yang 'sial' di kolom supir dan hanya mendapat sedikit sekali spot untuk bokong saya. Saya banyak bertumpu pada kaki saya dan pegal rasanya lutut saya untuk menahan beban tubuh saya. Tahu begitu 'kan lebih baik nangkel saja sekalian, atau rela menunggu supaya dapat tempat duduk yang layak. 

Tadi sore saya mendapat kesialan itu, menjadi penumpang ketujuh di seat kolom supir. Sialnya, penumpang yang duduk di kolom itu bertubuh relatif besar sehingga setelah dipaksakan membuat space untuk saya pun, tetap saja saya tidak bisa dengan nyaman duduk karena 3/4 bokong saya mengambang di udara; hanya 1/4 bagian dari bokong saya yang berhasil 'ditempatkan' di space super sempit itu. Kenapa saya bisa mendapat tempat sempit itu? Ya, itu adalah ulah dari si koordinator angkutan umum yang menyuruh--dengan paksa--saya untuk duduk di kolom tersebut, dengan embel-embel bahwa si angkutan akan cepat berangkat. Oh, 15 menit yang menyebalkan karena saya harus menahan rasa pegal di lutut. Kalau berbicara tentang sikap penumpang lain dalam angkot sih, ya, ada yang peduli dan ada juga yang tidak. Dan semoga saja penumpang angkutan umum yang apatis, yang tidak peduli dengan keadaan penumpang lainnya mendapat ganjarannya. Terkututklah mereka. 

Sepanjang perjalanan saya banyak mengutuk dalam hati, dan salah satu objek kutukannya adalah koordinator angkutan umum itu. Kalau kebetulan anda naik angkot dengan trayek Ledeng-Cimahi yang mangkal di Geger Kalong Hilir, mungkin anda akan bertemu koordinator angkot itu. Koordinator itu adalah seorang pria, usianya sudah cukup tua, dengan wajah yang songong dan menyebalkan (dan setiap saya melihat orang itu, rasanya mau saya ludahi), dan biasanya mengenakan topi dan merokok (atau mungkin sedang mengatur seating penumpang dengan cara bicara yang mengesalkan dan kasar). Dan kalau kebetulan anda jadi korban kezaliman koordinator tersebut, saya persilahkan anda untuk mengutuk orang tersebut. Semisal dalam satu hari ada 20 armada angkutan rute Ledeng-Cimahi dan dari satu armada, ada 5 orang yang mengutuk kezaliman koordinator  itu, berarti dalam satu hari koordinator itu dikutuk oleh 100 orang. Ia mendapat 100 kutukan setiap harinya. Saya yakin hidupnya tidak akan dapat banyak berkah. Orang zalim, saya percaya, hidupnya tidak akan banyak berkah, dan saya yakin. karena koordinator itu berbuat zalim pada penumpang angkutan umum, hidup si koordinator tidak akan banyak berkah. 

Mungkin saya terdengar ekstrim untuk mengutuk orang seperti itu, tapi inilah kenyataannya. Seperti yang dosen saya pernah bilang di salah satu sesi matakuliah, bahwa orang yang menghalangi rezeki orang lain akan dihalangi rezekinya. Saya yakin hal itu pun akan sama ceritanya dengan orang yang berbuat zalim. Siapa yang berbuat zalim pasti akan dibalas oleh Tuhan. Masalahnya bukan hanya satu atau dua kali koordinator angkutan itu berbuat seperti itu--sudah berkali-kali dan sangat sering, dan kadang-kadang ucapannya sangat kasar sehingga membuat penumpang tersinggung. 

Saya seharusnya tidak boleh menyumpah serapah tapi untuk hal ini, saya akan menyumpahi koordinator itu supaya merasakan buah dari kezalimannya. Secara singkat, semoga orang itu cepat mati. 

Oh.. Ekstrim. 

Tuesday, October 21, 2014

Oh

Tuesday afternoon was always cold, at least for him. Dimitri went home and no one knew he was sobbing on his way home. He was sobbing, yet no tears fell from his eyes. His heart was hurt, for some bad fellows at school talked bad about him behind his back. So bad that he couldn't believe that the betrayal was so true. Dimitri kept wondering why people were so harsh, and life has been so harsh as well. He was no longer a kid and he knew that. Running away was for cowards and he knew he wasn't a coward. But the pain was pain, and pains hurt. 

Keeping all thoughts by himself, Dimitri didn't find something to yell at. Breaking plates would be useless and punching mirror would never solve his problems and heal his heartache. He could not yell at Demian, nor at Edgar. He could not yell at the whole class, calling them bad bitches and sons of bitches. He dared not to yell at people. He wished he could kill someone but a voice inside his head told him not to do so, yet he realized he should kill someone, or at least hurt someone. He was looking for someone to kill but again that voice told him not to do that. 

Screams were screams, and tears were tears. He turned the tap on and water filled his tub. As it reached two third of the tub, he turned the tap off. He got in and lay with his eyes open, seeing world from underwater. It didn't hurt when a small cutter cut his arms. Water turned red. Tears turned red, and screamed turned bubbles. Everything felt so good. Dimitri wasn't hurt. Everything was fine for him. 

Monday, October 20, 2014

Nesa's Day

Beberapa hari yang lalu, sepupu saya berulang tahun. Beberapa hari yang lalu. Ya, karena saya lupa tanggal berapa tapi yang jelas di bulan Oktober (dan saya malas buat buka Facebook, just to find out his birthday). Sebetulnya ada beberapa orang spesial yang berulangtahun di bulan Oktober dan salah satunya adalah ayah saya yang kemarin sempat merayakan pesta ulangtahun kecil di rumah. Ada nasi kuning tumpeng, ayam goreng, sambal, salad.. 

Sebetulnya post ini akan menceritakan tentang sepupu saya, Nesa. 

Umur si Nesa itu sebetulnya lebih muda dari saya, tapi berhubung orangtuanya adalah kakaknya ayah saya mau nggak mau harus nyebut kakak atau mas ke dia, meskipun pada kenyataannya saya manggil dia dengan nama dia, Nesa, atau Agnesa. Katanya sih beberapa hari yang lalu dia ulangtahun. Katanya. Loh, kok? Kalau anda salah satu pengikut atau penggemarnya Nietzsche mungkin akan setuju dengan ucapannya yang bilang bahwa tidak ada fakta, yang ada hanya interpretasi. Maksudnya, semisal si Nesa dikatakan di akte ulang tahunnya tanggal 17 Oktober, itu 'kan realita menurut yang nulis akte atau realita menurut orang yang percaya bahwa dia ulang tahun tanggal 17 Oktober. Kalau ternyata dia sebetulnya bukan lahir tanggal segitu, bagaimana? 

Bingung ya? Emang out of topic sih.. 

Baiklah. Jadi Nesa itu seperti apa orangnya? Yang jelas sih kata teman-teman saya dia seksi, baik, langsing, tinggi, putih, pokoknya lumayan lah kalau buat ikutan girlband. Pada kenyataannya, Nesa adalah sepupu saya dan dia laki-laki (kalau nggak percaya bisa langsung sentil aja apa yang ada di antara selangkangannya) [R-18 ALERT!]. Urusan langsing, putih, dan cantik, ya itu sih gimana pendapat yang melihat mukanya saja. Tapi sejauh ini buat saya kondisi fisik dia bukan jadi masalah; yang bermasalah itu tingkat kesintingannya. Bahkan setelah dia berulangtahun pun dia masih belum menunjukan adanya indikasi perbaikan dari segi psikis. 

Agnesa. Tampak depan

Sebetulnya kalau bicara tentang hubungan darah saya dan Nesa, saya bisa jadiin itu sebagai skripsi saking panjangnya. Kalaupun ada yang melihat saya dan Nesa sedang gila-gilaan di mal atau restoran, yakinlah sumpah inyong mereka tidak akan menyangka bahwa semasa kecil dulu, saya dan Nesa hobinya bertengkar, dari mulai masalah remote TV sampai asal-usul petir yang kata Nesa waktu itu, munculnya karena dewa sedang marah. 

Mungkin dia sejak dulu sudah dicekoki Mahabarata. 


Hobi: Bertengkar
Saya sendiri nggak ngerti kenapa waktu dulu sering sekali bertengkar sama Nesa. Kami berdua memang dulu kalau marah dan saling hina, wih kata-katanya cukup pedas. Apalagi Nesa sih, yang lama tinggal di Kalimantan dan terbiasa keluar masuk hutan untuk berburu. Kebayang dong teriakannya seperti apa, secara jarak dari satu hutan ke hutan sebrangnya yang terpisah satu sungai itu lumayan jauh. Hawa-hawanya, kalau ketemu Nesa itu ingin berantem, ingin gampar dan ingin mukul. Mungkin karena aura dari wajahnya kah? Entahlah, yang jelas aura wajahnya sekarang berubah. Buktinya dia bisa nge-fans sama JKT48 dan AKB48. 

[out of topic]

Jaman dulu yang saya lihat (berarti ini sudut pandangnya saya), saya ini sangat sensitif dan gampang kesal, sementara Nesa ini tempramennya jelek. Setali tiga uang sih sebetulnya. Kami sering bertengkar dan semenjak Nesa masuk SD, tempramennya mulai membaik meskipun kadang masih pundung (apalagi waktu dia nggak saya kasih lihat mainan Tazos hadiah dari makanan ringan, wuih pundungnya..). Tapi sekalinya kami akur, entahlah kami bisa akur banget. Obrolan jadi nyambung dan di beberapa momen, kami bisa ngobrol tentang topik-topik yang serius... semacam politik atau pembagian harta gono-gini (apa sih). Tapi memang betul demikian. Asalkan mood sedang bagus dan ada topik yang cocok, kami bisa akur dan satu pikiran. Sama rasa istilahnya. Kalau Nesa sedang bahagia, saya juga bahagia. Kalau Nesa sedang jomblo, ya itu sih lebokin aja. 

Sejarah pertengkaran masa kecil saya dan Nesa ini sudah melekat dalam pikiran para orangtua. Karena saya lebih dewasa pada saat itu dan nature saya yang menghindari konflik, sebisa mungkin saya sering menghindari pertemuan dengan Nesa saat itu. Setiap ketemu pasti bertengkar. Setiap ketemu pasti bertengkar. Oleh karenanya saat Nesa pindah (lagi) ke Kalimantan, saya sempat merasa tenang karena nggak perlu bertengkar, meskipun dalam hati jujur saja ada yang hilang.. 

*muntah air raksa*


Si Bolang
Jaman SD, Nesa ini bisa dibilang si bolang--bocah petualang. Nesa lebih banyak terekspos dengan dunia luar dan hidup di alam ketimbang saya yang semasa SD menghabiskan 80% kesehariannya di lingkungan perkotaan. Selama beberapa tahun sempat Nesa dan keluarganya tinggal di rumah nenek (dari garis ayah) saya. Rumah nenek berada di satu desa yang, menurut saya sih, nanggung untuk dibilang desa. Dibilang desa tapi jalan raya beraspal sudah banyak dimana-mana, tapi dibilang kota juga (saat itu) belum banyak public spots dan tempat nongkrong (walhasil anak-anak gawl jaman dulu banyak nongkrong di pinggir jalan, atau di pinggir jembatan dengan sungai super lebar di bawahnya, atau di pinggir jalan di samping areal persawahan). Kebetulan sekali di bagian belakang rumah nenek itu ada kebun yang cukup luas dan nyambung dengan hutan bambu. Setiap saya datang, seringkali saya lihat Nesa baru pulang dari kebun-kebun itu, atau sedang melakukan apapun di kebun di rumah nenek. Oh ya, rumah nenek bisa dibilang besar dan rumahnya berbentuk bungalow, dengan tanah yang besar digunakan untuk taman dan kebun. Kalau saya datang, biasanya muncullah dari balik semak-semak daun cincau si Nesa, dengan telanjang kaki atau pakai sendal jepit dan kulit yang terbakar cahaya sang mentari. 

Meskipun jarang terekspos dengan alam, saya pernah nge-bolang dengan Nesa. Mungkin lebih tepatnya saya dan Nesa ikut ayah saya memancing di kolam-kolam pemancingan di tengah hutan. Keluarga kakek saya bisa dibilang berkecukupan (puji Tuhan) sehingga punya cukup banyak kolam-kolam ikan yang ada di tengah hutan. Salah satu kolam yang paling dekat dari rumah jaraknya cuma beberapa ratus meter dan tepat di samping kolam itu, ada sebuah kolam kecil dengan air bersih (entah sumbernya dari mata air pegunungan atau apalah, tapi yang jelas airnya bersih). Di area kolam kecil itu (nggak bisa dibilang kecil juga sih sebetulnya karena bisa dipakai berenang bolak-balik) ada pula bak-bak air untuk mandi atau mencuci pakaian yang biasa digunakan oleh anggota keluarga atau warga sekitar. Biasanya saat ayah saya mancing, saya sama Nesa berenang di kolam kecil itu. Sebetulnya kolamnya nggak begitu dalam tapi ayah saya selalu mewanti-wanti supaya saya berenang di pinggirannya saja. Air kolam yang jernih dan segar (karena cuaca di desa tempat tinggal nenek itu panas) pastinya mengundang anak-anak untuk bermain air dan berenang. Tenggelamlah saya dan Nesa di euforia kolam kecil. 

Sekarang kalau saya ingat-ingat lagi, kolam kecil itu jadi mengerikan di benak saya. Dengan kedalaman yang saat itu sekitar satu  jengkal lebih tinggi dari tinggi saya, dibatasi oleh sebuah tebing berlumut di satu sisinya dan dengan alas bebatuan hijau, kalau ingat dulu pernah menyelam disana saya jadi ngeri sendiri. Saya jadi terbayang salah satu episode Supernatural di season pertama dimana ada satu arwah yang membalas dendam dengan menenggelamkan orang-orang di sebuah danau. 

Saya aja mungkin ya yang terlalu paranoid


Kuliah
Sebelum Nesa kuliah, saya hanya bisa ketemu saat libur lebaran atau liburan apapun dimana Nesa main untuk berkunjung. Tapi sekarang setelah Nesa kuliah, kami bisa ketemu kapanpun asalkan janjian, atau saat si Nesa disuruh ayah saya untuk datang ke rumah (biasanya karena ada beberapa hal semacam kasus penculikan atau pemerkosaan yang memposisikan Nesa sebagai pelakunya). 

Sekarang si Nesa kuliah di Telkom dan ambil jurusan desain.. Desain apa ya? Yang jelas sih memang jurusan yang dia pilih sesuai dengan passion dan bakatnya. I might be careless to say this but, tadinya saya nggak nyangka ternyata dia hobinya ngegambar. Lha wong dulu dia hobinya main ke kebun, dan sekarang dia mainannya sudah drawing pen, aplikasi visual editing, dan semacamnya.. Keren kalau menurut saya yang memang nggak jago menggambar, dan saya senang aja lihat dia bisa ambil jurusan yang memang sesuai dengan passion dia sejak awal. 


Seharusnya post ini jadi semacam tulisan selamat ulang tahun buat Nesa, tapi saya jatohnya malah bikin mini-biografi tentang si Nesa. Mungkin judulnya "si anak kebon", karena gelar "si anak singkong" sudah diambil dan "si anak betawi" sudah terlalu melekat pada sosok si Doel. Jadi, at last, selamat ulang tahun yang ke dua puluh berapa entahlah, Agnesa Aji Wijaya. Semoga ekspektasimu tercapai di tahun ini dan segera mendapatkan zodoh sesuai dengan kriteria yang dicanangkan oleh Veno (atau semoga langgeng dengan Veno? atau.. ya baiklan terserah). Cepat lulus dan selalu sukses. IP lo naikin, Nes! 

Kebacanya malah birthday happy. Gak ngerti ah ini susunannya gimana sih

Nih, gue kasih kue virtual buat lo, Nes. Cara makannya sih diulik-ulik sendiri aja, yang jelas dihabisin ya. Habisin sama lilin-lilinnya juga! Mubazir loh kalau nggak habis. Nanti dimarahin Allah loh kalau buang-buang makanan. 

Sunday, October 19, 2014

[Review] Where is my child?

Speaking of my favorite movie genres, I should admit liking psychological-thriller movies. The confession doesn't sound so 'me' but it's true. Rather than watching bloody slasher movies or mainstream supernatural horror movies, I like watching movies which are less-violent, yet thrilling enough for me to get goosebumps. There are some movies that make me think so hard about the mystery portrayed in the movies and some movies have twist at the end which make me yell "What the fuck did that old lady do to Caroline?!" 

I'm not into AnnabelleThe ConjuringInsidious (though I, in fact, have watched it), Child's Play, or whatnot; I'm into something which could frighten me in another way. Slasher movies showing blood pools or bisected bodies are disgusting for me. They're not thrilling; they disgust me to death. If I may say, I can bear with Final Destination 1, but the following sequels of the Final Destination line just end up making me nauseous, as if I'm stuck on a roller coaster ride of 15,000 feet with 27 loop tracks. Psychological thriller movies might not frighten you as if you see specter walking down the stairs in your house, or as if you're chased by a grotesque child-like psychopathic living puppet, but the movies are able to increase my heartbeat rate and haunt me with so many questions--Who is she? What happened to Julia? Is she really insane? Where is her son? 

Two of my favorite psychological thriller movies are The Forgotten and Flightplan. Both movies have female character as the protagonists and portray their struggle to find their missing child. What differs The Forgotten to Flightplan is the antagonist; The Forgotten plays with sci-fi thingy by featuring man-figured alien as the antagonist, while in Flightplan the protagonist has to face the real human antagonist. In general, both movies share similar interests; both movies' protagonists are female and they have to struggle to find their missing child. 

theatrical poster for The Forgotten

Let's say.. you thought you had lost your child in a plane crash, and one day your spouse told you that you had never had a child, while you believed that you had had once. Then you realized that you had some physical evidences to show that you had had a child and you collected the evidences, only to find that your child wasn't in the photo you knew well you had taken with your child. There were no evidences to support your arguments and people started thinking that you were out of your mind. What would you feel? 

The illustration I wrote above is what is illustrated in The Forgotten. Telly Paretta (played by Julianne Moore) has to deal with the death of his son, Sam, and one day her husband, Jim (played by Anthony Edwards) tells her that they have never had a son. Telly insists on saying that they have had a son, only to realize that she has no evidence to support her statement. Jim suggests her being sent to hospital for being delusional and it drives Telly mad that she runs away. Telly goes to a park where she meets Ash whom she knows as the father of Sam's friend who also died in the plane crash. Telly stays at Ash's place for a night, only to realize that Ash doesn't admit having had a daughter before and thinks that Telly is insane, later calling the cop to arrest her. After the cop comes to arrest Telly, Ash comes back to his room and finds children's drawing on his wall, indicating that he has actually had a daughter before. Ash regains the memories of his daughter and he runs to rescues Telly. National security then pursues the two as the two hides from the pursuit. Things become more complicated as Jim eventually does not recognize Telly at all and a stranger follows Telly and Ash everywhere. It is eventually revealed that the disappearances are caused by 'them' (whom I consider the aliens) and they do it as a project to determine the bonds between a mother and her child, whether or not the bonds could be cut. In a dilapidated hangar, Telly confronts the 'agent'--one of 'them' and asks him to return Sam. The agent refuses and urges Telly to erase all the memories about Sam. Telly refuses but the agent finally succeeds in erasing Telly's memories about Sam. The agent, testing whether or not his project has been successfully done, asks Telly about Sam and from her answer, Telly apparently knows nothing about Sam but one thing: her pregnancy. Telly remembers her pregnancy and that memory leads to all the memories about Sam. The agent is then taken up to the sky, indicating his failed project. Telly then goes to the park and eventually meets Sam who is playing with Ash's daughter, with Sam knowing nothing about his disappearance. She hugs Sam before letting him play with his friends and sits on a swing, next to Ash who is apparently oblivious to what has happened. 

The movie has successfully given me creeps, not because of the appearance of aliens in the movie but the mystery behind the disappearance of Sam. When watching the movie for the first time, I positioned myself as Telly and Ash, as if I had a child and my child suddenly disappeared, leaving no evidences or traces to track. My thoughts were full of questions. Who has kidnapped Sam? Is Telly really insane? What is really happening? Why don't people believe Telly and Ash? What happens to those who know what is actually happening after they are taken up to the sky, abducted? I got the answers as the movie came near to the end. When the movie reached its resolution--when Telly meets Sam in the park and hugs him, I felt like shedding tears. The reunion of mother and her son. Well, that's so touchy. 

If you're not into aliens and abduction by unknown creature, then Flightplan could be an alternative choice. Starring Jodie Foster as Kyle, a widow with a daughter, Flightplan's plot goes around the struggle of Kyle in finding her daughter on board airplane.

Theatrical poster for Flightplan

On a flight to US, Kyle (played by Jodie Foster) wakes up, only to find that her daughter, Julia, is missing. Kyle searches for Julia and asks the passengers whether they have seen Julia. However, no one remembers seeing Julia with her and Julia is not registered in the passenger manifest. Kyle can't find Julia's boarding pass, making her extremely panic. While insisting on saying that her daughter is on board, people start thinking that she's delusional. Her instinct as a mother tells her that her daughter is on board, somewhere in a part in the airplane, and she has to save her daughter.

The ending?

Oh, I won't tell how the movie ends, just like what I did earlier when explaining The Forgotten. For those who have watched the movie should have known the ending and as a clue, well.. the ending is not a sad one or a tragic one.

Both movies share the similar thing; it's a story of a mother's struggle to find her child. Basically, it's about mother's love. Love and mother. Well as a child, I do believe both words are closely linked to each other. Love is mom and mom is love. It was kind of too late for me to realize that what both movies try to tell me is actually about mother's love--how mothers would always protect their children in any way a person can be protected. Whether confronting an alien or crawling on the upper compartment of plane cabin, mothers would do anything to protect their beloved children. Mothers would dare to die to save their children.

At last, I dare to give both movies 8 stars out of 10. The choice is.. well, it depends on your preference of who should be the antagonist. If you are into sci-fi and aliens thingy, then The Forgotten would be a good choice and if you're more into drama and human being antagonist, then why don't give Flightplan a try? 

Sunday, October 12, 2014

Cinderella, Stepmother, and Misleading Conception

I was taking a bath and I hummed a song about Cinderella. I was surprised that I hummed the song and I ended up thinking about the story. Cinderella and her glass slippers. I find the story illogical, as the slippers don't break when Cinderella wear it (or probably hi-tech had existed before that the slippers were made of high quality glass that they would never break). But that was not what I was thinking about; I was thinking about Cinderella and her stepmother. 


Cinderella is a folktale and there are some versions of the stories. The most well-known version we all know--which features the godmother, pumpkin-turned-chariot, and glass slippers--is Perrault's version, Cendrillon, written in 1697. The story focused on Cinderella's life and how she is always tortured by her stepmother and her stepsisters. Disney's Cinderella illustrates the stepmother, Lady Tremaine, as an evil old woman in Victorian dress, and I kind of dislike her hairstyle. She should have gone to hair salon and changed her hair style (and probably dye it shocking-red). Lady Tremaine treats Cinderella coldly and harshly while she spoils the daughters of her own, Anastasia and Drizella. Back when I was in elementary school, an English teacher asked us, the students, to read Cinderella story. In Bahasa Indonesia class, the teacher asked us to read story of Bawang Merah Bawang Putih, an Indonesian folktale whose plot is similar to Cinderella's (definitely, with some differences such as the absence of glass slippers and godmother). Bawang Merah Bawang Putih, just like what Cinderella does, portrays life of Bawang Putih, a kind-hearted girl who is mistreated by her stepmother and her stepsister. From the two stories, the fact Lady Tremaine is Cinderella's stepmother and she mistreated her stepdaughter (as for Bawang Merah Bawang Putih, the stepmother mistreating Bawang Putih) hit us with a conception about stepmothers--they are evil. 

Not once, twice, or thrice I heard friends of mine referred to a person who did something bad as a stepmother. Yes, stepmother, and my friends did. Let's say a friend treats a junior harshly then she is referred to as a stepmother. 


"You're so bad, like a stepmother" 

Unconsciously we made a generalization about stepmothers (and until today I still feel sorry for having made such generalization). That a stepmother is evil, that a stepmother is artful, that a stepmother will leave you a great psychological pain; that's how we stereotyped stepmothers. Whenever anyone got a chance to ask us why we disliked stepmother, we would always refer to the story of Cinderella, saying that stepmother is a wicked person, mistreating and making Cinderella hurt. 

The emergence of soap opera Bidadari (Angel) in 2000 could be another significant factor strengthening our perception about stepmothers. Starring Marshanda as Lala dan Moudy Wilhelmina as Lala's stepmother, Bidadari is an Indonesian soap opera version of Cinderella. Lala's life is miserable (despite the fact that she is actually rich and her father is still alive) and Mama (the stepmother) could not stop making Lala's life any better. If Cinderella has godmother and Bawang Merah Bawang Putih has goldfish as a heroine figure in the story, then Bidadari has ibu peri (fairy godmother) who always helps Lala every time she is in trouble. With children and mothers being the majority of the audience, Bidadari gained good ratings, as well as great number of audience. My girl friends often talked about the-last-night-episode and from their conversations, I knew that they felt pity of Lala and despised Lala's stepmother, wishing her to die. Again, speaking of stepmother, we already had our negative perception about stepmothers. Unfortunately, the emergence of Bidadari did not make any change to our perception. 

Well, it did, but in a negative way. 

In other words, most of my friends grew greater hatred toward (any characters representing) stepmothers after watching the soap opera. When doing a family role-play, there would be an antagonist playing as a stepmother who would torture any kids playing as children in the role play while character 'father' is away for work. The conception offered by Cinderella story and Bidadari has led us to the making of perception about stepmother--which was unfortunately negative. Back then a friend of me told us that her cousin rejected her father's idea of marrying a woman since she realized that the woman her father would marry would, soon, become her stepmother and, unfortunately, she had already had negative perception about stepmothers. Soon, we talked about stepmothers; we did not want to have a stepmother and we should never let a stepmother come into our life in any way. 

Folktales (legends, myths) always have didactic purpose; that's what a teacher told us. So what could be learnt from Cinderella? Be a good person, be a hardworker, and never let a stepmother come into your life. Really? We believed in the lessons back then, especially the third lesson. 

Thinking about what I perceived back then.. I feel so stupid. 

As I grew older I started to think about my perception. Is that true that stepmothers are as evil as the one in Cinderella? I met new friends and some of them have stepmothers. I asked them how they felt to have a stepmother and the answers struck me like a lightning, changing my perception toward stepmothers. 

A friend said, "My stepmother is so cool" 

Then I thought to myself, "So what I've read and watched have misled me" The conception of character stepmother in Cinderella stories (including Bawang Merah Bawang Putih and soap opera Bidadari) was so misleading that my friends and I made an unfortunately wrong generalization about stepmothers. I questioned myself how come I make such perception and how come my friends shared similar perception. Then I realized that maybe it is because nobody warned us not to generalize that we just came to the conclusion that stepmothers were wicked. There wasn't any warnings to remind us that not all stepmothers are evil, so we were free--and unconsciously forced--to believe in such idea of stepmothers. Now I wonder if back then somebody told us that not all stepmothers are wicked, would such fear of stepmothers haunt us? Would we make such negative perception toward stepmothers? There was not any prevention. We were free to believe what the story and the soap opera showed and make generalization based on what we believed, without realizing how the generalization could put one party--all stepmothers in the world--in a bad position. It must be hard for a stepmother when she finds out her children dislike her just because the children believe that stepmothers are evil. 

And I really am sorry that back then I made such perception. I was just a kid though. 

My mom laughed after watching this video

So I got this video and decided to show it to my mom. 


After watching the video mom's expression was like..


Okay. The video is so funny and I admit it. I bet the girl has just found an epiphany or something. The girl's expression is so serious that I can't handle my laughter like seriously. 

Thursday, October 9, 2014

[Review] The Other Woman

Saya bukan tipe orang yang suka nonton film sebetulnya, tapi sekalinya in mood saya bisa seharian nonton film dan tidak bisa diganggu. Berhubung kemarin ini sedang stress karena banyak tugas saya memutuskan untuk nonton film sebagai bentuk pelarian dari rasa jenuh. Tahun 2014 ini banyak film-film yang menarik, dari mulai Annabelle (bukan Annabelle sebutannya Fitrop ya) sampai Gone Girl yang katanya diisukan nggak jadi dirilis (semoga aja itu isu belaka). Sebetulnya saya nungguin Fifty Shades of Grey, tapi berhubung rilisnya Februari 2015 dan karena adegan-adegan hot yang ada saya jadi pesimis kalau Ana dan mas Grey bakalan nongol di bioskop-bioskop Indonesia. Nah, sambil menunggu Gone Girl dan Fifty Shades of Grey, saya coba cari film apa yang kira-kira rame buat ditonton dan saya ingat bahwa si Minaj main film yang dirilis tahun 2014. Saya cari tahu dan sampailah saya pada laman Wiki buat film The Other Woman. Setelah lihat deretan pemainnya (terutama Cameron Diaz dan Kate Upton yang seksinya bikin greget pengen remas... spons cuci piring), langsung lah saya tonton filmnya. 


The Other Woman (2014) adalah film romansa komedi yang dibintangi oleh Cameron Diaz, Leslie Mann, Kate Upton, dan Nikolaj Coster-Waldau. Film ini bercerita tentang tiga orang wanita yang tiga-tiganya dikibuli sama satu pria dan ketiga wanita itu berencana untuk membalas dendam ke si pria itu. Buat saya secara pribadi, film ini cukup mampu buat bikin saya ketawa cekikikan, terutama di beberapa scene yang menurut saya konyol. Dan satu hal yang bikin saya menganggap film ini unik adalah kemunculan Nicki Minaj yang penampilannya beurbah habis-habisan! Kalau selama ini kita lihat Minaj tampil (terutama di era rilisnya album Pink Friday: Roman Reloaded), kita masih bisa lihat Minaj dengan pakaian yang eksentrik dan warna-warni yang nyolok mata, termasuk aksesoris super heboh dan wig warna-warni yang mengingatkan saya sama Jenita Jenet. Di film The Other Woman, kita nggak akan melihat Minaj dengan tampilan seperti itu. Just like comparing Sam Puckett to Savannah Wescott, penampilan Minaj yang dulu dan yang di film itu serasa bumi dan langit. 





Dengan penampilan yang baru, Nicki Minaj menurut saya berhasil bermetamorfosis menjadi sosok Lydia, sekretaris Carly (diperankan oleh Cameron Diaz), dengan karakter yang feminin dan berkelas dan, tentunya, stylish. Saya ingat kutipan yang dikatakan oleh Lydia kepada Carly, yang menurut saya sangat fascinating

"Selfish people live longer" 


Ada benarnya juga sih.. 


Sinopsis
Kembali ke topik utama tentang filmnya. Kalau menonton film ini, saya serasa nonton Charlie's Angels, hanya saja tanpa adegan action. Cameron Diaz memerankan sosok Carly, attorney cantik dan bergaya, yang sedang dalam hubungan romantis dengan seorang pria bernama Mark (diperankan oleh Nikolaj Coster-Waldau). Di dalam mobil, Mark tiba-tiba bilang bahwa dia harus ke Connecticut karena ada masalah di rumahnya dan Carly kesal karena nggak bisa bareng dengan Mark. Carly akhirnya ketemu ayahnya, Frank, dan cerita kalau dia kesal sama Mark. Ayahnya justru menyarankan Carly buat nyusul Mark ke rumahnya di Connecticut. 

Dan pergilah mbak Carly ke Connecticut, ke rumahnya Mark.. 



Only to find out that actually Mark has already had a wife! 

Kate (diperankan oleh Leslie Mann) kaget saat Carly datang dengan pakaian yang seksi bertema plumber (karena kata Mark, di rumahnya ada masalah yang berhubungan sama pipa-pipa air). Saat Carly sadar bahwa Mark sudah punya istri, dan istrinya adalah Kate, dia langsung kikuk dan salah tingkah, sampai jatuh dan menghancurkan guci besar di halaman rumah Kate. Pokoknya bisa dibilang sial banget si mbak Carly. Dia jatuh, jalan sempoyongan, hak sepatunya patah, dan mecahin guci punya orang lain. 

Dan keesokan harinya Kate datang ke kantor Carly dan akhirnya terungkaplah bahwa si Mark itu berselingkuh. Kedua wanita korban si Mark akhirnya malah jadi sahabat dan keduanya memutuskan untuk mencari tahu lagi tentang Mark yang ternyata, selain selingkuh dengan Carly, juga punya selingkuhan baru, cewe umur 22 tahun bernama Amber (diperankan oleh Kate Upton). Saat Carly dan Kate lihat Amber buat pertama kalinya, mereka langsung heboh karena sirik nggak punya bodi sebagus Amber. 


Di pantai ini juga, pada saat sebelum mereka coba buat ngomong sama Amber, terjadilah adegan konyol Kate dan Carly di pantai yang berantem kejar-kejaran sampai ujung-ujungnya jatuh saling tindih kayak anggota-anggota geng Nero lagi berantem.  


Singkat cerita, Carly dan Kate bicara dengan Amber dan Amber setelah tahu bahwa Mark sudah punya suami merasa bersalah dan nggak enak hati sama Kate. Mereka bertiga akhirnya ngumpul di beach house punya kakaknya Kate, Phil (yang menurut Carly menarik dan hot). Disana, mereka memutuskan untuk membuat rencana balas dendam ke Mark. Dan rencana balas dendam itu beragam, dari mulai masukkin bubuk estrogen ke minuman Mark sampai dia muncul payudara (dan itu goblok banget karena Kate malah dengan gemesnya nyubitin dadanya Mark), masukkan cairan perontok bulu ke sampo Mark, bikin Mark mules sampai boker di celana, sampai nipu Mark buat melakukan hubungan seks threesome dengan seorang transgender

Dan kalau film tamat seperti itu, pasti nggak rame banget dong. Maka muncul lagi satu masalah.. 

Kate rupanya mulai fall for him lagi! 

Mark mulai menunjukkan sisi romantisnya lagi ke Kate yang bikin Kate, lagi-lagi walaupun diselingkuhi, fall for him. Kate bahkan sampai bertengkar dengan Carly dan bilang bahwa mungkin ada bagusnya memaafkan Mark, walaupun dia sudah selingkuh. Suatu hari, Mark minta Kate untuk tandatangani beberapa surat-surat yang sejak di awal film Kate bilang bahwa dia nggak paham dengan isi surat-surat itu. Mark lalu bilang bahwa dia mau ke Bahama dan Kate, yang kemudian muncul lagi rasa curiganya, memutuskan untuk diam-diam ikut ke Bahama untuk cari tahu tentang Mark. Dan saat Kate tiba di bandara di Bahama, dia disambut oleh Carly dan Kate yang akhirnya memutuskan untuk membantu mbak Kate buat menguntit si Mark. 

Dan Charlie's Angels pun bersatu kembali! 


Ketiga wanita itu pun kembali melanjutkan penyelidikan mereka dan, seperti yang bisa kita duga, mereka akhirnya tahu bahwa Mark punya juga selingkuhan di Bahama. Carly menyebut Mark sebagai orang yang take it international, karena perselingkuhannya sudah masuk ke level internasional. Dan dalam penyelidikan ini juga, diketahui bahwa selama ini Mark menjalankan satu perusahaan dengan bisnis gelap yang menipu banyak perusahaan, dan Mark menggunakan nama Kate sebagai pemilik perusahaan itu. Dengan kata lain, kalau bisnis gelapnya ketahuan, yang akan dipenjara justru Kate, bukan Mark. Setelah tahu busuknya Mark, Kate akhirnya pada suatu pagi jalan ke pantai. Dan di momen yang melankolis itu, Kate melepaskan cincin pernikahannya dengan Mark dan membuangnya ke laut, menyimbolkan akhir dari pernikahan Kate dan Mark. 

Sekembalinya Mark dari Bahama, dia datang ke kantor Carly. Lydia, yang sudah tahu tentang Mark, menyuruh Mark buat nunggu Carly di ruang rapat. Saat Mark masuk ke ruang rapat.. 


Oops! Mark berhadapan dengan tiga wanita yang sudah dikibulinnya. Dengan bantuan Carly sebagai pengacara, Kate menggugat cerai Mark. Di momen itu pula, kebusukan Mark diketahui. Kate, sebagai pemegang perusahaan palsu yang Mark buat, memutuskan untuk mengembalikan semua uang yang dipakai sama Mark, dan itu membuat Mark bangkrut. Ya, pada akhirnya Mark jatuh bangkrut dan ketiga wanita itu sukses, terutama setelah Kate diundang untuk kerja bersama salah satu rekan kerja Mark yang merasa bangga dengan keputusan Kate untuk mengembalikan uang-uang yang Mark gelapkan. 

Pada akhirnya, Kate sukses dengan bisnisnya. Carly menikah dengan kakak Kate. Sementara Amber.. Rupanya ada satu momen dimana Carly dan Amber bertemu dengan ayahnya Carly dan.. itulah awal mula Amber dan ayahnya Carly saling suka. Mereka memutuskan untuk menikah dan itu jelas-jelas bikin Carly rungsing. Masalahnya, bagaimana bisa dia manggil orang yang usianya jauh lebih muda daripada dia ibu? Tapi secara keseluruhan, The Other Woman berakhir dengan happy ending, meskipun pernikahan Amber dan ayah Carly bisa dikatakan awkward.


Kate
Karakter Kate jadi sosok yang cukup banyak saya kasih attention di film ini. Bukan karena sosoknya yang konyol, tapi karena Kate ini sebetulnya membawa satu isu yang ada kaitannya dengan kaum wanita. 

Kalau saya perhatikan dari pakaiannya, Kate ini selalu berpakaian dengan gaya yang rumahan banget. Bukan rumahan sebetulnya, tapi lebih tepatnya, semacam paling tertutup. Ya, saya bisa bilang paling tertutup dan kurang 'berani' kalau dibandingkan dengan dua karakter wanita lainnya. Saat pergi ke pantai pun, bisa kita lihat Kate malah mengenakan pakaian yang tertutup, lengkap dengan topi yang biasa tante saya pakai kalau ke pasar. Entah memang cara pakaiannya mengikuti usianya atau apa, tapi yang jelas saya merasa bahwa dia memang mengenakan pakaian yang relatif tertutup, mungkin sebagai simbol bahwa dia sangat butuh defense. Entah karena Kate ini sosok yang rapuh, atau apa.. Tapi menurut saya sih rapuh. 

Kate menggambarkan sosok wanita rumah tangga yang insecure. Saat dia tahu kalau Mark selingkuh, dia paniknya minta ampun sampai berkali-kali telpon Carly dan ketemu Carly buat cerita tentang permasalahan perselingkuhan Mark. Dibandingkan dengan Carly yang bisa mengambil langkah tegas untuk nggak lagi bertemu dan berkomunikasi dengan Mark, Kate seolah-olah bingung bagaimana harus menghadapi masalah perselingkuhan Mark. Kasarnya sih, sudah tahu diselingkuhi tapi masih belum bisa ambil keputusan. Berarti, selain insecure, Kate juga indecisive. Ketidaktegasan dan ketidakmampuan mengambil keputusan ini tiba pada puncaknya saat tiba-tiba Kate, setelah melakukan serangan balas dendam, memutuskan untuk mencoba memaafkan Mark dan kembali menjalani kehidupan sebagai istri dari Mark. Kate begitu tidak stabil dan mudah dipengaruhi. Dikasih suasana romantis sedikit pun, Kate bisa luluh. 

Satu lagi yang saya perhatikan dari karakter Kate adalah... inteligensi. I'm not saying that Kate is an idiot, tapi saat saya nonton scene dimana Kate bilang bahwa dia nggak pernah ngerti apa isi dan maksud dari surat-surat yang disodorkan sama Mark untuk ditandatanganni Kate, saya jadi merasa miris. Ditambah lagi saat Kate bilang bahwa harusnya Kate ikutan brain camp, saya berfikir bahwa Kate sendiri sadar bahwa dia memang nggak paham tentang beberapa hal yang--if I were her--seharusnya diketahui dan dipahami. Ini miris karena Kate nggak menyadari--karena ketidakpahamannya--bahwa ada bahaya yang mengintai dia. 


Subversi gender
Mungkin bahasan ini agak ke arah analisa sastra ya (mentang-mentang jurusan sastra), tapi memang The Other Woman ini menurut saya membawa isu yang kaitannya sangat erat dengan feminisme. Film ini menggambarkan subversi gender, dimana karakter Mark disubversi oleh Kate yang pada awalnya teropresi. Mark, yang awalnya digambarkan sebagai sosok yang menguasai tiga aspek yang kita kenal sebagai harta-tahta-wanita, di akhir film menjadi sosok yang kehilangan tiga aspek kekuasaan itu dan dikalahkan oleh tiga karakter wanita yang sebelumnya 'ditindih' oleh Mark. 

Kate menjadi karakter focal yang bermain sebagai agen subversi. Mungkin secara fisik kita tidak melihat dia sebagai orang yang tertindas karena tidak nampak penindasan secara fisik terhadap Kate oleh Mark, tapi secara psikis Kate tertindas. Kita bisa lihat betapa Kate panik dan histeris saat dia sadar bahwa Mark selingkuh, dan dia bahkan nggak tahu apa yang harus dia lakukan (sementara itu Carly justru dengan lebih santai memutuskan untuk memutus hubungannya dengan Mark). Kate nampak nurut-nurut saja saat Mark minta dia untuk tandatangani beberapa surat, bahkan saat Mark mulai mencoba membuat suasana romantis, Kate justru luluh lagi meskipun dia tahu dia sudah dibohongi. Kate adalah sosok yang submisif, lebih banyak memberi dan pasrahan. 

Meskipun karakternya submisif, ada satu titik dimana Kate pada akhirnya sadar bahwa dia tidak bisa diopresi terus-menerus. Kesadaran itu muncul saat suatu pagi Mark meminta Kate untuk menandatangai beberapa surat dan Kate sadar bahwa dia nggak bisa terus menerus menuruti apa yang Mark katakan. Akhirnya bersama Carly dan Amber, Kate tiba pada turning back point untuk mengsubversi opresi Mark. Dan subversi itu ditandai dengan jelas oleh keputusan Kate untuk melepas cincin pernikahannya ke laut, menandakan bahwa Mark sudah tidak bisa lagi mengopresi Kate karena Kate tidak lagi menjabat status sebagai istri dari Mark King. 


Overall comment
Secara keseluruhan, The Other Woman adalah film yang menghibur. Kualitas akting Cameron Diaz memang nggak bisa diremehkan, begitupula pemain-pemain lainnya. Ditambah lagi, kehadiran Nicki Minaj sebagai Lydia dengan penampilan yang barunya membuat saya kagum pada sosok pelantun "Starships" dan "Va Va Voom" itu yang begitu total dalam memerankan sosok Lydia. Buat saya secara pribadi, di film ini konten romansanya memang ada tapi nggak begitu menonjol. Yang saya lihat justru banyak sekali komedi dalam film ini yang cukup bikin saya ketawa. Kalau untuk rating sih, saya kasih 4 out of 5

Dan ingat! 

"Selfish people live longer"

Kata Lydia..

Thursday, October 2, 2014

Klaus, please close the door after Miroslav Klose and Santa Claus come in

I think I'm having a quarter-life crisis. 

Oh, did I just say that--I mean--did I just type that? Yes, I did and sure I typed it. I could see it in the first line of the post. I'm having a quarter-life crisis. Quarter-life. In search of identity and self-esteem I've found that conflicts lie between myself and society and in other times I have to fight with myself since there is a conflict in me. I've also realized that trivial things are sometimes so potential to cause (maybe not so great but) significant problems. Well it's just like you realize how a cute yellow banana peel could lead people to their death. 

So what's my problem? 

Well it's actually a simple thing, not really bothering yet shaking me like riding wooden roller coaster fifty times a day. It's about my nickname and I'm pretty sure I have a nice name and there's nothing wrong with "Klaus" but in other occasion there are moments involving the matter of name that make me question myself like..


Most of times when I introduce myself to new people, I mention my name and they would be like.. 


Yes, I am! What's wrong with the name "Klaus" that people think of it as something strange, like they never hear the name even once in their lifetime? Often times I have to say it twice or thrice to make them sure that I, did, say Klaus. Actually it's not a really big problem, for I realize that such name is quite strange and rare. I bet there are just a few people named Klaus living in my city but probably more in the country so that's why the name becomes rare, strange, and unique at the same time. When people know me, they'll call me Klaus which means that they recognize my name. There's no problem regarding my name when I speak of the way people call me or address me in oral conversation but the problem regarding my name mostly lies in the way people write my name. 

Back when I was a freshman, people knew my name and called me properly. But once people came to the moment when they had to write down my name, there the problem was. A classmate has once texted me and it seemed like he didn't know how to spell my name so instead of typing Klaus as K-L-A-U-S he typed it as C-L-A-U-S-E. In other time, a friend who studied German texted me and addressed me as K-L-O-S-E and I was like H-W-H-A-T-?-?


I bet she texted a wrong person. 

When I was in Kuala Lumpur my auntie took me to KLCC and I found Starbucks. There I ordered my favorite drink and, just like what they do here in Indonesia, the barista asked me for my name so I mentioned it. Guess what? He didn't get it and thought that my name was Cloud. 

CLOUD? I am Cloud Strife? 


There's nothing wrong with my name but the way people spell it sometimes becomes a problem for me. The name is Klaus and it's spelled K-L-A-U-S. When people misspell the name, it could be something funny that I can laugh at every time I remember the moment but sometimes they do it in such a formal situation and I'd be like "Seriously?" Some have even misspelled my name, resulting on a very big question about my identity. 

"Am I Santa Claus?" 

Oh please! My name is Klaus and it's spelled K-L-A-U-S. Don't spell it as C-L-A-U-S because I'm not Santa. Don't spell it as C-L-A-U-S-E because my name is a proper noun and it's not a clause since my name does not contain a verb and to make a clause, my name has to at least have a subject and a verb. Don't spell it as K-L-O-S-E because I don't play soccer. Well just.. don't misspell my name. 

Again. It's spelled K-L-A-U-S. Klaus, in German spelling. 

Wednesday, October 1, 2014

Demi tugas

Orang-orang mungkin akan komentar tentang saya bahwa saya cukup banyak mengeluh tentang tugas. Ya, saya memang cukup banyak mengeluh tentang tugas dan saya juga tau diri kok untuk tidak denying hal itu. Dan sebetulnya post ini pun akan bercerita sedikit tentang apa yang saya rasakan di semester ini--yang kebetulan isinya keluhan-keluhan juga. Oh.. Hidupku penuh dengan keluhan. Ada yang bilang bahwa kita ga boleh banyak mengeluh. Katanya mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Ya, memang kalau ada tugas kita jangan mengeluh, tapi mengerjakan. 

Tapi kan saya juga manusia, dan saya juga bisa merasakan lelah. Dan tapi.. tapi.. tapi.. 

Aaaaaaaaaaaaaaaaaa! 


Kehidupan perkuliahan itu memang berat. Terutama semakin tua angkatannya semakin berat juga beban yang harus diemban. Ditanya kapan mau proposal, ditanya kepikiran apa untuk skripsi, ditanya ada mengulang matakuliah atau tidak, ditanya IPK terakhir berapa, ditanya apakah sudah ambil tes TOEFL lagi atau belum.. Kenapa harus dijejali dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Belum lagi tugas-tugas matakuliah yang tersisa di semester tujuh ini. Memang ya, beban paling berat ditaruh di akhir, just like when you play Mario Bros and reach the last stage 'raja'. Berat, bung! Di awal-awal perkuliahan memang sih, semester satu sampai tiga itu rasanya seperti pergi ke tempat les. Tapi setelah masuk semester empat sampai semester sekarang, akhirnya saya sadar bahwa dunia perkuliahan itu--indeed--berat. Ya, lebih berat daripada harus gendong abang saya sampai warung baso urat favoritnya. Belum lagi jadwal kuliah pagi yang bikin harus bangun sangat pagi dan bergegas mandi (sampai kadang tidak sarapan) dan langsung berangkat secepat mungkin ke kampus supaya tidak terlambat. Dan sampai kampus, biasanya lift akan penuh dan terpaksa untuk sampai ke lantai empat harus naik.. 


Oke. Yang di atas itu anggaplah saya ngomong ngawur. Tapi memang jujur saja bukan sekali dua kali tugas-tugas yang saya dapatkan itu membawa saya pada sebuah pengorbanan yang cukup besar, yang efeknya cukup menyayat hati. Memang, untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan kita harus melakukan sebuah pengorbanan, dan kadang-kadang hasil yang didapat tidak seimbang dengan pengorbanan yang kita lakukan. Mungkin lebih tepatnya.. mungkin belum hoki. 

Tahun lalu saat saya ada di akhir semester lima (Desember 2013), keluarga saya memutuskan untuk berlibur di hari Natal. Biasa.. mudik. Nah, kebetulan saya sedang ada tugas mahadahsyat yang harus diselesaikan dan dikumpulkan tanggal 28 Desember. Karena tugas itu berat dan harus diseriuskan dalam pengerjaannya, dan saya termasuk manusia yang lamban dalam bekerja, otomatis dalam satu hari progres kerja saya tidak akan bisa banyak. Di malam natal, di saat keluarga sedang sibuk packing pakaian, saya masih harus berkutat dengan tugas saya. Yang menyedihkan terjadi besok. Keluarga saya akhirnya pergi mudik, minus saya, dan saya terpaksa tinggal di rumah, sendirian. Sendirian. Sendirian. 


Sendirian. Hanya saya, dan tugas. 

Sedih, bro! Sedih! Pernah nonton film Home Alone pertama yang dibintangi sama Macaulay Culkin, dimana seluruh keluarganya pergi ke Prancis dan dia terpaksa tinggal sendiri di rumahnya di malam natal? Tahu adegan dimana setelah dua penjahat yang berniat merampok rumah keluarga McCallister ditangkap polisi, akhirnya Kevin (Macaulay Culkin) merapikan ruang keluarga, memainkan lagu "Have Yourself A Merry Little Christmas" dan duduk sendiri disana? Itu yang saya rasakan! Perih? Perih banget, bro! Hidup itu keras, bro! Dan di saat sendiri itu saya sadar saya nggak dikasih cukup banyak uang sama orangtua saya. Dengan uang seadanya, dan perasaan sepi dan sendiri, dan tugas yang masih menanti untuk dikerjakan, bisa bayangkan perasaan saya saat itu? 

Hancur! 

Terdengar berlebihan ya? Ya, tapi kurang lebih begitulah. Sakit, brosis.. Apalagi saat malam hari, tidur sendirian. Bukan takut sama hantu, tapi lebih ke merasa sepi dan sendiri dan.. sedih. 

Intinya? 

Ya, begitulah. Kita memang harus mau berkorban demi tugas. Demi tugas, dan demi masa depan kelulusan dari kampus. Tapi ya namanya juga manusia ya, bisa merasakan lelah dan letih batin juga, bisa mengeluh dan bisa menangis. Ya apa daya lah.. Namanya juga manusia.