PS: Ini sebetulnya note yang ada di Facebook saya (dan kali ini gue refer ke diri sendiri pake "saya" lagi. Yowes lah). Berhubung menurut saya note ini cukup inspiratif (buat saya sih gitu.. nggak tau kalau buat pembaca yang lain), maka saya putuskan untuk re-post itu disini. Pada intinya sih, di note ini saya mencoba melebarkan paradigma orang tentang kebahagiaan; bahwa kebahagiaan itu 1) nggak harus selalu mahal; 2) terkadang nggak ditemukan di tempat-tempat yang orang bilang 'pusatnya' kebahagiaan.
Mengingat sebuah kalimat yang saya tangkap dari perkuliahan hari Senin kemarin...
"Mungkin di masa depan nanti kita bisa membeli kenangan, ya?"
Mungkin saja sih, walaupun kedengarannya sangat sulit dan mungkin tidak mungkin. Ketika kita hendak menghidupkan sebuah kenangan, misalnya kenangan ketika bermain layangan bersama ayah di lapangan pada sore musim kemarau, bisa jadi 'kan kenangan itu tidak benar-benar persis seratus persen? Pasti ada sesuatu yang beda dari kenangan yang dihidupkan kembali itu. Dan saya merasakan hal ini, beberapa menit yang lalu.
Sepulang dari kampus tadi, saya super duper lapar (padahal sudah ke Maji dan lalu ngopi lagi setelahnya). Ketika saya buka laci stok makanan, saya nemu satu bungkus mi instan dengan merk .................. yang nyempil diantara mi instan lainnya dengan merk yang sudah sangat familiar semacam Mi Zedaaab atau Indomix. Saya langsung excited ketika melihat eksistensi mi instan itu. Sebenarnya saya sendiri yang beli mi itu, hanya saja baru sadar mi itu sudah berada di laci persediaan mi dalam waktu yang cukup lama (mungkin sekitar dua atau tiga minggu). Langsung saja saya masak mi itu dan saya nikmati di ruang makan. Hmm... Rupanya rasa dan aroma mi instan kuah itu masih sama seperti dulu.
Ya, seperti dulu, tapi dulu sekali.
Saya sudah mengenal mi instan merk itu sejak dulu, sejak saya masih SD. Dulu, ketika selesai sekolah biasanya saya pulang, ganti baju, lalu main dengan teman-teman. Kebetulan ada salah satu teman saya yang rumahnya dekat dengan sekolah. Dan di sekitar rumahnya itu, ada sebuah warung kecil yang menjual jajanan khas SD (huhu... jadi rindu jajan cistik ke ibu-ibu pedagang jajanan SD di depan SD Isola). Biasanya ketika hari sudah mulai gelap, sekitar jam lima sore, saya dan teman saya suka mampir ke warung tersebut untuk beli mi instan, dan mi instan yang biasa kita beli adalah mi instan dengan merk yang sama dengan yang saya makan beberapa menit yang lalu!
Dengan duit receh lima ratus rupiah saja, pada saat itu saya sudah bisa menikmati semangkuk mi instan. Yap! Mi itu dijual eceran dengan harga tiga ratus rupiah perbungkus, dan kalau direbus di tempat, harganya jadi lima ratus rupiah. Dari segi rasa, memang sih rasanya biasa saja, tapi tidak bisa dibilang tidak enak juga karena kalau menurut saya rasa dari mi tersebut menunjukkan bahwa mi tersebut masih well edible (tentunya setelah yakin bahwa mi itu belum kadaluarsa). Saya menikmati mi instan kuah (yang penjualnya seringkali lupa memasukkan bubuk cabai ke mi saya) bersama teman saya itu di depan warung itu, atau di rumah teman saya yang kebetulan jaraknya tidak jauh dari warung itu. Ditemani suara televisi yang nyaring dari ruang keluarga rumah teman saya, atau suara radio dari warung tersebut, hilir mudik orang yang lewat di jalan, suara tawa anak-anak kecil yang masih bermain lompat tali di teras, suara deburan air dari kamar mandi umum, decitan katrol sumur yang berputar, dan langit jingga sore hari, saya menikmati mi instan yang notabene hanya lima ratus rupiah itu. Dan saya benar-benar menikmati itu.
Jaman sekarang, lima ratus rupiah untuk beli mi instan dan direbus di tempat, mungkin cukup untuk kuahnya saja. Tapi jaman dulu, dengan lima ratus rupiah saya bisa makan mi instan yang memang, bukan mi instan merk kelas kakap. Ketika saya beberapa menit yang lalu makan mi instan tersebut di ruang makan, saya mencoba menghidupkan lagi kenangan makan mi instan seperti yang saya lakukan dulu bersama teman saya. Rasa dan aroma mi instan yang saya rebus itu masih sama, bahkan pedasnya pun masih sama (dulu, saya kepedasan karena bubuk cabainya, tapi sekarang sih ecek-ecek). Tapi kenangan itu tak sempurna.
Saya tak mendengar suara anak-anak kecil yang tertawa bermain lompat tali, suara televisi yang nyaring yang menyiarkan berita sore, suara radio yang rebek dari warung kecil itu, suara deburan air dari kamar mandi umum, dan suara decitan katrol sumur timba. Saya tak melihat hilir mudik orang yang lewat di jalan, dan juga langit jingga sore. Hanya saya, sendiri, di ruang makan, dengan semangkuk mi instan yang sama, yang hebatnya masih bisa bertahan ditengah gencarnya promosi ramen khas Jepang di kota Bandung. Sebenarnya, saya bisa saja sih masak mi instan itu, lalu makan di teras depan rumah, sambil melihat hilir mudik orang yang lewat di jalan kompleks, melihat langit jingga sore, mendengar suara anak-anak tetangga usia TK yang sekarang gencar bermain RC Car atau anak-anak perempuan usia SD kelas enam yang mengobrol sambil berjalan dan jemarinya yang terus menari di atas hamparan QWERTY keyboard ponsel Blackberry. Mungkin suara decitan katrol sumur timba bisa digantikan dengan suara mesin jet pump yang 'ngahiung' ketika dinyalakan, atau suara air terjun kolam ikan rumah saya sebagai pengganti suara deburan air dari dalam kamar mandi umum. Tapi itu tidak akan membuat kenangan itu hidup lagi dengan sempurna. Ada keramahan dari seorang wanita penjaga warung, semilir angin sore yang sejuk, senyum dan sapa dari orang-orang yang hilir mudik melewati warung tersebut, kehangatan dari kebersamaan dengan teman-teman, rasa pedas yang menghangatkan kerongkongan, perasaan sepi yang terbunuh oleh berisiknya suara radio yang rebek di warung tersebut atau suara siaran televisi yang nyaring, tawa bahagia anak-anak yang bermain di sore hari, dan decitan khas katrol sumur timba--yang sekarang mungkin akan sulit ditemukan di kota besar seperti ini. Dan semua hal tersebut, saya rasakan ketika saya menyisihkan uang jajan sebesar lima ratus rupiah, koin, untuk membeli mi instan kuah dan menikmatinya di sore hari selepas bermain.
Setelah hanya tinggal kuah mi saja yang ada di mangkuk, saya jadi sadar bahwa hanya dengan lima ratus rupiah, jumlah yang di jaman sekarang mungkin tidak ada artinya, saya mendapatkan keramahan orang-orang dan kehangatan dari kebersamaan. Warung itu bukan warung besar. Tidak patut warung itu dibandingkan dengan minimarket waralaba. Ketika hari semakin gelap, bahkan warung itu hanya diterangi oleh dua lampu 'kandang ayam'. Tapi kebahagiaan sederhana semacam itulah yang saya dapatkan dari sana. Mi instan itu; kebahagiaan tidak harus selalu mahal.
Ah, seandainya saya bisa membeli sebuah 'kenangan'...
"Mungkin di masa depan nanti kita bisa membeli kenangan, ya?"
Mungkin saja sih, walaupun kedengarannya sangat sulit dan mungkin tidak mungkin. Ketika kita hendak menghidupkan sebuah kenangan, misalnya kenangan ketika bermain layangan bersama ayah di lapangan pada sore musim kemarau, bisa jadi 'kan kenangan itu tidak benar-benar persis seratus persen? Pasti ada sesuatu yang beda dari kenangan yang dihidupkan kembali itu. Dan saya merasakan hal ini, beberapa menit yang lalu.
Sepulang dari kampus tadi, saya super duper lapar (padahal sudah ke Maji dan lalu ngopi lagi setelahnya). Ketika saya buka laci stok makanan, saya nemu satu bungkus mi instan dengan merk .................. yang nyempil diantara mi instan lainnya dengan merk yang sudah sangat familiar semacam Mi Zedaaab atau Indomix. Saya langsung excited ketika melihat eksistensi mi instan itu. Sebenarnya saya sendiri yang beli mi itu, hanya saja baru sadar mi itu sudah berada di laci persediaan mi dalam waktu yang cukup lama (mungkin sekitar dua atau tiga minggu). Langsung saja saya masak mi itu dan saya nikmati di ruang makan. Hmm... Rupanya rasa dan aroma mi instan kuah itu masih sama seperti dulu.
Ya, seperti dulu, tapi dulu sekali.
Saya sudah mengenal mi instan merk itu sejak dulu, sejak saya masih SD. Dulu, ketika selesai sekolah biasanya saya pulang, ganti baju, lalu main dengan teman-teman. Kebetulan ada salah satu teman saya yang rumahnya dekat dengan sekolah. Dan di sekitar rumahnya itu, ada sebuah warung kecil yang menjual jajanan khas SD (huhu... jadi rindu jajan cistik ke ibu-ibu pedagang jajanan SD di depan SD Isola). Biasanya ketika hari sudah mulai gelap, sekitar jam lima sore, saya dan teman saya suka mampir ke warung tersebut untuk beli mi instan, dan mi instan yang biasa kita beli adalah mi instan dengan merk yang sama dengan yang saya makan beberapa menit yang lalu!
Dengan duit receh lima ratus rupiah saja, pada saat itu saya sudah bisa menikmati semangkuk mi instan. Yap! Mi itu dijual eceran dengan harga tiga ratus rupiah perbungkus, dan kalau direbus di tempat, harganya jadi lima ratus rupiah. Dari segi rasa, memang sih rasanya biasa saja, tapi tidak bisa dibilang tidak enak juga karena kalau menurut saya rasa dari mi tersebut menunjukkan bahwa mi tersebut masih well edible (tentunya setelah yakin bahwa mi itu belum kadaluarsa). Saya menikmati mi instan kuah (yang penjualnya seringkali lupa memasukkan bubuk cabai ke mi saya) bersama teman saya itu di depan warung itu, atau di rumah teman saya yang kebetulan jaraknya tidak jauh dari warung itu. Ditemani suara televisi yang nyaring dari ruang keluarga rumah teman saya, atau suara radio dari warung tersebut, hilir mudik orang yang lewat di jalan, suara tawa anak-anak kecil yang masih bermain lompat tali di teras, suara deburan air dari kamar mandi umum, decitan katrol sumur yang berputar, dan langit jingga sore hari, saya menikmati mi instan yang notabene hanya lima ratus rupiah itu. Dan saya benar-benar menikmati itu.
Jaman sekarang, lima ratus rupiah untuk beli mi instan dan direbus di tempat, mungkin cukup untuk kuahnya saja. Tapi jaman dulu, dengan lima ratus rupiah saya bisa makan mi instan yang memang, bukan mi instan merk kelas kakap. Ketika saya beberapa menit yang lalu makan mi instan tersebut di ruang makan, saya mencoba menghidupkan lagi kenangan makan mi instan seperti yang saya lakukan dulu bersama teman saya. Rasa dan aroma mi instan yang saya rebus itu masih sama, bahkan pedasnya pun masih sama (dulu, saya kepedasan karena bubuk cabainya, tapi sekarang sih ecek-ecek). Tapi kenangan itu tak sempurna.
Saya tak mendengar suara anak-anak kecil yang tertawa bermain lompat tali, suara televisi yang nyaring yang menyiarkan berita sore, suara radio yang rebek dari warung kecil itu, suara deburan air dari kamar mandi umum, dan suara decitan katrol sumur timba. Saya tak melihat hilir mudik orang yang lewat di jalan, dan juga langit jingga sore. Hanya saya, sendiri, di ruang makan, dengan semangkuk mi instan yang sama, yang hebatnya masih bisa bertahan ditengah gencarnya promosi ramen khas Jepang di kota Bandung. Sebenarnya, saya bisa saja sih masak mi instan itu, lalu makan di teras depan rumah, sambil melihat hilir mudik orang yang lewat di jalan kompleks, melihat langit jingga sore, mendengar suara anak-anak tetangga usia TK yang sekarang gencar bermain RC Car atau anak-anak perempuan usia SD kelas enam yang mengobrol sambil berjalan dan jemarinya yang terus menari di atas hamparan QWERTY keyboard ponsel Blackberry. Mungkin suara decitan katrol sumur timba bisa digantikan dengan suara mesin jet pump yang 'ngahiung' ketika dinyalakan, atau suara air terjun kolam ikan rumah saya sebagai pengganti suara deburan air dari dalam kamar mandi umum. Tapi itu tidak akan membuat kenangan itu hidup lagi dengan sempurna. Ada keramahan dari seorang wanita penjaga warung, semilir angin sore yang sejuk, senyum dan sapa dari orang-orang yang hilir mudik melewati warung tersebut, kehangatan dari kebersamaan dengan teman-teman, rasa pedas yang menghangatkan kerongkongan, perasaan sepi yang terbunuh oleh berisiknya suara radio yang rebek di warung tersebut atau suara siaran televisi yang nyaring, tawa bahagia anak-anak yang bermain di sore hari, dan decitan khas katrol sumur timba--yang sekarang mungkin akan sulit ditemukan di kota besar seperti ini. Dan semua hal tersebut, saya rasakan ketika saya menyisihkan uang jajan sebesar lima ratus rupiah, koin, untuk membeli mi instan kuah dan menikmatinya di sore hari selepas bermain.
Setelah hanya tinggal kuah mi saja yang ada di mangkuk, saya jadi sadar bahwa hanya dengan lima ratus rupiah, jumlah yang di jaman sekarang mungkin tidak ada artinya, saya mendapatkan keramahan orang-orang dan kehangatan dari kebersamaan. Warung itu bukan warung besar. Tidak patut warung itu dibandingkan dengan minimarket waralaba. Ketika hari semakin gelap, bahkan warung itu hanya diterangi oleh dua lampu 'kandang ayam'. Tapi kebahagiaan sederhana semacam itulah yang saya dapatkan dari sana. Mi instan itu; kebahagiaan tidak harus selalu mahal.
Ah, seandainya saya bisa membeli sebuah 'kenangan'...
0 comments:
Post a Comment