Jarum speedometer
telah melewati angka 80 kilometer
per jam. Aku membawa mobilku melesat cepat di jembatan flyover yang menghubungkan wilayah Pasteur dengan Surapati ini. Di
sampingku, Alia memegang erat sabuk pengamannya dan beberapa kali meringis. Aku
mendengus kesal. Toh aku mengebut juga
demi ia dan Dira. Aku tak ingin Dira sampai terbangun dan menangis di
mobil, jadi lebih baik aku segera membawa mereka ke rumah. Aku juga harus
kembali ke rumah ayah setelah mengantar Alia dan Dira pulang. Kondisi Reyhan
membuatku harus menemani ayah menjaganya. Mengapa
adikku harus sampai sakit segala? Akhir-akhir ini ia jadi sakit-sakitan dan
itu membuatku kesal. Harusnya ia bisa lebih menjaga dirinya sendiri.
“Nggak usah ngebut, Reza,” tegur Alia.
“Biar cepat sampai rumah. Aku ‘kan harus balik lagi,”
jawabku.
Alia kini mendengus kesal. Aku sedang tak ingin berdebat
atau bertengkar. Sudah cukup banyak aku bertengkar hari ini. Reyhan membuatku
kesal. Setelah permasalahan tentang kunci rumah, ia kembali membuat onar karena
ingin menikmati es krim, sementara demamnya masih belum turun betul. Rasanya
aku ingin melemparkan es krim ke wajahnya. Biar
ia tahu rasanya sekalian!
“Baju buat besok udah ada?” tanya Alia.
“Belum. Aku nggak
akan parkir ke dalam, jadi nanti tolong ambilkan kemeja satu, celana panjang
satu, sama kaus kaki dan sepatuku,” jawabku, “Pakaian dalam sih aku masih punya disana. Aku harus
cepat balik lagi. Kasihan ayah”
Kami tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Aku membukakan
pintu untuk Alia. Ia menggendong si kecil Dira dan segera membawanya masuk ke
rumah. Kutunggu Alia di samping mobilku sambil memperhatikan fasad rumah yang
baru kami tinggali selama satu setengah tahun. Warna coklat kremnya kini nampak
aneh. Apakah ini sudah waktunya untuk mencat ulang dinding depan?
“Ini baju, Za,” ujar Alia seraya memberiku kemeja dan
celana kerjaku yang telah dilipat rapi.
“Sepatu sama kaus kaki?” tanyaku.
“Oh ya. Lupa,” jawab Alia seraya kembali masuk ke dalam
rumah.
“Tunggu! Sama jaketku sekalian!” tahanku.
“Yang mana?”
“Jaket angkatanku pas jaman kuliah, yang abu-abu”
Alia segera masuk ke dalam rumah dan kemudian kembali,
membawakanku sepatu, kaus kaki, dan jaketku. Aku memasukkan pakaianku ke dalam
mobil, kemudian berpamitan pada Alia. Ia mencium tanganku dan aku mencium
dahinya setelahnya.
“Baik-baik di rumah. Titip Dira. Kalau ada apa-apa
langsung telpon,” ujarku.
“Ya. Salam buat ayah dan Reyhan,” jawab Alia.
Aku segera masuk ke dalam mobil dan mengemudi secepat
mungkin agar aku bisa tiba di rumah ayah sebelum pukul sepuluh malam. Syukurlah
jalanan tidak macet di malam hari, hanya saja jarak dari Pasteur ke Tamansari
tidaklah sedekat yang dibayangkan. Kuputar musik-musik keras dengan volume yang
kencang untuk menemaniku berkendara. Rasanya aku ingin berteriak, melepas
penatku. Ah! Aku bahkan harus sambil
menyelesaikan laporan proyek iklan itu malam ini! Kapan aku bisa beristirahat? Ponselku berdering. Aku mengecilkan
volume musik dan menggunakan handsfree
untuk menjawab panggilan telpon yang masuk.
“Halo?”
“Mas Eza,
dimana?”
“Reyhan?”
“Mas, titip
martabak”
“Ah, udah
malam. Mas males kalau harus muter-muter lagi”
Aku memutuskan panggilan telpon itu begitu saja. Sudah
malam begini harusnya adikku beristirahat, bukannya justru memintaku
membelikannya martabak. Lagipula aku sudah membelikannya banyak cemilan. Ia bahkan
belum menghabiskan biskuit yang kubelikan beberapa hari yang lalu. Terlalu
banyak makanan yang tersisa jatuhnya hanya membuang-buang makanan. Lagipula tak
biasanya Reyhan meminta martabak.
Aku tiba di rumah sekitar sepuluh menit setelah adikku
menghubungiku. Kuparkir mobilku di depan pintu garasi. Sengaja kuparkir di luar
agar jika terjadi sesuatu yang buruk dan adikku harus dibawa ke rumah sakit,
tak perlu berlama-lama membuka pintu garasi. Cukup membuka pintu pagar depan
dan kami bisa segera pergi. Ayah membukakan pintu untukku lalu segera masuk.
“Alia bagaimana di rumah?” tanya ayah.
“Insya Allah nggak
ada apa-apa, yah,” jawabku.
“Adikmu tiba-tiba ingin martabak, jadi ayah suruh dia
telpon kamu,” ujar ayah lagi.
“Sengaja nggak
Reza belikan,” jawabku, “Lagian udah
malam begini, malas muter-muter lagi”
Reyhan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur.
Kulihat ia hanya mengenakan kaus dan celana katun pendek. Yang benar saja! Katanya ia terkena demam, tapi kenapa pakaiannya serba
pendek begitu? Bagaimana jika ia masuk angin dan kondisinya justru memburuk?
Aku meringis kesal.
“Rey! Katanya sakit! Kenapa pake celana pendek?” tanyaku kesal.
“Gerah, mas.
Reyhan ‘kan mandi cuman pas pagi aja.
Mas ‘kan yang larang Reyhan mandi dua
kali sehari pas sakit,” jawabnya.
Ayah menepuk pundakku.
“Reza, jangan marah-marah terus. Dari tadi siang kamu
banyak marah-marah,” tegur ayah.
“Habisnya si Rey—“
“Kalau kesal dengan urusan kerjaan, jangan lampiaskan ke
adikmu. Ayah juga tahu kamu marah karena peduli sama adikmu, tapi kalau
marah-marah sejak tadi siang dan sampai sekarang masih seperti ini, apalagi
kalau bukan pelampiasan?”
Ayah meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Kulangkahkan
kakiku menuju ruang keluarga. Kutaruh pakaian kerja dan jaketku di atas kursi. Astaga! Aku bahkan masih harus mengerjakan
sesuatu malam ini. Benar-benar hari yang melelahkan. Rasanya aku perlu
beristirahat sejenak, mungkin satu hari atau satu minggu. Aku ingin menghilang,
pergi ke tempat yang tenang dan beristirahat sejenak dari kegilaan yang
menyiksaku setiap hari.
“Reyhan! Kamu ngapain
malah minum soda malam-malam!” tegurku saat kupergoki adikku menuangkan Sprite ke dalam gelas.
“Hnnggg...
obat,” ujarnya tak jelas seraya menunjuk ke arah mulutnya yang terbuka.
“Minum obat sih
minum obat, tapi nggak usah pakai
soda juga!”
Reyhan terlanjur meneguk soda itu. Ia menghabiskan satu
gelas soda. Aku benar-benar kesal dengan adikku. Ia jadi susah diatur. Aku
menghampirinya dan menegurnya habis-habisan. Anak ini benar-benar keterlaluan.
Orang lain susah payah mengurusnya dan menjaganya agar ia cepat sembuh, tapi ia
sendiri justru tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
“Bodo kamu! Udah tahu sakit malah minum soda!”
bentakku.
“Air di kamar habis,” jawabnya.
“Tapi ‘kan bisa minum air putih biasa, bukan soda!”
tegasku.
“Ya udah.
Maaf,” jawabnya.
“Itu kenapa juga pakai celana pendek dan kaus oblong?
Kemarin bilang sakit kepala dan sesak nafas. Kamu mau tambah sakit?”
“Gerah, mas.
Gerah. Lagipula udah bau keringat
baju yang tadi siang Reyhan pake”
“Terserah kamu aja
lah!”
Reyhan meringis. Ia menaruh gelasnya di bak cuci kemudian
mencuci tangannya. Setelah itu ia mengambil beberapa lembar tisu dan
mengeringkan tangannya.
“Telpon Rey aja
tadi diputus. Sekarang Rey dimarahin,”
ujarnya dengan ekspresi kesal.
“Habis kamu susah diatur!” tegasku.
“Mas kenapa sih dari tadi siang marahin Reyhan mulu? Rey
salah apa?” tanya Reyhan kesal, “Mulai dari urusan kunci rumah, Pringles yang dibawain Evan, martabak, soda, sampai celana pendek. Semua yang Rey
lakukan salah terus. Mas pengennya Rey gimana kalau sakit? Tiduran
terus di atas kasur dari pagi sampai malam?”
“Tau lah, Rey. Bodo amat,” jawabku ketus.
Rey mendengus kesal. Ia lalu berjalan menuju kamarnya
sembari menggerutu. Aku mendengar apa yang ia ucapkan. Aku mendengarnya. Ia pikir aku tuli, apa?
“Nggak ikhlas nemenin mah, nggak usah datang sekalian”
Reyhan baru tiba di ambang pintu kamarnya saat aku
menahannya.
“Ngomong apa
kamu barusan?” tanyaku.
“Apa?” Reyhan balik bertanya.
“Ngomong apa?!”
bentakku.
“Nggak ikhlas
jaga Rey mah nggak usah datang
sekalian! Sana tinggal aja di rumah
sama mbak Alia! Nggak usah ngurusin Rey!
Rey juga bisa ngurus diri sendiri!” jawab
Reyhan kesal.
Pintu kamar ayah terbuka. Kali ini ayah menatapku dan
Reyhan tajam. Ia menutup pintu kamarnya dan kulihat ada kunci mobil di
genggaman tangannya. Ayah menghampiri kami dan melihat dari raut wajahnya, aku
dan Reyhan sama-sama tahu bahwa ayah marah pada kami berdua.
“Ayah mau tidur di mobil saja malam ini. Pusing dengar
kalian berdua bertengkar. Adik kakak kok
nggak rukun?” ujar ayah.
Aku dan Reyhan tidak sempat menjawab, bahkan menahan ayah
untuk tidak tidur di mobil. Ayah keluar melalui pintu depan dan membawa
kuncinya, sehingga kami tak bisa keluar lewat pintu depan. Ia benar-benar tidur
di dalam mobil. Terdengar suara mobil saat kuncinya dibuka secara otomatis
melalui remote control kecil. Ah, sial! Kenapa jadi seperti ini?
“Makanya jangan marah-marah aja,” sindir Reyhan.
“Kamu tuh
penyebab masalahnya!” jawabku.
“Nyalahin orang
lain. Sendiri yang marah-marah dari tadi siang,” balas Reyhan.
“Terserah kamu!”
“Ya udah! Bukan
aing ya yang marah-marah”
“Kumaha sia! Tah inum tah soda nepi ka paeh!”
Akhir-akhir ini aku sering marah-marah menggunakan bahasa
Sunda dan, entahlah, rasanya lebih lega ketika aku menggunakan bahasa ibuku.
Reyhan terkejut dengan ucapanku. Ia menatapku tajam, kemudian matanya
berkaca-kaca. Ia tak mengatakan apapun lagi, namun segera masuk ke kamarnya dan
membanting pintu kamarnya tepat di depanku. Aku mengumpat, menyebutnya ‘anjing’
karena telah dengan lancang bersikap tidak sopan. Dengan kesal aku kembali ke
ruang keluarga dan duduk disana, mencoba menenangkan diri. Persetan dengan laporan! Aku tak peduli! Kuraih remote control televisi dan kumatikan
televisi. Suasana yang tenang seperti ini lebih baik. Aku dapat menurunkan
emosiku dengan cepat. Ah, marah-marah seperti tadi membuatku lelah. Aku kecewa
pada adikku. Ia tak seharusnya bersikap seperti itu. Aku ingin ia dapat
menghormatiku sebagai kakaknya dan menghargai usahaku untuk menjaganya saat ia
sakit. Harusnya ia sadar bahwa apa yang kulakukan untuknya adalah demi
kebaikannya. Jika aku tak sayang padanya, saat ini aku pasti sedang tertidur
nyenyak di rumahku. Aku tak perlu jauh-jauh berkendara ke Tamansari di malam
hari hanya untuk menjaga adikku yang mungkin terbangun di tengah malam hanya
karena ingin buang air kecil atau membutuhkan air minum.
Kusingkap tirai yang menutup jendela dan kulihat ke arah
mobil. Lampu mobil tak menyala, namun jendelanya terbuka sedikit. Ayah
benar-benar tidur di mobil malam ini. Aku merasa sangat bersalah pada ayah. Ia
pasti sangat marah pada aku dan Reyhan. Besok pagi aku harus meminta maaf pada
ayah dan membuatkannya teh serta sarapan. Ini semua gara-gara adikku yang keras
kepala dan tak mau mendengarkanku. Jika ia tak melawanku, ayah pasti saat ini
sedang beristirahat di kamarnya dan aku, mungkin, sedang mengerjakan laporanku.
Kukenakan jaketku dan kutumpuk dua buah bantal yang kuletakkan di ujung sofa,
lalu kubaringkan tubuhku. Hari ini aku merasa begitu lelah. Seharusnya adikku
tak membuat masalah yang membuatku semakin lelah. Kulihat jam menunjukkan pukul
sepuluh lebih lima belas menit. Kupejamkan mataku dan mulai beristirahat.
Semoga saja aku masih sempat bangun lebih awal untuk mengerjakan laporanku,
walaupun sebetulnya aku bisa mengerjakannya besok di kantor.
Baru sebentar rasanya aku tertidur dan suara Reyhan kemudian
membangunkanku. Aku masih sangat mengantuk dan mataku terasa sangat berat untuk
kubuka. Rengekan itu terdengar dari arah kamar adikku. Apalagi yang ia
inginkan? Sudah ada air minum dan obat-obatan di kamarnya. Lagipula ia sudah
sangat membuatku kesal. Aku harus memberinya pelajaran.
“Mas Eza,”
panggil Reyhan.
“Berisik!” seruku kesal.
“Mas Eza.
Bangun,” panggil Reyhan sekali lagi.
“Diam ah Rey!” aku memiringkan tubuhku, menghadap ke
sandaran sofa.
Kudengar suara pintu kamar yang terbuka. Aku tak
mendengar suara apapun lagi setelahnya. Aku tak peduli apa yang ingin Reyhan
lakukan. Jika ia ingin minum, ia harus mengambilnya sendiri. Jika ia ingin ke
kamar mandi, ia harus melakukannya sendiri. Toh kondisi tubuhnya sudah jauh
lebih baik. Ia bahkan bisa minum soda. Rasa lelahku membawaku kembali ke alam
bawah sadarku, namun suara berdebum yang tiba-tiba terdengar seketika membuatku
membuka mataku lebar-lebar. Reyhan! Apa
yang terjadi dengan adikku?
“Rey?” panggilku.
Tak ada jawaban. Saat aku bangun, yang pertama kali
kulihat adalah pintu kamar adikku yang terbuka. Aku bangun dan bergegas menuju
kamar adikku. Ia tak ada di dalam kamarnya. Gelas minumnya tergeletak di atas
meja samping tempat tidurnya dan airnya tumpah ke lantai. Selimut tebalnya menjuntai
dari tempat tidurnya ke lantai, seolah-olah ia menyeret tubuhnya sampai sisi
tempat tidur lalu terjatuh dan, mungkin, tangannya mengenai gelas minumnya
sampai gelas itu tak sengaja ia jatuhkan. Saat kudengar suara keran dari arah
kamar mandi, aku segera berlari menuju kamar mandi. Pintunya tertutup. Aku
mencoba membukanya namun rupanya pintu itu terkunci dari dalam. Apa adikku ada di dalam? Apakah ia baik-baik
saja?
“Rey! Reyhan! Kamu di dalam?” seruku.
Tak ada jawaban. Aku menggedor pintu kamar mandi lebih
keras dan memanggil namanya. Kudekatkan telingaku ke pintu kamar mandi dan
kudengar suara adikku, terbata-bata memanggil namaku.
“Mas Eza,” ujar
Reyhan pelan.
“Rey. Kamu nggak
apa-apa?” tanyaku panik.
“In.. Inhaller,”
ujarnya terbata-bata.
Inhaller? Reyhan
mencari inhallernya? Bukankah selama
ia sakit, ia biasa membawanya kemana-mana, bahkan ke kamar mandi sekalipun?
Perasaanku menjadi sangat tidak enak. Aku berlari ke kamar adikku dan kutemukan
inhaller adikku tergeletak di samping
laptopnya. Segera aku mengambilnya
dan kembali menuju kamar mandi. Kali ini aku mencoba mendobrak pintu yang berat
itu, namun dorongan keras dari tubuhku tidak bisa membuka pintu tebal itu.
Reyhan pasti mengunci ganda pintunya.
“Rey, kamu bisa coba buka pintunya nggak?!” tanyaku.
Suara keran yang mengalir membuatku takut. Apa yang sebenarnya terjadi? Saat
kudengarkan lebih seksama, kudengar Reyhan meringis, diikuti oleh suara air
saat berkecipak. Apakah adikku berada di
daam bath tub yang sedang diisi? Apa
yang ia lakukan malam-malam begini?
“Rey mau pipis. Tapi..”
“Kamu lagi apa, Reyhan?! Buka pintunya!” tegasku.
“Rey kepeleset.
Masuk ke bath tub,” jawabnya pelan.
Kali ini suara Reyhan terdengar lebih jelas. Ia meringis
dan kurasa aku mendengar nafasnya yang tersengal-sengal. Adikku membutuhkan
bantuanku. Ia membutuhkan inhallernya.
Kurasa aku tahu kenapa keran itu bisa terbuka. Reyhan mungkin mencoba bangun
saat ia terjatuh ke dalam bath tub
dan mungkin tidak sengaja mengangkat kerannya sehingga bath tub itu terisi. Yang kuharapkan saat ini adalah adikku bisa
bangun dan bath tub itu tidak
disumbat.
“Mas Eza.
Tolong Rey,” adikku kini terdengar seperti menangis.
Ketakutanku semakin menjadi. Aku kembali mencoba
mendobrak pintu kamar mandi yang berat itu. Aku mendobraknya lebih kuat. Bahuku
bahkan terasa sangat sakit. Sial! Pintu
kayu sialan ini tak mau juga terbuka! Bunyi kecipak air semakin sering
terdengar dan adikku terus menerus memanggilku. Aku membutuhkan bantuan lain.
Saat aku berbalik hendak membangunkan ayah di dalam mobil, kudengar Reyhan
memanggil namaku dan menahanku.
“Mas Eza,” ujarnya.
“Reyhan, kamu bisa bangun?” tanyaku, “Pegangan ke pinggir
bath tub, terus coba bangun”
Suara adikku hilang muncul dan ini membuatku semakin
takut. Sumbat pada bath tub itu pasti
terpasang. Airnya pasti menggenang. Aku juga tak tahu bagaimana Reyhan bisa
terjatuh ke dalam bath tub. Namun
jika kepalanya menghantam dinding atau lantai bath tub, ada kemungkinan ia mengalami cedera. Melalui celah kecil
di bawah pintu, aku merasakan aliran uap hangat mengenai kakiku. Air panas.
Keran air panas itu pasti terbuka.
“R-Reyhan minta maaf,” ujar Reyhan terbata-bata.
Tidak! Kumohon
jangan katakan hal itu. Kumohon. Kumohon, Reyhan! Jangan ucapkan permohonan
maaf itu sekarang. Mataku sudah sembab dan inhaller adikku masih berada dalam
genggaman tanganku. Kali ini aku harus bisa membuka pintu ini. Sekali lagi aku
mendobrak pintu itu. Aku yakin kali ini aku melakukannya dengan sangat kuat.
Pintu itu akhirnya terbuka dan seketika uap panas menyeruak. Saat uap panas
mulai menghilang, kulihat wajah adikku mulai terbenam. Air itu berwarna
kemerahan, dan aku tahu mengapa air itu berwarna kemerahan. Segera kumatikan
keran air dan kuangkat tubuh adikku dari dalam bath tub. Kubaringkan ia di
lantai kamar mandi. Tanganku gemetaran mencoba membangunkannya, namun tubuhnya
terasa panas. Wajahnya sangat merah dan tangannya begitu kaku. Reyhan, kumohon bangunlah. Kumohon. Harusnya
aku yang memohon maaf padamu. Aku mengangkat tubuhnya dan mendekapnya. Aku
tak dapat menahannya lagi. Reyhan tak mau bergerak sama sekali. Ia juga tak mau
mengatakan apapun. Tangannya kaku. Tak ada nafas yang keluar dari kedua lubang
hidungnya. Aku benar-benar hancur. Sangat hancur. Aku mendekapnya semakin erat.
Tak boleh ada yang mengambil adikku dariku. Siapapun tak boleh ada yang
melakukannya.
“Mas Eza..”
Dan tiba-tiba aku mendengar suara adikku. Mataku kembali
terbuka dan kemudian kusadari aku tak sedang berada di dalam kamar mandi. Yang
pertama kali kulihat adalah wajah adikku yang menatapku bingung.
“Kenapa tidur di lantai? Bodo ih! Kalau masuk
angin gimana?”
Kusadari bahwa aku tergeletak di lantai. Aku pasti
terjatuh dari sofa saat tidur dan... aku telah bermimpi buruk. Aku segera
bangun dan duduk di sofa. Kututup wajahku dengan kedua tanganku sambil kuatur
nafasku yang terengah-engah. Ya Tuhan, mimpi
buruk itu terasa begitu nyata dan aku sangat takut.
“Mas Eza kenapa
sih?”
Kulihat Reyhan yang sekarang berlutut di sampingku. Ia
masih mengenakan kaus dan celana pendek. Ia tak nampak pucat. Ia baik-baik
saja. Reyhan lantas mengernyitkan dahinya. Ia mengambil beberapa lembar tisu
dari atas meja dan memberikannya padaku.
“Mas keringetan banyak. Matanya juga basah.
Kenapa sih? Habis nangis?” tanya
Reyhan.
“Nggak tahu,
Rey,” jawabku pelan seraya menerima tisu yang adikku berikan.
Kuseka keringat di dahi dan leherku, lalu kuhapus air
mata yang nampaknya masih menjejak di pipiku. Adikku kemudian berdiri.
“Rey mau ke kamar mandi,” ujarnya.
Sebelum adikku pergi, aku bangkit dari tempat dudukku
lalu memeluknya erat. Aku tak peduli jika adikku menganggapku aneh karena aku
tiba-tiba memeluknya dan menangis. Aku tak peduli. Mimpi buruk itu membuatku
sangat takut. Aku tak akan memarahinya lagi karena mengenakan celana pendek dan
kaus oblong saat ia sakit. Aku juga akan membelikannya martabak. Aku tak ingin
kehilangan adikku. Aku pernah hampir kehilangannya, dan aku tak ingin hal itu
sampai terjadi lagi.
“Maafin mas
Eza, Rey,” ujarku pelan.
“Rey mah emang
anjing, dikasih tahu susah,” jawab adikku, dengan nada kesal.
“Maaf. Mas Eza
minta maaf,” ujarku lagi.
Aku melepaskan pelukanku. Adikku menatapku, lalu
tersenyum kecil. Ia memamerkan sederetan giginya yang putih. Nampaknya ia tahu
bahwa aku sudah mendapatkan pelajaranku.
“Pasti mimpi buruk ya tadi? Mimpi apa? Mimpi Rey
tenggelam di bath tub?” tanyanya.
“Ya. Persis kayak
gitu,” jawabku.
“Istigfar,”
ujarnya.
Kuhela nafas panjang. Adikku kemudian berjalan ke arah
kamar mandi. Refleks aku mengikutinya dan Reyhan, yang menyadari bahwa aku
mengikutinya, menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi.
“Mau ngapain?
Jangan ngintip,” tanyanya.
“Pintunya jangan dikunci ya,” ujarku.
“Ya. Nggak akan dikunci kok,” jawabnya.
Kali ini Reyhan masuk ke kamar mandi dan menutup
pintunya. Aku merasa lega, bersandar pada dinding dan kedua kakiku yang lemas
membuatku terduduk. Sekali lagi kuhela nafas lega. Syukurlah itu hanya mimpi
buruk. Kukira aku akan kehilangan adikku lagi. Aku tak mau itu sampai terjadi
lagi.