Adikku
berjalan di sampingku dan mengusap pelan bahuku. Ia telah melakukannya beberapa
kali hari ini. Mungkin ini sudah ke-sembilan puluh sembilan kalinya Tania
mengusap bahuku. Satu kali lagi ia
mengusap bahuku, aku akan mentraktirnya sesuatu. Aku bersumpah akan mentraktirnya sesuatu! Tapi hanya jika benar itu
adalah usapan ke-seratus yang Tania lakukan.
“Tiga?”
tanya Tania saat aku mengambil tiga buah lilin devosi.
“Ya,”
jawabku.
“Tumben
banyak,” ujarnya.
“Masing-masing
satu doa khusus,” jelasku seraya memasukkan uang ke dalam kotak donasi.
Aku
masuk ke ruang Pieta dan menyalakan ketiga lilin yang kuambil. Setelah membuat
salib, aku duduk di bangku dan mengucapkan doaku dalam hati. Baiklah. Ini untuk
lilin yang pertama. Tuhan, tolong bantu
aku agar aku bisa menghilangkan rasa tak nyaman atas kebencianku terhadap pria
itu. Tunjukkan kebenaran pada pria itu dan buatlah agar pria itu sadar akan
perbuatannya. Tolong aku agar aku dapat berbesar hati menerima ujian yang
kuterima dan tolong aku agar aku dapat segera melupakan kejadian itu. Buatlah
agar aku dapat merasa lebih tenang dan jauhkan aku dari segala kesedihan.
Lindungi aku dari orang-orang yang berhati busuk dan bermuka dua. Berikan aku,
keluargaku, dan semua sahabat-sahabatku perlindungan dan berkatMu.
“Tuhan,
berikan kami semua bantuan dan kemudahan agar kami dapat melanjutkan ke
universitas yang kami pilih”
Sial!
Doa adikku memecah konsentrasiku. Aku menghela nafas panjang lalu memulai doaku
untuk lilin yang kedua. Tuhan, kumohon
berikan pria itu petunjuk yang menyadarkannya bahwa apa yang ia lakukan selama
ini adalah salah. Berikan ia pelajaran agar ia memahami bagaimana rasanya
disakiti dan dikhianati. Buatlah ia merasakan penderitaan yang dialami oleh
orang-orang yang ia sakiti, termasuk aku.
“Tuhan,
jika sastra Inggris bukanlah pilihan yang tepat, kumohon selalu tuntun aku agar
aku dapat mendapatkan pilihan yang tepat. Tuntun juga sahabat-sahabatku agar
mereka mendapatkan pilihan yang tepat. Berikan kemudahan di masa mendatang
nanti”
Tania
berdoa terlalu keras dan itu benar-benar menghancurkan konsentrasiku. Sekarang
aku lupa doa ketiga yang ingin kupanjatkan. Ah! Satu lilin lagi. Apa yang ingin kumohon? Uang? Kesehatan? Bukankah aku selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesanku setiap
hari? Baiklah. Untuk lilin ketiga, aku akan berdoa untuk adikku dan
teman-temannya.
Dan
sesi berdoa pun selesai. Aku dan Tania keluar dari ruang Pieta dan berjalan
menghampiri Reyhan dan Ezra yang nampak tengah membicarakan tentang organ pipa
tua yang terletak di lantai dua.
“Jadi
itu bunyinya gimana?” tanya Ezra.
“Ya
pokoknya kalau tutsnya ditekan, nanti ada udara dipompa ke pipa. Bunyi deh,” jelas Reyhan.
“Nggak ngerti. Kok bisa dipompa gitu gimana caranya ya?” Ezra nampak bingung.
“Pakai
jet pump,” tukas Tania.
“Emangnya sumur?” jawab Ezra kesal,
diikuti oleh tawaku dan yang lain.
Kami
pun meninggalkan bangunan utama gereja dan berjalan menuju mobilku yang
diparkir tak jauh dari gedung pastoran. Kubuka pintu mobil melalui remote kecil yang kugenggam. Reyhan dan
Ezra seperti biasa duduk di belakang, sementara adikku duduk di depan, di
sampingku menjadi co-pilot. Mesin
mobil dinyalakan dan pemutar musik pun menyala secara otomatis. Aku segera
memindahkan lagu saat We Were in Love
secara otomatis diputar. Aku muak dengan malam-malam penuh tangisan dan rasa
sesak yang membuatku merasa seperti dihukum mati di kamar gas. Aku juga muak
dengan lagu-lagu sendu yang secara otomatis diputar di pemutar musikku. Apa maksudnya ini semua? iPodku sedang berkonspirasi dengan alam? Yang
benar saja! Mozart’s House mulai
mengalun dari speaker mobil. Lagu ini
jelas lebih baik daripada lagu sebelumnya yang seolah-olah mengajakku untuk
kembali merasakan luka itu.
“Mbak Tara masih bete pasti,” ujar Tania.
“Udah nggak parah seperti kemarin-kemarin,”
jawabku, “Toh tadi ‘kan sudah berdoa”
“Orang
jahat nanti dibalas sama Tuhan, mbak,”
tukas Ezra.
“Ya.
Setuju. Supir angkot yang turunkan
Rey di tengah jalan juga nanti biar dibalas sama Tuhan,” sambung Reyhan.
Entah
mengapa tiba-tiba aku ingin tertawa mendengar ucapan Reyhan. Anak itu
seringkali tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku ingin tertawa. Dulu kami
sempat mengunjungi sebuah gerai minimarket untuk membeli cemilan dan Reyhan melihat
Fisherman’s Friend yang dijual di
atas meja kasir. Ia lantas bertanya apakah permen itu benar-benar terbuat dari
ikan.
“Mbak sabar aja sekarang,” ujar Tania seraya mengusap bahuku. Lagi.
“Mbak udah lebih tenang. Kamu jangan
khawatir,” jawabku.
“Mbak, aku udah usap bahu mbak
seratus kali. Traktir dong,” ujar
Tania tiba-tiba.
"Oh ya, traktir dong mbak!" sambung Ezra, "Sekarang 'kan novelnya udah terbit dan jadi best-seller"
Rasanya
aku ingin mencabut paksa pemutar musik mobil dan melemparnya tepat di wajah
Tania. Atau jika tidak, rasanya ingin kutancap gas dalam-dalam lalu melesat
melewati seratus kilometer per jam dan menabrak apapun yang menghalangi
jalanku. Bagaimana ia bisa tahu tentang
sumpah yang kuucapkan asal-asalan saat aku berada di gereja tadi?! Aku
bahkan tidak memberi tahunya tentang sumpah itu, namun adikku seolah-olah
mengetahuinya. Anehnya lagi, aku tak menghitung berapa kali ia telah mengusap
bahuku seharian ini. Lain kali aku tak
boleh mengucapkan sumpah yang aneh-aneh di dalam gereja. Mungkin ini
teguran dari Tuhan. Oh Tuhan, ampuni aku.
“Gimana kalau kita ke Two Hands Full?”
usul Ezra.
“Kemarin
udah. Cari tempat lain,” jawab Tania.
“Ke
Doppio, yuk!” usul Reyhan.
Aku
tertegun sejenak. Doppio adalah kedai yang saat itu kukunjungi, tepat di sore
hari setelah aku menyadari semua kebusukan pria itu—pria yang sempat kuberi
simpati. Aku merasa begitu hancur saat itu dan aku harus pergi ke suatu tempat
dimana aku dapat menenangkan diri. Hujan deras turun dan pikiranku semakin
kacau. Saat aku melihat kedai itu dari kejauhan, kuputuskan untuk singgah di
tempat itu. Keputusanku tidak salah, karena aku benar-benar menemukan jawaban
atas apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan perasaan yang menyesakkan
itu. Dan barista itu... Demi Tuhan, aku
menyukai kedua matanya!
Dan
akhirnya aku memarkirkan mobilku di pelataran parkir Doppio. Gerimis sudah
turun sejak kami masih dalam perjalanan. Reyhan segera mengenakan hoodie Pull & Bear biru tuanya dan
Ezra mengancingkan jaket bisbolnya. Tania mencari-cari sesuatu di bawah jok
mobil. Jika ia mencari payung kecil, aku sudah tak menyimpannya lagi di bawah
jok mobil.
“Payungnya
di bagasi,” ujarku.
“Aduh!
Kalau ditaro bagasi, pas hujan sih keburu
kehujanan sebelum pakai payung!” gerutu Tania.
“Masih
gerimis kecil kok. Reyhan saja yang
ambil,” ujar Reyhan seraya membuka pintu mobil dan begitu saja keluar untuk
mengambil payung di bagasi.
“Anak
baik,” celetuk Ezra, yang tak sempat terdengar oleh Reyhan.
Gerimis
kecil ini dapat kami tembus tanpa perlindungan payung, namun payung yang
diambil Reyhan tetap kami bawa masuk ke dalam kedai sebagai persiapan jika
hujan besar turun dan kami harus kembali ke mobil. Tania sengaja memilih tempat
duduk di dekat jendela agar ia bisa menikmati suasana hujan di luar. Aku
melihat ke arah bar dan kulihat pria itu kali ini sedang mengurus pembayaran di
kasir.
“Terima
kasih. Datang lagi ya,” ujarnya kepada pengunjung pria berusia paruh baya yang
kini melangkah menuju pintu keluar.
Apakah ia melihatku? Semoga ia
tidak melihatku. Tapi ia melihatku dan.. Ya Tuhan! Ia tersenyum padaku! Ya,
senyuman itu ia tujukan padaku! Jelas-jelas ia tersenyum padaku! Ayolah, Tara!
Apa yang kau pikirkan? Kau sedang bersama adikmu dan dua orang temannya! Jangan
sampai mereka curiga padamu! Seorang pelayan mendatangi meja
kami dan memberikan kami buku menu. Ini
aneh. Ya, ini tidak biasa. Tanpa adikku dan kedua temannya, aku bisa saja
langsung berjalan menuju bar lalu duduk disana dan memesan minuman. Biasanya
orang yang duduk di bar memesan minuman beralkohol, tapi aku tidak seperti itu.
Aku memesan kopi. Kopi pahit. Namun semenjak pria itu mengenalkanku pada café miel, aku jadi menyukainya. Aku
menyukai café miel dan mata pria itu—barista
itu.
“Mbak Tara mau pesan apa?” tanya Tania.
Aku
terkejut dan baru menyadari bahwa ada seorang pelayan yang telah datang ke meja
kami. Benar-benar mata yang menyesatkan. Terlalu lama membayangkan matanya, aku
bisa benar-benar tersesat dalam imajinasiku sendiri.
“Café miel. Kalau makanannya mbak mau pesan pasta e fagioli,” jawabku, “Reyhan mau makan apa? Dibayarin kok tenang aja”
Bocah
kecil itu menarik perhatianku. Ia membaca buku menu dengan seksama, sembari
sesekali melihat ke arah kami dengan tatapan bingung. Ia membaca lagi buku
menunya, lalu nampak dari raut wajahnya bahwa ia telah menentukan pilihan.
Namun sebelum ia menyebutkan pesanannya, ia kembali kebingungan dan membaca
lagi buku menu yang ia pegang.
“Rey?”
tegur Ezra.
“Sebentar,”
jawab Reyhan.
“Orang
lain udah beres pilih menu loh,” ujar Ezra.
“P-p-puttanesca. Spaghetti alla Puttanesca,” jawab Reyhan gugup.
“Kenapa
Rey?” tanya Tania, “Kamu jangan kumat disini”
“Kumat?
Dia sakit apa?” tanyaku kaget.
“Reyhan
‘kan punya asma,” jawab Tania.
Aku
terkejut mendengar jawaban adikku, namun pikiran tentang pria itu mendominasi
isi kepalaku. Pria itu menghilang dari pandanganku saat aku kembali melihat ke
arah bar. Kurasa aku tahu dimana ia berada. Setelah semua orang memesan
makanannya, aku memutuskan untuk pergi menuju bar dan berpura-pura memesan
sesuatu. Kuharap dua dosis kopi tidak akan sampai membuatku sakit. Lagipula jika
aku harus sakit karena kopi, setidaknya rasa sakit itu terbayar oleh
pertemuanku dengan barista itu yang dulu sempat menyelamatkan hidupku, layaknya
Jack Dawson yang menarik kembali Rose DeWitt Bukater ke dek sebelum ia
benar-benar melompat dari buritan Titanic.
Ah, aku terlalu berlebihan. Sejak kapan aku menjadi dramatis seperti ini?
“Permisi”
Pria
itu akhirnya muncul dari bawah meja bar. Aku membalas senyumnya saat ia
menyapaku dengan sebuah senyuman. Tangannya nampak menjatuhkan sesuatu, seperti
sebuah buku. Ah, tadi pasti ia sedang membaca buku. Aku ingin tahu buku apa
yang ia baca tadi.
“Eh,
mbak yang waktu itu, ‘kan?” tanyanya.
“Ya.
Nggak apa-apa ‘kan datang lagi?”
jawabku.
Pria
itu tertawa kecil.
“Mau
pesan apa? Kopi, coklat, atau teh?” tanyanya.
“Kopi.
Saya mau café miel. Boleh?” jawabku.
“Boleh.
Disini atau dibawa ke meja?” tanyanya lagi.
“Dibawa
ke meja,” jawabku.
Apa benar aku mengatakan hal itu?
Astaga! Aku baru saja melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol dengan pria ini! Ia tersenyum dan kemudian berbalik,
membuatkan pesananku. Aku menghela nafas panjang. Jika aku minum disini, sudah
jelas adikku dan kedua temannya akan mencurigaiku. Tapi jika aku kembali ke
mejaku, aku melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol lagi dengannya. Aku
menyayangkan tidak adanya name tag
untuk para barista yang bekerja di kafe ini. Bagaimana aku bisa mengetahui namanya jika ia tak memiliki name tag? Setidaknya jika aku mengetahui
namanya, sudah pasti mengobrol akan menjadi lebih nyaman karena aku dapat
memanggilnya dengan namanya langsung.
Saat
aku kembali, adikku dan kedua sahabatnya sedang berdiskusi. Mereka nampak
serius dengan diskusinya dan, saat aku mendengar kata ‘biologi’, rasanya aku
ingin berbalik dan menikmati minumanku di bar saja. Ah, tidak! Apa itu biologi? Sudah hampir sekitar lima tahun dan aku
tak pernah mendengar lagi kata ‘mitokondria’ dan ‘ribosom’, serta obrolan
tentang kromosom. Keinginanku untuk kembali ke bar semakin menggebu-gebu saat
Ezra tiba-tiba mengeluarkan buku teks biologi dari dalam tasnya. Tidak! Singkirkan benda itu! Aku sengaja
memilih jurusan bahasa Perancis agar aku tak perlu banyak berkutat dengan
hal-hal yang berbau matematika dan sains dan kini, buku teks biologi untuk SMA
kelas tiga itu ada di hadapanku dan aku merasa seperti Sarah Whittle yang
kembali melihat papan Jumanji setelah
bertahun-tahun melupakan permainan mengerikan itu.
“Baca
ini aja nih, tentang virus,” ujar
Ezra.
“Supaya
tidak terserang penyakit, harus ada antivirus,”
tukas Reyhan.
“Jadi
orangnya ditempelin DVD Bitdefender gitu biar nggak sakit?” tanya Tania usil.
“Pakai
Kaspersky dong,” jawab Ezra, mengikuti alur percakapan bodoh mereka.
“Aku
sih Kowalski,” tukas Reyhan,
menyebutkan satu di antara empat pinguin dari Penguins of Madagascar.
“Ya
udah aku Kawasaki aja,” jawab Tania, diikuti gelak tawa
kedua bocah SMA itu.
Aku
meringis pelan dan tak dapat berkomentar apa-apa. Berbicara tentang virus, yang
kupikirkan adalah penyakit. Yang kuketahui tentang virus adalah virus membawa
penyakit untuk manusia, hewan, dan tanaman. Penyakit. Rasa sakit. Ah, berarti bajingan
itu memang seperti sebuah virus. Tidak. Bajingan itu adalah virus itu sendiri.
Ia membuatku merasa sakit. Ia menyebabkan penyakit yang membuatku merasa begitu
sakit, sampai aku benar-benar merasa seperti lumpuh. Mungkin semua laki-laki
adalah virus. Mungkin saja. Pasti tidak adil jika aku mengatakan hal seperti
itu. Yang jelas, pria itu adalah virus yang mematikan, yang sempat membuatku
benar-benar sakit dan lumpuh. Pria itu pasti mencari mangsa lain dimana ia
dapat menempel pada mangsanya lalu membunuhnya.
“Virus
bisa digunakan sebagai obat. Kalimat kedua paragraf satu,” ujar Reyhan.
“Oh
ya, aku juga udah baca,” tukas Tania,
“Jadi katanya, untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu,
bisa menggunakan virus juga”
“Maksudnya,
semacam virus versus virus?” tanya Ezra.
“Ya.
Misalnya nih, virus flu dimatikan
dengan cara memasukkan virus anti-flu,” jelas Tania, “Eh, emang ada ya?”
“Aku
tahunya virus cinta,” jawab Reyhan.
“Dikalahkannya
pakai virus apa?” tanya Ezra.
“Virus..
virus apa ya?” Reyhan nampak kebingungan.
Ah,
mungkin ada benarnya jika aku berkata bahwa semua pria adalah virus. Jika aku
mengamati obrolan adikku dan kedua temannya, mungkin yang dapat kutangkap
adalah ada virus yang baik dan ada virus yang berbahaya. Virus yang baik dapat
menjadi obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus berbahaya. Kurasa ini
masuk akal. Jika virus berbahaya bisa dilumpuhkan oleh virus baik, maka luka
yang disebabkan oleh seorang pria dapat disembuhkan oleh..
“Café miel”
Minuman
pesananku terhidang di atas meja dan pelayan yang melayani kami terkejut saat
melihat telah ada secangkir café miel di
atas meja kami.
“Mbak pesan dua?” tanyanya.
“Ya.
Tadi saya ke bar, pesan lagi,” jawabku.
“Billnya disatukan saja?” tanyanya.
“Ya.
Satukan,” jawabku.
Kurasa
aku adalah seseorang yang saat ini sedang sakit dan perlu segera diobati. Aku
mengalami rasa sakit yang disebabkan oleh sebuah virus ganas, virus yang
berbahaya yang telah menggerogotiku dan mencoba melumpuhkanku. Namun aku harus
bisa berjuang dan bertahan hidup. Aku harus mencari obatnya. Jika aku terkena
racun, maka sebelum meminta tolong pada orang lain dan selama aku masih bisa
melakukannya sendiri, aku yang akan mencari penawarnya. Aku harus menemukan
virus baik yang dapat melawan virus jahat yang menyerangku, dan kurasa aku
melihatnya. Aku masih belum tahu apakah ia virus yang baik atau justru virus
yang jahat, tapi firasatku mengatakan bahwa ia adalah virus yang baik karena
tatapan matanya berkata demikian. Semoga saja firasatku benar. Maafkan aku, Tania, Reyhan, dan Ezra. Aku
harus mengobati luka ini.
“Mbak mau kemana?” tanya Tania saat aku
berdiri sambil membawa dua cangkir kopiku.
“Mau
ke bar,” jawabku, “Mau minum disana aja”
“Loh kok? Nanti makanannya gimana?” tanya Tania kaget.
“Mbak nggak suka kita ngobrol biologi ya?” tanya Reyhan
murung.
“Bukan
gitu. Mbak memang pengen minum
disana. Kalian nggak usah kaget
begitu. Nanti suruh aja masnya supaya makanan mbak dibawakan ke bar,” jawabku seraya
tersenyum kecil.
Tara
Valeria pun berjalan menuju bar, meninggalkan adiknya dan kedua sahabatnya.
Pria itu rupanya ada disana, duduk sembari membaca buku. Kukira ia akan
bersembunyi di bawah bar, namun ternyata ia duduk dan, saat ia melihatku, ia
menaruh bukunya dan tersenyum padaku.
“Jadi
minum disini?” tanyanya.
“Ya.
Nggak apa-apa, ‘kan?” jawabku.
“Boleh
kok. Bebas”
Ini
gila. Aku tahu apa yang kurasakan mungkin tak nyata, tapi aku benar-benar
menyukai senyumnya dan kedua matanya. Bolehkah
kubilang bahwa aku merindukan matanya? Ya! Aku merindukan matanya! Ia
mengambil sesuatu dari bawah bar dan kemudian muncul, menaruh satu toples
biskuit kecil di samping cangkir kopiku. Aku membukanya dan mencicipi biskuit
kecil itu. Apakah ini miniatur Oreo
dengan krim Nutella? Mengapa rasanya
begitu lezat? Dimana ia membelinya?
“Saya
udah baca novelnya,” ujarnya
tiba-tiba.
“N-novel?”
aku terkejut.
“Ya.
Novelnya. Saya suka,” jawabnya.
Aku
tersipu. Tanpa perlu melihat cermin, aku berani bertaruh bahwa pipiku memerah
saat ini. Pria itu pun nampak gugup. Ia pasti membaca prolognya. Ia pasti
membaca bagian itu. Ah, ia sudah
mengetahuinya. Semoga saja ia tak marah. Dan memang benar ia tak marah
padaku. Ia menjulurkan tangannya padaku, mengajakku bersalaman. Sekarang aku
tahu nama virus yang mungkin bisa menyembuhkan rasa sakitku.
“Aldi,” ujarnya.
“Tara,” jawabku.
Dan
kami pun berkenalan.
0 comments:
Post a Comment