Monday, April 13, 2015

Virus

Adikku berjalan di sampingku dan mengusap pelan bahuku. Ia telah melakukannya beberapa kali hari ini. Mungkin ini sudah ke-sembilan puluh sembilan kalinya Tania mengusap bahuku. Satu kali lagi ia mengusap bahuku, aku akan mentraktirnya sesuatu. Aku bersumpah akan mentraktirnya sesuatu! Tapi hanya jika benar itu adalah usapan ke-seratus yang Tania lakukan.

“Tiga?” tanya Tania saat aku mengambil tiga buah lilin devosi.

“Ya,” jawabku.

“Tumben banyak,” ujarnya.

“Masing-masing satu doa khusus,” jelasku seraya memasukkan uang ke dalam kotak donasi.

Aku masuk ke ruang Pieta dan menyalakan ketiga lilin yang kuambil. Setelah membuat salib, aku duduk di bangku dan mengucapkan doaku dalam hati. Baiklah. Ini untuk lilin yang pertama. Tuhan, tolong bantu aku agar aku bisa menghilangkan rasa tak nyaman atas kebencianku terhadap pria itu. Tunjukkan kebenaran pada pria itu dan buatlah agar pria itu sadar akan perbuatannya. Tolong aku agar aku dapat berbesar hati menerima ujian yang kuterima dan tolong aku agar aku dapat segera melupakan kejadian itu. Buatlah agar aku dapat merasa lebih tenang dan jauhkan aku dari segala kesedihan. Lindungi aku dari orang-orang yang berhati busuk dan bermuka dua. Berikan aku, keluargaku, dan semua sahabat-sahabatku perlindungan dan berkatMu.

“Tuhan, berikan kami semua bantuan dan kemudahan agar kami dapat melanjutkan ke universitas yang kami pilih”

Sial! Doa adikku memecah konsentrasiku. Aku menghela nafas panjang lalu memulai doaku untuk lilin yang kedua. Tuhan, kumohon berikan pria itu petunjuk yang menyadarkannya bahwa apa yang ia lakukan selama ini adalah salah. Berikan ia pelajaran agar ia memahami bagaimana rasanya disakiti dan dikhianati. Buatlah ia merasakan penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang ia sakiti, termasuk aku.

“Tuhan, jika sastra Inggris bukanlah pilihan yang tepat, kumohon selalu tuntun aku agar aku dapat mendapatkan pilihan yang tepat. Tuntun juga sahabat-sahabatku agar mereka mendapatkan pilihan yang tepat. Berikan kemudahan di masa mendatang nanti”

Tania berdoa terlalu keras dan itu benar-benar menghancurkan konsentrasiku. Sekarang aku lupa doa ketiga yang ingin kupanjatkan. Ah! Satu lilin lagi. Apa yang ingin kumohon? Uang? Kesehatan? Bukankah aku selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesanku setiap hari? Baiklah. Untuk lilin ketiga, aku akan berdoa untuk adikku dan teman-temannya.

Dan sesi berdoa pun selesai. Aku dan Tania keluar dari ruang Pieta dan berjalan menghampiri Reyhan dan Ezra yang nampak tengah membicarakan tentang organ pipa tua yang terletak di lantai dua.

“Jadi itu bunyinya gimana?” tanya Ezra.

“Ya pokoknya kalau tutsnya ditekan, nanti ada udara dipompa ke pipa. Bunyi deh,” jelas Reyhan.

Nggak ngerti. Kok bisa dipompa gitu gimana caranya ya?” Ezra nampak bingung.

“Pakai jet pump,” tukas Tania.

Emangnya sumur?” jawab Ezra kesal, diikuti oleh tawaku dan yang lain.

Kami pun meninggalkan bangunan utama gereja dan berjalan menuju mobilku yang diparkir tak jauh dari gedung pastoran. Kubuka pintu mobil melalui remote kecil yang kugenggam. Reyhan dan Ezra seperti biasa duduk di belakang, sementara adikku duduk di depan, di sampingku menjadi co-pilot. Mesin mobil dinyalakan dan pemutar musik pun menyala secara otomatis. Aku segera memindahkan lagu saat We Were in Love secara otomatis diputar. Aku muak dengan malam-malam penuh tangisan dan rasa sesak yang membuatku merasa seperti dihukum mati di kamar gas. Aku juga muak dengan lagu-lagu sendu yang secara otomatis diputar di pemutar musikku. Apa maksudnya ini semua? iPodku sedang berkonspirasi dengan alam? Yang benar saja! Mozart’s House mulai mengalun dari speaker mobil. Lagu ini jelas lebih baik daripada lagu sebelumnya yang seolah-olah mengajakku untuk kembali merasakan luka itu.

Mbak Tara masih bete pasti,” ujar Tania.

Udah nggak parah seperti kemarin-kemarin,” jawabku, “Toh tadi ‘kan sudah berdoa”

“Orang jahat nanti dibalas sama Tuhan, mbak,” tukas Ezra.

“Ya. Setuju. Supir angkot yang turunkan Rey di tengah jalan juga nanti biar dibalas sama Tuhan,” sambung Reyhan.

Entah mengapa tiba-tiba aku ingin tertawa mendengar ucapan Reyhan. Anak itu seringkali tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku ingin tertawa. Dulu kami sempat mengunjungi sebuah gerai minimarket untuk membeli cemilan dan Reyhan melihat Fisherman’s Friend yang dijual di atas meja kasir. Ia lantas bertanya apakah permen itu benar-benar terbuat dari ikan.

Mbak sabar aja sekarang,” ujar Tania seraya mengusap bahuku. Lagi.

Mbak udah lebih tenang. Kamu jangan khawatir,” jawabku.

Mbak, aku udah usap bahu mbak seratus kali. Traktir dong,” ujar Tania tiba-tiba.

"Oh ya, traktir dong mbak!" sambung Ezra, "Sekarang 'kan novelnya udah terbit dan jadi best-seller"

Rasanya aku ingin mencabut paksa pemutar musik mobil dan melemparnya tepat di wajah Tania. Atau jika tidak, rasanya ingin kutancap gas dalam-dalam lalu melesat melewati seratus kilometer per jam dan menabrak apapun yang menghalangi jalanku. Bagaimana ia bisa tahu tentang sumpah yang kuucapkan asal-asalan saat aku berada di gereja tadi?! Aku bahkan tidak memberi tahunya tentang sumpah itu, namun adikku seolah-olah mengetahuinya. Anehnya lagi, aku tak menghitung berapa kali ia telah mengusap bahuku seharian ini. Lain kali aku tak boleh mengucapkan sumpah yang aneh-aneh di dalam gereja. Mungkin ini teguran dari Tuhan. Oh Tuhan, ampuni aku.

Gimana kalau kita ke Two Hands Full?” usul Ezra.

“Kemarin udah. Cari tempat lain,” jawab Tania.

“Ke Doppio, yuk!” usul Reyhan.

Aku tertegun sejenak. Doppio adalah kedai yang saat itu kukunjungi, tepat di sore hari setelah aku menyadari semua kebusukan pria itu—pria yang sempat kuberi simpati. Aku merasa begitu hancur saat itu dan aku harus pergi ke suatu tempat dimana aku dapat menenangkan diri. Hujan deras turun dan pikiranku semakin kacau. Saat aku melihat kedai itu dari kejauhan, kuputuskan untuk singgah di tempat itu. Keputusanku tidak salah, karena aku benar-benar menemukan jawaban atas apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan perasaan yang menyesakkan itu. Dan barista itu... Demi Tuhan, aku menyukai kedua matanya!

Dan akhirnya aku memarkirkan mobilku di pelataran parkir Doppio. Gerimis sudah turun sejak kami masih dalam perjalanan. Reyhan segera mengenakan hoodie Pull & Bear biru tuanya dan Ezra mengancingkan jaket bisbolnya. Tania mencari-cari sesuatu di bawah jok mobil. Jika ia mencari payung kecil, aku sudah tak menyimpannya lagi di bawah jok mobil.

“Payungnya di bagasi,” ujarku.

“Aduh! Kalau ditaro bagasi, pas hujan sih keburu kehujanan sebelum pakai payung!” gerutu Tania.

“Masih gerimis kecil kok. Reyhan saja yang ambil,” ujar Reyhan seraya membuka pintu mobil dan begitu saja keluar untuk mengambil payung di bagasi.

“Anak baik,” celetuk Ezra, yang tak sempat terdengar oleh Reyhan.

Gerimis kecil ini dapat kami tembus tanpa perlindungan payung, namun payung yang diambil Reyhan tetap kami bawa masuk ke dalam kedai sebagai persiapan jika hujan besar turun dan kami harus kembali ke mobil. Tania sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela agar ia bisa menikmati suasana hujan di luar. Aku melihat ke arah bar dan kulihat pria itu kali ini sedang mengurus pembayaran di kasir.

“Terima kasih. Datang lagi ya,” ujarnya kepada pengunjung pria berusia paruh baya yang kini melangkah menuju pintu keluar.

Apakah ia melihatku? Semoga ia tidak melihatku. Tapi ia melihatku dan.. Ya Tuhan! Ia tersenyum padaku! Ya, senyuman itu ia tujukan padaku! Jelas-jelas ia tersenyum padaku! Ayolah, Tara! Apa yang kau pikirkan? Kau sedang bersama adikmu dan dua orang temannya! Jangan sampai mereka curiga padamu! Seorang pelayan mendatangi meja kami dan memberikan kami buku menu. Ini aneh. Ya, ini tidak biasa. Tanpa adikku dan kedua temannya, aku bisa saja langsung berjalan menuju bar lalu duduk disana dan memesan minuman. Biasanya orang yang duduk di bar memesan minuman beralkohol, tapi aku tidak seperti itu. Aku memesan kopi. Kopi pahit. Namun semenjak pria itu mengenalkanku pada café miel, aku jadi menyukainya. Aku menyukai café miel dan mata pria itu—barista itu.

Mbak Tara mau pesan apa?” tanya Tania.

Aku terkejut dan baru menyadari bahwa ada seorang pelayan yang telah datang ke meja kami. Benar-benar mata yang menyesatkan. Terlalu lama membayangkan matanya, aku bisa benar-benar tersesat dalam imajinasiku sendiri.

Café miel. Kalau makanannya mbak mau pesan pasta e fagioli,” jawabku, “Reyhan mau makan apa? Dibayarin kok tenang aja

Bocah kecil itu menarik perhatianku. Ia membaca buku menu dengan seksama, sembari sesekali melihat ke arah kami dengan tatapan bingung. Ia membaca lagi buku menunya, lalu nampak dari raut wajahnya bahwa ia telah menentukan pilihan. Namun sebelum ia menyebutkan pesanannya, ia kembali kebingungan dan membaca lagi buku menu yang ia pegang.

“Rey?” tegur Ezra.

“Sebentar,” jawab Reyhan.

“Orang lain udah beres pilih menu loh,” ujar Ezra.

“P-p-puttanesca. Spaghetti alla Puttanesca,” jawab Reyhan gugup.

“Kenapa Rey?” tanya Tania, “Kamu jangan kumat disini”

“Kumat? Dia sakit apa?” tanyaku kaget.

“Reyhan ‘kan punya asma,” jawab Tania.

Aku terkejut mendengar jawaban adikku, namun pikiran tentang pria itu mendominasi isi kepalaku. Pria itu menghilang dari pandanganku saat aku kembali melihat ke arah bar. Kurasa aku tahu dimana ia berada. Setelah semua orang memesan makanannya, aku memutuskan untuk pergi menuju bar dan berpura-pura memesan sesuatu. Kuharap dua dosis kopi tidak akan sampai membuatku sakit. Lagipula jika aku harus sakit karena kopi, setidaknya rasa sakit itu terbayar oleh pertemuanku dengan barista itu yang dulu sempat menyelamatkan hidupku, layaknya Jack Dawson yang menarik kembali Rose DeWitt Bukater ke dek sebelum ia benar-benar melompat dari buritan Titanic. Ah, aku terlalu berlebihan. Sejak kapan aku menjadi dramatis seperti ini?

“Permisi”

Pria itu akhirnya muncul dari bawah meja bar. Aku membalas senyumnya saat ia menyapaku dengan sebuah senyuman. Tangannya nampak menjatuhkan sesuatu, seperti sebuah buku. Ah, tadi pasti ia sedang membaca buku. Aku ingin tahu buku apa yang ia baca tadi.

“Eh, mbak yang waktu itu, ‘kan?” tanyanya.

“Ya. Nggak apa-apa ‘kan datang lagi?” jawabku.

Pria itu tertawa kecil.

“Mau pesan apa? Kopi, coklat, atau teh?” tanyanya.

“Kopi. Saya mau café miel. Boleh?” jawabku.

“Boleh. Disini atau dibawa ke meja?” tanyanya lagi.

“Dibawa ke meja,” jawabku.

Apa benar aku mengatakan hal itu? Astaga! Aku baru saja melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol dengan pria ini! Ia tersenyum dan kemudian berbalik, membuatkan pesananku. Aku menghela nafas panjang. Jika aku minum disini, sudah jelas adikku dan kedua temannya akan mencurigaiku. Tapi jika aku kembali ke mejaku, aku melewatkan kesempatan untuk dapat mengobrol lagi dengannya. Aku menyayangkan tidak adanya name tag untuk para barista yang bekerja di kafe ini. Bagaimana aku bisa mengetahui namanya jika ia tak memiliki name tag? Setidaknya jika aku mengetahui namanya, sudah pasti mengobrol akan menjadi lebih nyaman karena aku dapat memanggilnya dengan namanya langsung.

Saat aku kembali, adikku dan kedua sahabatnya sedang berdiskusi. Mereka nampak serius dengan diskusinya dan, saat aku mendengar kata ‘biologi’, rasanya aku ingin berbalik dan menikmati minumanku di bar saja. Ah, tidak! Apa itu biologi? Sudah hampir sekitar lima tahun dan aku tak pernah mendengar lagi kata ‘mitokondria’ dan ‘ribosom’, serta obrolan tentang kromosom. Keinginanku untuk kembali ke bar semakin menggebu-gebu saat Ezra tiba-tiba mengeluarkan buku teks biologi dari dalam tasnya. Tidak! Singkirkan benda itu! Aku sengaja memilih jurusan bahasa Perancis agar aku tak perlu banyak berkutat dengan hal-hal yang berbau matematika dan sains dan kini, buku teks biologi untuk SMA kelas tiga itu ada di hadapanku dan aku merasa seperti Sarah Whittle yang kembali melihat papan Jumanji setelah bertahun-tahun melupakan permainan mengerikan itu.

“Baca ini aja nih, tentang virus,” ujar Ezra.

“Supaya tidak terserang penyakit, harus ada antivirus,” tukas Reyhan.

“Jadi orangnya ditempelin DVD Bitdefender gitu biar nggak sakit?” tanya Tania usil.

“Pakai Kaspersky dong,” jawab Ezra, mengikuti alur percakapan bodoh mereka.

“Aku sih Kowalski,” tukas Reyhan, menyebutkan satu di antara empat pinguin dari Penguins of Madagascar.

“Ya udah aku Kawasaki aja,” jawab Tania, diikuti gelak tawa kedua bocah SMA itu.

Aku meringis pelan dan tak dapat berkomentar apa-apa. Berbicara tentang virus, yang kupikirkan adalah penyakit. Yang kuketahui tentang virus adalah virus membawa penyakit untuk manusia, hewan, dan tanaman. Penyakit. Rasa sakit. Ah, berarti bajingan itu memang seperti sebuah virus. Tidak. Bajingan itu adalah virus itu sendiri. Ia membuatku merasa sakit. Ia menyebabkan penyakit yang membuatku merasa begitu sakit, sampai aku benar-benar merasa seperti lumpuh. Mungkin semua laki-laki adalah virus. Mungkin saja. Pasti tidak adil jika aku mengatakan hal seperti itu. Yang jelas, pria itu adalah virus yang mematikan, yang sempat membuatku benar-benar sakit dan lumpuh. Pria itu pasti mencari mangsa lain dimana ia dapat menempel pada mangsanya lalu membunuhnya.

“Virus bisa digunakan sebagai obat. Kalimat kedua paragraf satu,” ujar Reyhan.

“Oh ya, aku juga udah baca,” tukas Tania, “Jadi katanya, untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus tertentu, bisa menggunakan virus juga”

“Maksudnya, semacam virus versus virus?” tanya Ezra.

“Ya. Misalnya nih, virus flu dimatikan dengan cara memasukkan virus anti-flu,” jelas Tania, “Eh, emang ada ya?”

“Aku tahunya virus cinta,” jawab Reyhan.

“Dikalahkannya pakai virus apa?” tanya Ezra.

“Virus.. virus apa ya?” Reyhan nampak kebingungan.

Ah, mungkin ada benarnya jika aku berkata bahwa semua pria adalah virus. Jika aku mengamati obrolan adikku dan kedua temannya, mungkin yang dapat kutangkap adalah ada virus yang baik dan ada virus yang berbahaya. Virus yang baik dapat menjadi obat untuk penyakit yang disebabkan oleh virus berbahaya. Kurasa ini masuk akal. Jika virus berbahaya bisa dilumpuhkan oleh virus baik, maka luka yang disebabkan oleh seorang pria dapat disembuhkan oleh..

Café miel

Minuman pesananku terhidang di atas meja dan pelayan yang melayani kami terkejut saat melihat telah ada secangkir café miel di atas meja kami.

Mbak pesan dua?” tanyanya.

“Ya. Tadi saya ke bar, pesan lagi,” jawabku.

Billnya disatukan saja?” tanyanya.

“Ya. Satukan,” jawabku.

Kurasa aku adalah seseorang yang saat ini sedang sakit dan perlu segera diobati. Aku mengalami rasa sakit yang disebabkan oleh sebuah virus ganas, virus yang berbahaya yang telah menggerogotiku dan mencoba melumpuhkanku. Namun aku harus bisa berjuang dan bertahan hidup. Aku harus mencari obatnya. Jika aku terkena racun, maka sebelum meminta tolong pada orang lain dan selama aku masih bisa melakukannya sendiri, aku yang akan mencari penawarnya. Aku harus menemukan virus baik yang dapat melawan virus jahat yang menyerangku, dan kurasa aku melihatnya. Aku masih belum tahu apakah ia virus yang baik atau justru virus yang jahat, tapi firasatku mengatakan bahwa ia adalah virus yang baik karena tatapan matanya berkata demikian. Semoga saja firasatku benar. Maafkan aku, Tania, Reyhan, dan Ezra. Aku harus mengobati luka ini.

Mbak mau kemana?” tanya Tania saat aku berdiri sambil membawa dua cangkir kopiku.

“Mau ke bar,” jawabku, “Mau minum disana aja

Loh kok? Nanti makanannya gimana?” tanya Tania kaget.

Mbak nggak suka kita ngobrol biologi ya?” tanya Reyhan murung.

“Bukan gitu. Mbak memang pengen minum disana. Kalian nggak usah kaget begitu. Nanti suruh aja masnya supaya makanan mbak dibawakan ke bar,” jawabku seraya tersenyum kecil.

Tara Valeria pun berjalan menuju bar, meninggalkan adiknya dan kedua sahabatnya. Pria itu rupanya ada disana, duduk sembari membaca buku. Kukira ia akan bersembunyi di bawah bar, namun ternyata ia duduk dan, saat ia melihatku, ia menaruh bukunya dan tersenyum padaku.

“Jadi minum disini?” tanyanya.

“Ya. Nggak apa-apa, ‘kan?” jawabku.

“Boleh kok. Bebas”

Ini gila. Aku tahu apa yang kurasakan mungkin tak nyata, tapi aku benar-benar menyukai senyumnya dan kedua matanya. Bolehkah kubilang bahwa aku merindukan matanya? Ya! Aku merindukan matanya! Ia mengambil sesuatu dari bawah bar dan kemudian muncul, menaruh satu toples biskuit kecil di samping cangkir kopiku. Aku membukanya dan mencicipi biskuit kecil itu. Apakah ini miniatur Oreo dengan krim Nutella? Mengapa rasanya begitu lezat? Dimana ia membelinya?

“Saya udah baca novelnya,” ujarnya tiba-tiba.

“N-novel?” aku terkejut.

“Ya. Novelnya. Saya suka,” jawabnya.

Aku tersipu. Tanpa perlu melihat cermin, aku berani bertaruh bahwa pipiku memerah saat ini. Pria itu pun nampak gugup. Ia pasti membaca prolognya. Ia pasti membaca bagian itu. Ah, ia sudah mengetahuinya. Semoga saja ia tak marah. Dan memang benar ia tak marah padaku. Ia menjulurkan tangannya padaku, mengajakku bersalaman. Sekarang aku tahu nama virus yang mungkin bisa menyembuhkan rasa sakitku.

“Aldi,” ujarnya.

“Tara,” jawabku.


Dan kami pun berkenalan. 

0 comments:

Post a Comment