Sunday, April 19, 2015

Mimpi buruk

Jarum speedometer telah melewati angka 80 kilometer per jam. Aku membawa mobilku melesat cepat di jembatan flyover yang menghubungkan wilayah Pasteur dengan Surapati ini. Di sampingku, Alia memegang erat sabuk pengamannya dan beberapa kali meringis. Aku mendengus kesal. Toh aku mengebut juga demi ia dan Dira. Aku tak ingin Dira sampai terbangun dan menangis di mobil, jadi lebih baik aku segera membawa mereka ke rumah. Aku juga harus kembali ke rumah ayah setelah mengantar Alia dan Dira pulang. Kondisi Reyhan membuatku harus menemani ayah menjaganya. Mengapa adikku harus sampai sakit segala? Akhir-akhir ini ia jadi sakit-sakitan dan itu membuatku kesal. Harusnya ia bisa lebih menjaga dirinya sendiri.

Nggak usah ngebut, Reza,” tegur Alia.

“Biar cepat sampai rumah. Aku ‘kan harus balik lagi,” jawabku.

Alia kini mendengus kesal. Aku sedang tak ingin berdebat atau bertengkar. Sudah cukup banyak aku bertengkar hari ini. Reyhan membuatku kesal. Setelah permasalahan tentang kunci rumah, ia kembali membuat onar karena ingin menikmati es krim, sementara demamnya masih belum turun betul. Rasanya aku ingin melemparkan es krim ke wajahnya. Biar ia tahu rasanya sekalian!

“Baju buat besok udah ada?” tanya Alia.

“Belum. Aku nggak akan parkir ke dalam, jadi nanti tolong ambilkan kemeja satu, celana panjang satu, sama kaus kaki dan sepatuku,” jawabku, “Pakaian dalam sih aku masih punya disana. Aku harus cepat balik lagi. Kasihan ayah”

Kami tiba di rumah sepuluh menit kemudian. Aku membukakan pintu untuk Alia. Ia menggendong si kecil Dira dan segera membawanya masuk ke rumah. Kutunggu Alia di samping mobilku sambil memperhatikan fasad rumah yang baru kami tinggali selama satu setengah tahun. Warna coklat kremnya kini nampak aneh. Apakah ini sudah waktunya untuk mencat ulang dinding depan?

“Ini baju, Za,” ujar Alia seraya memberiku kemeja dan celana kerjaku yang telah dilipat rapi.

“Sepatu sama kaus kaki?” tanyaku.

“Oh ya. Lupa,” jawab Alia seraya kembali masuk ke dalam rumah.

“Tunggu! Sama jaketku sekalian!” tahanku.

“Yang mana?”

“Jaket angkatanku pas jaman kuliah, yang abu-abu”

Alia segera masuk ke dalam rumah dan kemudian kembali, membawakanku sepatu, kaus kaki, dan jaketku. Aku memasukkan pakaianku ke dalam mobil, kemudian berpamitan pada Alia. Ia mencium tanganku dan aku mencium dahinya setelahnya.

“Baik-baik di rumah. Titip Dira. Kalau ada apa-apa langsung telpon,” ujarku.

“Ya. Salam buat ayah dan Reyhan,” jawab Alia.

Aku segera masuk ke dalam mobil dan mengemudi secepat mungkin agar aku bisa tiba di rumah ayah sebelum pukul sepuluh malam. Syukurlah jalanan tidak macet di malam hari, hanya saja jarak dari Pasteur ke Tamansari tidaklah sedekat yang dibayangkan. Kuputar musik-musik keras dengan volume yang kencang untuk menemaniku berkendara. Rasanya aku ingin berteriak, melepas penatku. Ah! Aku bahkan harus sambil menyelesaikan laporan proyek iklan itu malam ini! Kapan aku bisa beristirahat? Ponselku berdering. Aku mengecilkan volume musik dan menggunakan handsfree untuk menjawab panggilan telpon yang masuk.

“Halo?”

Mas Eza, dimana?”

“Reyhan?”

Mas, titip martabak”

“Ah, udah malam. Mas males kalau harus muter-muter lagi”

Aku memutuskan panggilan telpon itu begitu saja. Sudah malam begini harusnya adikku beristirahat, bukannya justru memintaku membelikannya martabak. Lagipula aku sudah membelikannya banyak cemilan. Ia bahkan belum menghabiskan biskuit yang kubelikan beberapa hari yang lalu. Terlalu banyak makanan yang tersisa jatuhnya hanya membuang-buang makanan. Lagipula tak biasanya Reyhan meminta martabak.
Aku tiba di rumah sekitar sepuluh menit setelah adikku menghubungiku. Kuparkir mobilku di depan pintu garasi. Sengaja kuparkir di luar agar jika terjadi sesuatu yang buruk dan adikku harus dibawa ke rumah sakit, tak perlu berlama-lama membuka pintu garasi. Cukup membuka pintu pagar depan dan kami bisa segera pergi. Ayah membukakan pintu untukku lalu segera masuk.

“Alia bagaimana di rumah?” tanya ayah.

Insya Allah nggak ada apa-apa, yah,” jawabku.

“Adikmu tiba-tiba ingin martabak, jadi ayah suruh dia telpon kamu,” ujar ayah lagi.

“Sengaja nggak Reza belikan,” jawabku, “Lagian udah malam begini, malas muter-muter lagi”

Reyhan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Kulihat ia hanya mengenakan kaus dan celana katun pendek. Yang benar saja! Katanya ia terkena demam, tapi kenapa pakaiannya serba pendek begitu? Bagaimana jika ia masuk angin dan kondisinya justru memburuk? Aku meringis kesal.

“Rey! Katanya sakit! Kenapa pake celana pendek?” tanyaku kesal.

“Gerah, mas. Reyhan ‘kan mandi cuman pas pagi aja. Mas ‘kan yang larang Reyhan mandi dua kali sehari pas sakit,” jawabnya.

Ayah menepuk pundakku.

“Reza, jangan marah-marah terus. Dari tadi siang kamu banyak marah-marah,” tegur ayah.

“Habisnya si Rey—“

“Kalau kesal dengan urusan kerjaan, jangan lampiaskan ke adikmu. Ayah juga tahu kamu marah karena peduli sama adikmu, tapi kalau marah-marah sejak tadi siang dan sampai sekarang masih seperti ini, apalagi kalau bukan pelampiasan?”

Ayah meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Kulangkahkan kakiku menuju ruang keluarga. Kutaruh pakaian kerja dan jaketku di atas kursi. Astaga! Aku bahkan masih harus mengerjakan sesuatu malam ini. Benar-benar hari yang melelahkan. Rasanya aku perlu beristirahat sejenak, mungkin satu hari atau satu minggu. Aku ingin menghilang, pergi ke tempat yang tenang dan beristirahat sejenak dari kegilaan yang menyiksaku setiap hari.

“Reyhan! Kamu ngapain malah minum soda malam-malam!” tegurku saat kupergoki adikku menuangkan Sprite ke dalam gelas.

Hnnggg... obat,” ujarnya tak jelas seraya menunjuk ke arah mulutnya yang terbuka.

“Minum obat sih minum obat, tapi nggak usah pakai soda juga!”

Reyhan terlanjur meneguk soda itu. Ia menghabiskan satu gelas soda. Aku benar-benar kesal dengan adikku. Ia jadi susah diatur. Aku menghampirinya dan menegurnya habis-habisan. Anak ini benar-benar keterlaluan. Orang lain susah payah mengurusnya dan menjaganya agar ia cepat sembuh, tapi ia sendiri justru tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Bodo kamu! Udah tahu sakit malah minum soda!” bentakku.

“Air di kamar habis,” jawabnya.

“Tapi ‘kan bisa minum air putih biasa, bukan soda!” tegasku.

“Ya udah. Maaf,” jawabnya.

“Itu kenapa juga pakai celana pendek dan kaus oblong? Kemarin bilang sakit kepala dan sesak nafas. Kamu mau tambah sakit?”

“Gerah, mas. Gerah. Lagipula udah bau keringat baju yang tadi siang Reyhan pake

“Terserah kamu aja lah!”

Reyhan meringis. Ia menaruh gelasnya di bak cuci kemudian mencuci tangannya. Setelah itu ia mengambil beberapa lembar tisu dan mengeringkan tangannya.

“Telpon Rey aja tadi diputus. Sekarang Rey dimarahin,” ujarnya dengan ekspresi kesal.

“Habis kamu susah diatur!” tegasku.

Mas kenapa sih dari tadi siang marahin Reyhan mulu? Rey salah apa?” tanya Reyhan kesal, “Mulai dari urusan kunci rumah, Pringles yang dibawain Evan, martabak, soda, sampai celana pendek. Semua yang Rey lakukan salah terus. Mas pengennya Rey gimana kalau sakit? Tiduran terus di atas kasur dari pagi sampai malam?”

Tau lah, Rey. Bodo amat,” jawabku ketus.

Rey mendengus kesal. Ia lalu berjalan menuju kamarnya sembari menggerutu. Aku mendengar apa yang ia ucapkan. Aku mendengarnya. Ia pikir aku tuli, apa?

Nggak ikhlas nemenin mah, nggak usah datang sekalian”

Reyhan baru tiba di ambang pintu kamarnya saat aku menahannya.

Ngomong apa kamu barusan?” tanyaku.

“Apa?” Reyhan balik bertanya.

Ngomong apa?!” bentakku.

Nggak ikhlas jaga Rey mah nggak usah datang sekalian! Sana tinggal aja di rumah sama mbak Alia! Nggak usah ngurusin Rey! Rey juga bisa ngurus diri sendiri!” jawab Reyhan kesal.

Pintu kamar ayah terbuka. Kali ini ayah menatapku dan Reyhan tajam. Ia menutup pintu kamarnya dan kulihat ada kunci mobil di genggaman tangannya. Ayah menghampiri kami dan melihat dari raut wajahnya, aku dan Reyhan sama-sama tahu bahwa ayah marah pada kami berdua.

“Ayah mau tidur di mobil saja malam ini. Pusing dengar kalian berdua bertengkar. Adik kakak kok nggak rukun?” ujar ayah.

Aku dan Reyhan tidak sempat menjawab, bahkan menahan ayah untuk tidak tidur di mobil. Ayah keluar melalui pintu depan dan membawa kuncinya, sehingga kami tak bisa keluar lewat pintu depan. Ia benar-benar tidur di dalam mobil. Terdengar suara mobil saat kuncinya dibuka secara otomatis melalui remote control kecil. Ah, sial! Kenapa jadi seperti ini?

“Makanya jangan marah-marah aja,” sindir Reyhan.

“Kamu tuh penyebab masalahnya!” jawabku.

Nyalahin orang lain. Sendiri yang marah-marah dari tadi siang,” balas Reyhan.

“Terserah kamu!”

“Ya udah! Bukan aing ya yang marah-marah”

Kumaha sia! Tah inum tah soda nepi ka paeh!”

Akhir-akhir ini aku sering marah-marah menggunakan bahasa Sunda dan, entahlah, rasanya lebih lega ketika aku menggunakan bahasa ibuku. Reyhan terkejut dengan ucapanku. Ia menatapku tajam, kemudian matanya berkaca-kaca. Ia tak mengatakan apapun lagi, namun segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya tepat di depanku. Aku mengumpat, menyebutnya ‘anjing’ karena telah dengan lancang bersikap tidak sopan. Dengan kesal aku kembali ke ruang keluarga dan duduk disana, mencoba menenangkan diri. Persetan dengan laporan! Aku tak peduli! Kuraih remote control televisi dan kumatikan televisi. Suasana yang tenang seperti ini lebih baik. Aku dapat menurunkan emosiku dengan cepat. Ah, marah-marah seperti tadi membuatku lelah. Aku kecewa pada adikku. Ia tak seharusnya bersikap seperti itu. Aku ingin ia dapat menghormatiku sebagai kakaknya dan menghargai usahaku untuk menjaganya saat ia sakit. Harusnya ia sadar bahwa apa yang kulakukan untuknya adalah demi kebaikannya. Jika aku tak sayang padanya, saat ini aku pasti sedang tertidur nyenyak di rumahku. Aku tak perlu jauh-jauh berkendara ke Tamansari di malam hari hanya untuk menjaga adikku yang mungkin terbangun di tengah malam hanya karena ingin buang air kecil atau membutuhkan air minum.

Kusingkap tirai yang menutup jendela dan kulihat ke arah mobil. Lampu mobil tak menyala, namun jendelanya terbuka sedikit. Ayah benar-benar tidur di mobil malam ini. Aku merasa sangat bersalah pada ayah. Ia pasti sangat marah pada aku dan Reyhan. Besok pagi aku harus meminta maaf pada ayah dan membuatkannya teh serta sarapan. Ini semua gara-gara adikku yang keras kepala dan tak mau mendengarkanku. Jika ia tak melawanku, ayah pasti saat ini sedang beristirahat di kamarnya dan aku, mungkin, sedang mengerjakan laporanku. Kukenakan jaketku dan kutumpuk dua buah bantal yang kuletakkan di ujung sofa, lalu kubaringkan tubuhku. Hari ini aku merasa begitu lelah. Seharusnya adikku tak membuat masalah yang membuatku semakin lelah. Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Kupejamkan mataku dan mulai beristirahat. Semoga saja aku masih sempat bangun lebih awal untuk mengerjakan laporanku, walaupun sebetulnya aku bisa mengerjakannya besok di kantor.

Baru sebentar rasanya aku tertidur dan suara Reyhan kemudian membangunkanku. Aku masih sangat mengantuk dan mataku terasa sangat berat untuk kubuka. Rengekan itu terdengar dari arah kamar adikku. Apalagi yang ia inginkan? Sudah ada air minum dan obat-obatan di kamarnya. Lagipula ia sudah sangat membuatku kesal. Aku harus memberinya pelajaran.

Mas Eza,” panggil Reyhan.

“Berisik!” seruku kesal.

Mas Eza. Bangun,” panggil Reyhan sekali lagi.

“Diam ah Rey!” aku memiringkan tubuhku, menghadap ke sandaran sofa.

Kudengar suara pintu kamar yang terbuka. Aku tak mendengar suara apapun lagi setelahnya. Aku tak peduli apa yang ingin Reyhan lakukan. Jika ia ingin minum, ia harus mengambilnya sendiri. Jika ia ingin ke kamar mandi, ia harus melakukannya sendiri. Toh kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Ia bahkan bisa minum soda. Rasa lelahku membawaku kembali ke alam bawah sadarku, namun suara berdebum yang tiba-tiba terdengar seketika membuatku membuka mataku lebar-lebar. Reyhan! Apa yang terjadi dengan adikku?

“Rey?” panggilku.

Tak ada jawaban. Saat aku bangun, yang pertama kali kulihat adalah pintu kamar adikku yang terbuka. Aku bangun dan bergegas menuju kamar adikku. Ia tak ada di dalam kamarnya. Gelas minumnya tergeletak di atas meja samping tempat tidurnya dan airnya tumpah ke lantai. Selimut tebalnya menjuntai dari tempat tidurnya ke lantai, seolah-olah ia menyeret tubuhnya sampai sisi tempat tidur lalu terjatuh dan, mungkin, tangannya mengenai gelas minumnya sampai gelas itu tak sengaja ia jatuhkan. Saat kudengar suara keran dari arah kamar mandi, aku segera berlari menuju kamar mandi. Pintunya tertutup. Aku mencoba membukanya namun rupanya pintu itu terkunci dari dalam. Apa adikku ada di dalam? Apakah ia baik-baik saja?

“Rey! Reyhan! Kamu di dalam?” seruku.

Tak ada jawaban. Aku menggedor pintu kamar mandi lebih keras dan memanggil namanya. Kudekatkan telingaku ke pintu kamar mandi dan kudengar suara adikku, terbata-bata memanggil namaku.

Mas Eza,” ujar Reyhan pelan.

“Rey. Kamu nggak apa-apa?” tanyaku panik.

In.. Inhaller,” ujarnya terbata-bata.

Inhaller? Reyhan mencari inhallernya? Bukankah selama ia sakit, ia biasa membawanya kemana-mana, bahkan ke kamar mandi sekalipun? Perasaanku menjadi sangat tidak enak. Aku berlari ke kamar adikku dan kutemukan inhaller adikku tergeletak di samping laptopnya. Segera aku mengambilnya dan kembali menuju kamar mandi. Kali ini aku mencoba mendobrak pintu yang berat itu, namun dorongan keras dari tubuhku tidak bisa membuka pintu tebal itu. Reyhan pasti mengunci ganda pintunya.

“Rey, kamu bisa coba buka pintunya nggak?!” tanyaku.

Suara keran yang mengalir membuatku takut. Apa yang sebenarnya terjadi? Saat kudengarkan lebih seksama, kudengar Reyhan meringis, diikuti oleh suara air saat berkecipak. Apakah adikku berada di daam bath tub yang sedang diisi? Apa yang ia lakukan malam-malam begini?

“Rey mau pipis. Tapi..”

“Kamu lagi apa, Reyhan?! Buka pintunya!” tegasku.

“Rey kepeleset. Masuk ke bath tub,” jawabnya pelan.

Kali ini suara Reyhan terdengar lebih jelas. Ia meringis dan kurasa aku mendengar nafasnya yang tersengal-sengal. Adikku membutuhkan bantuanku. Ia membutuhkan inhallernya. Kurasa aku tahu kenapa keran itu bisa terbuka. Reyhan mungkin mencoba bangun saat ia terjatuh ke dalam bath tub dan mungkin tidak sengaja mengangkat kerannya sehingga bath tub itu terisi. Yang kuharapkan saat ini adalah adikku bisa bangun dan bath tub itu tidak disumbat.

Mas Eza. Tolong Rey,” adikku kini terdengar seperti menangis.

Ketakutanku semakin menjadi. Aku kembali mencoba mendobrak pintu kamar mandi yang berat itu. Aku mendobraknya lebih kuat. Bahuku bahkan terasa sangat sakit. Sial! Pintu kayu sialan ini tak mau juga terbuka! Bunyi kecipak air semakin sering terdengar dan adikku terus menerus memanggilku. Aku membutuhkan bantuan lain. Saat aku berbalik hendak membangunkan ayah di dalam mobil, kudengar Reyhan memanggil namaku dan menahanku.

Mas Eza,” ujarnya.

“Reyhan, kamu bisa bangun?” tanyaku, “Pegangan ke pinggir bath tub, terus coba bangun”

Suara adikku hilang muncul dan ini membuatku semakin takut. Sumbat pada bath tub itu pasti terpasang. Airnya pasti menggenang. Aku juga tak tahu bagaimana Reyhan bisa terjatuh ke dalam bath tub. Namun jika kepalanya menghantam dinding atau lantai bath tub, ada kemungkinan ia mengalami cedera. Melalui celah kecil di bawah pintu, aku merasakan aliran uap hangat mengenai kakiku. Air panas. Keran air panas itu pasti terbuka.

“R-Reyhan minta maaf,” ujar Reyhan terbata-bata.

Tidak! Kumohon jangan katakan hal itu. Kumohon. Kumohon, Reyhan! Jangan ucapkan permohonan maaf itu sekarang. Mataku sudah sembab dan inhaller adikku masih berada dalam genggaman tanganku. Kali ini aku harus bisa membuka pintu ini. Sekali lagi aku mendobrak pintu itu. Aku yakin kali ini aku melakukannya dengan sangat kuat. Pintu itu akhirnya terbuka dan seketika uap panas menyeruak. Saat uap panas mulai menghilang, kulihat wajah adikku mulai terbenam. Air itu berwarna kemerahan, dan aku tahu mengapa air itu berwarna kemerahan. Segera kumatikan keran air dan kuangkat tubuh adikku dari dalam bath tub. Kubaringkan ia di lantai kamar mandi. Tanganku gemetaran mencoba membangunkannya, namun tubuhnya terasa panas. Wajahnya sangat merah dan tangannya begitu kaku. Reyhan, kumohon bangunlah. Kumohon. Harusnya aku yang memohon maaf padamu. Aku mengangkat tubuhnya dan mendekapnya. Aku tak dapat menahannya lagi. Reyhan tak mau bergerak sama sekali. Ia juga tak mau mengatakan apapun. Tangannya kaku. Tak ada nafas yang keluar dari kedua lubang hidungnya. Aku benar-benar hancur. Sangat hancur. Aku mendekapnya semakin erat. Tak boleh ada yang mengambil adikku dariku. Siapapun tak boleh ada yang melakukannya.

Mas Eza..”

Dan tiba-tiba aku mendengar suara adikku. Mataku kembali terbuka dan kemudian kusadari aku tak sedang berada di dalam kamar mandi. Yang pertama kali kulihat adalah wajah adikku yang menatapku bingung.

“Kenapa tidur di lantai? Bodo ih! Kalau masuk angin gimana?”

Kusadari bahwa aku tergeletak di lantai. Aku pasti terjatuh dari sofa saat tidur dan... aku telah bermimpi buruk. Aku segera bangun dan duduk di sofa. Kututup wajahku dengan kedua tanganku sambil kuatur nafasku yang terengah-engah. Ya Tuhan, mimpi buruk itu terasa begitu nyata dan aku sangat takut.

Mas Eza kenapa sih?”

Kulihat Reyhan yang sekarang berlutut di sampingku. Ia masih mengenakan kaus dan celana pendek. Ia tak nampak pucat. Ia baik-baik saja. Reyhan lantas mengernyitkan dahinya. Ia mengambil beberapa lembar tisu dari atas meja dan memberikannya padaku.

Mas keringetan banyak. Matanya juga basah. Kenapa sih? Habis nangis?” tanya Reyhan.

Nggak tahu, Rey,” jawabku pelan seraya menerima tisu yang adikku berikan.

Kuseka keringat di dahi dan leherku, lalu kuhapus air mata yang nampaknya masih menjejak di pipiku. Adikku kemudian berdiri.

“Rey mau ke kamar mandi,” ujarnya.

Sebelum adikku pergi, aku bangkit dari tempat dudukku lalu memeluknya erat. Aku tak peduli jika adikku menganggapku aneh karena aku tiba-tiba memeluknya dan menangis. Aku tak peduli. Mimpi buruk itu membuatku sangat takut. Aku tak akan memarahinya lagi karena mengenakan celana pendek dan kaus oblong saat ia sakit. Aku juga akan membelikannya martabak. Aku tak ingin kehilangan adikku. Aku pernah hampir kehilangannya, dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi lagi.

Maafin mas Eza, Rey,” ujarku pelan.

“Rey mah emang anjing, dikasih tahu susah,” jawab adikku, dengan nada kesal.

“Maaf. Mas Eza minta maaf,” ujarku lagi.

Aku melepaskan pelukanku. Adikku menatapku, lalu tersenyum kecil. Ia memamerkan sederetan giginya yang putih. Nampaknya ia tahu bahwa aku sudah mendapatkan pelajaranku.

“Pasti mimpi buruk ya tadi? Mimpi apa? Mimpi Rey tenggelam di bath tub?” tanyanya.

“Ya. Persis kayak gitu,” jawabku.

Istigfar,” ujarnya.

Kuhela nafas panjang. Adikku kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Refleks aku mengikutinya dan Reyhan, yang menyadari bahwa aku mengikutinya, menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi.

“Mau ngapain? Jangan ngintip,” tanyanya.

“Pintunya jangan dikunci ya,” ujarku.

 “Ya. Nggak akan dikunci kok,” jawabnya.


Kali ini Reyhan masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Aku merasa lega, bersandar pada dinding dan kedua kakiku yang lemas membuatku terduduk. Sekali lagi kuhela nafas lega. Syukurlah itu hanya mimpi buruk. Kukira aku akan kehilangan adikku lagi. Aku tak mau itu sampai terjadi lagi. 

0 comments:

Post a Comment