Hari
terpanjang dan terpanas di bulan Mei. Cahaya matahari mencoba menelusup melalui
celah kerai, lalu jatuh tepat di atas selimut putih yang menutupi setengah
bagian tubuhku. Langit hari ini begitu cerah, begitu biru, terbiru yang pernah
kulihat. Harusnya hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untukku,
namun aku belajar untuk tidak terlalu banyak berharap. Ah, harapan. Siapa yang
mau menaruh harapan para orang-orang yang pada akhirnya—dan selalu—tidak dapat
diharapkan? Harapan besar, harapan kecil, tidak ada yang terpenuhi. Rasanya
seperti duduk di pesawat dan berpikir bahwa satu jam telah berlalu, dan lalu
kau sadar kau baru duduk selama 10 menit di dalam kabin pesawat dan masih ada
sekitar satu jam dua puluh menit sebelum pesawat tiba di Singapura dan kau
harus mengikuti prosedur imigrasi yang membosankan. Masker oksigen yang mereka
pakaikan padaku tak ada gunanya sama sekali. Alih-alih membuatku merasa lebih
baik, aku justru merasa sesak. Tercekik. Aku diberangus. Aku tak dapat bicara.
Sebetulnya bisa saja aku bicara, namun rasanya malas untuk melepaskan masker
tersebut dan memakainya kembali, hanya karena aku ingin suster membawakanku air
minum atau meminta tolong kakakku mengganti saluran televisi. Aku hanya dapat
melihat dan mendengar. Ya, mendengar tekanan orang-orang yang memaksaku untuk
kembali pulih, tanpa memikirkan perjuanganku melawan apa yang menyerang
tubuhku. Aku dengar mereka bercerita betapa bingungnya mereka ketika tidak tahu
harus menceritakan keluh kesahnya pada siapa, tanpa mereka tahu apa yang
kualami malam itu. Oh ya, mereka tak tahu bahwa aku diserang oleh dua orang
oknum geng motor sepulang bertemu dengan teman-teman. Mereka hanya tahu aku
‘terjatuh’ dari motor. Toh kalau kuberitahu mereka kebenarannya, mereka akan
menyalahkanku.
“Kenapa
harus pulang lewat jalan itu?”
“Kenapa
pulang terlalu larut?”
Bukan aku
yang menentukan takdir. Mana kutahu jadinya akan begitu.
Sudah
sekitar empat hari aku berada di ruangan putih ini, dan empat hari pula aku
mendengar tekanan-tekanan tersebut. Tentang kuliah, tenang ayah yang merasa
kesepian di rumah, tentang kakakku yang harus bolak-balik dari tempat kerjanya
ke rumah sakit untuk menjagaku, tentang kakak iparku yang jadi kewalahan karena
harus bergantian menjagaku dengan kakakku, sementara anaknya dititipkan pada
orang tuanya. Tania tiba-tiba datang bersama kekasihnya kemarin. Ia bilang
bahwa aku membuatnya khawatir.
“Kamu
jangan buat aku khawatir!” ujarnya.
Aku tak
memintanya untuk mengkhawatirkanku. Aku tak peduli apakah ia khawatir atau
tidak padaku. Terkadang ucapan-ucapan seperti itu hanyalah selingan semata,
diutarakan demi alasan kesopanan. Persetan dengan kesopanan! Dua hari yang lalu
seorang suster begitu saja melepas jarum infus dari tanganku tanpa berkata apa
pun dan itu membuatku terkejut sekaligus kesakitan. Malam harinya, mereka
memasangkan masker oksigen padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Siapa
bilang aku merasa sesak? Ya, aku tahu selama ini aku merasa sesak, aku muak,
tapi jangan memberangusku dengan embel-embel bahwa berangus tersebut akan
membuatku merasa lebih baik. Berangus tetaplah berangus. Anjing yang diberangus
tidak dapat menggonggong bebas. Mereka pikir aku ini apa? Anjing? Atau, selama
ini memang mereka menganggapku begitu, mendikteku untuk lebih banyak
mendengarkan berbagai ocehan dan keluhan, tanpa berpikir bahwa aku memendam
lebih banyak hal yang semakin hari semakin bertambah?
Jika ditiup
terus menerus, balon akan meledak.
Mungkin aku
akan berakhir seperti itu. Entahlah. Meledak. BUM!
Pagi ini, mas Eza dan mbak Alia datang menjengukku. Mereka membawa juga si kecil Dira. Ia
mengenakan terusan berwarna biru, serupa dengan biru langit hari ini. Ia
menyentuh jemariku dan mengusapnya pelan sambil memanggil namaku. Kali ini ia
dapat mengucapkannya dengan lebih baik. Aku ingin sekali memanggil namanya,
namun berangus ini menghalangiku. Mas
Eza merapikan botol-botol air mineral yang ada di atas meja. Ayah masih sarapan
di kantin rumah sakit dan belum sempat merapikan ruangan. Kakakku, istrinya,
dan anaknya mengenakan baju yang tampak rapi. Oh, begitu menyebalkan! Di hari
seperti ini, hanya mereka yang mengenakan baju yang bagus. Sementara itu, aku
hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang katun yang disediakan
pihak rumah sakit. Orang sakit tidak usah mengenakan pakaian yang bagus. Kau
tahu, tidak ada salahnya jika pasien rumah sakit mengenakan pakaian ala rockabilly selama pakaian itu tetap
membuatnya nyaman dan tidak mengganggu peralatan rumah sakit lainnya. Ah, aku
jadi ingat kemarin malam Andra, Gea, dan Dilla mengunjungiku. Andra dan Dilla
mengenakan jaket alumni yang kusukai. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus
hitam polos yang sama dan celana panjang katun yang sama, berbalut selimut.
Mereka mengenakan pakaian yang bagus! Itu menyebalkan. Ketika aku ingin
mengenakan sweter kesayanganku, mereka menyuruhku mengenakan saja apa yang ada.
Bangsat!
Matahari
semakin naik dan hari terasa semakin panas. Pengatur suhu ruangan? Tidak, aku
tahu sepanas apa di luar sana. Panasnya seperti ketika kau berjalan kaki tanpa
sepatu, menapaki trotoar panas di sepanjang Esplanade Bridge di Minggu siang
yang cerah. Ayah sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang bagus pula.
Semua orang mengenakan pakaian yang bagus. Ponselku kembali bergetar di atas
meja. Sengaja tak kuperiksa karena aku jengah membaca pesan-pesan yang masuk.
Di antara pesan-pesan “Selamat ulang tahun, Reyhan!”, ada beberapa pesan yang
berisi keluhan tentang orang tua yang menyebalkan, tentang kekasih yang
membosankan, tentang perkuliahan yang menyedihkan. Semua orang menceritakan
keluh kesahnya padaku. Apa aku menceritakan keluh kesahku pada mereka? Tidak!
Bagaimana bisa? Semuanya terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, tanpa
menyisakan sedikit kapasitas di benaknya untuk mendengarkan keluh kesahku. Dan
aku sendiri? Oh, aku bahkan tidak tahu harus mengeluh lagi atau tidak.
Kapasitas benakku terisi penuh oleh keluhan-keluhan dan cerita orang lain. Aku
bahkan tak punya ruang untuk diriku sendiri. Mau kutaruh di mana semua keluh
kesahku? Di dalam tas? Di blog? Di dalam kantung cairan infus? Di balik rok
suster?
Aku tak
pernah berharap bahwa musibah itu akan terjadi padaku. Seandainya aku masih
sehat, kurasa saat ini aku berada di Singapura, menghabiskan hari ulang tahunku
dengan tidur siang di flat-ku dan
menikmati dua porsi ramen bersama
Rendra dan Du Fei di Trengganu Street. Ulang tahunku mungkin dirayakan dengan
lebih mewah, tapi apa gunanya jika pada akhirnya setelah ucapan “Selamat ulang
tahun, Reyhan!” itu hilang dari layar, tertutup barisan-barisan obrolan baru,
muncul keluhan-keluhan lain dari orang-orang yang berbeda, tentang hal-hal yang
berbeda. Orang tua yang menyebalkan. Pacar yang membosankan. Dunia perkuliahan
yang menyedihkan. Mereka tak pernah menjadi diriku, Reyhan, yang selama ini
mendapatkan tekanan yang—jika mereka jadi aku—mungkin mereka sudah memutuskan
untuk bunuh diri. Oh, syukurlah aku hanya pernah ketahuan sedang melukai diri
sendiri oleh Rendra dan Du Fei yang segera membawaku ke rumah sakit, dan
beberapa minggu kemudian ayah datang dan menjengukku setelah Tania memberitahu
ayah tentang hal tersebut. Lihat! Rahasiaku bahkan dibongkar!
Hidupku
akan seperti apa, sepertinya aku tahu. Sampai kapan pun, kurasa aku memang tak
akan pernah memiliki ruang untuk mengeluarkan keluh kesahku. Aku akan
memendamnya terus, atau menyimpannya entah di suatu tempat yang kuanggap
ada—meskipun tidak ada. Aku akan terus berpura-pura baik-baik saja dan hanya
akan mengeluhkan hal-hal kecil, membuat orang lain berpikir bahwa hidupku jauh
lebih baik daripada hidupnya, meskipun sebenarnya aku sudah terlalu bungkuk
karena beban di pundakku begitu berat. Pukul satu lebih tiga puluh menit tepat.
Semua orang berkumpul di ruangan putih ini. Ayah, mas Eza, mbak Alia, si
kecil Dira, dan teman-temanku, Andra, Gea, Dilla, Evan, Ezra, Riani, bahkan
Tania dengan kekasihnya. Ruangan ini jadi terasa sesak. Volume oksigennya
berkurang dengan cepat. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah muak. Aku ingin
bebas, ingin melepaskan semua bebanku. Mas
Eza mendorong meja ke depanku dan meletakkan sebuah kue ulang tahun di atasnya.
Ada beberapa buah lilin yang belum menyala, di letakkan di antara tulisan
“Happy birthday, Reyhan” yang ditulis dengan krim cokelat. Mas Eza lalu menyalakan lilin-lilin tersebut dan kemudian, semua
orang mulai menyanyikan lagu untukku sambil bertepuk tangan. Setelah lagu
berakhir, mbak Alia memintaku untuk
meniup lilin-lilin tersebut.
Kulepas
masker oksigen yang menutupi wajahku. Kutatap semua orang yang ada di ruangan,
tepat di mata mereka. Aku tersenyum kecil.
“Terima
kasih banyak, semuanya,” ujarku pelan.
Kucondongkan
tubuhku ke arah kue ulang tahunku. Dengan cepat, kudekatkan masker oksigenku ke
arah mulutku dan kucabut dua buah lilin dari kue. Aku melihat tajam ke arah dua
lilin tersebut dan aku tahu semua orang melihatku dengan tatapan terkejut.
Sebelum siapa pun dapat menghentikanku, kuarahkan kedua lilin yang masih
menyala tersebut ke dekat mulutku. Kututup mataku dan kudengar suara berdesis.
Kudengar mereka semua berteriak panik dan setelah itu, sesuatu meledak hebat
dari samping kiriku. Ada panas yang mengenai kepala dan tubuhku, dan di antara
sisa teriakan dan suara ledakan tersebut, aku dapat mendengar tawaku dengan
jelas. Ada benda panas yang menancap di leherku dan aku tak lagi mendengar
suara tawaku.
Panas yang
tadinya menyiksa kulitku kemudian berubah menjadi rasa sejuk. Seseorang
mengguncang-guncangkan tanganku. Kubuka mataku dan kusadari aku masih berada di
ruangan putih yang sama.
“Reyhan!
Bangun!”
Mas Eza dan mbak Alia berdiri di samping kananku, Mereka tampak cemas. Aku
bermandikan peluh. Di tangan kiriku, selang infus masih tertancap. Kakakku
melepaskan masker oksigenku. Aku dapat bernapas lebih lega, jauh lebih lega setelah masker itu ia lepaskan.
“Kamu mimpi
buruk, ya?” tanyanya.
Mbak Alia mengambil handuk kecil dan
menyeka keringat yang membasahi wajahku. Ia menyentuh dahiku dan mengernyitkan
dahinya.
“Demamnya
naik lagi,” ujarnya.
Aku menatap
kosong kakakku dan istrinya. Ponselku tiba-tiba berdering. Ada pemberitahuan
mengenai ulang tahunku. Ponsel kakakku pun berdering. Ia kemudian melihatku dan
tersenyum.
“Selamat
ulang tahun, Reyhan. Cepat sembuh,” ujarnya seraya mengusap rambutku.
“Selamat
ya, Reyhan,” sambung kakak iparku.
Aku
tersenyum kaku. Kupalingkan tatapanku ke arah kiri. Tabung oksigen itu berada
disana.
0 comments:
Post a Comment