Tuesday, June 21, 2016

Happy Birthday

Hari terpanjang dan terpanas di bulan Mei. Cahaya matahari mencoba menelusup melalui celah kerai, lalu jatuh tepat di atas selimut putih yang menutupi setengah bagian tubuhku. Langit hari ini begitu cerah, begitu biru, terbiru yang pernah kulihat. Harusnya hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untukku, namun aku belajar untuk tidak terlalu banyak berharap. Ah, harapan. Siapa yang mau menaruh harapan para orang-orang yang pada akhirnya—dan selalu—tidak dapat diharapkan? Harapan besar, harapan kecil, tidak ada yang terpenuhi. Rasanya seperti duduk di pesawat dan berpikir bahwa satu jam telah berlalu, dan lalu kau sadar kau baru duduk selama 10 menit di dalam kabin pesawat dan masih ada sekitar satu jam dua puluh menit sebelum pesawat tiba di Singapura dan kau harus mengikuti prosedur imigrasi yang membosankan. Masker oksigen yang mereka pakaikan padaku tak ada gunanya sama sekali. Alih-alih membuatku merasa lebih baik, aku justru merasa sesak. Tercekik. Aku diberangus. Aku tak dapat bicara. Sebetulnya bisa saja aku bicara, namun rasanya malas untuk melepaskan masker tersebut dan memakainya kembali, hanya karena aku ingin suster membawakanku air minum atau meminta tolong kakakku mengganti saluran televisi. Aku hanya dapat melihat dan mendengar. Ya, mendengar tekanan orang-orang yang memaksaku untuk kembali pulih, tanpa memikirkan perjuanganku melawan apa yang menyerang tubuhku. Aku dengar mereka bercerita betapa bingungnya mereka ketika tidak tahu harus menceritakan keluh kesahnya pada siapa, tanpa mereka tahu apa yang kualami malam itu. Oh ya, mereka tak tahu bahwa aku diserang oleh dua orang oknum geng motor sepulang bertemu dengan teman-teman. Mereka hanya tahu aku ‘terjatuh’ dari motor. Toh kalau kuberitahu mereka kebenarannya, mereka akan menyalahkanku.

“Kenapa harus pulang lewat jalan itu?”

“Kenapa pulang terlalu larut?”

Bukan aku yang menentukan takdir. Mana kutahu jadinya akan begitu.

Sudah sekitar empat hari aku berada di ruangan putih ini, dan empat hari pula aku mendengar tekanan-tekanan tersebut. Tentang kuliah, tenang ayah yang merasa kesepian di rumah, tentang kakakku yang harus bolak-balik dari tempat kerjanya ke rumah sakit untuk menjagaku, tentang kakak iparku yang jadi kewalahan karena harus bergantian menjagaku dengan kakakku, sementara anaknya dititipkan pada orang tuanya. Tania tiba-tiba datang bersama kekasihnya kemarin. Ia bilang bahwa aku membuatnya khawatir.

“Kamu jangan buat aku khawatir!” ujarnya.

Aku tak memintanya untuk mengkhawatirkanku. Aku tak peduli apakah ia khawatir atau tidak padaku. Terkadang ucapan-ucapan seperti itu hanyalah selingan semata, diutarakan demi alasan kesopanan. Persetan dengan kesopanan! Dua hari yang lalu seorang suster begitu saja melepas jarum infus dari tanganku tanpa berkata apa pun dan itu membuatku terkejut sekaligus kesakitan. Malam harinya, mereka memasangkan masker oksigen padaku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Siapa bilang aku merasa sesak? Ya, aku tahu selama ini aku merasa sesak, aku muak, tapi jangan memberangusku dengan embel-embel bahwa berangus tersebut akan membuatku merasa lebih baik. Berangus tetaplah berangus. Anjing yang diberangus tidak dapat menggonggong bebas. Mereka pikir aku ini apa? Anjing? Atau, selama ini memang mereka menganggapku begitu, mendikteku untuk lebih banyak mendengarkan berbagai ocehan dan keluhan, tanpa berpikir bahwa aku memendam lebih banyak hal yang semakin hari semakin bertambah?

Jika ditiup terus menerus, balon akan meledak.

Mungkin aku akan berakhir seperti itu. Entahlah. Meledak. BUM!

Pagi ini, mas Eza dan mbak Alia datang menjengukku. Mereka membawa juga si kecil Dira. Ia mengenakan terusan berwarna biru, serupa dengan biru langit hari ini. Ia menyentuh jemariku dan mengusapnya pelan sambil memanggil namaku. Kali ini ia dapat mengucapkannya dengan lebih baik. Aku ingin sekali memanggil namanya, namun berangus ini menghalangiku. Mas Eza merapikan botol-botol air mineral yang ada di atas meja. Ayah masih sarapan di kantin rumah sakit dan belum sempat merapikan ruangan. Kakakku, istrinya, dan anaknya mengenakan baju yang tampak rapi. Oh, begitu menyebalkan! Di hari seperti ini, hanya mereka yang mengenakan baju yang bagus. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang katun yang disediakan pihak rumah sakit. Orang sakit tidak usah mengenakan pakaian yang bagus. Kau tahu, tidak ada salahnya jika pasien rumah sakit mengenakan pakaian ala rockabilly selama pakaian itu tetap membuatnya nyaman dan tidak mengganggu peralatan rumah sakit lainnya. Ah, aku jadi ingat kemarin malam Andra, Gea, dan Dilla mengunjungiku. Andra dan Dilla mengenakan jaket alumni yang kusukai. Sementara itu, aku hanya mengenakan kaus hitam polos yang sama dan celana panjang katun yang sama, berbalut selimut. Mereka mengenakan pakaian yang bagus! Itu menyebalkan. Ketika aku ingin mengenakan sweter kesayanganku, mereka menyuruhku mengenakan saja apa yang ada. Bangsat!

Matahari semakin naik dan hari terasa semakin panas. Pengatur suhu ruangan? Tidak, aku tahu sepanas apa di luar sana. Panasnya seperti ketika kau berjalan kaki tanpa sepatu, menapaki trotoar panas di sepanjang Esplanade Bridge di Minggu siang yang cerah. Ayah sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian yang bagus pula. Semua orang mengenakan pakaian yang bagus. Ponselku kembali bergetar di atas meja. Sengaja tak kuperiksa karena aku jengah membaca pesan-pesan yang masuk. Di antara pesan-pesan “Selamat ulang tahun, Reyhan!”, ada beberapa pesan yang berisi keluhan tentang orang tua yang menyebalkan, tentang kekasih yang membosankan, tentang perkuliahan yang menyedihkan. Semua orang menceritakan keluh kesahnya padaku. Apa aku menceritakan keluh kesahku pada mereka? Tidak! Bagaimana bisa? Semuanya terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri, tanpa menyisakan sedikit kapasitas di benaknya untuk mendengarkan keluh kesahku. Dan aku sendiri? Oh, aku bahkan tidak tahu harus mengeluh lagi atau tidak. Kapasitas benakku terisi penuh oleh keluhan-keluhan dan cerita orang lain. Aku bahkan tak punya ruang untuk diriku sendiri. Mau kutaruh di mana semua keluh kesahku? Di dalam tas? Di blog? Di dalam kantung cairan infus? Di balik rok suster?

Aku tak pernah berharap bahwa musibah itu akan terjadi padaku. Seandainya aku masih sehat, kurasa saat ini aku berada di Singapura, menghabiskan hari ulang tahunku dengan tidur siang di flat-ku dan menikmati dua porsi ramen bersama Rendra dan Du Fei di Trengganu Street. Ulang tahunku mungkin dirayakan dengan lebih mewah, tapi apa gunanya jika pada akhirnya setelah ucapan “Selamat ulang tahun, Reyhan!” itu hilang dari layar, tertutup barisan-barisan obrolan baru, muncul keluhan-keluhan lain dari orang-orang yang berbeda, tentang hal-hal yang berbeda. Orang tua yang menyebalkan. Pacar yang membosankan. Dunia perkuliahan yang menyedihkan. Mereka tak pernah menjadi diriku, Reyhan, yang selama ini mendapatkan tekanan yang—jika mereka jadi aku—mungkin mereka sudah memutuskan untuk bunuh diri. Oh, syukurlah aku hanya pernah ketahuan sedang melukai diri sendiri oleh Rendra dan Du Fei yang segera membawaku ke rumah sakit, dan beberapa minggu kemudian ayah datang dan menjengukku setelah Tania memberitahu ayah tentang hal tersebut. Lihat! Rahasiaku bahkan dibongkar!

Hidupku akan seperti apa, sepertinya aku tahu. Sampai kapan pun, kurasa aku memang tak akan pernah memiliki ruang untuk mengeluarkan keluh kesahku. Aku akan memendamnya terus, atau menyimpannya entah di suatu tempat yang kuanggap ada—meskipun tidak ada. Aku akan terus berpura-pura baik-baik saja dan hanya akan mengeluhkan hal-hal kecil, membuat orang lain berpikir bahwa hidupku jauh lebih baik daripada hidupnya, meskipun sebenarnya aku sudah terlalu bungkuk karena beban di pundakku begitu berat. Pukul satu lebih tiga puluh menit tepat. Semua orang berkumpul di ruangan putih ini. Ayah, mas Eza, mbak Alia, si kecil Dira, dan teman-temanku, Andra, Gea, Dilla, Evan, Ezra, Riani, bahkan Tania dengan kekasihnya. Ruangan ini jadi terasa sesak. Volume oksigennya berkurang dengan cepat. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah muak. Aku ingin bebas, ingin melepaskan semua bebanku. Mas Eza mendorong meja ke depanku dan meletakkan sebuah kue ulang tahun di atasnya. Ada beberapa buah lilin yang belum menyala, di letakkan di antara tulisan “Happy birthday, Reyhan” yang ditulis dengan krim cokelat. Mas Eza lalu menyalakan lilin-lilin tersebut dan kemudian, semua orang mulai menyanyikan lagu untukku sambil bertepuk tangan. Setelah lagu berakhir, mbak Alia memintaku untuk meniup lilin-lilin tersebut. 

Kulepas masker oksigen yang menutupi wajahku. Kutatap semua orang yang ada di ruangan, tepat di mata mereka. Aku tersenyum kecil.

“Terima kasih banyak, semuanya,” ujarku pelan.

Kucondongkan tubuhku ke arah kue ulang tahunku. Dengan cepat, kudekatkan masker oksigenku ke arah mulutku dan kucabut dua buah lilin dari kue. Aku melihat tajam ke arah dua lilin tersebut dan aku tahu semua orang melihatku dengan tatapan terkejut. Sebelum siapa pun dapat menghentikanku, kuarahkan kedua lilin yang masih menyala tersebut ke dekat mulutku. Kututup mataku dan kudengar suara berdesis. Kudengar mereka semua berteriak panik dan setelah itu, sesuatu meledak hebat dari samping kiriku. Ada panas yang mengenai kepala dan tubuhku, dan di antara sisa teriakan dan suara ledakan tersebut, aku dapat mendengar tawaku dengan jelas. Ada benda panas yang menancap di leherku dan aku tak lagi mendengar suara tawaku.

Panas yang tadinya menyiksa kulitku kemudian berubah menjadi rasa sejuk. Seseorang mengguncang-guncangkan tanganku. Kubuka mataku dan kusadari aku masih berada di ruangan putih yang sama.

“Reyhan! Bangun!”

Mas Eza dan mbak Alia berdiri di samping kananku, Mereka tampak cemas. Aku bermandikan peluh. Di tangan kiriku, selang infus masih tertancap. Kakakku melepaskan masker oksigenku. Aku dapat bernapas lebih lega, jauh lebih lega setelah masker itu ia lepaskan.

“Kamu mimpi buruk, ya?” tanyanya.

Mbak Alia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang membasahi wajahku. Ia menyentuh dahiku dan mengernyitkan dahinya.

“Demamnya naik lagi,” ujarnya.

Aku menatap kosong kakakku dan istrinya. Ponselku tiba-tiba berdering. Ada pemberitahuan mengenai ulang tahunku. Ponsel kakakku pun berdering. Ia kemudian melihatku dan tersenyum.

“Selamat ulang tahun, Reyhan. Cepat sembuh,” ujarnya seraya mengusap rambutku.

“Selamat ya, Reyhan,” sambung kakak iparku.


Aku tersenyum kaku. Kupalingkan tatapanku ke arah kiri. Tabung oksigen itu berada disana. 

0 comments:

Post a Comment