Pensil, secarik kertas, dan penghapus.
Lembar pertama. Aku mulai menorehkan sesuatu di atas kertas putih itu. Satu kalimat, dua kalimat, tiga kalimat, lalu kuhapus semuanya dan kuulangi lagi. Satu kalimat, dua kalimat, tiga kalimat, dan akhirnya satu paragraf. Kubaca lagi baik-baik, lalu kutemukan sebuah kesalahan. Penghapus kecilku bergerak di atas permukaan kertas, melenyapkan kesalahan yang kutemui. Mata pensilku kembali menari di atas kertas. Kutuliskan kata-kata yang lain. Aku terdiam sejenak. Tidak. Aku membuat kesalahan lagi. Kuhapus lagi dan kutulis lagi kata yang lain. Salah! Pada akhirnya kuhapus seluruh paragraf yang telah kutulis dengan hati-hati itu.
Aku mengulangnya lagi, lagi, dan lagi. Mungkin tiga sampai empat kali, sampai aku benar-benar yakin bahwa aku tak membuat kesalahan lagi. Semakin jauh kurentangkan untaian kataku, semakin pelan laju pensilku, semakin gemetaran tanganku, semakin deras keringat mengucur di pipiku. Aku takut apa yang kutorehkan di atas kertas ini salah. Aku ragu apakah ini cukup. Kurasa tidak. Mungkin aku harus menulis lebih banyak lagi. Satu lembar tak akan cukup.
Lembar kedua. Aku menulis di lembar kedua. Lembar pertama kutempelkan di dinding, tepat di hadapanku. Tatapanku berpindah-pindah, dari kertas kosong lalu ke lembar pertamaku, lalu ke kertas kosongku. Lembar kedua ini harus sama sempurnanya dengan lembar pertama. Aku membuka lembaran memori di kepalaku, mencari gambaran terbaik yang kusimpan. Semuanya baik, semuanya indah, dan aku tak tahu yang mana yang harus kupilih. Aku terpaksa menceritakan semuanya; gambaran-gambaran indah itu. Satu paragraf, dua paragraf, tiga paragraf, empat paragraf, dan kertas itu pun penuh.
Lembar ketiga. Lembar kedua kutempelkan di dinding, bersanding dengan lembar pertama. Lembar ini harus jauh lebih baik dari kedua lembaran sebelumnya. Begitu gugup aku melanjutkan lembar ketigaku. Apakah diksiku tepat? Apakah ini sesuai? Apakah ini cukup? Ketakutanku berlanjut terus, sampai tak terasa aku telah berjalan begitu jauh. Ada enam lembar kertas yang ditempel berderet di dindingku. Berarti sekarang adalah lembar ketujuh...
Lembar ketujuh. Mungkin lembar terburuk dari seluruh lembar yang kubuat. Kepalaku terasa sakit. Mataku terasa panas. Tanganku gemetaran hebat, sangat hebat. Jantungku berdetak sangat cepat. Rasanya aku tak sanggup menulis lagi di lembar ini. Cukup, aku sudah tak kuat lagi.
Lembar ketujuh hanya terdiri dari sebuah paragraf. Paragraf itu tak begitu panjang, tapi membuatnya saja membuatku sangat sakit. Lembar ketujuh kutempelkan di dinding, bersanding dengan yang lainnya, tetapi kubalikkan sehingga aku tak perlu menatap deretan kata-katanya. Aku menarik secarik kertas putih baru, lalu mulai menulis lagi. Kali ini aku tak merasa sakit, walaupun rasa takut akan membuat kesalahan masih menghantuiku. Rasa takut itu seolah berdiri di belakangku, menggenggam sebilah pisau, yang sewaktu-waktu bisa menembus leherku jika aku melakukan sebuah kesalahan kecil saja.
Lembar kedelepan. Ketika aku mencapai akhir dari lembar kedelapan, aku mengambil seluruh lembaran yang telah kubuat. Kubaca lembaran itu satu persatu dari awal. Aku mengerutkan dahiku. Astaga, aku menemukan sebuah kesalahan. Semakin aku meneruskan bacaanku, semakin banyak kesalahan yang kutemui. Aku mulai gusar. Aku bermain dengan penghapusku lagi, membunuh kesalahan-kesalahan yang kutemui sepanjang bacaanku. Aku mencoba memperbaikinya, tapi terlalu banyak kesalahan kutemukan. Lembar pertama, lembar kedua, lembar ketiga, dan semuanya. Kukira semuanya sempurna, tetapi aku salah. Lembar ketujuh; rasanya aku tak seharusnya menulis di lembar ketujuh, walaupun hanya sebatas satu paragraf. Lembar-lembar lainnya; mereka tak sempurna. Salah! Aku membuat banyak kesalahan!
Aku frustrasi. Keringat dingin mengucur deras. Astaga, mengapa sulit sekali untuk menuliskan semua tentangmu? Ya, lembaran-lembaran itu; semuanya tentangmu. Aku tak mengerti mengapa aku lagi-lagi melakukan kesalahan, dan aku menyadarinya setelah begitu jauh aku berjalan. Sudah kucoba memperbaiki kesalahan itu tapi hasilnya nihil. Lembar pertama, dan ketujuh lembar lainnya tentangmu ini...
Aku merobek semuanya, menghancurkannya menjadi potongan-potongan kecil kertas. Potongan-potongan kecil itu terbang, menari di langit-langit kamarku, dibawa terbang oleh angin yang berhembus pelan dari putaran baling-baling kipas angin tuaku. Satu persatu potongan-potongan itu kembali mengecup tanah. Berserakan. Potongan-potongan kecil itu berserakan. Di sudut kamarku, di atas tempat tidurku, hingga di kepala gitarku, tersangkut di kasarnya kain jaket jeans.. Aku tak akan bisa lagi menyatukan seluruh bagiannya.
Tapi aku tersenyum. Aku tak merasa sedih.
Bukan karena aku marah padamu. Bukan karena aku benci padamu. Tapi kau tahu, sekuat apapun aku mencoba menggambarkanmu melalui tulisanku, semuanya sia-sia. Terlalu rumit untuk kugambarkan melalui rangkaian kata demi kata. Kau tahu salah satu kesalahan yang kubuat dalam lembaran itu?
"Aku teringat padamu di setiap cangkir kopi yang menemani nyanyian burung kenari"
Salah. Itu tak benar. Aku teringat padamu tidak hanya di setiap cangkir kopi yang menemani nyanyian burung kenari. Aku teringat padamu di saat bayanganku beranjak dewasa. Aku teringat padamu di saat sang ayah bertemu sang anak pada satu garis tegak. Aku teringat padamu di saat anak-anak berlari ke lapangan dan menerbangkan layangan mereka. Aku teringat padamu di saat ribuan butir emas berkilauan di permukaan laut. Aku teringat padamu di saat mata-mata mungil itu berkedip jenaka padaku. Aku teringat padamu sesaat sebelum aku menutup hariku. Aku teringat padamu saat ilalang berdansa mengikuti irama musim panas.
Masih banyak kesalahan yang kubuat dalam lembaran-lembaran itu. Aku sadar, menggambarkanmu sangatlah rumit. Kau lebih dari sebatas gambaranku mengenai dirimu. Kau lebih dari itu. Di lembar kedelapan, lembar terakhir yang kubuat sebelum aku menyadari bahwa semua yang kutulis tak berarti, aku mencoba menuliskan alasanku mencintaimu, dan aku gagal menuliskannya. Apa yang kutulis nampak tak berarti. Apa yang kutulis nampak biasa saja. Kurasa apa yang kutulis akan sama dengan apa yang orang lain mungkin tuliskan. Aku berhenti menulis tentangmu, dan aku menyerah menulis tentangmu. Kau terlalu rumit untuk kugambarkan. Teganya kau menyiksaku dengan keindahanmu. Kau bahkan tak memberiku bantuan untuk membuat paragraf lain di lembar ketujuh. Jadi, aku akan berhenti menulis tentangmu. Cukup, biar semua tentangmu itu tersimpan di benakku dan tak perlu kujelaskan dalam tulisan.
Tapi, apa kau masih ingin tahu alasanku mencintaimu?
Dari semua yang sempat kutulis, dan akhirnya kurobek, aku menemukan sebuah alasan sederhana. Sangat sederhana, yang mungkin kau tak ingin mendengarnya. Alasan yang kudapatkan karena ketidakmampuanku mendapatkan alasan yang tepat untuk mencintaimu. Namun jika kau berbesar hati untuk mendengarkan alasanku mencintaimu, akan kuberitahu alasan itu padamu. Kuharap kau tak marah atau kecewa padaku.
"Aku mencintaimu, karena aku tak punya alasan untuk tidak mencintaimu"
Kuharap kau tak akan memberiku sebuah alasan untuk tak mencintaimu.
PS: reposted from my Facebook note, with some edited parts
0 comments:
Post a Comment