Thursday, September 11, 2014

Hai, Kamu--Yang Dulu Pernah Bersamaku

Sebetulnya ini post isinya curhatan, jadi maaf saja kalau tiba-tiba aneh karena saya bicarakan hal-hal yang begini. Dan sudah jelas ini post ada di bawah kategori personal, jadi jangan aneh kalau isinya curhat begini. Post ini juga bisa dikatakan post balasan buat dia, maksudku, kamu, maksudku, kakak, yang sebelumnya sudah menulis tentang satu hal--tentang kita. Sebelumnya harus digarisbawahi dulu bahwa kita dulu pernah bersama, beberapa tahun yang lalu dan kebersamaan kita berakhir dalam waktu beberapa bulan saja. Dan sekarang, saya sejujurnya merasa nyaman dengan hubungan kita yang nampaknya lebih-baik-seperti-ini. 

----

Hey, kamu, yang dulu pernah bersamaku. Maaf aku belum pernah sama sekali ngajak kamu jalan bareng. Kamu pasti bingung dan kesal, kenapa aku nggak pernah ajak kamu jalan bareng; makan bareng; nonton bareng; basically all the stuffs young couples usually do. Kamu juga pasti kesal karena aku jarang kirim pesan singkat dan telpon, sampai harus kamu yang telpon aku di malam itu. Maaf. Maaf sekali lagi. Maaf juga aku nggak pernah sekalipun antar atau jemput ke dan dari sekolah. 

But I got the reasons. 

Sebelum pacaran dengan kamu, aku pacaran dengan satu cewek yang.. well.. dia itu cuek dan nggak begitu concerned tentang hal-hal yang biasa dilakukan orang pacaran pada umumnya. Kita jarang kirim pesan singkat atau telpon-telponan, karena menurut kita nggak harus setiap hari kirim pesan atau telpon dan ribet aja kesannya. Meskipun begitu, setidaknya satu sama lain saling tahu kondisi masing-masing. Mungkin karena masing-masing dari aku dan dia juga sudah saling paham aktivitas keseharian masing-masing dan dengan siapa biasanya beraktivitas, jadi kami nggak perlu terlalu khawatir tentang ini itu, apalagi sampai khawatir selingkuh. Kecuali kalau salah satu dari kami sakit atau ada masalah yang cukup serius, langsung biasanya berhubungan lewat telpon. 

Saat aku pacaran dengan kamu, masing-masing dari kita pasti terkejut. Kamu terkejut dengan dinginnya aku, dan aku terkejut dengan kamu yang menginginkan komunikasi yang sangat intens setiap harinya. Saat itu aku merasa seperti diberikan tugas harian tambahan: mengirim pesan singkat atau menelpon kamu, untuk entah memberi kabar aku dimana atau apapun yang semacamnya. Aku nggak terbiasa sebelumnya dengan mengirim pesan semacam itu setiap hari. Ya, aku nggak terbiasa. Sampai akhirnya aku tanya sama teman-temanku dan jawaban mereka bervariasi; ada yang setuju bahwa pasangan pacaran harus selalu kirim kabar setiap hari, dan ada yang bilang bahwa ideku tentang memberi kabar seperlunya itu lebih fair. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, meskipun pada akhirnya aku mencoba untuk kasih kamu kabar setiap harinya dan berujung dengan aku yang lupa kasih kamu kabar dan kamu marah. 

Masalah utama yang terjadi di hubungan kita saat itu sebetulnya kekurangpahaman kita tentang kebiasaan dalam berpacaran. Mungkin kamu terbiasa dengan pacaran yang seperti A, dan aku terbiasa dengan pacaran yang seperti B. Aku terbiasa dengan pacaran yang nggak harus ketemuan, dan kamu mungkin lebih senang jika kita ketemuan. Salahku juga, karena harusnya aku ajak kamu ketemu, satu atau dua kali, dan bukan bersama-sama orang lain--just like what we did on my birthday. Aku yakin kamu ingin waktu berdua untuk kita; makan atau nonton bareng. Aku sempat terpikir untuk pergi bareng tapi terkadang aku berfikir apakah harus seperti itu? Dan juga jam sekolahku yang padat bikin aku sulit untuk atur jadwal. Ya, sebetulnya bisa sih di akhir pekan tapi entahlah, kadang ada satu dan dua hal yang bikin aku membatalkan rencanaku untuk kirim kamu pesan untuk ajak kamu pergi bareng. Aku minta maaf. 

Sampai sekarang perasaan bersalah itu masih sering muncul. 

Saat kamu terluka karena sikap cuek aku, aku terluka karena perasaan bersalah aku. Ada semacam perang batin di dalam diriku yang membagi dua sisi: cuek dan perhatian penuh. Saat aku berfikir untuk "Ya sudahlah nggak perlu makan bareng, toh masing-masing sedang sibuk", sisi lain berkata bahwa "Kamu tega memangnya bersikap cuek begitu sama pacarmu?"

Bodohnya, aku pada akhirnya nggak melakukan apa-apa karena kebingungan itu. Dengan kata lain, I should have decided something.

Secara keseluruhan, hubungan kita hancur karena itu--perbedaan pandangan tentang pacaran. Aku biasa pacaran seperti ini, dan kamu punya proposisi tersendiri tentang bagaimana pacaran itu. Proposisi kita berlainan dan kita nggak pernah bertemu untuk diskusi seperti apa pacaran seharusnya, yang hasilnya jadi win-win solution buat kita. Kamu semakin terluka dengan dinginnya aku, dan aku semakin terluka--oleh rasa bersalah dan kekesalan karena nggak paham dengan inginnya kamu yang bertentangan dengan proposisi aku. Kita sama-sama terluka dan nggak paham satu sama lain. Dan munculnya dukungan-dukungan dari teman kamu yang semakin menyudutkan posisi aku semakin bikin aku kesal dan marah, yang berfikir bahwa kamu kenapa nggak mau coba untuk memahami posisi aku seperti apa.

Dan akhirnya kita berpisah, tidak dengan baik-baik.

Dan waktu berjalan dan, hey, kamu--yang dulu pernah bersamaku, kita kembali berteman, menyandang kembali predikat kakak adik yang pernah kita sematkan satu sama lain sebelumnya. Aku merasa nyaman dengan hubungan seperti ini. Aku merasa aku bisa lebih banyak cerita tentang ini itu, meskipun kadang-kadang ada satu momen dimana kita merasa kaku; kita mungkin teringat dulu kita pernah bersama dengan status sebagai pasangan pacaran.

Tapi apa kita akan terus kaku seperti ini? Di saat aku benar-benar nyaman dengan hubungan seperti ini, aku harap kita nggak akan sekaku dulu. Aku harap kita--dan terutama aku yang saat ini sudah bisa lebih mobile--masih bisa tetap bertemu untuk berbagi cerita, over nice coffee and jazzy tunes.

Dan kalau tentang perasaan, aku masih sayang kamu, tentunya sayang dari adik ke kakaknya. Atau, sayang dalam konteks persahabatan. Dan aku rasa ini yang (mungkin kata Tuhan) terbaik.

----

Pengakuan saya cheesy nggak sih? Saya grogi sendiri jadinya. 

0 comments:

Post a Comment