Saturday, September 20, 2014

Peperenian

Di dalam tubuh saya mengalir dua darah, darah Sunda dan darah Tionghoa. Meskipun saya sering ribut tentang betapa pentingnya menerima dan memberi angbao, saya sadar akan pentingnya mengetahui undak usuk basa Sunda, terlepas dari sulitnya menghapal satu persatu kosa kata yang ada (sebetulnya dua klausa di atas nggak begitu relevan sih, tapi.. ah ya sudahlah). Intinya sih, walaupun mata saya sipit, tapi saya masih pakai kain iket. Nggak relevan ya? Ya sudah. 

Beberapa hari yang lalu, mama saya pulang membawa beberapa buah buku yang tebalnya mirip tebal textbook untuk matakuliah discourse analysis (oh tidak! Untuk saat ini saya belum siap mendengar nama matakuliah itu!). Buku-buku itu adalah buku Peperenian yang dicetak ulang untuk mama saya bagikan dengan sanak saudara. Saya masih ingat dulu waktu saya SD, saya punya buku Peperenian dengan sampul asli (karena beli), dan nggak ngerti dengan konten buku tersebut. Waktu saya SD, saya diekspos dengan dua bahasa, Indonesia dan Sunda, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama saya (ralat! Terkadang dengar juga sih kosakata Hokkien, meskipun jarang dipakai dan pada akhirnya jadi nggak fasih). Nah, karena nggak begitu paham dengan bahasa Sunda, maka setiap ada orang bicara pakai bahasa Sunda saya hanya akan mendengarkan dan kalau bisa jawab, saya akan jawab sebisanya. Dulu saya merasa tidak begitu perlu untuk memahami bahasa Sunda, sampai suatu hari saat saya SMA dan kembali ke SD saya untuk bernostalgia, saya ngobrol dengan salah satu guru yang bilang bahwa anak-anak Parahyangan zaman sekarang banyak yang 'diperkosa' oleh zaman, yang menyebabkan mereka semakin jauh dengan artefak budaya Sunda (salah satunya bahasa Sunda). 

Astaga! Kieu-kieu ge pan urang teh turunan Sunda oge.. 

Sejak saat itu saya jadi mulai mendekatkan diri dengan bahasa Sunda, meskipun pada prakteknya masih sering gugup saat bicara dalam bahasa Sunda yang mengikuti kaidah sesuai undak usuk basa Sunda. Oh ya, kalau bicara soal kerumitan bahasa, salah satu bahasa yang rumit untuk dipelajari itu--buat saya--adalah bahasa Sunda. Meskipun bahasa Sunda menjadi bahasa sekunder saya (setelah bahasa Inggris), tetap saja saya masih harus banyak belajar bahasa Sunda karena.. the words you use when talking to elderly people are different to the ones you use when talking to people in your age. Dan itu bukan hanya salah satu masalahnya. Bahasa Sunda itu jauh lebih kompleks daripada bahasa Inggris (menurut saya). Dan kompleksitas bahasa Sunda itulah yang membuat saya bangga bahwa ada darah Sunda yang mengalir dalam diri saya. Bahasa Sunda itu kaya dan saat kita memiliki kekayaan itu--atau menjadi bagian dari budaya yang kaya--then I guess that should be something I could be proud of.

*immediately wearing iket headband*

Jadi, apa itu buku Peperenian

Peperenian itu semacam grammar textbook (kalau saya bisa bilang), tapi lebih dari sekedar itu. Memang sih di buku itu nggak ada rumus untuk membentuk kalimat semacam S + V1 + blablabla and so on and so forth karena secara struktur, urutan item leksikal dalam kalimat bahasa Sunda itu sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia. Contohnya: 

  • ID: Saya (S) akan pergi (V) ke sekolah (Prep.)
  • SN: Abdi (S) bade mios (V) ka sakola (Prep.) 

Meskipun begitu, Peperenian memuat banyak informasi yang pasti bakalan berguna buat penutur bahasa Sunda. Dari mulai undak usuk yang menerangkan kosakata berdasarkan tingkat formalitas dan hierarki sosial, kecap panganteur--kata-kata yang muncul sebelum kata kerja atau kata sifat yang fungsinya untuk memperkuat gambaran kejadian, istilah-istilah waktu, istilah-istilah hierarki keluarga, sampai panyaraman--larangan-larangan melakukan beberapa hal (dan section ini berhasil bikin mama saya ketawa sampai nangis saking lucunya). 

Undak usuk itu apa? Yang itu tadi, seperti yang saya jelaskan, undak usuk itu semacam peraturan (atau lebih tepatnya sih tabel ya) yang menjelaskan tentang kosakata-kosakata yang digunakan dalam percakapan, tapi dengan melihat lawan bicaranya. Misalnya nih, kalau di bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kita cenderung menggunakan kosakata yang sama saat bicara kepada orang yang lebih tua (misalnya kakek) atau orang yang hierarki sosialnya lebih tinggi, dan kepada orang yang seusia dengan kita atau hierarkinya setara (misalnya kakak atau sahabat). Perbedaannya mungkin lebih di nada bicara dan penggunaan kosakata semacam 'permisi' atau 'maaf'. 

  • To grandpa: "Grandpa, have you heard about the accident?" (Kek, sudah dengar tentang kecelakaannya?) 

  • To Jane: "Hey, Jane! Have you heard about that damn accident?" (Hey, Jane! Kamu udah dengar tentang kecelakaan itu?) 

Secara umum, kosakata yang dipakai saat bicara dengan kakek dan Jane itu sama. Verba (dengar) dan penanda tense (sudah) sama-sama digunakan baik dalam percakapan dengan kakek maupun Jane. Tapi kalau bicara dalam bahasa Sunda, kita akan menggunakan vocabulary khusus yang disesuaikan dengan lawan bicara kita. 

Semisal saya bicara dengan kakak saya (yang saya sudah sangat akrab sekali), menanyakan apakah dia sudah makan atau belum, saya akan bilang seperti ini: 

  • "Eh, maneh geus dahar acan?" (Eh, udah makan nggak?)
Kasusnya berbeda saat saya bicara dengan mertua saya. 

  • "Pa, punten upami bapa tos tuang?" (Pak, maaf apakah bapak sudah makan?) 
Kalau untuk bicara dengan orang yang lebih tua atau hierarkinya lebih tinggi, menurut undak usuk basa Sunda kita akan menggunakan basa lemes keur ka batur (bahasa halus/sopan untuk orang lain). Kalau kita bicara dengan orang tua dan menceritakan tentang diri sendiri, kita menggunakan basa lemes keur ka sorangan (bahasa halus/sopan untuk diri sendiri). Sementara saat ngobrol dengan sahabat-sahabat atau orang yang sudah dekat dengan kita, kita bisa menggunakan basa loma (bahasa akrab) atau kalau di bahasa Korea istilahnya banmal (반말). Di buku Peperenian dijabarkan beberapa kosakata yang dikategorikan menurut kelasnya. Sebagai contoh, penggunaan kata budak (anak) dalam bahasa Sunda akan berbeda menurut lawan bicaranya. Sebagai gambaran, kurang lebih undak usuk basa Sunda itu seperti ini: 

  • budak (anak) = budak (LO) | budak (LS) | murangkalih (LB)
  • carita, nyarita, omong (bicara/bercerita) = carita (LO) | nyanggem (LS) | nyarios (LB)
  • meuli (beli) = meuli (LO) | meser (LS) | ngagaleuh (LB)
  • baju (baju/pakaian) = baju (LO) | baju (LS) | raksukan/anggoan (LB)
  • abus/asup (masuk) = abus (LO) | lebet (LS) | lebet (LB)
  • poho (lupa) = poho (LO) | hilap (LS) | lali (LB)
*LO = basa loma (akrab); LS = lemes ka sorangan (halus u/ diri sendiri); LB = lemes ka batur (halus u/ orang lain)

Selain undak usuk, ada juga kecap panganteur. Kecap panganteur itu kata-kata yang diletakan sebelum satu verba atau kata sifat untuk memberikan gambaran yang lebih kuat tentang satu kejadian. Kalimat "Budak eta lumpat ka imahna" (Anak itu lari ke rumahnya) bisa dibilang secara gambaran tidak begitu spesial; kalimat itu sangat deskriptif. Tapi kalau verba lumpat ditambahkan kecap panganteur sebelumnya, pendengar akan mempunyai gambaran yang lebih spesifik tentang kejadian tertentu (terutama proses terjadinya sesuatu). Saya akan coba gambarkan seperti apa ya fungsinya. Kurang lebih begini: 

  • Budak eta lumpat ka imahna = Saya sebagai pendengar hanya punya gambaran bahwa ada seorang anak yang berlari ke rumahnya dan.. nothing's special about it
  • Budak eta berebet lumpat ka imahna = Saya sebagai pendengar akan punya gambaran tentang detik-detik sejak anak itu mulai ambil ancang-ancang sampai akhirnya berlari secepat kilat ke rumahnya, entah karena dikejar anjing atau karena kebelet ingin buang air. 
Atau gambaran lainnya seperti ini: 

  • Tehna teh Ita bahe kana laptopna = Kalimat deskriptif ini ditangkap oleh saya sebagai pendengar sebagai informasi bahwa teh punya teh Ita tumpah ke laptopnya. Kalimat ini fungsinya mungkin lebih ke semacam memberitahu saja tentang insiden yang bersangkutan. 
  • Blok we bahe tehna teh Ita kana laptopna = Sebagai pendengar saya seolah dibawa untuk melihat sendiri detik-detik proses tumpahnya teh punya teh Ita ke laptopnya. Oleh karenanya, saya akan punya gambaran yang lebih 'hidup' tentang kejadian tersebut sehingga kesedihan yang dialami teh Ita akan lebih mudah saya hayati. 
Sampai segini.. Have you realized how rich Sundanese language is? Masih belum? Oke, saya akan kasih tahu lagi konten dari buku Peperenian yang--semoga saja--bisa membuat kita sadar betapa kayanya budaya Sunda ini (budaya-budaya etnis lain pun kaya kok, hanya saja disini kan saya bicara sebagai seorang berdarah Sunda). 

Orang-orang Sunda punya istilah-istilah yang lebih spesifik tentang waktu. Kalau di bahasa Inggris kita mungkin mengenal istilah morning, noon, afternoon, evening, dawn, dusk, atau semacamnya yang menjelaskan tentang satu waktu yang spesifik. Kalau di bahasa Indonesia, kita mengenal istilah pagi, siang, sore, petang, malam, tengah malam, atau fajar. Guess what? Sundanese people have a bunch of terms referring to much more specific times! Contohnya: 

  • Wanci (waktu) janari gede = waktu sekitar pukul 1 sampai 3 malam
  • Wanci janari leutik = waktu sekitar pukul 3 sampai 4.30 (mendekati fajar)
  • Wanci balebat = waktu fajar sudah mulai muncul di ufuk timur (kurang lebih jam setengah 5 pagi)
  • Wanci carangcang tihang = waktu lewat fajar, tapi mata kita masih belum bisa melihat jelas karena terangnya langit masih remang-remang, sekitar pukul 4.30 sampai pukul 5)
  • Wanci haneut moyan = waktu saat sinar matahari terasa hangat dan cocok untuk dimanfaatkan berjemur (terutama jemur bayi), sekitar pukul 7 sampai 8.30 pagi
  • Wanci sareupna = waktu saat langit mulai gelap (sekitar pukul 6 atau 6.30 sore)
  • Wanci sareureuh budak = waktu anak-anak sudah mulai cape karena main dengan kakak-adiknya dan sudah mulai diajak tidur, sekitar jam 8 malam
Those, really. are specific, aren't they? Dan perhatikan penjelasan tentang wanci sareureuh budak. Dari penjelasan itu, saya sadar betapa istilah dalam bahasa Sunda benar-benar menggambarkan budaya dalam bentuk aktivitas (performatif) seperti bermain bersama kakak-adik. Do you know what term in English referring to the moment children getting tired after playing with their siblings? Dan juga, dari istilah itu saya menangkap bahwa dalam keluarga Sunda, sudah biasa bagi kakak adik untuk bermain bersama di malam hari sambil menunggu waktu tidur. Dan hal-hal seperti itu diabadikan dalam istilah waktu di bahasa Sunda. 

Ngerti nggak maksudnya? Bingung ya? Ya sudahlah. 

Tidak hanya penjelasan mengenai waktu, tapi dalam bahasa Sunda pun ada istilah-istilah khusus yang menjelaskan durasi, momen dalam linimasa, serta musim-musim. Kalau di bahasa Inggris kita bisa mengatakan within a blink untuk menerangkan kejadian yang terjadi dalam durasi yang sangat cepat. Kalau di bahasa Sunda kita bisa katakan sakedet netra untuk menjelaskan hal yang sama--satu kejadian yang terjadi sangat cepat. Contoh lainnya: 

  • Sapangejoan = durasi yang lamanya kurang lebih sama seperti durasi orang saat sedang ngejo (masak nasi secara tradisional)
  • Saumur jagong = istilah ini sepadan dengan istilah seumur jagung
  • Sataun landung = durasi satu tahun lebih (entah lebih berapa hari atau bulan)
Bicara tentang linimasa, kita akrab dengan istilah hari ini, sekarang, baru tadi, besok, lusa, kemarin, dan lain-lain. Kalau di bahasa Inggris kita akrab dengan istilah today, tomorrow, the day after tomorrow, yesterday, last week, dan semacamnya. Bahasa Sunda pun punya istilah-istilah seperti itu yang--saya rasa--jauh lebih 'ekstrim' dalam kaitannya dengan spesifikasi waktu. 

  • Ayeuna = hari ini (semisal hari ini hari Sabtu, tanggal 20)
  • Kamari = kemarin (hari Jumat, tanggal 19)
  • Mangkukna = satu hari sebelum kemarin (hari Kamis, tanggal 18)
  • Isukan = besok (hari Minggu, tanggal 21)
  • Pageto = lusa (hari Senin, tanggal 22)
  • Pageto amat = sehari setelah lusa (hari Selasa dan kesananya)
  • Bieu = baru saja (beberapa detik yang lalu terjadi)
  • Tadi = tadi (lebih lama dari beberapa detik terjadi)
  • Bareto = sudah lama terjadi
  • Baheula = jauh lebih lama terjadi sebelum bareto
  • Engke = nanti
  • Jaga, isuk jaganing pageto = waktu yang akan datang tapi masih lama sekali
Saya nggak bisa menghapal satu-satu istilah itu dan dipakai dalam percakapan sehari-hari. 

Di buku Peperenian ada banyak informasi mengenai istilah-istilah yang berhubungan dengan aktivitas tradisional seperti bercocok tanam dan mencari ikan. Dilengkapi dengan ilustrasi, kita dikenalkan dengan benda-benda yang mungkin kita sering lihat sehari-hari tapi nggak tahu namanya. Dan satu hal yang paling saya suka dari Peperenian adalah section panyaraman. Panyaraman itu semacam larangan-larangan yang berkaitan dengan mitos. Kita mungkin familiar dengan mitos jangan duduk di depan pintu karena nanti nongtot jodo (susah dapat jodoh), atau mitos jangan pelihara kucing hitam karena katanya bawa sial. Nah, di budaya Sunda pun ada mitos-mitos semacam itu. Beberapa yang saya cantumkan di bawah adalah yang menurut saya paling lucu (dan paling bikin mama saya ketawa ngakak). 

  • Ulah heheotan bisi leungiteun beas/uyah = jangan bersiul, takut hilang beras/garam (maksudnya?)
  • Ulah heheotan tipeuting bisi disampeurkeun urang leuweung = jangan bersiul malam-malam, takutnya didatangi orang hutan (orang dari hutan, mungkin semacam buta ijo kah?)
  • Ulah nyiduh sisi hawu bisi loba anak = jangan meludah di sisi hawu (peralatan memasak tradisional Sunda, semacam tungku), takut banyak anak (anybody got any scientific reason for that?)
  • Ulah diuk dina meja bisi loba hutang = jangan duduk di atas meja, takut banyak hutang (jaman saya SD saya suka ditakut-takuti sama mitos ini dan faktanya.. justru orang lain banyak yang ngutang ke saya zz)
  • Ulah dahar pipindahan bisi boga salaki loba = jangan makan pindah-pindah tempat, takut punya suami banyak (tuh, hati-hati buat para wanita jangan sampai makan pindah-pindah tempat hahahaha)
  • Ulah nyeungseurikeun hitut bisi ompong = jangan menertawakan kentut, takutnya ompong (SERIOUSLY?!!)
Kalau mama saya sih bilangnya, panyaraman itu dibuat untuk satu tujuan juga. Misalnya, jangan bersiul saat malam-malam supaya tidak mengganggu orang lain. Hanya saja, si 'supaya' itu diganti oleh hal lain yang sifatnya menakutkan buat anak-anak. Walaupun begitu, menakutkan sih menakutkan tapi kan.. I just don't get it. How come I become ompong immediately after laughing at someone's fart? 

Lucu? Nggak lucu? The fact is.. that I'm laughing right now. 

Buku Peperenian ini memang tidak tebal, tapi ilmu yang ada di dalamnya (termasuk something I find funny like panyaraman) sangat banyak dan saya rasa berguna untuk kita, terutama kita yang memang punya darah Sunda. Peperenian ini menjadi semacam buku sakti yang menjaga budaya-budaya Sunda dari kepunahan. Saya setuju jika orang-orang membaca buku ini karena dengan membaca buku ini, mereka akan lebih memperkaya pengetahuan mereka tentang budaya Sunda yang mungkin belum mereka pahami dengan baik. Saya sadar anak-anak dan remaja jaman sekarang lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau teknologi yang datangnya dari dunia barat. Padahal seharusnya mereka juga mau mencoba untuk mencintai budayanya sendiri. Nah, oleh karena itu, saya rekomendasikan buku Peperenian untuk dibaca oleh anak-anak dan remaja, terutama yang keturunan Sunda atau tinggal di tatar Parahyangan. Nggak rugi kok buat mengenal budaya sendiri. Justru akan ada hal-hal positif yang didapat. 

Tah, jadi we urang ayeuna teu boga ide keur nutup post ieu. Bae we kitu geusan ieu teh? Bae we lah nya. Nu penting mah I'm proud of being a Sundanese descent. Kitu we lah nya. Ces heula atuh! 

*nobody doing hi-5 with me*

Nya geus we lah bae. 

0 comments:

Post a Comment