Sunday, September 14, 2014

Merindu Sendiri

Aku tak menceritakannya pada mereka. Aku ingin, tapi aku tak bisa. Mungkin lebih tepatnya aku takut. Aku takut mereka tak akan peduli, atau mungkin tak mau peduli. Tapi aku terlanjur tenggelam dalam melankolia yang membabi buta--sudah cukup lama--dan ini cukup menyiksa. Serangan melankolia itu terasa seperti berada di atas sebuah perahu cadik yang tiba-tiba tergulung oleh ombak mematikan setinggi sepuluh kaki, membalikkanmu, membuat kepalamu berada di bawah permukaan. Apa yang bisa kulakukan saat melankolia itu membuatku merasa seperti itu? Di bawah permukaan, tanpa udara, dan tanpa pertolongan; aku harus berusaha agar aku dapat tetap bernafas tapi kau tahu tak mungkin manusia bernafas tanpa udara, dan aku tak punya perlengkapan; aku tak punya persiapan untuk menghadapi melankolia semacam itu. 

Ia. Mereka. Mereka mungkin tak tahu--atau tak mau tahu--tentang apa yang selama ini menghantuiku. Ada sesuatu yang mengikutiku, lalu memelukku dari belakang, membuatku sesak dan menginfusi rasa gamang yang akan mengenyahkan rasa nyaman dalam diriku. Ada hantu yang selama ini membuntutiku, mencoba menggodaku, menguji seberapa kuat mentalku, seperti kumpulan kumulonimbus yang menggelitik tubuh pesawat, mengajak kepala-kepala yang berada di dalam kabin untuk berkawan dengan turbulensi. Tapi turbulensi bukanlah kawan yang sebenarnya, dan aku lelah dengan apa yang selama ini mengekor di belakangku. 

Ia datang dan pergi tiba-tiba; tanpa kabar ia menyisipkan kegelisahan pada satu momen dalam hidupku, lalu menghilang sebelum aku benar-benar dapat menemukan dan membunuhnya. Ia selalu mengingatkanku tentang satu--mungkin beberapa--masa yang ada dalam linimasa hidupku, yang mungkin tak bisa kusalin-tempel pada satu titik di masa depan di linimasa hidupku. Dalam masa-masa itu, ada wajah-wajah yang sampai saat ini masih kuingat baik; ekspresi bahagia yang terukir saat makan siang dan sorot mata lelah yang nampak saat matahari mulai bergerak kembali ke peraduannya. Dalam masa-masa itu, ada tangan-tangan yang kotor berlumpur, wajah-wajah dengan noda cat warna-warni, dan poni rambut dengan air yang menetes dari ujung helainya pada satu hari hujan itu. 

Apa yang selama ini mendekapku, naik ke punggungku dan memaksaku untuk menggendongnya benar-benar jahat. Masa-masa itu--kau tahu memori-memori itu--disuntikkan dan muncul dalam benakku pada waktu-waktu yang tak kuduga. Apa yang ia inginkan dariku? Menyiksaku dengan menembakkan momen-momen indah itu saat aku tak berdaya dan tak punya apapun untuk menghidupkan kembali momen-momen itu? 

Dan aku takut untuk berteriak, meminta pertolongan pada mereka. Mereka bilang itu biasa. Mereka bilang sangat wajar untuk merasakan hal seperti itu. Tapi "Itu biasa" dan "Semua akan baik-baik saja" tak serta merta membuatku merasa lebih baik. Aku seringkali merasa seperti ini dan kali ini--saat aku takut untuk memberitahu mereka apa yang kurasakan--aku menelan bulat-bulat rasa pahit dari apa yang orang-orang sebut 'kerinduan'. Oh, mereka tak tahu betapa pahit dan menyebalkannya perasaan ini, yang sering tiba-tiba menikamku dari belakang dan membuatku tak berdaya. 

Aku takut mereka menganggapku gila, atau terlalu perasa; tapi ini sungguhan. 

Aku tak bisa berbuat apapun saat apa yang orang-orang sebut sebagai 'rasa rindu' menyerangku, mendekapku sangat erat, dan membuatku ingin berteriak kencang, melepas belenggu yang menyesakkan itu. Wajah-wajah itu, dan suara tawa menggelegar, dan isak tangis pelan, dan aroma dedaunan di kebun, dan bau tajam cat minyak.. Ayolah, apa lagi? Semua hal-hal itu adalah apa yang pernah terjadi pada suatu masa di linimasa hidupku yang kini berevolusi menjadi peluru-peluru mematikan yang berhasil menembus pertahananku. Apa aku berlebihan jika kukatakan bahwa air mataku adalah darahku, dan kini aku kehabisan darahku, namun peluru-peluru itu masih tetap menghujam dan rasa sakit itu masih tetap terasa? 

Mereka tak tahu. Mereka mungkin tak tahu. 

Oh! Betapa aku merindu sendiri, merasakan kesakitan itu sendiri karena aku tak berbagi rasa sakit itu dengan mereka. Mungkin mereka akan menolaknya jika kuminta mereka mengambil sedikit rasa sakit itu, atau mereka punya pertahanan yang lebih baik--dan seharusnya aku memiliki pertahanan yang lebih baik. Merindu sendiri; karena "Semua akan baik-baik saja" tak selalu membuat segalanya terasa lebih baik. 

Aku memang sedang merindu, jadi mohon maafkan. 

0 comments:

Post a Comment