Monday, February 16, 2015

[Review] Di Balik 98

Sekitar sebulan yang lalu saya pergi nonton film dengan David, teman saya. Film yang kita tonton adalah Di Balik 98, film garapan Lukman Sardi dengan setting berdasarkan kejadian nyata, yaitu kerusuhan tahun 98 dan perubahan dari orde baru Soeharto ke orde reformasi. Dibintangi oleh Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah dan Alya Rohali, film yang durasinya sekitar satu setengah jam ini kurang lebih menggambarkan kejadian saat kerusuhan besar Mei tahun 1998, dari mulai tragedi Trisakti sampai pengrusakan toko-toko dan kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa. Awalnya saya lihat trailer film ini waktu nonton TV. Biasa kan kalo giliran lagi ada iklan kadang-kadang nongol deh trailer film-film Indonesia. Tapi Di Balik 98 langsung narik perhatian saya, bukan karena Chelsea Islan yang mengubah image dari si gemesin Bintang di Tetangga Masa Gitu ke Diana, tapi karena setting filmnya itu sendiri. Kerusuhan besar Mei 1998 selalu jadi hal yang sensitif buat dibicarakan, meskipun saya nggak mengalami secara langsung (ya sedikit mengalami sindir-sindir rasis sih pernah). Kalau dengar tentang cerita jaman kerusuhan dulu, rasanya kesal, marah, sedih dan.. segalanya campur aduk. 

Kenapa malah curhat? 

Theatrical poster of Di Balik 98

Di film ini saya bisa bilang banyak banget karakter utama yang merepresentasikan lapisan-lapisan masyarakat yang berbeda (bener ga sih istilahnya 'lapisan'?): mahasiswa, warga Indonesia keturunan Tionghoa, TNI, pegawai di Istana Negara, dan masyarakat kecil. Melihat kejadian tahun 98 dari sudut pandang mahasiswa, ada karakter Diana (Chelsea Islan) dan Daniel (Boy William). Dari sudut pandang TNI, ada karakter Bagus (Donny Alamsyah), seorang letnan dua yang juga adalah kakak ipar dari Diana. Sementara itu, Salma (Ririn Ekawati) adalah kakak Diana yang bekerja sebagai pegawai di Istana Negara, yang pada saat kejadian kerusuhan sedang hamil besar. Kerusuhan besar tahun 98 juga dilihat dari sudut pandang masyarakat kecil, seorang pemulung (Teuku Rifnu Wikana) dengan anak laki-lakinya yang beberapa hari sebelum terjadi kerusuhan ingin banget punya jersey tim nasional Indonesia.

Film ini punya banyak sub-plot yang to some extent bisa saling berkaitan, khususnya karakter Diana, Salma, dan Bagus. Kalau saya bisa bilang, main characters di film ini adalah Diana dan Bagus, meskipun karakter Salma juga sebetulnya penting karena dari sudut pandang karakter Salma inilah kita bisa melihat ketegangan di dapur Istana Negara dan juga kerusuhan yang terjadi di Jakarta saat Salma terjebak dalam kerusuhan tersebut. Kalau kita berekspektasi bahwa film ini merupakan semacam film politik, saya rasa mendingan jangan berekspektasi seperti itu karena kata Lukman Sardi sendiri (seperti yang ditulis di Tribunnews.comDi Balik 98 bukan sebuah film politik; rather, the genre is drama and romance.


Mahasiswa vs. Pemerintah
Berperan sebagai seorang mahasiswa yang aktif dalam demonstrasi kontra pemerintah, Chelsea Islan menunjukkan performa yang menurut saya luar biasa. Coba bandingkan aja penampilan Chelsea sebagai si kalem Bintang di Tetangga Masa Gitu dengan penampilan Diana di Di Balik 98 yang nggak hanya blak-blakan tapi juga tegas dan nekat. Kita bakalan banyak menemukan scene dimana Chelsea bener-bener nggak woles--ngomongnya tegas dan teriak-teriak, nggak sekalem Bintang (syukurlah Bastian nikahnya sama Bintang, bukan Diana hahaha). Di sisi lain, Boy William sebagai perwakilan mahasiswa  menurut saya cenderung lebih kalem (bahkan lebih kalem dari penampilannya sebagai host di Breakout). Jangan buat ekspektasi bahwa Boy bakalan banyak pakai code-switching saat bicara karena di Di Balik 98 (thanks to penulis skrip) code-switching itu nggak muncul.


Kalau bicara mahasiswa vs. pemerintah dalam konteks kerusuhan tahun 98, pasti mengacu sama kejadian penembakan Trisakti. Saya memang nggak mengalami atau melihat kejadian penembakan itu secara langsung seperti apa tapi buat saya, ketegangan yang digambarkan cukup kuat. Tentu saja, detil-detil seperti bagaimana korban-korban tertembak nggak digambarkan (karena pastinya kalau ada bakalan memicu lebih banyak pro dan kontra). Tapi saya rasa, kericuhan dan kepanikan saat mulai terjadi penembakan digambarkan cukup baik. Ya, kebayang lah gimana situasinya saat kita sedang ramai-ramai demonstrasi dan tiba-tiba dari arah berlawanan tembakan mulai diluncurkan dan orang yang segitu banyaknya secepat mungkin mundur untuk menghindari tembakan-tembakan tersebut.

So far sih demonstrasi-demonstrasi yang ada digambarkan cukup baik dan properti yang ada menyesuaikan semirip mungkin dengan properti yang ada pada tahun 98 (contohnya adalah microphone atau logo stasiun-stasiun televisi, bahkan nama-nama stasiun televisi yang sekarang sudah ganti nama). Ketegangan paska demonstrasi dan penembakan pun digambarkan cukup baik. Kita akan disuguhi situasi di dalam kampus Trisakti di malam hari dimana beberapa mahasiswa yang berdemo terjebak di dalam kampus dan harus bertahan sambil sembunyi dari kejaran militer yang berjaga.


Linear plot yang digunakan dalam film ini memungkinkan kita untuk melihat gambaran bagaimana sih pada tahun 1998, mahasiswa berdemonstrasi dan mencoba menguasai gedung DPR sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah, yang pada akhirnya berhasil membuat presiden Soeharto turun dari tahtanya sebagai presiden Republik Indonesia. Lagi, karena saya nggak mengalami kejadian itu jadi saya nggak punya background knowledge yang cukup dalam tentang proses penggulingan kekuasaan itu. Di Balik 98 bisa saya bilang jadi semacam gambaran buat saya memahami apa yang terjadi antara mahasiswa dan pemerintah di tahun itu.


Satu Rumah, Dua Kubu
Kalau misalnya kita memposisikan diri kita sebagai mahasiswa yang kontra dengan pemerintah, lalu kita tinggal serumah dengan, katakanlah, om kita yang bertugas sebagai letnan dua yang saat itu harus berada di sisi pemerintah, bisa kita gambarkan situasinya seperti apa di rumah. Dua kubu yang berlawanan dalam satu rumah digambarkan di Di Balik 98 dalam bentuk--kebanyakan--konflik verbal. Diana banyak bertengkar dengan kakak iparnya, Bagus, yang merupakan seorang letnan dua. Terlepas dari fakta bahwa pekerjaan yang Bagus lakoni bisa menghasilkan uang untuk biaya hidup keluarganya dan biaya kuliah Diana, tetap saja pertengkaran antara  Diana dan Bagus kerap kali terjadi. Disinilah drama keluarganya diperlihatkan dalam Di Balik 98. Intinya sih kalau untuk sisi drama keluarga, Di Balik 98 menunjukkan bagaimana dalam sebuah keluarga, anggota keluarga yang saling bermusuhan pada akhirnya bisa kembali akur dan bersama-sama bekerja sama untuk menyelesaikan sebuah masalah (dalam hal ini, mencari mbak Salma).

Dari sisi drama keluarga juga kita bisa lihat konflik batin yang dialami sama Bagus sebagai seorang tentara. Ya kita bisa lihat sendiri lah kehidupan tentara seperti apa dan di film ini, buat saya sih cukup jelas ya konflik batinnya seperti apa. Bagus harus bertugas menjaga keamanan Jakarta yang pada saat itu lagi kacau balau, tapi di saat yang sama dia sadar bahwa dia juga harus melindungi Diana (walaupun situasinya saat itu mahasiswa lagi kontra sama TNI) dan juga mendampingi Salma, istrinya yang udah hamil besar. Saat ketahuan kalau Salma hilang dalam kerusuhan, Bagus jelas-jelas gamang dan memohon sama atasannya supaya dapat ijin untuk bisa mencari Salma. Atasannya jelas menolak dan bilang bahwa dulu dia sendiri saat istrinya melahirkan, dia nggak mendampingi istrinya. Konflik batin Bagus semakin rumit saat Diana, adik Salma, menyalahkan Bagus karena dianggap nggak peduli dengan istri sendiri. Bagus sendiri pada akhirnya bilang sama Diana bahwa jadi tentara itu nggak enak. Ya walaupun tentara dia juga kan tetap seorang manusia lah..

Kalau ingat konflik batin yang dialami Bagus, disitu kadang saya merasa sedih.

*apasih gue*


Kerusuhan dan Warga Keturunan Tionghoa
Menceritakan tentang kerusuhan tahun 98 kayaknya nggak lengkap kalau nggak menyinggung tentang kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa dan pengursakan toko-toko serta rumah-rumah mereka. Saat nonton Di Balik 98, jujur aja scene kerusuhan itu yang bikin saya emosional, meskipun nggak sampai nangis. Kalau dengar dari cerita oma opa (atau mungkin kalian yang pernah diceritakan sama keluarganya tentang kekerasan terhadap warga etnis Tionghoa di kerusuhan besar itu) pasti ngeri, apalagi cerita dari beberapa saudara saya cukup eksplisit. Coba search aja di Google tentang kejadian itu dan pasti ada banyak cerita-cerita dari mereka yang pernah jadi korban ataupun sebatas jadi saksi kekerasan terhadap warga etnis Tionghoa saat itu.

Meskipun scene yang ada nggak seeksplisit short story berjudul Clara yang ditulis oleh Seno Aji Gumira, tapi gambarannya cukup ngeri. Pagi (menuju siang) itu, para warga keturunan Tionghoa yang sedang nyaman-nyamannya di rumah tiba-tiba diributkan oleh suara-suara gaduh dari arah luar yang ternyata adalah keributan dari toko-toko yang sedang dirusak dan dijarah. Para warga keturunan Tionghoa akhirnya mulai panik saat sadar bahwa mereka jadi sasaran utama kerusuhan itu. Salma, yang niatnya mau mencari dan menyusul Diana ke kampusnya malah terjebak dalam kerusuhan itu dan saat mencoba melarikan diri, menyaksikan sendiri satu keluarga Tionghoa--ayah, ibu, dan anak perempuan--di sebuah gang yang sedang dianiaya oleh para pengrusuh. Si ayah dipukuli habis-habisan dan si ibu dan anak perempuannya dilecehkan. Salma yang sedang hamil besar nggak sanggup melihat itu dan saat mencoba mencari tempat aman justru pingsan dan pada akhirnya kita lihat Salma yang hamil besar diselamatkan oleh seorang wanita Tionghoa.


Oh ya, beruntung kita punya karakter Daniel disini yang ngasih kita 'akses' untuk melihat kejadian kerusuhan Mei 98 dari kacamata warga etnis Tionghoa. Daniel yang pada saat kerusuhan terjadi sedang berada di kampusnya (Trisakti) baru bisa melihat kondisi rumahnya beberapa hari kemudian. Dia kaget saat lihat bahwa seluruh rumahnya sudah dijarah dan dirusak habis-habisan. Daniel makin histeris saat tahu bahwa ayah dan adiknya sudah nggak ada di rumah itu. Dalam pencarian ayah dan adiknya, Daniel sendiri hampir kena sweeping warga etnis Tionghoa dan pada akhirnya diselamatkan oleh seorang kiyai (if I may call him so) yang menunjukkan keberadaan ayah dan adiknya.

Kalau misalnya berekspektasi untuk melihat kerusuhan dalam gambaran yang lebih eksplisit dan lebih gore, sayangnya hal semacam itu nggak ada di Di Balik 98. Menurut saya sih pasti konsiderasinya banyak. Kalau penonton etnis Tionghoa yang lihat kemungkinan besar bakalan kasuat-suat (kalau orang Sunda sih bilangnya begitu) alias teringat-ingat lagi. Mengorek luka lama, kalau idiom bahasa Indonesianya. Gambaran yang nggak seeksplisit itu aja yang ada di Di Balik 98 bikin saya emosional. Gimana kalau gambarannya lebih eksplisit dan gore? Ya gitu deh. Saya aja udah kasuat-suat.

*begini deh kalau penulis Sunda-Tionghoa ngomong, bahasanya campur aduk*


Daniel Diana
Dalam Di Balik 98 ada juga romance. Daniel dan Diana adalah sepasang kekasih (bahasa gue aduh) yang memang kebetulan sama-sama aktivis. Di beberapa scene bisa kita lihat kemesraan mereka, sesama aktivis yang saling mendukung satu sama lain. Bahkan saat Daniel kembali ke rumahnya, Diana pun ikut buat menemani dan Diana juga ada disana saat Daniel histeris dan sedih karena kehilangan keluarganya, meskipun pada akhirnya Daniel mengusir Diana karena dia ingin sendiri.


Pada akhirnya Daniel pindah ke Singapura bersama ayah dan adiknya dan beberapa tahun kemudian, Daniel kembali lagi ke Indonesia. Saat itu Diana sudah dewasa dan jadi guru TK. Mereka ketemu lagi. Apakah mereka bakalan balikan lagi?

Buat saya, ending dari romansa mereka ini.. Hmm.. Entah ya, apa saya harus bilang sad ending atau happy ending, tapi yang jelas masing-masing karakter punya resolusi mereka masing-masing. Cuman kalau misalnya kalian nge-ship pasangan ini, siap-siap deh di akhir film bakalan menemukan kejutan. Kasih tau gak ya? Gak ah. Ketebak kah? Entahlah.


Overall
Secara keseluruhan sih kalau dari segi plot, ya cukup lah ya kalau buat saya. Perpindahan dari satu subplot ke subplot lainnya nggak bikin pusing dan masing-masing subplot memainkan tugasnya dengan baik (drama keluarga, romance, politik, dan lain-lain). Elemen-elemen kecil pun diperhatikan, jadi kita nggak kehilangan detilnya, semisal logo stasiun-stasiun televisi sesuai dengan logo yang dipakai pada tahun itu. Penggabungan antara rekaman liputan dan penggambaran kejadian di film nggak sampai bikin gap perbedaan antara jaman dulu dengan jaman sekarang. I mean, penggambaran yang dikasih sama Di Balik 98 cukup menyesuaikan dengan rekaman liputan, as if memang rekaman liputan dan aksi yang ada itu direkam pada waktu yang sama.

Tingkat violence yang ada di film ini nggak se-violent yang saya bayangkan, which is good karena saya malas kalau terlalu banyak lihat darah-darah. Performa para bintangnya juga baik, terutama Chelsea Islan yang bisa mengubah image Bintang si Wikipedia berjalan jadi mahasiswa aktivis yang blak-blakan. Boy William juga nampak lebih kalem, which is a bit different kalau saya lihat penampilan dia sebagai host di sebuah acara musik di stasiun TV yang baru itu (yang itu tuh). Kalau saya lihat review di situs lain tentang film ini, ada beberapa yang mengomentari tentang pemilihan judul film yang dirasa terlalu ngasih harapan besar ke penonton. Mungkin dari pemilihan judul, penonton seolah bakalan dikasih tahu ada apa sih di balik kerusuhan tahun 98 itu dan ternyata, kalau buat saya sih, harapan seperti itu nggak terkabul.

Overall, suka sih sama film ini. Chelsea Islan walaupun teriak-teriak tetep cantik. But I like Bintang better sih..



Kasian si Bintang :(

0 comments:

Post a Comment