Debu berterbangan dari permukaan sampul berwarna hijau kekuningan saat kuambil sebuah buku itu. Buku ini nampaknya sangat tua, dengan kertas yang menguning saat aku mulai membuka lembaran-lembarannya. Buku berbahasa Indonesia dengan ejaan zaman dulu itu mengeluarkan bau kertas yang khas, yang membuatku betah berlama-lama membaca untaian-untaian kata yang tertulis di setiap lembarannya, tenggelam dalam alur cerita yang ditawarkannya.
Saat aku kembali ke tempat dudukku untuk membaca buku itu, aku disambut oleh pertengkaran kecil kedua sahabatku, Andra dan Gea. Sementara itu Reyhan nampak acuh, membaca bukunya sembari sesekali membetulkan posisi kacamatanya. Ia nampak tak terganggu oleh keributan kecil yang bersumber dari dua orang yang duduk di hadapannya.
"Aku nggak suka deh kalau kamu mulai cekikikan sendiri di depan ponsel!" ujar Gea.
"Maaf. Habisnya emang lucu sih," jawab Andra sembari tertawa kecil.
"Lucu apanya! Kamu jadi autis tau!" bantah Gea.
Aku berdehem, menghentikan pertengkaran kedua sahabatku, lalu duduk di bangkuku di samping Reyhan. Ia melirikku, tersenyum padaku, lalu kembali membaca bukunya.
"Ini perpustakaan. Jangan berantem disini," tegurku.
"Habisnya Andra mulai autis lagi sama ponselnya," balas Gea kesal.
"Nggak autis kok, cuma baca twit lucu aja masa dibilang autis," sanggah Andra.
"Tapi ketawa kamu tuh ngeganggu!" balas Gea lagi.
"Sst! Kalian jangan ribut ah. Ganggu orang lain loh," tegasku.
Andra dan Gea berhenti bertengkar, meskipun Gea masih nampak kesal dan Andra mencoba menahan tawanya. Saat Andra hendak meraih ponselnya di atas meja, Gea menepis tangannya dan mengambil ponsel itu dari Andra.
"Mau baca twit lagi, 'kan?" tanya Gea sinis.
"Ah, Gea.. Balikin dong. Plis," Andra memelas.
"Gak! Nanti kamu autis sendiri lagi. Baca buku aja sana!" tolak Gea.
"Nggak kok. Gak akan baca twit lagi. Sekarang mau buka 9gag," ujar Andra.
"Sama aja! Nanti kamu ketawa sendiri lagi!" jawab Gea.
Reyhan meringis cukup keras, menghentikan pertengkaran Andra dan Gea.
"Jangan berisik," tegur Reyhan, "Daripada kalian bertengkar terus, mendingan kalian bantu Dilla cari referensi buat lomba cerita pendeknya"
Andra tersenyum kecut dan Gea memajukan bibirnya.
"Nih, Rey! Ponsel si Andra kamu aja yang pegang," ujar Gea seraya menyodorkan ponsel Andra padaku.
"Jangan dong!" tahan Andra, merebut ponselnya dari tangan Gea, "Ini ponsel aku!"
"Kalau gitu Andra, kamu jangan mainin ponsel di perpustakaan. Gea juga jangan marah-marah lagi," tegur Reyhan.
Andra memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya kemudian kembali membaca. Gea pun kembali membaca, meskipun sesekali ia melirik Andra curiga, takut jika pacarnya itu mulai memainkan lagi ponselnya. Aku menghela nafas sejenak. Astaga, dari lima buku yang kuambil, aku masih belum juga mendapat ide untuk cerita pendekku. Sementara itu batas akhir pengiriman cerita pendek semakin dekat dan aku harus segera membuat cerita pendekku. Tema untuk cerita pendekku adalah teknologi dan jujur saja ini pertama kalinya aku harus berhadapan dengan tema ini. Membuat cerita pendek bertema cinta, persahabatan, atau keluarga bukanlah hal yang sulit bagiku. Tapi teknologi? Ya Tuhan, kemana lagi harus kucari inspirasi untuk cerita pendekku?
----
Pertengkaran Andra dan Gea rupanya masih berlangsung. Saat jam istirahat makan siang, aku dan ketiga sahabatku pergi untuk menikmati semangkuk mi baso di kantin sekolah dan saat makan siang, Andra dan Gea kembali berdebat mengenai penggunaan ponsel Andra yang Gea rasa sudah memasuki taraf mengesalkan. Aku sendiri memang mengamati penggunaan ponsel Andra yang dapat dikatakan intens, sehingga seringkali ia menggunakan ponselnya di situasi yang tak tepat.
"Percuma pake smartphone kalau orangnya nggak smart, nggak tahu situasi yang tepat buat pakai ponsel!" ujar Gea.
"Kok kamu malah ngomong gitu sih? Lagian ini ponsel aku, bukan ponsel kamu!" balas Andra.
Gea meringis kesal.
"Dra, coba ingat lagi setiap kita makan bareng berdua, kamu pasti mainin ponsel kamu. Buka Twitter lah, atau cek Path lah.. Terus aku diacuhkan aja begitu?"
"Aku 'kan cek hanya sebentar, nggak berjam-jam!"
"Tapi frekuensinya sering! Dikit-dikit cek ponsel. Dikit-dikit cek ponsel"
"Kalau ada sesuatu yang penting gimana?"
"Ya tapi bisa 'kan nggak sesering itu pakai ponsel?"
"Halah! Kayak kamu nggak suka cek ponsel kamu aja"
Aku dan Reyhan hanya bisa menonton pertengkaran mereka. Reyhan melirikku lalu mengangkat kedua bahunya.
"Makan duluan aja, yuk," ujarku.
"Ya. Malas nungguin mereka akur," jawab Reyhan.
Aku dan Reyhan mulai menikmati mi baso kami. Reyhan menuangkan saus sambal ke mangkuk basonya, membuat kuahnya menjadi begitu merah. Aku meringis membayangkan rasa pedas yang bercampur dengan gurih kuahnya, dan akhirnya aku pun ikut menuangkan saus sambal ke dalam mangkuk basoku.
"Kurang greget Dil kalau nggak pakai saus," ujar Reyhan.
"Ya. Kalau pakai saus tuh rasanya lebih enak," balasku.
Reyhan tertawa kecil.
"Jadi gimana, Dilla? Kamu udah dapat ide untuk cerita pendek yang bakal dilombakan?" tanya Reyhan.
"Entahlah, Rey. Aku belum dapat. Masih bingung dengan temanya," jawabku.
"Temanya teknologi ya? Hmm.. Aku juga belum pernah buat cerita pendek dengan tema teknologi," ujar Reyhan.
"Aku biasa buat cerita dengan tema romansa, keluarga, atau persahabatan. Sisi positifnya, ini jadi tantangan buat aku. Sisi negatifnya, aku belum terbiasa dengan tema ini, jadi sekarang bingung saat mau bikin cerita," balasku.
"Kamu udah coba baca cerita-cerita bertema teknologi di internet? Mungkin kamu bisa dapat ide dari cerita-cerita itu"
"Udah, tapi entahlah idenya biasa-biasa aja yang aku lihat. Malah beberapa cerita jatuhnya jadi science-fiction"
"Hmm.. Susah ya jadinya"
"Yang jelas harus ada pesan moralnya"
Aku dan Reyhan kembali menikmati makanan kami. Sementara itu, pasangan muda Andra dan Gea masih berseteru mengenai hal yang sama. Aku tak mengerti mengapa mereka tahan berdebat dalam waktu lama seperti ini. Namun mengethaui bahwa Andra bercita-cita ingin melanjutkan studinya ke jurusan hukum, maka tak aneh jika Andra sudah pandai berdebat, bahkan untuk hal-hal sepele seperti ini yang seharusnya sudah bisa diselesaikan sejak awal.
"Masih berantem gara-gara ponsel mereka?" tanya Reyhan.
"Masih," jawabku, "Belum selesai juga dari tadi"
"Ternyata mereka masih berantem karena hal yang sama," ujar Reyhan.
"Harusnya keduanya saling paham aja sih," tambahku.
"Tapi dipikir-pikir lagi, Andra itu kayak mas Eza"
"Maksudnya?"
"Mas Eza juga gitu kok. Pokoknya semenjak pacarnya pergi ke London, mas Eza jadi sering Skype-an. Mau lewat komputer atau ponsel, dia jadi sering pakai Skype. Kadang-kadang dia mainin ponselnya untuk ngobrol sama miss Alia lewat Skype waktu kita lagi pergi main atau makan bareng di luar. Dia udah ditegur ayah beberapa kali, tapi nggak kapok juga"
"Kayaknya Andra dan kakak kamu udah kecanduan ponsel"
"Ya. Kadang kalau lagi nyetir mobil pun mas Eza masih suka curi-curi cek ponselnya. Aku bakal langsung tegur mas Eza kalau dia udah mainin ponselnya waktu nyetir"
"Kalau diluar negeri sih bisa jadi kasus tuh kalau pakai ponsel sambil mengemudi"
Reyhan mengangkat kedua bahunya kemudian menghabiskan makanannya. Aku meneguk minumanku dan memperhatikan Andra dan Gea yang masih bertengkar. Ponsel. Mereka bertengkar karena ponsel. Dan pada tegukan terakhir, tiba-tiba aku mendapat ide. Pertengkaran Andra dan Gea membawaku pada sebuah inspirasi untuk cerita pendekku. Aku tersenyum kecil. Ini terdengar jahat, namun pertengkaran Andra dan Gea membawa keberuntungan untukku.
----
Kedatangan Andra dan Reyhan yang tiba-tiba dan terburu-buru ke kantin menambah keributan kantin. Mereka datang terburu-buru, dengan Reyhan yang mencoba mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Andra membawa secarik kertas di tangan kanannya dan nampak antusias saat ia melihatku dan Gea.
"Ada kabar gembira untuk kita semua!" ujar Andra.
"Apaan? Kulit manggis sekarang ada ekstraknya?" tanya Gea yang mencoba menebak lawakan dari sebuah iklan televisi.
"Bukan! Ini berita baru. Heboh!" sanggah Andra.
"Tapi bisa kali Dra kita jalan santai ke kantin, nggak perlu pakai acara tarik tangan aku dari bangku, terus lari-lari di koridor ke kantin?" ujar Reyhan kesal.
"Kasihan tuh Reyhan, kayak baru beres marathon," tambahku.
Andra dan Reyhan pun duduk di hadapanku dan Gea. Andra segera menyodorkan kertas yang ia bawa untuk aku dan Gea baca. Rupanya itu adalah informasi pemenang lomba cerita pendek yang kuikuti. Andra mencetaknya langsung dari browser internet.
"Selamat, Dilla! Kamu juara dua!" seru Andra.
"Selamat ya, Dilla," sambung Reyhan.
Aku melirik Gea dan kami berdua tertawa, membuat Andra dan Reyhan kebingungan.
"Kita udah tahu dari awal," ujar Gea.
"Aku 'kan dapat suratnya langsung. Kebetulan Gea juga baca kok suratnya," tambahku.
"Jadi ini berita udah bukan surprise lagi?" tanya Andra.
"Dan kamu malah buru-buru tarik tangan orang, terus lari-lari di koridor buat ke kantin hah?!" tambah Reyhan yang sekarang menyerang Andra dengan pukulan sumpit mi baso.
Aku dan Gea tertawa, sementara Andra harus berkutat dengan alasan-alasan yang bisa menghentikan penyerangan sumpit ganas dari Reyhan.
"Ampun Rey! Ampun!" seru Andra.
"Halah ampun ampun! Bikin orang gerah aja kamu!" tepis Reyhan dingin.
"Aduh! Sakit, Rey! Sakit!"
Aku mengambil sumpit yang dipegang oleh Reyhan lalu menaruhnya ke tempatnya. Reyhan akhirnya berhenti menyerang Andra dan ia nampak puas setelah berhasil menyerang sahabatnya itu.
"Awas kamu!" ancam Reyhan.
"Ya, Rey. Maaf, Rey. Ampun," ujar Andra memelas.
"Dasar kamu ini. Oh ya Dil, kita belum pernah baca cerita pendek yang kamu buat loh," ujar Reyhan mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya nih. Emang ceritanya kayak gimana sih?" tanya Andra.
"Makanya hari Sabtu sore datang ya ke Gramedia," ujarku, "Soalnya tiga besar pemenangnya bakalan bacain cerita pendek mereka di acara penyerahan sertifikat dan launching bukunya"
"Launching buku?" tanya Reyhan.
"Jadi Rey, ada tujuh pemenang buat lomba cerita pendek itu dan cerita-cerita mereka itu mau dibukukan. Jadi semacam omnibus novel gitu," jelas Gea.
"Antologi?" tanya Andra.
"Kind of," jawab Gea.
"Sabtu sore jam? Dan Gramedia mana nih?" tanya Andra.
"Jam setengah tiga sore. Gramedia Merdeka," jawabku.
"Ya sudah, nanti aku coba kosongkan jadwal," ujar Andra.
"Ajak mas Eza boleh ga?" tanya Reyhan.
"Ajak aja. Suruh beli bukunya juga, biar aku dapat untung dari hasil penjualannya," jawabku seraya tertawa kecil.
----
Kutatap gugup orang-orang yang ada di hadapanku, yang menatapku dengan mata-mata mereka yang tajam. Kugosokkan kedua telapak tanganku yang terasa begitu dingin. Aku tak biasa menghadapi situasi seperti itu; berada di atas panggung dan diwawancarai, sementara ada puluhan mungkin ratusan pasang mata yang menatapku, seolah-olah bertanya makhluk apakah aku ini dan berasal dari mana aku.
"Dilla kok kelihatan gugup? Santai aja," ujar Eriska, master of ceremony untuk acara ini.
"Ya. Hehehe.. Biasa suka gugup kalau di panggung," jawabku seraya tertawa kecil.
"Jadi, inspirasinya dapat dari mana untuk cerita "Matikan Ponselmu"? Karena kita semua tahu bahwa ponsel udah jadi semacam kebutuhan untuk kehidupan kita sehari-hari. Tapi di cerita pendek yang kamu tulis, justru kamu secara gamblang bilang untuk matikan ponsel. Inspirasinya dari mana sih?"
Refleks mataku tertuju pada pasangan Andra dan Gea yang duduk di barisan kelima dari barisan terdepan. Mereka berdua justru melambaikan tangannya padaku dengan riang, sementara Reyhan dan kakaknya yang duduk di samping mereka hanya bisa tertawa geli melihat tingkah pasangan Andra dan Gea.
"Inspirasinya sih sebetulnya dari kehidupan kita sehari-hari. Aku 'kan sering mengamati kalau di tempat umum atau kendaraan umum, orang-orang kadang sibuk sama ponselnya masing-masing sampai-sampai lupa situasi. Nah, di cerita ini aku ingin kasih tahu ke orang-orang bahwa kita harus mawas diri sama penggunaan ponsel kita. Intinya sih gitu," jelasku.
Setelah penjelasan yang sangat singkat itu, Eriska mempersilahkanku untuk membacakan cerita pendek yang kutulis. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari penonton sebelum aku membacakan ceritaku. Kulirik sekali lagi pasangan Andra dan Gea, dan Reyhan beserta kakaknya. Tanpa mereka, aku tak akan bisa membuat cerita pendek ini. Atau lebih tepatnya, ide cerita pendek ini kudapat dari mereka dan akhirnya kupersembahkan untuk mereka pula.
"Matikan Ponselmu"
Pencahayaan tiba-tiba diredupkan, dengan hanya satu lampu sorot yang mengarah padaku.
Seusai acara, mas Eza mengajak kami makan malam bersama. Kami pergi ke area parkir dan masuk ke mobil mas Eza. Reyhan duduk di depan, di samping kakaknya layaknya seorang co-pilot. Kulihat Andra yang nampak berbeda, serta mas Eza yang nampak lebih diam.
"Cerita kamu bagus, Dil," ujar Reyhan.
"Ya. Aku suka. Itu jadi teguran buat kita semua," sambung Gea.
"Terima kasih banyak. Aku senang kalian bisa datang," jawabku.
Mobil mulai bergerak dan sambil kami keluar dari area parkir, mas Eza menyodorkan ponselnya pada Reyhan. Reyhan lantas mengambilnya dan menatap kakaknya bingung.
"Kok ponselnya dikasih ke aku?" tanya Reyhan.
"Tolong kirim pesan ke Alia, bilang aku lagi nyetir ke tempat makan jadi nggak bisa ngobrol dulu. Bilangin juga ke Alia nanti aku kabari dia kalau aku udah sampai di tempat makan," jawab mas Eza.
Reyhan mengangguk dan setelah ia mengetikkan pesan untuk kekasih kakaknya, ia melirik ke belakang-- ke arahku--lalu tersenyum.
"Thanks, Dilla," ujarnya.
Dan kubalas ucapan terima kasihnya dengan sebuah senyuman.
"Ada kabar gembira untuk kita semua!" ujar Andra.
"Apaan? Kulit manggis sekarang ada ekstraknya?" tanya Gea yang mencoba menebak lawakan dari sebuah iklan televisi.
"Bukan! Ini berita baru. Heboh!" sanggah Andra.
"Tapi bisa kali Dra kita jalan santai ke kantin, nggak perlu pakai acara tarik tangan aku dari bangku, terus lari-lari di koridor ke kantin?" ujar Reyhan kesal.
"Kasihan tuh Reyhan, kayak baru beres marathon," tambahku.
Andra dan Reyhan pun duduk di hadapanku dan Gea. Andra segera menyodorkan kertas yang ia bawa untuk aku dan Gea baca. Rupanya itu adalah informasi pemenang lomba cerita pendek yang kuikuti. Andra mencetaknya langsung dari browser internet.
"Selamat, Dilla! Kamu juara dua!" seru Andra.
"Selamat ya, Dilla," sambung Reyhan.
Aku melirik Gea dan kami berdua tertawa, membuat Andra dan Reyhan kebingungan.
"Kita udah tahu dari awal," ujar Gea.
"Aku 'kan dapat suratnya langsung. Kebetulan Gea juga baca kok suratnya," tambahku.
"Jadi ini berita udah bukan surprise lagi?" tanya Andra.
"Dan kamu malah buru-buru tarik tangan orang, terus lari-lari di koridor buat ke kantin hah?!" tambah Reyhan yang sekarang menyerang Andra dengan pukulan sumpit mi baso.
Aku dan Gea tertawa, sementara Andra harus berkutat dengan alasan-alasan yang bisa menghentikan penyerangan sumpit ganas dari Reyhan.
"Ampun Rey! Ampun!" seru Andra.
"Halah ampun ampun! Bikin orang gerah aja kamu!" tepis Reyhan dingin.
"Aduh! Sakit, Rey! Sakit!"
Aku mengambil sumpit yang dipegang oleh Reyhan lalu menaruhnya ke tempatnya. Reyhan akhirnya berhenti menyerang Andra dan ia nampak puas setelah berhasil menyerang sahabatnya itu.
"Awas kamu!" ancam Reyhan.
"Ya, Rey. Maaf, Rey. Ampun," ujar Andra memelas.
"Dasar kamu ini. Oh ya Dil, kita belum pernah baca cerita pendek yang kamu buat loh," ujar Reyhan mengalihkan topik pembicaraan.
"Ya nih. Emang ceritanya kayak gimana sih?" tanya Andra.
"Makanya hari Sabtu sore datang ya ke Gramedia," ujarku, "Soalnya tiga besar pemenangnya bakalan bacain cerita pendek mereka di acara penyerahan sertifikat dan launching bukunya"
"Launching buku?" tanya Reyhan.
"Jadi Rey, ada tujuh pemenang buat lomba cerita pendek itu dan cerita-cerita mereka itu mau dibukukan. Jadi semacam omnibus novel gitu," jelas Gea.
"Antologi?" tanya Andra.
"Kind of," jawab Gea.
"Sabtu sore jam? Dan Gramedia mana nih?" tanya Andra.
"Jam setengah tiga sore. Gramedia Merdeka," jawabku.
"Ya sudah, nanti aku coba kosongkan jadwal," ujar Andra.
"Ajak mas Eza boleh ga?" tanya Reyhan.
"Ajak aja. Suruh beli bukunya juga, biar aku dapat untung dari hasil penjualannya," jawabku seraya tertawa kecil.
----
Kutatap gugup orang-orang yang ada di hadapanku, yang menatapku dengan mata-mata mereka yang tajam. Kugosokkan kedua telapak tanganku yang terasa begitu dingin. Aku tak biasa menghadapi situasi seperti itu; berada di atas panggung dan diwawancarai, sementara ada puluhan mungkin ratusan pasang mata yang menatapku, seolah-olah bertanya makhluk apakah aku ini dan berasal dari mana aku.
"Dilla kok kelihatan gugup? Santai aja," ujar Eriska, master of ceremony untuk acara ini.
"Ya. Hehehe.. Biasa suka gugup kalau di panggung," jawabku seraya tertawa kecil.
"Jadi, inspirasinya dapat dari mana untuk cerita "Matikan Ponselmu"? Karena kita semua tahu bahwa ponsel udah jadi semacam kebutuhan untuk kehidupan kita sehari-hari. Tapi di cerita pendek yang kamu tulis, justru kamu secara gamblang bilang untuk matikan ponsel. Inspirasinya dari mana sih?"
Refleks mataku tertuju pada pasangan Andra dan Gea yang duduk di barisan kelima dari barisan terdepan. Mereka berdua justru melambaikan tangannya padaku dengan riang, sementara Reyhan dan kakaknya yang duduk di samping mereka hanya bisa tertawa geli melihat tingkah pasangan Andra dan Gea.
"Inspirasinya sih sebetulnya dari kehidupan kita sehari-hari. Aku 'kan sering mengamati kalau di tempat umum atau kendaraan umum, orang-orang kadang sibuk sama ponselnya masing-masing sampai-sampai lupa situasi. Nah, di cerita ini aku ingin kasih tahu ke orang-orang bahwa kita harus mawas diri sama penggunaan ponsel kita. Intinya sih gitu," jelasku.
Setelah penjelasan yang sangat singkat itu, Eriska mempersilahkanku untuk membacakan cerita pendek yang kutulis. Terdengar tepuk tangan yang riuh dari penonton sebelum aku membacakan ceritaku. Kulirik sekali lagi pasangan Andra dan Gea, dan Reyhan beserta kakaknya. Tanpa mereka, aku tak akan bisa membuat cerita pendek ini. Atau lebih tepatnya, ide cerita pendek ini kudapat dari mereka dan akhirnya kupersembahkan untuk mereka pula.
"Matikan Ponselmu"
Pencahayaan tiba-tiba diredupkan, dengan hanya satu lampu sorot yang mengarah padaku.
Ponsel pintar dan pengguna yang pintar. Apakah itu benar? Ayah, coba beri tahu aku apakah itu benar? Kau dan ponsel pintarmu. Kau, dengan jabatanmu yang tinggi, dan ponsel pintarmu. Apakah kau termasuk ke dalam golongan pengguna ponsel pintar yang pintar? Aku tak tahu apa jawabanmu, tapi jika aku boleh membuat jawabanku sendiri, aku akan berkata tidak. Kau, jabatanmu, dan tingkat pendidikanmu; tapi kau bukan pengguna ponsel pintar yang pintar.
Matikan ponselmu, ayah. Kau tahu saat makan malam bukanlah saat yang tepat untuk menggunakan ponselmu dan memeriksa e-mail, serta menghubungi rekan kerjamu untuk membicarakan bisnis dan bahkan liburan. Ada aku dan ibu yang ikut hadir dalam ritual makan malam, yang berharap kau akan menatap kami dan mengajak kami berbincang hangat tentang sekolah atau kegiatan sehari-hari. Ada aku dan ibu yang ikut hadir dalam ritual makan malam, yang berharap kau akan mengomentari masakan yang ibu buat, yang kelezatannya tak perlu diragukan lagi. Tapi ponselmu terus berdering saat makan malam seperti suara senapan mesin, dan bergetar di permukaan meja kayu seperti gempa bumi. Ponsel pintarmu adalah bencana untuk kami.
Kau bilang ponselmu membantumu dalam urusan pekerjaanmu, memudahkan komunikasi dengan rekan-rekan kerjamu--tapi tidak untuk hubungan dengan anggota keluargamu. Aku ingin tahu siapa sebenarnya yang kau anggap anak, ponselmu atau aku? Apakah ibu benar-benar istrimu? Atau laptop-mu yang sebenarnya adalah istrimu? Siapa adik dan kakakmu? Paman dan bibi kah? Atau rekan-rekan kerjamu?
Matikan ponselmu, ayah. Kau tahu saat tamasya bersama bukanlah saat yang tepat untuk menggunakan ponselmu dan memeriksa e-mail, serta menghubungi rekan kerjamu untuk membicarakan bisnis dan bahkan liburan. Kau sedang berlibur, jadi untuk apa membicarakan liburan dan bisnis? Ombak yang pecah berdebur dan menyapu pasir putih pantai tak membuatmu tertarik. Pun berpulangnya surya ke peraduannya tak membuatmu terpersona. Kau tak menikmati sejuknya angin sore yang membelai lembut nyiur di pantai. Kau terlalu sibuk dengan ponsel pintarmu. Langit malam di atas samudra menawarkan pulas biru tua penuh misteri dan ribuan pasang mata yang berkelip centil. Tapi apa? Kau lebih tertarik pada kelip indikator di bagian atas ponsel pintarmu yang menandakan bahwa pesan baru telah diterima.
Kau bilang ponselmu membantumu dalam urusan pekerjaanmu, memudahkan komunikasi dengan rekan-rekan kerjamu--tapi tidak untuk menyatukanmu dengan alam. Aku ingin tahu dimana sebenarnya kau tinggal, di bumi ini atau di dunia ponselmu? Siapa tetanggamu? Siapa kawanmu? Manusia kah? Atau kah data? E-mail? Pesan singkat?
Matikan ponselmu, ayah. Kau tahu resital pianoku bukanlah saat yang tepat untuk menggunakan ponselmu dan memeriksa e-mail, serta menghubungi rekan kerjamu untuk membicarakan bisnis dan bahkan liburan. Apa kau tak mendengar pembawa acara memberitahu kepada semua penonton untuk tidak menggunakan ponselnya saat pertunjukan dimulai? Aku tak yakin kau menonton permainan pianoku, dan aku tak yakin kau menikmatinya. Mungkin kau lebih menikmati pertunjukkan nada dering ponselmu. Apa kau mendengarkan lagu yang kumainkan? Kurasa tidak. Kau tak menyukai lagu yang kumainkan. Kau menyukai nada dering ponselmu. Itulah satu-satunya musik yang kau gemari.
Kau bilang ponselmu membantumu dalam urusan pekerjaanmu, memudahkan komunikasi dengan rekan-rekan kerjamu--tapi tidak untuk menghanyutkanmu dalam keindahan seni. Kalau begitu, untuk apa kau menyuruhku berlatih piano? Untuk apa kau membelikanku sebuah gitar akustik dan biola? Mengapa tak kau jual semua alat musik yang ada di rumah, dan menggantinya dengan sepasang pengeras suara yang bisa kau sambungkan dengan ponselmu agar saat diterima sebuah pesan singkat, seisi rumah dapat mendengar teriakan ponselmu yang memanggilmu untuk segera membaca pesan itu?
Matikan ponselmu, ayah. Kau tahu saat mengemudi bukanlah saat yang tepat untuk menggunakan ponselmu dan memeriksa e-mail, serta menghubungi rekan kerjamu untuk membicarakan bisnis dan bahkan liburan. Apa kau tak tahu betapa berbahayanya menggunakan ponsel saat kau sedang mengemudi? Apa kau tak sadar nyawaku, nyawa ibu, atau nyawa siapapun yang menumpang di mobil yang kau kendarai bergantung padamu? Apa kau tak sadar kau dapat mencelakai pengguna jalan yang lain hanya karena kau terlalu sibuk menggunakan ponselmu dan tak dapat fokus berkendara? Berapa banyak lampu merah yang kau terobos hanya karena kau terlalu sibuk menjawab panggilan telpon, atau bahkan dengan nekat membalas pesan singkat dari rekan kerjamu?
Kau bilang ponselmu membantumu dalam urusan pekerjaanmu, memudahkan komunikasi dengan rekan-rekan kerjamu--tapi tidak untuk menyelematkanmu dari kecelakaan lalu lintas. Ponselmu dapat mencelakai dirimu sendiri. Untuk apa kau menggunakan sabuk pengaman, jika kau sendiri tak bisa fokus berkendara karena ponselmu? Kurasa kau tak perlu mengemudi lagi jika kau terlalu sibuk dengan ponselmu. Kau seharusnya mempekerjakan seorang supir untuk mengantarmu kemanapun sehingga kau bisa sibuk dengan ponselmu tanpa perlu mengkhawatirkan pengguna jalan yang lain. Silahkan pedulikan pesan-pesan singkat berisi undangan rapat ataupun pertemuan bisnis dengan rekan-rekan kerjamu. Bagimu persetan dengan jalan raya dan para penggunanya.
Kini ponsel pintarmu ada di tanganku. Kini ponsel itu kumasukkan ke dalam sebuah kotak kayu yang telah kukunci gembok, dan sengaja kusembunyikan kuncinya agar kau tak dapat membukanya untuk mengambil ponselmu lagi. Sebenarnya tak perlu kusembunyikan kunci itu pun kau tak dapat mengambilnya. Saat ini kau pasti sedang nyenyak beristirahat, menyandarkan kepalamu di atas pangkuan Tuhan, memulihkan luka di kepala dan dadamu yang sempat menyiksamu. Kau tak membutuhkan ponsel pintarmu lagi. Ya, kau tak membutuhkannya lagi.
Ponsel pintarmu--ia mengantarmu pada kesuksesan, lalu ia mengantarmu ke surga.Terdapat jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya riuh tepuk tangan memecah jeda tersebut. Pencahayan kembali menerangi seluruh ruangan seperti semula dan kini kulihat Gea dan Reyhan berdiri, mengapresiasi karyaku dengan tepuk tangan. Sementara itu Andra dan mas Eza hanya dapat menatapku dan tersenyum. Mereka tak ikut berdiri untuk bertepuk tangan, dan aku tahu apa sebabnya.
Seusai acara, mas Eza mengajak kami makan malam bersama. Kami pergi ke area parkir dan masuk ke mobil mas Eza. Reyhan duduk di depan, di samping kakaknya layaknya seorang co-pilot. Kulihat Andra yang nampak berbeda, serta mas Eza yang nampak lebih diam.
"Cerita kamu bagus, Dil," ujar Reyhan.
"Ya. Aku suka. Itu jadi teguran buat kita semua," sambung Gea.
"Terima kasih banyak. Aku senang kalian bisa datang," jawabku.
Mobil mulai bergerak dan sambil kami keluar dari area parkir, mas Eza menyodorkan ponselnya pada Reyhan. Reyhan lantas mengambilnya dan menatap kakaknya bingung.
"Kok ponselnya dikasih ke aku?" tanya Reyhan.
"Tolong kirim pesan ke Alia, bilang aku lagi nyetir ke tempat makan jadi nggak bisa ngobrol dulu. Bilangin juga ke Alia nanti aku kabari dia kalau aku udah sampai di tempat makan," jawab mas Eza.
Reyhan mengangguk dan setelah ia mengetikkan pesan untuk kekasih kakaknya, ia melirik ke belakang-- ke arahku--lalu tersenyum.
"Thanks, Dilla," ujarnya.
Dan kubalas ucapan terima kasihnya dengan sebuah senyuman.
0 comments:
Post a Comment