Sore tadi saya pergi ke satu pusat perbelanjaan bersama keluarga saya. Entah kenapa semenjak lebaran, mama saya jadi hobi belanja, dari mulai belanja kebutuhan pangan sampai belanja cermin dan lemari baru (apakah ini indikasi bahwa akhirnya akan dibangun walk-in closet di kamar orangtua saya?). Nah karena memang saat itu sudah masuk jam makan malam, sekeluarga akhirnya memutuskan untuk makan malam dulu di food court yang ada di pusat perbelanjaan itu. Saya yang memang lagi merasa lelah dan ngantuk hanya bisa ngikutin mama saya kesana sini, persis kayak anak kucing ngikutin induknya (meow!). Dan nampaknya saya ditakdirkan untuk memesan makanan dari satu tenant yang dengan jelas menyebutkan bahwa spesialisasi mereka adalah makanan dengan bahan dasar daging ayam (buat orang Bandung yang suka main ke pusat-pusat perbelanjaan utama di kota Bandung dengan food court, kayaknya bisa nebak tenant-nya apa. Yang jelas, namanya dimulai dari huruf C diakhiri dengan huruf S).
Hayo apa hayo?
Sebetulnya dari awal saya udah tahu bahwa saya memang kurang sreg dengan tenant itu. Tapi apa daya kondisi fisik lagi nggak memungkinkan untuk protes, saya cuma ikut aja pesan. Dan sebelum kita pesan, mbak kasir yang melayani kita sudah langsung ngasih tau kita bahwa semua pilihan paket hemat dan paket murah meriah lagi kosong. And guess what.. Hal yang sama selalu terjadi kalau saya pesan di tenant yang sama di mal lain, semisal BTC atau IP. Entah itu saya pesan untuk makan siang atau makan malam, pasti kalau saya tanya apakah menu paket hemat itu ada atau nggak, jawabannya selalu sama.
"Paketnya lagi kosong"
Hal yang sama terjadi berulang kali, bahkan di tenant di mal yang berbeda. Menu paket hemat yang ditawarkan adalah menu yang asalnya ada di pilihan menu regular dan perbedaannya hanya di porsi. Jadi nih, semisal ada menu reguler A harganya dua puluh ribu rupiah. Kalau kita pesan paket hematnya, harganya jadi sepuluh ribu dengan porsi yang dikurangi setengahnya. Nah, menu paket-paket hemat itu setiap ditanyakan keberadaannya pasti saja selalu dijawab oleh pelayannya (baik dengan ramah ataupun dengan cuek) bahwa paketnya lagi kosong. Lucunya, versi reguler dari menu paket hemat itu stoknya ada.
Kalau saya sih mikirnya gini. Ya, logikanya gini. Menu A dan paket hemat A (jenis masakan yang sama) pasti berasal dari bahan baku yang sama. Kalau paket hemat A adalah setengah porsi dari menu A, gampangnya 'kan tinggal dibagi dua saja atau dibuat setengah porsi saja si menu A itu supaya bisa jadi paket hemat A. Sekarang, menu A ada tapi paket hemat A nggak ada, sementara bahan bakunya sama-sama saja dan gampangnya mah, sudah saja begitu dagingnya dipotong dan dimasak setengahnya supaya jadi paket hemat setengah porsi.
Apakah ini konspirasi?
Tapi yang lebih menyebalkan dari keanehan menu itu adalah, di tenant yang sama di cabang Istana Plaza, pelayanannya sangat tidak memuaskan. Dari mulai pelayan dan kasir yang dingin dan judes, sampai ketidakcepattanggapan pelayan, saya jadi kapok buat datang ke tenant itu lagi. Kebetulan waktu saya pesan malam itu, kondisi fisik saya lagi nggak fit. Saya diajak jiejie saya pesan dari tenant itu dan di saat kondisi lagi tidak fit, saya mengharapkan pelayanan yang cepat dan ramah kepada pelanggan. Lha ini saya malah disuguhi dengan mbak kasir yang malah nyantai mainin HP, dan seorang pelayan laki-laki yang lainnya yang hanya ngelirik saya dan jiejie saya, lalu kembali dengerin lagu dari ponselnya. Saking kesalnya saya hampir batalkan pesanan dan hampir tercetus keluar deh itu umpatan-umpatan (untuk lagi sakit, jadi untuk mengumpat pun aku tak sanggup). Meskipun pada akhirnya saya jadi pesan dan pesanan saya datang dalam waktu yang bisa dibilang cukup cepat, saya masih nggak terima dengan pelayanan yang cuek dan dingin seperti itu. Bisa dibilang dendam, tapi cara saya balas dendamnya adalah dengan tidak mengunjungi tenant itu lagi (dan membeberkan keburukan pelayanan mereka di blog saya hahaha).
Saya adalah orang yang bisa dikatakan sangat sensitif dan kritis kalau sudah ngomongin pelayanan di tempat umum (terutama restoran dan kafe). Saya bisa sampai tegur pelayan atau kasir yang nggak ramah, ataupun kurang sigap dalam melayani pelanggannya. Saya tahu dimarahi di muka umum itu nggak enak (kalau saya jadi pelayannya juga pasti malu banget), tapi toh kita 'kan datang ke tempat tersebut dengan harapan kita mendapat pelayanan yang baik, ramah, dan cepat. Toh kita juga bayar. Kalau kita datang hanya untuk dapat pelayanan yang nggak ramah dan tidak sigap, ya rugi lah kita sebagai pembeli. Apalagi kalau produk yang dijual kualitasnya biasa-biasa saja.
I'd better find any other restaurants with better service and products, despite the price.
Saya ambil kelas kewirausahaan di semester enam kemarin dan dari perkuliahan saya cukup banyak belajar tentang strategi bisnis, sampai hal-hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan bisnis, termasuk service excellence. Untuk saat ini pun saya sedang mulai mikir untuk buka usaha di bidang makanan dan minuman (walaupun fokusnya lebih ke minuman), dan tentunya service excellence jadi hal yang harus saya perhatikan. Service excellence ini, kata Pak Suharno, bakalan jadi hal yang membantu meningkatkan penilaian usaha kita di mata pelanggan. Dengan pelayanan yang prima, pelanggan akan merasa senang, meskipun produk yang kita tawarkan bukanlah sesuatu yang sangat extraordinary. Kasarnya sih gini, setidaknya walaupun kita hanya buka usaha warung kopi atau angkringan, kalau pelayanan kita baik dan ramah kepada pelanggan, warung kopi kita akan lebih punya banyak pelanggan (dan kemungkinan pelanggan tetap karena pelanggan-pelanggan tersebut jadi akrab dengan kita). Saya ingin sekali saat buka usaha, saya punya pelanggan tetap yang saat datang, bukan diperlakukan seperti raja, tapi seperti keluarga (mengutip kata-katanya Zaky Prawira).
Our guests are not kings; they are our family.
Kalau memperlakukan tamu sebagai raja, kesannya sangat terlihat sekali hierarkinya (meskipun hierarki itu akan tetap ada, antara pelanggan dan pelayan). Tapi saat kita memperlakukan tamu sebagai keluarga, akan ada rasa kekerabatan antara tamu dan kita. Saat kita melakukan kesalahan pun, kalau tamu sudah menganggap kita sebagai keluarga, mereka akan lebih bisa menerima dan memaafkan. Meskipun begitu, tetap saja kita, sebagai yang melakukan kesalahan, harus bertanggungjawab dengan kesalahan kita. Ya seperti halnya kalau nenek kita datang berkunjung terus kita numpahin teh punya nenek kita, nenek kita akan maafkan tapi kita tetap harus buat teh baru. Kurang lebih begitu.
Dan salah satu kafe yang saya suka di kota Bandung adalah TRAFFIC, dimana saya pada saat datang kesana disambut cukup ramah oleh kru-kru yang bertugas dan bahkan sebelum saya pergi, saya sempat ngobrol santai dengan salah satu kru disana.
interior TRAFFIC |
Pesan saya sih untuk siapapun yang mau buka usaha, jangan lupa selain memperhatikan kualitas produk yang kita jual, perhatikan juga faktor service excellence. Apalagi kalau saya yang datang ke tempat usaha anda dan pelayanan di tempat usaha anda nggak bagus.. Wah, kayaknya saya banyak protes nanti..
0 comments:
Post a Comment